• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seorang hadhinah ( ibu asuh ) yang menangani dan menyelenggarakan kepantingan anak kecil yang di asuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat

      

11

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: Rajawali pers, 1998), h. 240-244 12

tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.

Syarat- syaratnya itu adalah :

1. Berakal sehat, jadi bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya tidak boleh menangani hadhanah. Karena mereka ini tidak dapat menangani mengurusi dirinya sendiri. Sebab itu ia tidak boleh diserahi mengurusi orang lain. Sebab orang yang tidak punya apa-apa tentulah ia tidak dapat memberi apa-apa kepada orang lain.

2. Dewasa, sebab anak kecil sekalipun mumayyiz, tetapi ia tetap membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya, oleh karena itu dia tidak boleh mengurusi urusan orang lain.

3. Mampu mendidik, karena itu tidak boleh menjadi pengasuh orang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang mengabaiakan urusan rumahnnya sehingga merugikan anak kecil yang diurusnya, atau bukan orang yang tinggal bersama orang yang sakit menular atau bersama orang yang suka marah kepada anak-anak, sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri, sehingga akibat kemarahannya itu tidak bisa memperhatikan kepentingan si anak secara sempurna dan menciptakan suasana yang tidak baik.

4. Amanah dan berbudi, sebab orang yang curang aman bagi anak kecil dan tidak dapat dipercaya akan dapat menunaikan keawjibannya dengan baik. Bahkan nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti orang yang curang ini.

5. Islam, anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim. Sebab hadhanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan orang mukmin di bawah perwalian orang kafir.

6. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan- urusan dengan tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.13

7. Wanita yang mengasuh itu tidak bersuamikan dengan seoarng laki-laki yang bukam mahram dari anak yang diasuh itu karena ia sibuk melayani keperluan suaminya sehingga untuk mengasuh anak itu sudah hamper-hampir tidak ada waktu. Tetapi ibunya itu kawin dengan anak asuhan itu, seperti pamannya maka perempuan itu boleh mengasuh.14 C. Pihak Pihak yang Berhak Mendapatkan Hak Hadhanah

Suatu rumah tangga, idealnya diramaikan oleh anak-anak sebagai buah hati kasih sepasang suami istri. Buah hati yang menyenangkan itu sudah menjadi kewajiban suam istri untuk memeliharanya dengan baik, diberikan pendidikan yang

      

13

Sayyid Sabiq, fiqih Sunnah 8, ( Bandung: PT ALMA’RIF , 1980 ), h. 179-184 14

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam suatu studi perbandinan dalam kalangan Ahlusunnah wal jamaah, dan Negara-negara Islam ( Jakarta: PT Bulan Bintang,1988),h.404

berkualitas baik yang menyangkut “ imtak “ maupun “ iptek “sehingga ada keseimbangan antara intelektual quotient dan spiritual quoitieun dalam diri si anak, dan memang begitulah seharusnya orang tua yang baik yang memiliki emosi kebapakan dan keibuan tumbuh pada jiwa yang kedua orang tua, dan dari hati mereka terpancar sumber sensitifitas, tak pelak dalam sesitifits tersebut terdapat pengaruh mulia dan hasil hasil positif dalam memelihara anak – anak dan kesejahteraan mereka dan bergerak menuju kehidupan tentang dan tentram dan masa depan yang mulia dan luhur15

Ilustrasi dari sebuah rumah tangga di atas dijelaskan oleh banyak pasangan dan itu merupakan perwujudan dari ketaatan kepada Allah SWT, sebagimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:

)

ﺮ ا

/

66

:

6

(

“ Hai orang – orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu penjaganya malaikat- malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendhuharkai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakannya apa yang diperintahkannya “. ( QS.Al-Tahrim:6 )

Ayat tersebut memerintahkan untuk semua kaum muslimin untuk mengasuh dan mendidik anak – anaknya. Di antara banyaknya rumah tangga yang bahagia, ada

      

15

Abdullah Nashih Ulwah, Pemeliharaan kesehatan jiwa anak ( terj ), penerjmh: Khulullah Ahmad Masjkur Hakim, ( Bandung : Remaja Rosdakarya,1996 ), Cet, ke- 3,h.7

saja rumah tangga yang mengalami krisis internal sehingga terkadang menimbulkan ketegangan. Ketegangan suami isteri biasanya timbul dari hal yang kecil seperti perasaan yang kurang dihargai bagi isteri oleh suaminya maupun sebaliknya. Hal kecil tersebut bila dibiarkan dan tidak coba dikomunikasikan, maka akan dapat menjadi “ bom waktu “ yang sewaktu- waktu dapat meledak sehingga akhirnya terjadi perceraian.

Perceraian baik yang disebabkab oleh kematian salah satu pihak atau talak, fasakh, atau li’an, akan menimbulkan akibat bagi ” penyelenggaraan anak “ terutama anak yang belum mumayyiz atau berumur 12 tahun. Mengenai pemeliharaan anak ini yang lebih berhak menurut mayoritas ulama adalah ibu dikarenakan kesempurnaan kasih sayangnya. Alasan mengapa ibu lebih didahulukan hak asuhnya dari pada ayah, atas dasar hadist Rasulullah SAW :

ْﻦ

ْﺪ

ﷲا

ْ

وا

ن

اْ

اة

ْ

ا

ﷲا

ن

اْ

ْﺪﺛو

ءﺎﻋو

ْ

نﺎآ

ﺬه

ﷲا

لﻮ ر لﺎ

ﻋﺰ ْ

ْنادراو

ﺎ ا

ناو

ءاﻮ

يﺮْ و

ءﺎ

ﻜْ

ْ ﺎ

ا

ْا

و

ْ ﻋ

ﷲا

)

ﺪ أ

ﺟﺮﺧا

(

“ Dari Abdillah Bin Amr, bahwasanya seorang perempuan berkata : ya Rasulullah sesunggunya anakku ini perutku tempatnya, susuku menjadi minumnya, pangkuanku menjadi tempat pemeliharaanya, dan sesungguhnya ayahnya telah mentalaknya saya dan ia hendak mengambilnya dari saya, maka Rasulullah berkata : engkaulah lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah .16

( dikeluarkan oleh Imam Ahmad )

      

16

Al- Imam Al-Hafidz Abi Sulaiman, Sunan Abu Daud, ( al-Qahiroh : Dar al-Harrin, 1988 M/ 1408 H) , juz 2, h,292

Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksana urusannya dan orang yang mendidiknya. Dan ibulah yang berkeawajiban melakukan hadhanah.17

Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur teretentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. Karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (shaleh) di kemudian hari. Disamping itu, harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu. Dan yang memiliki sayarat-syarat tersebut itu ialah wanita.18

Menurut Imam Malik dalam kitab Muwatha’ dari yahya bin sa’id berkata Qasim bin Muahammad bahwa Umar bin Khatab mempunyai seorang anak, namanya Ashim bin Umar, kemudian ia bercerai. Pada suatu waktu Umar pergi ke Quba dan menemui anaknya itu sedang bermain-main di dalam masjid. Umar mengambil anaknya itu dan meletakkannya di atas kudanya. Dalam pada itu datanglah nenek si anak, Umar berkata, “ anakku”. Wanita itu berkata pula, “ anakku”. Maka dibawalah perkara itu kepada khaliah Abu Bakar. Abu Bakar memberi keputusan bahwa anak Umar itu ikut Ibunya, dengan dasar yang dikemukakannya.19

Menurut ketentuan hukum perkawinan meskipun telah terjadi perceraian antara suami istri, mereka masih tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-

      

17

Sayid Sabiq, Fiquh Sunnah 8,,h.173 18

Abdurahman Ghazaly, Fiqih munaqahat,( Jakarta : Prenada Media,2003 ),h.177 19

anak mereka yang semata- mata ditunjukan bagi kepentingan si anak. Dalam pemeliharaan tersebut walau pada praktiknya dijalankan oleh salah seorang dari mereka, tidak berarti pihak lainnya terlepas dari tanggung jawab terhadap pemeliharaan tersebut. Persoalannya jika terjadi perceraian, siapakah yang berhak untuk memelihara si anak. 20

Apabila sepasang suami dan istri bercerai, baik dengan jalan thalak, ataupun jalan fasah atau lian, sedangkan mereka mempunyai anak yang masih kecil, maka yang lebbih berhak mengasuh anak mereka ialah istri, yaitu ibu anak itu. Alasannya ialah bahwa pernah terjadi suatu peristiwa di zaman Rasulullah, seoarang perempuan datan pada Rasulullah: “ ya Rasulullah, anakku ini adalah dari kandunganku, pangkuanku merupakan tempatnya berlindung dan ari susuku ia mendapat minuman. Bapaknya telah menceraikan daku dan ia hendak mengambil anak ini dari padaku.” Rasulullah pun menjawab: “ engkau lebih berhak terhadap anak ini selama engkau belum kawin lagi.”21

Tampaknya teks-teks suci dalam hal pemeliharaan anak , menetapkan untuk pemeliharaan anak pada pihak ibu selama si anak belum balig dan belum menikah dengan lelaki lain. Alasanya bisa dilihat pada pernyataan Abu Bakar Siddiq, “ ibu lebih cendrung (sabar) kepada anak, lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun, lebih baik dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya. Maka jelaslah yang

      

20

Aminur Nuruddin, Azhari Akmal Taligan, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi kritis perkembangan hukum islam dari fiqih.UU No 1/ 1974 sampai KHI ( Jakarta: Prenada Media,2006 ),h.296

21

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam suatu studi perbandinan dalam kalangan Ahlusunnah wal jamaah, dan Negara-negara Islam,h.400

berhak merawat anak adalah dari pihak istri. Alasannya seperti telah diungkap dalam pernyataan Abu Bakar Siddiq di atas.

Masdar F. Mas’udi menyimpulkan sebagai berikut : pertama, sebagai ibu ikatan lahiir batin dan kasih sayang dengan anak cendrung selalu melebihi kasih sayang sang ayah. kedua, derita keterpisahan seorang ibu dengan anaknya akan terasa lebih berat dibanding derita keterpisahan dengan seorang ayah. ketiga, sentuhan tangan keibuan pertumbuhan dimiliki oleh ibu akan lebih menjamin pertumbuhan mentalitas anak secara lebih sehat.22

Senada dengan penjelasan Masdar, menurut Muhammad Baqir Al-Habsyi, sebab-sebab ibu lebih berhak adalah, karena ibu lebih memiliki kemampuan untuk mendidik dan memperhatikan keperluan anak dalam usianaya yang masih amat muda itu, dan juga lebih sabar dan teliti dari pada ayahnya. Di samping itu, ibu memiliki waktu yang lebih panjang untuk melaksanakan tugasnya tersebut di banding seorang ayah yang memiliki banyak kesibukan.23

Para ahli fiqih kemudian memperhatikan bahwa kerabat ibu lebih didahulukan dari pada keayah dalam menangani masalah hadhanah, dan urutannya sebagai berikut ini: jika ada suatu halangan yang mencegahnya untuk didahulukann, mislanya karena

salah satu syaratnya tidak terepenuhi, mak berpindahlah ke tangan ibu dari ibu (nenek) dan terus ke atas. Jika ternyata ada satu halangan, maka berpindahlah ke

      

22

Masdar Farid Mas’udi, Hak-Hak Reproduksi Perempuan : Dialog Fikih Pemberdayaan,

( Bandung : Mizan.1997 ),h. 151-152 23

Muhammad Baqir, Al-Habsyi, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an dan Sunnah dab Pendapat Ulama ( Bandung : Mizan, 2002 ) ,h. 237

tangan ayah, kemudian saudara perempuannya sekandung, lalu saudara perempuannya seibu , kemudian saudara perempuan seayah. Setelah itu, kemenakan perempuannya sekandung, lalu kemenakannya perempan seibu, kemudian saudara perempuan ibu yang sekandung, lalu saudara perempuan yang seibu, lalu saudara perempuan ibu yang seayah.24

Kemudian kemenekan perempuan ibu yang seayah, anak perempuan ke saudara laki-lakinya yang sekandung, lalu anak perempuan saudara laki-lakinya yang seibu, lalu anak perempuan saudara laki-lakinya yang seayah. Setelah itu kemudian bibi dari ibu sekandung lalu bibi dari ibu yang seibu, lalu bibi dari dari ibu yang seayah, lalu bibinya ibu, lalu bibinya ayah, kemudian bibinya ibu dari ayah ibu, lalu bibinya ayah dari ayahnya ayah.25

Apabila seorang ibu uzur atau sang ibu telah meninggal dunia, maka berpindah hak mengasuh itu kepada anggota keluarga lain, menurut Mazhab Hanafi hak asuh itu berpindah dari ibu kepada :

1. Ibu dari ibu (nenek) 2. Ibu dari bapak

3. Saudara perempuan seibu sebapak (kandung) 4. Saudar perempuan seibu

5. Saudara perempuan sebapak

6. Anak perempuan dari saudara perempuan seibu sebapak

      

24

Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih munakahat II, ( Bandung : CV Pustaka Setia, 1999 ),h. 184

25

7. Anak perempuan dari saudara perempuan seibu 8. Bibi (saudara perempuan ibu)

9. Bibi (saudara perempuan bapak)

Adapun menurut pandangan dari kalangan mzhab Maliki, urutan perpindahan itu sesudah ibu.

1. Ibu dari ibu (nenek) 2. Bibi kandung 3. Bibi seibui

4. Bibi ibu (saudara perempuan nenek)

5. Bibi ibu (saudar perempuan Bapak dari Ibu) 6. Bibi Bapak (saudara perempuan kakek) 7. Ibu dari ibu (ibu nenek)

8. Ibu dari Bapak (nenek)

Menurut mazhab Hanbali, urutan hak mengasuh itu sesudah ibu 1. Ibu dari ibu (nenek)

2. Ibu dari ibunya ibu (ibu nenek) 3. Bapak

4. Ibu dari bapak (nenek) 5. Kakek

6. Ibu kakek

7. Saudara perempuan seibu bapak 8. Saudara perempuan seibu

9. Saudara perempuan sebapak

10. Bibi kandung (saudara perempuan dari ibu) 11. Bibi seibu, dan seterusnya26

Menurut mazhab Syafi’ie, orang yang paling utama untuk mengasuh anak adalah dengan urutan sebagai berikut:

1. Ibu yang belum menikah dengan laki-laki lain 2. Ibu dari ibu, dan seterusnya ke atas

3. Bapak

4. Ibu dari bapak (nenek) 5. Saudara yang perempuan 6. Tante (bibi)

7. Anak perempuan

8. Anak perempuan dari saudara laki-laki 9. Saudara perempuan dari bapak.27 D. Kewajiban Biaya Pemeliharaan Anak

Seorang ibu yang mengasuh anaknya atau orang lain berhak mendapatkan atau menerima ongkos atau upah jasa yang sudah diberikan dalam mengasuh anak itu apabila perempuan itu sudah tidak menjadi istri bapak dari anak yang diasuhnya itu, atau sudah tidak dalam iddah raj’inya lagi. Upahnya diambil dari sebagian harta anak

      

26

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam suatu studi perbandingan dalam kalangan Ahlusunnah wal jamaah, dan Negara-negara Islam ,h.403

27

Slamet Abidin, Aminuddin, FIqih Munaqahat 2, ( Bandung : CV Pustaka Setia, 1999 ),h. 186

itu sendiri kalau dia mempunyai harta (seperti sejumlah kekayaan yang dihadiahkan orang). Kalau anak itu tidak mempunyai harta, maka upah tersebut menjadi kewajiban bapaknya memberi nafkah kepada anak itu.28

Ibu memang berhak mendapatkan upah dari mengasuh anaknya namun ibu tidak berhak mendapatkan biaya asuhan seperti upah menyusukan anaknya selama dia berstatus istri atau sedang dalam masa iddah. Karena pada masa itu dia masih mendapat belanja dari suami, sebagaimana firman Allah :

⌧ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ☺ ☺

)

ةﺮ ا

/

2

:

233

(

.“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas

      

28

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam suatu studi perbandingan dalam kalangan Ahlusunnah wal jamaah, dan Negara-negara Islam ,h.408

keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” ( QS Al-Baqarah : 233 )

Ayah wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah ia juga wajib membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapan jika sekiranya si ibu tidak punya rumah sendiri sebagai tempat mengasuh anak kecilnya.29 Ia juga wajib membayar gaji pembantu rumah tangga atau menyediakan pembantu tersebut jika si ibu membutuhkannya, dan ayah memiliki kemampuan untuk itu. Hal ini bukan termasuk dalam bagian nafkah khusus bagi anak kecil, seprti : makan, minum, tempat tidur, obat-obatan, dan keperluan lain yang pokok yang sangat dibutuhkannya. Tetapi gaji ini hanya wajib dikeluarkannya saat ibu pengasuh menangani asuhannya. Dan gaji ini menjadi hutang yang ditanggung oleh ayah serta baru bisa lepas dari tanggungan ini kalau dilunasi atau dibebaskan.30

Jika di antara kerabat anak kecil ada orang yang pandia mengasuhnya dan melakukannya dengan suka rela, sedangkan ibunya sendiri tidak mau kecuali kalau dibayar, maka jika ayahnya mampu, dia boleh paksa untuk membayar upah kepada ibunya tersebut dan ia tidak boleh menyerahkan kepada kerabatnya perempuan yang mau mengasuhnya dengan suka rela, bahkan si anak kecil harus tetap pada ibunya.

Sebab asuhan ibunya lebih baik untuknya apabila ayahnya mampu membayar untuk upah ibunya. Tetapi kalau ayahnya tidak mampu, ia boleh menyerahkan anak kecil itu kepada kerabatnya yan perempuan untuk mengasuhnya dengan suka rela,

      

29

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, h,.186 30

dengan syarat perempuan ini dari kalangan kerabat si kecil dan pandai mengasuhnya. Hal ini berlaku apabila nafkah itu wajib ditanggung oleh ayah. Adapun apabila si kecil itu sendiri mempunyai harta untuk membayar nafkahnya, maka anak kecil inilah yang membayar kepada pengasuh suak relaanya. Di samping itu untuk

menjaga hartanya juga karena ada salah seorang kerabatnya yang menjaga dan mengasuhnya.31

Jika ayah tidak mampu, si anak kecil sendiri juga tidak memiliki harta, sedang ibunya tidak mampu unutuk mengasuhnya kecuali kalau bayar, dan tidak seorang kerabat pun yang mau mengasuhnya dengan suka rela maka ibu dapat dipaksa untuk mengasuhnya, sedangkan upah (bayarannya) menjadi hutang yang wajib dibayar oleh ayah, dan bisa gugur kalau telah dibayar atau dibebaskan.32

Di dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 156 point D dan F akibat putusnya suatu ikatan perkawinan karena peceraian ialah:

• Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)

• Pengadilan dapat pula dengan menngingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya yang tidak turut padanya.33

      

31

Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih Munakahat, ( Bandung : CV Pustaka Setia, 1999 ),h. 183 32

Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih Munakahat, h.183 33

Menurut mazhab Maliiki dan Imamiyah wanita pengasuh tidak berhak atas upah pengasuhan yang diberikannya, akan tetapi Imamiyah menegaskan bahwa sang ibu berhak atas upah kalau anak yang disusui itu mempunyai harta, maka orang yang menyusuinya diberi upah yang diambil dari hartanya, upah itu menjadi tanggung jawab ayahnya bila ayahnya mampu34.

Menurut mazhab Hanafi, pengasuh wajib memperoleh upah ketika sudah tidak ada lagi ikatan perkawinan ibu dan Bapak si anak, dan tidak pula dalam masa iddah dalam talak raj’i, demikian pula halnya bila ibunya berada dalam keadaan iddah dari talak bain atau fasakh nikah yang masih berhak atas nafkah dari ayah si anak. Upah bagi orang yang mengasuh wajib diambilkan dari harta si anak bila dia mempunyai harta, dan bila tida, upah itu menjadi tanggungan orang yang berkewajiban memberi nafkah kepadanya35.

Dokumen terkait