• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syarat dan Kekuatan Pembuktian Akta Notaris dalam

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

1. Syarat dan Kekuatan Pembuktian Akta Notaris dalam

a. Syarat Akta Notaris

Suatu akta dapat digolongkan sebagai akta otentik mempunyai syarat-syarat otensitas yang harus dipenuhi. Pengertian Akta otentik itu sendiri menurut Pasal 1868 KUHPerdata adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta itu dibuatnya. Akta otentik tidak hanya dapat dibuat oleh Notaris, akan tetapi juga salah satunya dapat dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Keberadaan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah diakui dengan dasar hukum dalam Pasal 17 huruf g Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu Notaris dilarang merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah diluar wilayah jabatannya, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Notaris dapat merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) apabila dalam wilayah jabatannya. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu, hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Syarat akta notaris yang satu dengan yang lain pada intinya sama, hal ini disebabkan karena seluruhnya merupakan akta otentik, yang dimana semua akta otentik hanya dapat dibuat dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Berdasar perkara No. 143/PDT.G/05/PN.Ska akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris PPAT ERW, S.H. pada

commit to user

tanggal 6 bulan Mei 1997 berupa Akta Hibah Nomor 136/Laweyan/1997 yang telah diputus batal oleh Pengadilan Negeri Surakarta. Perjanjian hibah diatur dalam Pasal 1666 sampai dengan 1693 KUHPerdata, hibah adalah merupakan suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan hibah itu (Pasal 1666 ayat (1) KUH Perdata). Syarat adanya perjanjian hibah, yaitu :

1) Perjanjian hibah hanya dapat dilakukan antara orang yang masih hidup (Pasal 1666 ayat (2) KUH Perdata);

2) Perjanjian hibah hanya dibolehkan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan terjadi (Pasal 1667 KUH Perdata);

3) Perjanjian hibah harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUH Perdata).

Berdasar perkara No. 143/PDT.G/05/PN.Ska, Penggugat I (pemberi hibah) yaitu Ny. R.A. H, S.H. selaku orang tua menghibahkan suatu tanah SHM 1421 Kelurahan Jajar, Kecamatan Laweyan, Luas 275 m2 dan bangunan yang berdiri diatasnya berdasar persetujuan Penggugat II yaitu Ir. R.M. W kepada Tergugat (Penerima Hibah) yaitu R.A. P, S.H. selaku anak dari para Penggugat (pemberi hibah), yang dimana hibah itu dituangkan dalam suatu Akta Hibah Nomor 136/Laweyan/1997 yang dibuat oleh Notaris PPAT ERW, S.H. pada tanggal 6 bulan Mei 1997. Dalam hal ini Notaris ERW, S.H. merangkap sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), karena akta hibah yang dibuat berupa hibah tanah dan bangunan merupakan kewenangan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT dikategorikan sebagai pejabat umum berdasar pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Peraturan Pemerintah

commit to user

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, serta secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 1 angka 24 adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.

Berdasar wawancara yang telah dilakukan kepada Notaris PPAT Sri Hartini, S.H., beliau menyatakan bahwa syarat Akta Hibah pada dasarnya juga sama dengan akta otentik, pengertian akta otentik dalam perkara ini yaitu suatu akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, yaitu Notaris dan PPAT. Syarat-syarat suatu akta sebagai akta otentik, antara lain :

1) Dibuat dihadapan pejabat yang berwenang di kantor setempat di wilayah hukum pejabat yang berwenang berkedudukan;

2) Dibacakan oleh pejabat yang berwenang dihadapan para pihak dan dimengerti isinya oleh para pihak saja;

3) Para pihak hadir menghadap dan menandatangani akta.

Suatu akta batal apabila ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi. (Wawancara dilakukan pada hari Jumat, tanggal 30 April 2010, pukul 12.00 WIB di Kantor Notaris PPAT Sri Hartini, S.H.)

Berdasarkan atas keterangan tersebut maka apabila dikaji Akta Hibah No. 136/Laweyan/1997 tersebut telah memenuhi syarat sebagai akta otentik, yaitu:

1) Akta Hibah No. 136/Laweyan/1997 tersebut dibuat dihadapan pejabat yang berwenang yaitu Notaris PPAT ERW, S.H. di kantor setempat di wilayah hukum pejabat yang berwenang berkedudukan;

2) Akta Hibah No. 136/Laweyan/1997 tersebut telah dibacakan dan dijelaskan dihadapan para pihak dan dimengerti isinya oleh para pihak;

commit to user

3) Para pihak dalam Akta Hibah No. 136/Laweyan/1997 hadir dan menandatangani akta hibah tersebut. Para pihak itu adalah Ny. R.A. H, S.H. selaku pihak pertama, dengan persetujuan Tn. R.M. W selaku suami dari pihak pertama, R.A. P, S.H. selaku pihak kedua, serta dua orang saksi.

b. Kekuatan Pembuktian Akta Notaris

Akta notaris sebagai akta otentik tentunya mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, hal ini diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Kekuatan pembuktian dari suatu akta notaris, yaitu sebagai berikut :

1) Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht)

Uitwendige bewijskracht adalah kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik, sehingga akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya (acta publica probant sese ipsa). Akta dapat digolongkan menjadi akta otentik dapat dinilai dari luarnya. Artinya menandakan dirinya dari luar, dari kata-katanya itu berasal dari seorang pejabat umum.

2) Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht)

Formale bewijskracht adalah kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta yang ada dalam akta itu benar-benar dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap itu. Artinya pejabat yang bersangkutan menyatakan dalam tulisan yang tercantum dalam akta itu dan kebenaran dari dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya dalam jabatannya itu.

3) Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht)

Materiele bewijskracht adalah kepastian bahwa apa apa yang disebutkan dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Artinya tidak hanya kenyataan yang dibuktikan oleh

commit to user

suatu akta otentik, namun isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh buatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya (preuve preconstituee) (Abdul Ghofur Anshori, 2009: 19-21).

Akta hibah dalam perkara ini merupakan bukti yang sempurna bagi para pihak yang membuatnya bahwa benar telah terjadi hibah atas tanah dan bangunan SHM 1421 Kelurahan Jajar, Kecamatan Laweyan dengan Luas 275 m2 dan bangunan yang berdiri diatasnya oleh Penggugat I (pemberi hibah) dengan persetujuan Penggugat II kepada Tergugat (penerima hibah) yang dilakukan pada tanggal 6 bulan Mei 1997 di depan Notaris PPAT ERW, SH. Berdasar akta hibah tersebut maka kepemilikan tanah SHM 1421 Kelurahan Jajar, Kecamatan Laweyan dengan Luas 275 m2 dan bangunan yang berdiri diatasnya beralih dari Penggugat I (pemberi hibah) ke Tergugat (penerima hibah). Dalam perkara ini, para Penggugat (pemberi hibah) menggunakan Akta Hibah Nomor 136/Laweyan/1997 sebagai bukti surat (P1) untuk meyakinkan Hakim bahwa benar telah dilakukan suatu hibah dari Penggugat I (pemberi hibah) kepada Tergugat (penerima hibah) secara sah dan sesuai dengan ketentuan hukum.

Berdasar penjelasan mengenai kekuatan pembuktian akta otentik yang telah diuraikan diatas, Akta Hibah Nomor 136/Laweyan/1997 dalam perkara ini telah memenuhi kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, yaitu sebagai berikut :

1) Kekuatan pembuktian lahiriah

Akta Hibah Nomor 136/Laweyan/1997 telah memenuhi ketentuan lahir sebagai akta otentik, yang menandakan dari luar serta dari kata-katanya bahwa akta tersebut berasal dari seorang pejabat umum.

2) Kekuatan pembuktian formal

Akta Hibah Nomor 136/Laweyan/1997 telah memenuhi ketentuan formal sebagai akta otentik, hal ini ditunjukkan bahwa para pihak membubuhkan tanda tangan mereka pada akhir Akta Hibah Nomor

commit to user

136/Laweyan/1997, yang dimana para pihak itu adalah Penerima Hibah yaitu R.A. P, S.H. (pihak kedua) dalam hal ini selaku Tergugat dan Pemberi Hibah yaitu Ny. R.A. H, S.H. (pihak pertama) dalam hal ini selaku Penggugat, dengan persetujuan dari suaminya yaitu Tn. R.M. W.

3) Kekuatan pembuktian material

Kekuatan pembuktian material merupakan kepastian bahwa apa yang disebutkan dalam akta tersebut merupakan bukti yang benar terhadap pihak-pihak yang membuatnya. Menurut hasil wawancara terhadap salah satu Hakim di Pengadilan Negeri Surakarta yaitu, JJH. Simanjuntak S.H., bahwa Akta Hibah Nomor 136/Laweyan/1997 merupakan akta pihak (partij akte), yang dimana akta pihak (partij akte) dibuat oleh pejabat atas permintaan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Para pihak yang berkepentingan tersebut yaitu Penggugat I (pemberi hibah) Ny. R.A. H, S.H. dengan persetujuan suami Penggugat II Tn. R.M. W dan Tergugat (penerima hibah) R.A. P, S.H. yang datang menghadap Notaris PPAT ERW, S.H. dengan kehendak mereka sendiri untuk membuat akta hibah. Akta hibah itu merupakan hibah atas tanah dan bangunan milik Penggugat I (pemberi hibah) Ny. R.A. H yang akan dihibahkan kepada Tergugat (penerima hibah) R.A. P, S.H. dengan persetujuan suaminya Penggugat II Tn. R.M. W. Kebenaran dari Akta Hibah No. 136/Laweyan/1997 berdasar pada pernyataan dan keterangan oleh para pihak itu sendiri ketika mengahadap Notaris. (Wawancara dilakukan pada hari Rabu, tanggal 28 April 2010, pukul 10.00 WIB di Pengadilan Negeri Surakarta)

commit to user 2. Alasan Pembatalan Akta Notaris

Akta notaris memang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak yang membuatnya, serta bagi ahli warisnya atau pihak ketiga yang terkait dengan akta tersebut, akan tetapi akta notaris juga dapat dilakukan pembatalan apabila terdapat bukti lawan. Akta notaris pada dasarnya merupakan perjanjian antara kedua belah pihak yang sepakat yang dituangkan dalam bentuk akta guna menjamin sebagai alat bukti dikemudian hari. Perjanjian itu sendiri mengandung syarat subyektif, yaitu sepakat dan cakap sedangkan syarat obyektif yaitu hal tertentu dan sebab yang halal. Suatu perjanjian apabila sudah tidak memenuhi syarat subyektif, maka dapat dilakukan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan.

Berdasar perkara No. 143/PDT.G/05/PN.Ska mengenai pembatalan Akta Hibah Nomor 136/Laweyan/1997, perkara ini bermula dari Penggugat I (pemberi hibah) yang bernama Ny. R.A. H, S.H. memberikan tanah SHM 1421 Kelurahan Jajar, Kecamatan Laweyan dengan luas 275 m2 dan bangunan yang berdiri diatasnya dengan persetujuan Penggugat II yang bernama R.M. W kepada anaknya yang bernama R.A. P, S.H. yaitu dalam perkara ini berkedudukan sebagai Tergugat (pemberi hibah). Hibah itu dituangkan dalam sebuah akta yang dibuat oleh Notaris PPAT ERW, S.H. pada tanggal 6 bulan Mei 1997. Tergugat selaku anak yang telah menerima hibah dari orang tuanya tentunya tidak hanya mempunyai hak saja atas hibah itu, akan tetapi juga mempunyai kewajiban untuk memelihara orang tuanya selaku pemberi hibah. Dalam perkara ini diuraikan bahwa ketika Penggugat I (pemberi hibah) mengalami musibah yang berkaitan dengan hukum dan Penggugat II yang jatuh sakit, sikap dari Tergugat (penerima hibah) dinilai tidak terpuji. Tergugat (penerima hibah) meninggalkan dan menelantarkan kedua orang tuanya serta pergi dari rumah bersama laki-laki lain padahal status dari Tergugat (penerima hibah) telah mempunyai suami dan seorang anak. Para Penggugat (pemberi hibah) selaku orang tuanya merasa sikap Tergugat (penerima

commit to user

hibah) sangat tidak terpuji dan tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang anak terhadap orang tuanya. Berdasarkan hal tersebut, maka para Penggugat (pemberi hibah) menghendaki untuk membatalkan Akta Hibah Nomor 136/Laweyan/1997 yang telah dibuat di hadapan Notaris PPAT ERW, S.H. pada tanggal 6 bulan Mei 1997. Dalam Hukum Perdata terdapat teori mengenai kewajiban anak terhadap orang tuanya yang diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, selanjutnya akan disebut dengan UUP. Menurut Pasal 46 UUP, seorang anak wajib menghormati orang tuanya dan mentaati kehendak mereka yang baik. Seorang anak yang telah dewasa maka wajib memelihara sesuai kemampuan orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas apabila mereka memerlukan bantuan. Berdasar ketentuan Pasal 46 UUP maka tindakan Tergugat (penerima hibah) yaitu R.A. P, S.H. sudah melanggar ketentuan Pasal 46 UUP dimana ia tidak memelihara Ny. R.A. H, S.H. dan Tn. R.M. W selaku orang tuanya ketika tertimpa musibah.

Alasan pembatalan suatu hibah diatur dalam Pasal 1688 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu hibah dapat dibatalkan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Karena tidak dipenuhinya syarat-syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan. Dengan syarat di sini yang dimaksud adalah beban;

b. Jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah, atau berupa kejahatan lain terhadap si penghibah yang diancam undang-undang dengan hukuman pidana baik yang berupa kejahatan atau pelanggaran;

c. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah jatuh dalam kemiskinan.

Berdasarkan kasus perkara ini yang relevan dengan Pasal 1688 ayat (3) KUHPerdata menjadi dasar gugatan pembatalan Akta Hibah No. 136/Laweyan/1997. Tindakan Tergugat (penerima hibah) yaitu R.A. P, S.H. sudah memenuhi ketentuan Pasal 1688 ayat (3) KUHPerdata yaitu

commit to user

Tergugat (penerima hibah) R.A. P, S.H. meninggalkan dan menelantarkan orang tuanya ketika ibunya Penggugat I (pemberi hibah) Ny. H, S.H. tersangkut masalah hukum sampai dipidana dan ayahnya Penggugat II Tn. R.M. W yang sakit stroke.

Berikut ini adalah hasil wawancara dari beberapa narasumber mengenai alasan-alasan yang mendasari dilakukannya suatu pembatalan Akta Hibah tersebut, yaitu:

a. Hakim Pengadilan Negeri Surakarta JJH. Simanjuntak, S.H.

Berdasar wawancara yang telah dilakukan kepada salah satu Hakim di Pengadilan Negeri Surakarta yaitu JJH. Simanjuntak, S.H. beliau menyatakan bahwa suatu pembatalan akta, yang dalam perkara No. 143/PDT.G/05/PN.Ska merupakan Akta Hibah selalu mengacu pada ada atau tidaknya suatu perbuatan melanggar hukum. Pembatalan akta dapat dilakukan apabila dalam pelaksanaan apa yang tertuang dalam akta itu terdapat unsur melanggar hukum dan memang terbukti telah ada pelanggaran hukum yang terjadi. Dalam akta hibah ini apabila syarat-syarat hibah telah dilanggar dan syarat untuk pembatalan akta hibah dapat dibuktikan oleh pihak Penggugat, maka Majelis Hakim membatalkan akta hibah tersebut. Suatu hibah tidak hanya memberi hak kepada penerima hibah, akan tetapi juga mengandung suatu kewajiban bagi penerima hibah tersebut. Penerima hibah yang terbukti tidak melaksanakan kewajibannya maka pemberi hibah dapat menghendaki pembatalan atas akta hibah tersebut. Majelis Hakim dalam perkara No. 143/Pdt.G/05/PN.Ska memutus pembatalan Akta Hibah No. 136/Laweyan/1997 karena terdapat suatu pelanggaran hukum yaitu Tergugat (penerima hibah) R.A. P, S.H. telah memenuhi ketentuan Pasal 1688 ayat (3) KUHPerdata dimana Tergugat (penerima hibah) R.A. P, S.H. tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang anak ketika orang tuanya selaku Penggugat (pemberi hibah) yaitu Tn. R.M. W dan Ny. H, S.H. tertimpa musibah. (Wawancara dilakukan pada hari

commit to user

Rabu, tanggal 28 April 2010, pukul 10.00 WIB di Pengadilan Negeri Surakarta)

b. Notaris/PPAT Sri Hartini, S.H.

Berdasar wawancara yang dilakukan kepada Notaris PPAT Sri Hartini, S.H. beliau menjelaskan bahwa pembatalan akta hibah dapat terjadi apabila terdapat bukti bahwa penerima hibah yaitu dalam perkara ini adalah seorang anak yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang anak atau durhaka kepada pemberi hibah selaku orang tuanya. Dalam perkara No. 143/Pdt.G/05/PN.Ska Tergugat (penerima hibah) R.A. P, S.H. telah memenuhi unsur sebagai anak durhaka atau tidak melaksanakan kewajibannya selaku anak karena menelantarkan kedua orang tuanya ketika ibunya Penggugat I (pemberi hibah) Ny. R.A. H, S.H. terkait masalah hukum dan dipidana serta ayahnya Penggugat II Tn. R.M. W yang jatuh sakit, padahal Tergugat telah diberi hibah atas tanah dan bangunan oleh orang tuanya (Penggugat). Tindakan Tergugat (penerima hibah) telah memenuhi unsur Pasal 1688 KUHPerdata ayat (3) yang menyatakan bahwa apabila Penerima Hibah menolak menafkahi orang tuanya disaat orang tuanya jatuh sakit, maka hibah tersebut dapat dibatalkan. Tergugat (penerima hibah) R.A. P, S.H. sebagai seorang anak yang telah diberi hibah oleh kedua orang tuanya seharusnya berkewajiban merawat serta memelihara orang tuanya di saat orang tuanya tertimpa musibah, bukan meninggalkan dan menelantarkan orang tuanya. (Wawancara dilakukan pada hari Jumat, tanggal 30 April 2010, pukul 12.00 WIB di Kantor Notaris PPAT Sri Hartini, S.H.)

c. Notaris/PPAT Sunarto

Berdasar wawancara yang dilakukan kepada Notaris PPAT Sunarto beliau menyatakan bahwa pada intinya akta hibah tersebut merupakan suatu perjanjian, dimana semua perjanjian mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian yang terdiri dari syarat subyektif dan syarat obyektif. Suatu akta dapat dibatalkan

commit to user

apabila syarat subyektif sudah tidak terpenuhi, sedangkan apabila syarat obyektif sudah tidak terpenuhi maka akta itu batal demi hukum. Dalam perkara No. 143/Pdt.G/05/PN.Ska syarat subyektif sahnya perjanjian sudah tidak terpenuhi, yaitu para Penggugat (pemberi hibah) merasa sudah tidak sepakat lagi dengan apa yang dituangkan dalam Akta Hibah No. 136/Laweyan/1997 dan para Penggugat (pemberi hibah) merasa dirinya dirugikan, oleh karena itu para Penggugat (pemberi hibah) menghendaki pembatalan Akta Hibah No. 136/Laweyan/1997. Pembatalan akta itu sendiri sebenarnya terdapat dua cara, yaitu oleh para pihak itu sendiri dan dengan cara mengajukan suatu gugatan apabila terbukti terdapat pelanggaran hukum didalamnya. Dalam perkara No. 143/PDT.G/05/PN.Ska ini terdapat suatu pelanggaran hukum berupa tindakan Tergugat (penerima hibah) R.A. P, S.H. telah memenuhi ketentuan Pasal 1688 KUHPerdata dimana Tergugat (penerima hibah) R.A. P, S.H. menelantarkan orang tuanya yaitu Ny. H, S.H. dan Tn. R.M. W selaku para Penggugat (pemberi hibah) disaat orang tuanya tertimpa musibah. Berdasar hal tersebut maka para Penggugat (pemberi hibah) dalam hal ini selaku orang tua Tergugat (penerima hibah) menghendaki pembatalan Akta Hibah No. 136/Laweyan/1997 dengan mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Surakarta. (Wawancara dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 1 Mei 2010 pukul 11.00 WIB di Kantor Notaris PPAT Sunarto, S.H.)

Berdasar uraian diatas, dalam perkara No.143/PDT.G/05/PN.Ska yang menjadi alasan dari para Penggugat untuk menghendaki pembatalan Akta Hibah Nomor 136/Laweyan/1997, yaitu:

a. Tindakan Tergugat (penerima hibah) yaitu R.A. P, S.H. sebagai anak yang telah menerima hibah dari Penggugat I (pemberi hibah) yaitu Ny. H, S.H. yang tidak melaksanakan kewajibannya yaitu memelihara kedua orang tuanya;

b. Ketika Penggugat I (pemberi hibah) yaitu Ny. H,S.H. tersandung kasus hukum sampai dipidana oleh pihak yang berwenang, Tergugat

commit to user

(penerima hibah) yaitu R.A. P, S.H. selaku anak pergi meninggalkan kedua orang tuanya tanpa pamit serta tidak mendampingi orang tuanya; c. Tindakan Tergugat (penerima hibah) yaitu R.A. P, S.H. telah memenuhi

ketentuan Pasal 1688 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Suatu penghibahan tidak dapat dicabut dan karena itu tidak dapat pula dibatalkan, kecuali dalam hal jika Penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya.

Berdasar alasan yang dikemukakan oleh para Penggugat (pemberi hibah) juga diperkuat oleh bukti-bukti yang menyatakan bahwa Tergugat (penerima hibah) telah menelantarkan kedua orang tuanya, yaitu berupa bukti saksi sebagai berikut:

a. Saksi pertama yaitu RW yang menyatakan bahwa Tergugat (penerima hibah) yaitu R.A. P, S.H. tidak pernah menengok Penggugat I (pemberi hibah) yaitu Ny. H, S.H. selama dalam tahanan dan Penggugat II yaitu Tn. R.M. W yang jatuh sakit. Tergugat (penerima hibah) menelantarkan kedua orang tuanya dan meninggalkan rumah tanpa pamit dengan pria lain padahal status dari Tergugat(penerima hibah) sudah mempunyai suami dan seorang anak, oleh karena itu para Penggugat (pemberi hibah) ingin mencabut hibahnya karena Tergugat (penerima hibah) tidak dapat melindungi kedua orang tuanya dan tidak dapat menjaga nama baik keluarganya;

b. Saksi kedua yaitu SH yang menyatakan bahwa Tergugat (penerima hibah) yaitu R.A. P, S.H. menelantarkan kedua orang tuanya. Tergugat (penerima hibah) tidak pernah menjenguk Penggugat I (pemberi hibah) yaitu Ny. H selama berada dalam tahanan, serta Tergugat (penerima hibah) tidak pernah menengok bahkan merawat Penggugat II yang sakit stroke, padahal membutuhkan biaya untuk berobat. Oleh karena itu para Penggugat (pemberi hibah) ingin mencabut hibahnya, karena Tergugat (penerima hibah) yang merupakan anak satu-satunya diharapkan nantinya akan merawat para Penggugat (pemberi hibah) diusia tuanya tidak dapat melindungi kedua orang tuanya.

commit to user

Berdasarkan uraian diatas, maka alasan pembatalan Akta Hibah No. 136/Laweyan/1997 terdapat bukti-bukti bahwa para Penggugat (pemberi hibah) selaku orang tua telah ditelantarkan yang diperkuat oleh bukti saksi serta terdapat suatu pelanggaran hukum yaitu telah memenuhi ketentuan Pasal 1688 KUH Perdata ayat (3). Berdasar ketentuan Pasal 1688 KUH Perdata ayat (3) bahwa suatu penghibahan itu tidak dapat dicabut dan tidak dapat dibatalkan, kecuali dalam hal penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepada pemberi hibah itu. Dalam perkara No. 143/PDT.G/05/PN.Ska pihak Tergugat selaku penerima hibah dinilai tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang anak terhadap pemberi hibah selaku orang tuanya (Penggugat). Tindakan Tergugat (penerima hibah) yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang anak yaitu menelantarkan Penggugat I (pemberi hibah) ketika Penggugat I (pemberi hibah) mendapat musibah terkait dengan masalah hukum, sampai Penggugat I (pemberi hibah) dipidana pihak Tergugat (penerima hibah) tidak pernah menengok Penggugat I (pemberi hibah) selama dipidana, Tergugat (penerima hibah) juga tidak merawat serta tidak membiayai Penggugat II yang jatuh sakit. Berdasar kejadian itu, Penggugat (pemberi hibah) merasa dirinya dirugikan atas hibah yang telah dilakukan kepada Tergugat (penerima hibah). Penggugat (pemberi hibah) sudah tidak sepakat dalam perjanjian hibah tersebut, sehingga Penggugat (pemberi hibah) menghendaki suatu pembatalan dari Akta Hibah Nomor 136/Laweyan/1997 yang telah dibuat dihadapan Notaris/PPAT. Pihak Penggugat (pemberi hibah) mengajukan suatu gugatan ke Pengadilan Negeri Surakarta untuk pembatalan akta hibah tersebut.

commit to user

3. Akibat Hukum dari Pembatalan Akta Notaris

Pembatalan Akta Hibah dalam Perkara No. 143/PDT.G/05/PN.Ska oleh Majelis Hakim diputus dengan mengabulkan gugatan para Penggugat (pemberi hibah) secara sebagian secara verstek, sehingga hibah yang telah dilakukan pada tanggal 6 bulan Mei 1997 dihadapan Notaris/PPAT ERW, S.H. dalam Akta Hibah Nomor 136/Laweyan/1997 adalah batal. Berdasar putusan hakim yang membatalkan hibah berdasar Akta Hibah Nomor

Dokumen terkait