• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MENURUT PRINSIP SYARIAH

3. Syarat sahnya perjanjian

Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Secara definisi, rukun adalah ”suatu unsur yang merupakan bagian tak

terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu”. Definisi syarat adalah ”sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada”.63

Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-’aqiadin, mahallul ’aqd, dan sighad al-’aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Mustafa Al-Zaqra menambah maudhu’ul ’aqd (tujuan akad). Ia tidak menyebut keempat hal tersebut dengan rukun, tetapi dengan muqawimat ’aqd (unsur-unsur penegak akad). Sedangkan menurut T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, keempat hal tersebut merupakan kompenen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad. Keempat komponen itu adalah:64 a) Subyek Perikatan (Al-’Aqidain)

Al-’aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad (perikatan), dan sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum sebagai pelaku perbuatan hukum sering kali diartikan sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu manusia dan badan hukum. Berikut penjelasan dari manusia dan badan hukum dalam kaitannya dengan ketentuan hukum Islam

(1) Manusia

63

Gemala Dewi, Op.Cit., hal. 30.

64

Manusia sebagai subjek hukum perikatan adalah pihak yang sudah dapat dibebani hukum yang disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dalam kehidupan sosial. Kata ”Mukallaf” berasal dari bahasa Arab yang berarti ”yang dibebani hukum”, yang dalam hal ini adalah orang-orang yang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan Allah SWT. baik yang berkaitan dengan perintah maupun larangan-laranganNya.

Oleh karena itu, selain dilihat dari tahapan kedewasaan seseorang, dalam suatu akad, kondisi psikologis seseorang perlu juga diperhatikan untuk mencapai sahnya suatu akad.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai mukallaf adalah baligh. Ukuran baligh seseorang adalah telah bermimpi (ihtilam) bagi laki-laki dan telah haid bagi perempuan. Baligh juga dapat diukur dari usia seseorang, seperti yang tercantum dalam Hadits dari Ibnu Umar yaitu 15 tahun. Dalam Hadits tersebut diceritakan, bahwa Ibnu Umar tidak diizinkan Nabi Muhammad SAW. untuk ikut berperang (Perang Uhud) ketika usianya 14 tahun. Ketika usianya mencapai 15 tahun, ia diizinkan untuk ikut berperang (Perang Khandaq). Terhadap orang yang sudah baligh sudah dapat dibebani hukum taklifatau sudah dapat bertindak hukum karena, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, ia sudah berakal dan memiliki kecakapan bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah al-ada’ al-kamilah), berakal sehat. Seseorang yang melakukan perikatan harus

memiliki akal yang sehat. Dengan akal sehat, ia akan memahami segala perbuatan hukum yang dilakukan dan akibat hukum terhadap dirinya maupun orang lain.

(2) Badan Hukum

Badan hukum adalah badan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Badan hukum ini memiliki kekayaan yang terpisah dari perseorangan. Dengan demikian, meskipun pengurus badan hukum berganti-ganti, ia tetap memiliki kekayaan tersendiri. Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat pada beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah al-syirkah, seperti yang tercantum dalam QS. An-Nisa (4) : 12, QS. Shaad (38): 24, dan Hadits Qudsi. Pada QS. An-Nisa (4) : 12 disebutkan, ”Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” Pada QS. Shaad (38): 24, bahwa ”Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang yang beriman”. Pada Hadits Qudsi riwayat Abu Dawud dan Al-Hakim dan Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda : ”Aku (Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, sepanjang salah seorang dari keduanya tidak berkhianat terhadap lainnya. Apabila seseorang berkhianat terhadap lainnya, maka Aku keluar dari keduanya”.

Adanya kerja sama di antara beberapa orang menimbulkan kepentingan-kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. Dalam hubungannya dengan

pihak ketiga inilah timbul bentuk baru dari subjek hukum yang disebut dengan badan hukum.

b) Objek Perikatan (Mahallul ’Aqd)

Mahallul ’aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda yang berwujud, seperti mobil dan rumah, maupun benda yang tidak berwujud, seperti manfaat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul ’aqd adalah sebagai berikut:

(1) Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan; (2) Objek perikatan dibenarkan oleh Syariah;

(3) Objek akad harus jelas dan dikenali; (4) Objek dapat diserahterimakan c) Tujuan Perikatan (Maudhu’ul ’Aqd)

Maudhu’ul ’aqd adalah tujuan dari hukum suatu akad yang disyariatkan untuk tujuan tersebut. Dalam Hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT. dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. dalam Hadits. Menurut ulama fiqih, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syariah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah.

d) Ijab dan Kabul (Sighat Al-’Aqd)

Sighat al-‘aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu

pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama.