C. SYARAT-SYARAT PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PIDANA
1. SYARAT FORMIL PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PIDANA
Peninjauan kembali putusan pidana memiliki beberapa persyaratan, diantaranya syarat formil dan syarat materiil. Kedua persyaratan tersebut menentukan putusan peninjauan kembali yang ditetapkan oleh majelis hakim peninjauan kembali. Terpenuhinya persyaratan formil menjadi penentu dapat atau tidak dapat diterimanya peninjauan kembali. Sedangkan terpenuhinya persyaratan materiil menentukan ditolak atau tidaknya peninjauan kembali tersebut. Secara umum pengertian syarat formil adalah terkait prosedural atau mekanisme hukum acara, sementara syarat meteriil merupakan subtansi dari alasan dasar permintaan peninjauan kembali.
1. SYARAT FORMIL PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PIDANA
Menurut Yahya Harahap29, memperhatikan ketentuan pasal 264 ayat (1) dan ayat (4), syarat formal menentukan sahnya permohonan peninjauan kembali ialah “surat permintaan” peninjauan kembali. Tanpa surat permintaan yang memuat alasan-alasan sebagai dasar, permintaan yang demikian dianggap “tidak ada”. Pendapat ini didukung oleh pasal 264 ayat (1) dan ayat (4) yang menegaskan:
29 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, Hlm.619.
17
(1): Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya. Dan ayat (4) : Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali”
Berdasarkan pendapat diatas, Yahya Harahap mengkualifikasi bahwa syarat formil untuk dapat diterimanya permohonan peninjauan kembali adalah sahnya “surat permintaan”. Keabsahan “surat permintaan”
tersebut harus sesuai dengan pasal 264 ayat (1) yang mana disandarkan pada alasan dasar permohonan pada pasal 263 ayat (1). Sehingga pasal 263 ayat (1) adalah menjadi ruh dari terpenuhi atau tidak terpenuhinya sy arat formil peninjauan kembali.
Terhadap identifikasi syarat formil dalam pasal 263 ayat (1) ini, Adami Chazawi berpendapat bahwa ketentuan pasal 263 ayat (1) merupakan syarat formil mengajukan permintaan upaya hukum PK. Ketentuan tersebut jelas dan limitatif, merupakan kehendak pembentuk undang-undang, sehingga tidak boleh ditafsirkan yang bertentangan dengan isi dan maknanya. Oleh karena itu, pengadilan dilarang menafsirkan norma yang bertentangan dengan kehendak pembentuk undang-undang. Sementara ketentuan dalam ayat (2) memuat syarat-syarat materiil yang harus dipenuhi untuk dapat diterima dan dibenarkannya pengajuan PK oleh MA. Norma dalam ayat (2) tidak mungkin dapat digunakan apabila pihak yang hendak mengajukan upaya hukum PK tidak memenuhi syarat dalam ayat (1). Norma ayat merupakan syarat formil tersebut, dan mutlak harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum MA dapat memberikan pertimbangan hukum mengenai alasan materiil pengajuan permintaan PK dalam ayat (2).30
Pasal 263 ayat (1) KUHAP berbunyi :” Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Berdasarkan bunyi ayat ini, Adami Chazawi berpendapat bahwa terdapat tiga syarat formil secara komulatif yaitu:31
Dapat dimintakan pemeriksaan di tingkat PK hanya terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) Hanya terpidana atau ahli warisnya yang boleh mengajukan upaya hukum PK, boleh diajukan PK hanya terhadap putusan yang menghukum/mempidana saja.
Putusan pengadilan yang dapat diajukan peninjauan kembali menurut ayat ini adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan demikian maka selain putusan pengadilan yang demikian maka tidak dapat diajukan peninjauan kembali berdasarkan
30 Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana: Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat, Jakarta, Sinar Grafika, 2010 Hlm.24-25
31 Ibid, Hlm.26
18
pasal 263 ayat (1) KUHAP ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa “hanya”
terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetaplah yang dapat diajukan permintaan peninjauan kembali.
Sementara itu, putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap memiliki beberapa jenis, diantaranya putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum ( ontslag van alle rechtvervolging) dan putusan pemidanaan (veroordeling). Dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP, ditegaskan bahwa “....kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,...”. Sehingga dengan demikian maka “hanya” terhadap putusan pemidanaanlah yang dapat diajukan peninjauan kembali menurut pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut.
Kemudian mengenai pihak yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali juga telah diatur pasal 263 ayat (1) KUHAP. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menegaskan mengenai orang yang berhak mengajukan peninjauan kembali, yaitu terpidana dan ahli warisnya. Dari penegasan ketentuan ini, Jaksa Penuntut Umum tidak berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali. Sebabnya undang-undang tidak memberi hak kepada penuntut umum karena upaya hukum ini bertujuan untuk m elindungi kepentingan terpidana. Untuk kepentingan terpidana undang-undang membuka kemungkinan untuk meninjau kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena itu selayaknya hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Lagipula sisi lain upaya hukum luar biasa yakni pada upaya kasasi demi kepentingan hukum, undang-undang telah membuka kesempatan kepada Jaksa Agung untuk membela kepentingan umum.
Seandainya penuntut umum berpendapat suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merugikan kepentingan umum atau bertentangan dengan tujuan penegakan hukum, kebenaran dan keadilan undang-undang telah membuka upaya hukum bagi Jaksa Agung untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum. Oleh karena itu, hak mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah merupakan hak timbal balik yang diberikan kepada terpidana untuk menyelaraskan keseimbangan hak mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan undang-undang kepada penuntut umum melalui Jaksa Agung.
Dengan demikian, melalui upaya hukum luar biasa, sisi kepentingan terpidana dan kepentingan umum telah terpenuhi secara seimbang.32 Dalam perspektif ini, dapat dikatakan bahwa keseimbangan ini melahirkan sebuah keadilan yaitu keadilan prosedural.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, berdasarkan pasal 263 ayat (1) yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya. Oleh karena itu, sekalipun ada pihak yang merasa dirugikan dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dibenarkan hukum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali.
Hal seperti ini yang ditegaskan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 20
32 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, Hlm.616.
19
Februari 1984 Reg.No.1 PK/Pid/1984. Pemohon telah mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Juli 1983 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemohon merasa keberatan atas perampasan untuk negara barang bukti kapal yang bukan milik terpidana, tetapi milik pemohon. Sedangkan pemohon tidak terlibat maupun tersangkut dalam tindak pidana yang dilakukan terpidana, oleh karena itu, tidak adil jika milik pemohon dirampas untuk negara sekalipun kapal itu telah dipergunakan terpidana sebagai alat melakukan tindak pidana.
Tanggapan dan pututsan Mahkmah Agung atas permohonan dan keberatan yang diajukan pemohon, berbunyi:”bahwa meskipun terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, akan tetapi karena pemohon peninjauan kembali bukan terpidana atau ahli warisnya sebagaimana ditentukan dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP maka permohonan peninjauan kembali harus dinyatakan tidak dapat diterima.33
2. SYARAT MATERIL PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN