TINJAUAN UMUM PERJANJIAN BORONGAN
N. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
31
Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, (Jakarta: Visimedia, 2008), hlm. 24
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dapat dibedakan syarat subjektif, dan syarat objektif. Dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif.Syarat subjektif adalah kedua syarat yang
pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir.32
a. Syarat subjektif dimana syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat
dibatalkan, meliputi:
Sedangkan Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
1) Kecakapan untuk membuat kontrak dimana para pihak diharuskan
dewasa dan tidak sakit ingatan.
2) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Syarat objektif dimana syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal
demi hukum meliputi:
1) Suatu hal (objek) tertentu.
2) Sesuatu sebab yang halal (klausula).33
Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri dari:
a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu.
b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu.
32
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hlm. 98. 33
Abdul R. Saliman, et. al. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Prenada, 2004), hlm. 12-13
c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
d. Syarat izin dari yang berwenang.34
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif karena syarat
tersebut mengenai subyek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat obyektif, karena mengenai obyek dari perjanjian.Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak diakui oleh hukum. Tetapi bila pihak-pihak mengakui dan
mematuhi perjanjian yang mereka buat, tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi perjanjian itu tetap berlaku diantara mereka, namun bila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui sehingga timbul sengketa maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.
Keempat syarat di atas merupakan syarat yang esensial dari suatu
perjanjian, artinya syarat-syarat tersebut harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa suatu syarat ini, perjanjian dianggap tidak pernah ada atau perjanjian itu tidak sah.Namun dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.Dengan kata sepakat suatu perjanjian sudah lahir. Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor, yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Adanya kata sepakat berarti terdapat suatu persesuaian kehendak diantara para pihak yang mengadakan perjanjian.Perjanjian sudah lahir pada saat
tercapainya kata sepakat diantara para pihak, dikenal dengan asas konsensualisme
yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian.Menurut Abdul Kadir Muhammad persetujuan kehendak adalah kesepakatan seia-sekata. Pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga
34
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 34
dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.Pernyataan kehendak atau persetujuan kehendak harus merupakan perwujudan kehendak yang bebas, artinya tidak ada paksaan dan
tekanan (dwang) dari pihak manapun juga, harus betul-betul atas kemauan
sukarela para pihak.35
Pengertian kehendak atau sepakat itu termasuk juga tidak ada kekhilafan (dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog).Apabila ada kesepakatan terjadi karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau
dapat dimintakan pembatalan kepada hakim (vernietigbaar).Hal ini sesuai dengan
Pasal 1321 KUH Perdata dinyatakan tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau
penipuan.Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan kegiatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut-takuti, sehingga dengan demikian orang itu tidak terpaksa menyetujui perjanjian (Pasal 1324 KUHPerdata).Dan dikatakan tidak ada kekhilafan atau kekeliruan mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting obyek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian
itu.Dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan penipuan menurut arti Undang-undang (Pasal 1328 KUHPerdata).Penipuan menurut arti Undang-undang ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan
palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui.36
Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dari pihak ketiga dan tidak ada gangguan berupa paksaan, yaitu paksaan rohani atau paksaan jiwa, bukan paksaan fisik, misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Kekhilafan, yang terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-halpokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang barang yangmenjadi obyek perjanjian.Penipuan, yang dapat terjadi apabila salah satu pihak dengansengaja memberikan keterangan palsu disertai
35
Abdul Kadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia.(Bandung: Cipta Aditya Bhakti, 1990), hlm. 228-229
36
Mariam Darus Badrulzaman(2), Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, (Bandung,: Citra Aditya Bhakti, 1986), hlm. 123
dengan tipu muslihatuntuk membujuk pihak lainnya agar menyetujui suatu perjanjian, misalnya menjual mobil bekas yang telah dipoles sedemikian rupasehingga menimbulkan kesan seolah-olah mobil tersebut barudengan mengatakan kepada pembeli bahwa mobil itu baru.
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan
Pada dasarnya semua orang cakap membuat perjanjian, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Pasal 1329 KUHPerdata kecuali yang diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum termasuk pula membuat perjanjian ialah bila ia sudah dewasa yaitu berumur 21 tahun dan telah kawin. Ukuran orang dewasa 21 tahun atau
sudah kawin, disimpulkan secara a contrario dalam redaksi Pasal 330
KUHPerdata. Sedangkan mereka yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, sebagaimana diatur Pasal 1330 KUHPerdata ialah:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh
undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (ketentuan ini sudah dicabut).
3. Adanya suatu hal tertentu
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata dinyatakan bahwa perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.Dalam ketentuan Pasal 1331 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak masalah asalkan dikemudian hari ditentukan
4. Adanya suatu sebab/kausa yang halal
Yang dimaksud dengan sebab/kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu
perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan adanya suatu sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian. Pada pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umumdan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal
akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.37
Kedua syarat pertama tersebut, dinamakan dengan syarat-syaratsubyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyek yangmengadakan
perjanjian.Sedangkan dua syarat yang terakhirdinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannyasendiri atau obyek dari perjanjian tersebut.Apabila syarat subyektif dilanggar baik salah satu atau keduanyamengakibatkan perjanjian
dapat dibatalkan (voidable).Adanyakekurangan terhadap syarat subyektif tersebut
tidak begitu sajadiketahui oleh hakim, jadi harus diajukan oleh pihak yangberkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim, mungkin
sekalidisangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian.Olehkarena itu, undang-undang menyerahkan kepada para pihak, apakahmereka menghendaki
pembatalan terhadap perjanjian tersebut atautidak.38
Apabila syarat obyektif dilanggar maka perjanjian tersebut tidakmemiliki kekuatan hukum sejak semula dan tidak mengikat para pihakyang membuat
perjanjian atau disebut dengan batal demi hukum (nulland void).Secara yuridis,
dianggap dari semula tidak ada suatuperjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan Akan tetapi selama para pihak tidak keberatan ataspelanggaran kedua syarat subyektif tersebut, maka perjanjian itu tetapsah.
37
Sri Soedewi Masjachan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm. 319
38
antara orang-orang yangbermaksud membuat perjanjian itu.Akibat dari batal demi hukum,maka para pihak tidak dapat mengajukan tuntutan melalui
pengadilanuntuk melaksanakan perjanjian atau meminta ganti rugi, karena
dasarhukumnya tidak ada.39