proposal skripsi :
Judul : Kewajiban Pembiayaan Hadhanah yang Masih di Bawah Umur Akibat
Perceraian ( studi kritis terhadap pasal 105 point c dan pasal 149
point d kompilasi hukum islam ) Penyusun : Aziz Angga Riana
NIM : 106044101392
Konsentrasi : Peradilan Agama
Telah diuji dalam seminar Proposal Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Ahwal Al Syakhsiyah pada hari Selasa tanggal 12
Jakarta, 12,januari, 2010
Disahkan Oleh Tim Penguji Seminar Proposal Skripsi :
Ketua : Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA (..……….) NIP: 150 169 102
Sekertaris : Kamarusdiana, Sag, MH (………)
NIP: 150 285 972
Penguji I : Dr.H.A.Juani syukri Lc.MAg (…….……….) NIP : 150 256 969
Penguji II : Drs.H.A. Basiq Djalil, SH, MA (…...………….………..) NIP : 150 169 102
Catatan :
setelah revisi proposal sesuai dengan rekomendasi penguji, anda dapatmengajukan
dosen pembimbing ke ketua program Studi Ahwal Al Syakhsiyah dengan membawa
proposal serta bukti lembar pengesahan ini.
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang mempunyai kecendrungan untuk hidup bersama. Kehidupan manusia yang ingin bersama, melakukan kontak dengan manusia yang lainnya tidak dapat dibatasi karena sudah menjadi kodrat manusia, sebagai makhluk sosial. Tidak jarang dari mereka menjalin suatu ikatan lahir batin yang cukup kuat di antara manusia, yakni dengan jalan perkawinan.
Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di langit dan yang ada di bumi berpasangan. Maka di antara salah satu rahmat dari Allah menciptakan kamu semua, laki-laki dan perempuan, dari jenis yang satu sehingga timbullah rasa kasih sayang, cinta, dan senang agar sarana-sarana keterikatan tetap terpalihara dan proses berketurunan pun berkesinambungan.1
Manusia sesuai dengan kodrat alam, dimana-mana dan pada zaman apapun pasti melangsungkan hidup bersama, hidup berkelompok sekurang-kurangnya kehidupan bersama ini terdiri dari dua orang. Di dalam perkembarngan hidup, manusia tak dapat seorang pun yang mampu hidup menyendiri, yang terpisah dari kelompok manusia yang lainnya, terkecuali dalam keadaan terpaksa itupun hanya dalam sementara waktu, dan oleh karena itu sifatnya yang suka bergaul satu sama
1
Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta : Gema Insani,2000),h.759.jilid 3.
lain, maka dari itu manusia disebut dengan makhluk sosial.2 Oleh karena manusia akan selalu berusaha untuk mewujudkan bentuk ke hidupan bersama dalam masyarakat. Keinginan untuk selalu berkomunikasi merupakan hukum agama yang tersirat, karena manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk selalu hidup berdampingan satu dengan yang lainnya dan saling menolong tanpa membeda-bedakan masalah ras, suku, dan bangsa.3
Allah juga menjadikan manusia itu sebagai makhluk hidup yang selalu menjaga kehormatan dan kemuliaan martabatnya. Oleh karena itu agar bentuk kehidupan bersama antara seorang pria dan wanita terjaga baik kehormatan dan kemuliaan, maka diaturlah dalam suatu ikatan perjanjian yang suci dan kokoh untuk membentuk suatu keluarga yang kokoh dan kekal. Masyarakat lebih mengenal perjanjian tersebut dengan istilah perkawinan yang mempunyai fungsi –fungsi sosial seperti regenerasi keturunan, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Keturunan merupakan salah satu bagian yang sangat penting di dalam tujuan sebuah perkawinan, karena keturunan dapat membuat perkawinan menjadi lebih harmonis.4
Menurut Undang- Undang No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita dengan tujuan membentuk
2
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , (Jakarta : Balai Pustaka,2002),h. 29
3
Sayyid Qutub, Tassir FI zhilalil Qur’an, ( Jakarta : Gema Insani, 2000), h.171
4
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, ( Jakarta : CV . Pedoman Ilmu jaya, 1993),cet ke – 1,h.52
keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan yang Maha Esa.5 Selain hukuk positif yang mengatur tentang perkawiinan, hukum islam juga menjelaskan tentang bagaimana mengatur kehidupan berkeluarga yang baik sebab islam adalah “ Rahmatal Lilalamin “ rahmat bagi semesta alam baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Ada yang menyatakan bahwa perkawinan itu telah menjadi sunnah para rasul sejak dahulu dan hendaklah diikuti pula oleh generasi-generasi yang akan datang kemudian. 6
Keluarga merupakan bagian dari institusi sosial yang terkecil dalam
masyarakat. Satu sisi dapat dipahami sebagian dari proses sosial, namun di sisi lain juga dapat dipahami sebagi cara membangun masyarakat yang ramah nilai, manfaat dan arti kehidupan yang lebih luas. Untuk menghantarkan yang demikian, keluarga mesti memiliki seperangkat aturan yang dapat menumbuhkan kesadaran yang tinggi diantara anggota (keluarga) terhadap hak dan kewajibannya masing – masing.7 Menurut agama Islam hak dan kewajiban suami istri tercermin dalam kehidupan sehari-hari antara keduanya. Pergaulan tersebut berupa pergaulan yang ma’ruf, dan saling menjaga rahasia masing-masing. Membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Melalui rumah tangga yang islami, diharapkan akan terbentuk komunitas kecil
5
Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama ,
( Jakarta : PT Internasa , 1991), cet . ke-1,h. 187
6
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, ( Jakarta: Bulan Bintang , 1993), Cet, ke – 3,h.9
7
masyarakat islami. Keluarga adalah satuan terkecil dari masyarakat. Bila setiap keluarga dibina dan dididik dengan baik, sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, maka pada akhirnya akan terbentuk masyarakat yang islami pula.8
Tujuan diadakannya perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga yang
sakinah, mawaddah, warahmah.9 Proses menuju keluarga yang sakinah tentu tidak bisa dianggap sepele, sebagaimana Nabi munahhad SAW tidak pernah menyepelekannya, oleh karena itu kita harus memahami terlebih dahulu tentang tujuan perkawinan tersebut sebelum kita melaksanakan dari pada perkawinan.10
Namun, tidaklah dapat dipungkiri bahwa untuk mempertahankan suatu
mahligai perkawinan yang sesuai dengan tujuan perkawinan dan ketentuan pergaulan suami istri seperti yang diharapkan oleh agama Islam itu tidaklah mudah. Hal itu karena manusia dalah makkhluk yang tak luput dari kesalahan, khilap, dan dosa. Begitu pula suami istri, tidak ada suami istri yang hidup dalam masa indah yang tentram terus menerus tanpa adanya rintangan dan hambatan sebab kehidupan itu laksana berlayar yang penuh dengan gelombang, oleh sebab itu seharusnya pasangan suami istri harus pintar-pintar menjaga hubungannya agar tidak kandas di tengah jalan. Namun jika mata air cinta dan kasih sayang sudah kering dan tidak lagi memancarkan airnya, sehingga hati sudah tidak lagi memperdulikan satu sama
8
Hasbi Indra, Potret Wanita Shalihah, ( Jakarta : Penamadani, 2004 ),h. 61
9
Zaituah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan ,h. 275
10
Abdullah Gymnastiar, Aa Gym dan Fenomena Darrut tauhid, ( Bandung : PT Mizan ,2002),h.210
lainnya, maka yang akan terjadi adalah percekcokan yang terus menerus dan tidak menutup kemungkinan berakhir dengan perceraian.
Suatu gugatan perceraian, bisa mengundang berbagai macam permasalahan. Di samping gugatan cerai itu sendiri , muncul pula masalah-masalah lain sebagai akibat dari dikabulkannya gugatan cerai tersebut, seperti masalah pembagian harta bersama, dan bilamana mempunyai keturunan timbul pula permasalahan tentang siapa yang lebih berhak untuk melakukan hadhanah (pemeliharaan) terhadap anak.11
Hadhanah atau (pemeliharaan) terhadap anak, juga mengandung arti
tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut berkelanjutan sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri. Proses pemeliharaan anak dan pendidikannya akan dapat berjalan dengan baik, jika kedua orang tua saling bekerja sama dan saling membantu. Tentu saja ini dapat dilakukan dengan baik jika keluarga tersebut benar-benar keluarga yang sakinah dan mawaddah.
Permasalahannya seberapa efektifkah pasal 105 point c jo pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam di dalam memenuhi kebutuhan biaya hadhanah anak yang masih di bawah umur akibat perceraian, khususnya jika ayah tidak mampu sama
11
sekali ataupun tidak bertanggung jawab sedikitpun. Di sini penulis akan mencoba menganalisis pasal 105 point c dan pasal 156 point d yang berbunyi :
pasal 105 yang berbunyi : dalam hal terjadinya perceraian : a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah ibunya, b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya, c) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.12 Dan juga hal yang sama di dalam kompilasi Hukum Islam pasal 156 point d yang berbunyi “semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus dirinnya sendiri (21 tahun).”13
Pasal ini memang sangat jelas, akan tetapi belum tentu sempurna. Dengan lahirnya pasal ini menjadi suatu jaminan hak-hak khususnya bagi anak yang masih di bawah umur ketika kedua orang tuanya bercerai. Letak masalahnya ketika sang ayah tidak bertanggung jawab sama sekali ataupun tidak mampu sama sekali di dalam pembiayaan hadhanah tersebut menjadi suatu problem. Karena tujuan dilahirkannya pasal ini, yaitu guna untuk menjamin hak-hak anak, di dalam pasal 105 dan 156 Kompilasi Hukum Islam jelas- jelas tidak mengakomodir ketika sang ayah tidak bertanggung jawab sama sekali ataupun tidak mampu sama sekali. Tentunya hak – hak yang nantinya akan diperoleh oleh anak akan tidak ada.
12
Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam,( CV. Nuansa Aulia , 2008) ,h. 33
13
Berangkat dari paradigma di atas penulis berfikir hal ini perlu dikritisi. Karena di zaman sekarang terutama di kota metropolitan terdapat banyak faktor penyebab permasalahan khususnya di dalam pembiayaan anak, macam problematika sosial yang tentunya berujung pada permasalahan kewajiban pemeliharaan anak pasca perceraian. Sesuai dengan wacana di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai persoalan ini dalam bentuk penelitian dengan judul : KEWAJIBAN PEMBIAYAAN HADHANAH ANAK YANG MASIH DI
BAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN (studi kritis terhadap pasal 105 point c jo Pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Jika ditelusuri masalah ini yang berkaitan dengan hadhanah, sesungguhnya banyak sekali hal-hal yang mempunyai relevansi pada masalah tersebut. Oleh karena itu, untuk mempermudah dan memperjelas pokok bahasan, maka penulis membatasi
pada pokok-pokok pembahasan kewajiban pembiayaan hadhanah yang masih di
bawah umur akibat perceraian yang kemudian penulis mengkritisi terhadap Kompilasi Hukum Islam pasal 105 point c dan pasal 156 point d.
2. Perumusan Masalah
buat, maka penulis menentukan masalah pokok yaitu, seberapa efektifkah pasal 105 point c jo pasal 156 point d di dalam memenuhi kebutuhan biaya hadhanah anak yang masih di bawah umur akibat perceraian.
1. Bagaimana latar belakang timbulnya pasal pasal 105 point c dan pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam?
2. Bagaimana Langkah seharusnya yang diambil Peradilan Agama
apabila sang ayah tidak mampu ataupun tidak bertanggung jawab di dalam masalah pembiayaan hadhanah ?
3. Mengapa pasal pasal 105 point c dan pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam tidak mengakomodir ketika sang ayah tidak mampu ataupun tidak bertanggung jawab di dalam hal pembiayaan hadhanah
anak ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
dhanah
Adapun tujuan penulis dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui lebih dalam mengenai keefektifitasan pasal 105 point c
dan pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam
2. Mengetahui tentang latar belakang timbulnya pasal 105 point c dan pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam
3. Untuk mengetahui kewajiban hadhanah dan Langkah apa yang
4. Untuk mengkritisi Mengapa pasal pasal 105 point c dan pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam tidak mengakomodir ketika sang ayah tidak mampu ataupun tidak bertanggung jawab di dalam pembiayaan hadhanah
Adapun manfaat penelitian ini adalah
1. Bagi kalangan akademisi dan masyarakat umum, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan suatu kontribusi besar keilmuan bagi yang berminat untuk mengkaji
2. Bagi masyarakat, agar mereka memahami dinamika perkembangan hukum Islam di Indonesia terutama sekitar kewajiban hadhanah. D. Studi kajian terdahulu
penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul proposal, diantaranya adalah sebagai berikut : Firman Sulaiman skripsinya yang berjudul “ hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz akibat perceraian " yang ditulis pada tahun 2005. Di sini ia menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memperoleh hak hadhanah yang ditinjau hanya dari Kompilasi Hukum Islam saja.
Hal serupa juga dilakukan oleh Usi Sanusi, yang berjudul “ putusnya
menyelesaikan ketegangan rumah tangga yang tidak bisa lagi didamaikan dan pemeliharaan anak pasca perceraian serta pembiyaan hidup anak setelah perceraian. Yang terakhir skripsi yang ditulis oleh Siti jamilah pada tahun 2005 dengan
judul “Pandangan hukum Islam dan Hukum Perdata tentang Hak Pemeliharaan
Anak akibat perceraian suami istri “ di dini saudari Siti Jamilah menjelaskan, tentang perkawinan merupakan suatu wujud kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah, akan tetapi timbul suatu kewajiban antara anggota keluarga antara suami istri dan anak. Kewajiban pemeliharaan anak yang ada di bawah umur menurut hukum Islam adalah hak seorang Ibu sedangkan hak pemeliharaan anak menurut hukum perdata adalah hak kedua orang tua, baiksudah cerai ataupun bahkan masih melangsungkan perkawinan kecuali kekuasaan mereka telah dicabut, mereka masih wajib memberikan tunjangan untuk pemeliharaan dan pendidikannya.
Setelah melakukan analisa dari ketiga skripsi di atas, penulis rasa bahwa pembahasannya berbeda dengan judul penulis.“ kewajiban pembiayaan Hadhanah Anak yang masih di bawah umur akibat perceraian (studi kritis terhadap pasal 105 point c dan pasal 156 ponit d kompilasi hukum Islam) “. Di sini penulis mencoba memaparkan masalah mengenai hadhanah dan mengkritisi pasal 105 point c dan pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam mengenai kewajiban pembiayaan pemeliharaan anak pasca perceraian.
E. Metode penelitian dan penulisan
Metode deskriptif analitis yaitu metode yang memaparkan masalah-masalah sebagaimana adanya disertai argumentasi-argumentasi, dan metode analitis eksplanatoris yaitu metode yang berdasarkan rasional dan logis secara induktif dan deduktif terhadap sasaran pemikiran.
Metode bahan rujukan ataupun sumber-sumber yang digunakan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadist, literatur fiqih klasik dan literatur fiqih modern, dan sumber lainnya yang tidak terbatas sehingga skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan Penjelasan mengenai metode penulisan yang digunakakan penulis sebagai berikut:
1. PENGUMPULAN DATA
ANALISIS DATA
Induktif, metode a
analisa dengan cara membawa data-data yang bersifat umum ke dalam
ndingkannya untuk mencapai kmungkinan mengkom
Yaitu mencari berbagai literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan untuk selanjutnya dikaji guna mencari landasan pemikiran dalam upaya pemecahan masalah.
2.
a. nalisis yang berpijak pada data yang bersifat
khusus, yang kemudian dikongklusikan dalam suatu generalisasi berdasarkan hubungan dan permasalahan.
b. Deduktif , metode
aneka pembahasan yang bersifat khusus.
c. komperatif, menjabarkan dan memaparkan beberapa pendapat
d. Deskriptif, umumnya digunakan dalam menguraikan sejarah, mengutip atau menjelaskan bunyi suatu perundang-undangan Historis, yaitu dalam
3.
tekhnik penulisan s
penulisan yang diterbitkan
Syarief Hidayattullah Jakarta 004 dengan sedikit
at
Kutipan yang berasal d
Istilah-istilah asing yan
F.
memberikan gambaran y dalam
Bab pertama, berisikan pendahulua ungkapkan
latar belakang tentang penulisan skripsi ini, merumuskan identifikasi permasalahan,
e. mengemukakan sejarah disertai kajian dan
sebab keterkaitannya. Tehnik penulisan
Mengenai kripsi ini, penulis mengacu kepada pedoman
skripsi, tesis, disertasi UIN Syarief Hidayattullah Jakarta,
oleh UIN press Cet ke-2 tahun 2
pengecualian yaitu:
1. Terjemahan Al-Qur’an dan hadist diketik satu spasi sekalipun kurang dari enam baris, dengan diberi tanda petik di awal dan di akhir kaliam
2. ari bahasa asing (kecuali Qu’ran dan
Al-Hadist) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang disempurnakan dengan terjemah bebas
3. g terdapat dalam teks serta catatan di cetak
dengan cetakan miring Sistematika Penyusunan
Untuk ang jelas, karya ilmiah ini disusun dan dibagi
empat bab, dengan susunan sebagai berikut:
menun
dipergunakan sebagai kerangka menuju
an umum tentang penger
ak.
n bagian akhir dari seluruh rangkaian tulisan karya i
jukan maksud dan tujuan dari penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran dan mengungkapkan metodologi yang
uraian yang sistematis dan terakhir sistematika penulisan.
Bab kedua, berisikan tentang tinjauan umum pengertian dan tujuan perkawinan, putusnya perkawinan, penyebab putusnya perkawinan, serta akibat dari putusnya perkawinan.
Bab ketiga, yaitu, menguraiakan dan menjelaskan tuju
tian pemeliharaan anak, syarat-syarat dalam pemeliharaan anak, pihak-pihak yang berhak mendapatkan hak pemeliharaan anak, kewajiban biaya pemeliharaan anak, serta masa pemeliharaan an
Bab keempat, berisikan efektifitas pasal 105 point c jo pasal 156 point d Kompilai Hukum Islam yang dilengkapi dengan latar belakang serta analisis pasal 105 point c jo pasal 156 point d Kompilai Hukum Islam.
Bab kelima, yaitu merupaka
lmiah ini. Penulis akan menarik kesimpulan dari keseluruhan pembahasan untuk kemudian penulis memberi saran-saran yang konstruktif. Dan saran yang dapat mendukung kelengkapan skripsi ini.
1. Pengertian perceraian
Thalak, dari kata “ ithlaq “, artinya “ melepaskan atau meninggalkan. “ dalam
istilah agama, thalak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan
perkawinan.1 Menurut Imam Nawawi dalam bukunya Tahdzib, thalak adalah tindakan orang terkuasai terhadap suami yang terjadi tanpa sebab kemudian memutus
nikah.2 Al- Mahalli di dalam kitabnya syarah Minhazal-thalibin yang dalam artinya:
“Melepaskan hubungan pernikahan dengan mengunakan lafazh talak dan
sejenisnya”.3
Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan
yang sangat diutamakan dalam Islam. Akad nikah diadakan untuk selamanya dan
seterusnya agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai
tempat berlindung, menikmati curahan kasih sayang dan dapat memelihara
anak-anaknya sehinggar mereka tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa ikatan antara suami istri adalah ikatan yang paling suci dan paling kokoh,
sehingga tidak ada suatu dalil yang jelas menunjukan tentang kesuciannya yang
begitu agung selain Allah senndiri yang menamakan ikatan perjanjian antara suami
1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah , ( Bandung: PT Al- Ma’rif, 1980 ),h. 7 2
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahab sayyed Hawwas, Fiqih munakahat ( Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2009 ), H, 255
3
Amir Syarifuddin, Garis – Garis besar Fiqih, ( Jakarta : PRENADA MEDIA, 2003 ),h. 125-126
istri dengan kalimat “ perjanjian yang kokoh “.4 Jika ikatan antara suami istri demikian kokoh kuatnya, maka tidak sepatutnya dirusak dan disepelekan. Setiap
usaha untuk menyepelekan hubungan perkawinan dan melemahkannya adalah
dibenci oleh Islam, karena ia merusak kebaikan dan menghilangkan kemashlahatan
antara suami dan istri.
2. Dasar Perceraian
Adapun dasar diperbolehkannya cerai adalah
1. Surat Al- Baqarah ayat 229
ق
ا
نﺎ ﺮ
كﺎ ْ ﺈ
فوﺮْ
ْوأ
ﺮْ
نﺎ ْ ﺈ
)
ةﺮ ا
/
2
:
229
(
Thalak (yang dapat di ruju), dua kali. Setelah itu boleh diruju lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS: Al-Baqarah: 229 )
ﺎ
ﺎﻬ أ
ا
اذإ
ْ
ءﺎ ا
ﻦهﻮ
ﻦﻬ ﺪ
اﻮ ْ أو
ةﺪ ْا
ﻮ او
ﷲ
ْ ﻜ ر
ﻻ
ﻦهﻮﺟﺮْﺨ
ن
ﻦﻬ ﻮ
ﺎ و
ﻦْﺟﺮْﺨ
ﺎ إ
نأ
ﻦ ْﺄ
ﺷ
ﺔ
)
ق
ا
/
65
:
1
(
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya dan hitunglah waktu iddah itu dan bertaqwalah kepada Allah tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan keluar kecuali kalau mengerjakan perbutan yang keji yang terang (Qs: At-Thalak: 1)
Seandainya tahap perceraian ini telah terjadi, Al-Qur’an memerintahkan para
suami agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang dan
meninggalkan isterinya terkatung- terkatung.
4
Dan kamu tidak bisa berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung ( yang kamu cintai )sehingga kamu membiarkan yang lain terkatung-katung . dan jika kamu mengadakan perbaiakan dan memelihara diri dari kecuranagan maka sungguh Allah Maha Pengampun Maha Penyayang
( QS: An-Nissa: 129)
2. Hadist Nabi Muhammad Saw :
ل ْا
ﻐْا
و
ْ ﻋ
ﷲا
ﻰ
ﷲا
لﻮ ر
لﺎ
ﺎ ﻬْﻋ
ﷲا
ر
ﺮ ﻋ
ﻦْا
ْﻦﻋ
ﺰﻋ
ﷲا
ﻰ ا
ق
ا
ﺟو
.
دواد
ﻮ ا
اور
“ Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda : sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian “ (H. R. Abu Daud)5
B. Rukun dan Macam- macam perceraian
1. Rukun Perceraian
Rukun perceraian atau thalaq ada tiga, yaitu:
a. Suami yang menthalaq; dengan syarat baligh, berakal dan kehendak
sendiri.
b. Isteri yang dithalaq
c. Ucapan yang digunakan untuk menthalaq6.
Ucapan thalak dapat dilakukan dengan lisan secara langsung, dapat dengan
tulisan yang dapat dipahami, dengan perantaraan orang lain; bahkan dapat pula
5
Abi Daud Sulaiman bin As’atsajstani, Sunan Abu Daud, ( Beirut-Libanon : Darul fikr,
١٩٩٤), Juz 1, h. 500 6
dengan isyarat orang bisu yang dapat dipahami oleh orang yang melihat dan
mendengarnya7.Pembicaraan rukun pertama yaitu perceraian (suami yang
menceraikan). Perceraian merupakan tindakan kehendak yang berpengaruh dalam
hukum syara’. Oleh karena itu, perceraian dapat diterima apabila memenuhi beberapa
persyaratan, yaitu sebagaimana berikut.8
a. Mukallaf
Ulama sepakat bahwa suami yang diperbolehkan menceraikan isterinya dan
thalaknya diterima apabila ia berakal, baligh ( minimal sampai usia belasan tahun ),
dan berdasarkan pilihan sendiri. Maksud mukallaf ialah berakal dan baligh. Tidak sah
thalak seorang suami yang masih kecil, gila, mabuk dan tidur, baik thalak
menggunakan kalimat yang tegas ataupun bergantung. Seperti perkataan anak kecil;
“Jika aku baligh maka isteriku aku tercerai”. Perceraian tidak terjadi sekalipun anak
kecil menjadi baligh dan yang gila sudah sadar. Jika thalak mereka yang sama sekali
tidak syah. Adapun thalaknya orang bodoh dan orang sakit sah sekalipun bercanda.
Sedangkan thalaknya orang minum obat atau dipaksa minum khamar tidak sah
hukumnya.
Ringkasnya, sesungguhnya thalak diterima manakala dilakukan oleh ahli
thalak yaitu berakal, baligh, dan pilihan sendiri. Ada selain mukallaf yang
dikecualikan, yaitu seorang pemabuk dengan sengaja, seperti seorang peminum
7
Amir Syarifuddin, Garis garis Besar FIQIH, ( Jakarta : PRENADA MEDIA, 2003 ),h. 128-129
8
Khamar padahal ia memabukkan, maka thalaknya terjadi sekalipun ia bukan mukallaf sebagaimana disebutkan di dalam berbagai kitab Ushul. Hukum ini dimaksudkan
untuk memberatkan hukuman, karena kesalahannya dengan sengaja menghilangkan
akal maka ia dijadikan seperti berakal. Hukum yang digunakan adalah hukum wadh’i, yakni penetapan hukum yang berkaitan dengan sebab.9
b. Pilihan sendiri
Tidak syah thalak orang yang dipaksa tanpa didasarka kebenaran. Nama itu
deberikan kepada orang yang terpaksa itu tertutup dari segala pintu, tidak dapat
keluar melainkan harus thalak. Adapun jika pemaksaan itu didasarkan kepada
kebenaran seperti kondisi keharusan thalak yang dipaksakan oleh hakim, hukumnya
sah karena paksaan ini dibenarkan. Selanjutnya, akan dijelaskan lebih terperinci10.
2. Macam-macam perceraian
1. Dari segi jumlahnya ada 3 macam, yaitu,:
a. Thalaq satu, yaitu thalaq yang dijatuhkan pertama kali dengan satu
thalaq.
b. Thalaq dua, yaitu thalaq yang dijatuhkan untuk yang kedua
kalinya, atau pertama kalinya dengan dua thalak sekaligus.
9
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat ( Khitbah, Nikah, dan thalak ) h. 261
10
c. Thalak tiga, yaitu thalak yang dijatuhkan untuk yang ketiga kalinya
atau untuk pertama kalinya tetapi tiga thalak sekaligus11.
2. Ditinjau dari dibolehkannya nikah lagi atau terjadinya nikah ada 2
yaitu:
a. Thalaq raja’i ialah thalak yang suaminya boleh ruju’ kembali, pada
bekas isterinya dengan tidak perlu melakukan perkawinan
(akad) baru, asal isterinya masih di dalam iddahnya seperti thalak
satu dan dua.
b. Talak Bai’in ialah talak yang suami tidak boleh ruju’ kembali
kepada bekas isteri, melainkan mesti dengan akad baru.
Talak bai’in ini terbagi lagi menjadi dua :
• Ba’in sughra (kecil) yaitu, thalaq yang tidak boleh dirujuk
lagi, tetapi mantan isteri itu boleh dinikahi kembali dengan
aqad maskwin baru, tanpa harus nikah dulu dengan orang
setelah abis iddahnya dari
lain.
• Ba’in kubra (besar) yaitu, thalaq tiga yang bekas suaminya
boleh menikah kembali kepada bekas isterinya setelah kawin
dengan orang lain dan sudah cerai
perceraian suami yang kedua itu12.
11
Mohammad Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap pedoman hukum ibadah lengkap dengan berbagai permasalahannya, ( Surabaya : TERBIT TERANG, 2005 ),h. 502
12
Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an :
⌧
⌧
⌧
☺
☺
⌧
☺
)
ةﺮ ا
/
2
:
230
(
kepada kaum yang (mau) Mengetahui. (QS:
Al-engan sengaja
memerlukan adanya niat, artinya jika ucapan thalaq itu dengan
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya
Baqarah : 230 )
3. Ditinjau dari jelas tidaknya ucapan thalaq ada dua, yaitu:
a. Sharih, yaitu ucapan yang tegas maksudnya untuk menthalaq.
Thalaj itu jatuh jika seorang telah mengucapkan d
walaupun hatinya tidak berani menthalaq isterinya.
b. Kinayah, artinya ucapan yang tidak jelas maksudnya, mungkin
niat, maka sah tahalaknya dan jika tidak disertakan niat maka
thalaqnya belum jatuh.13
4. Ditinjau dari segi jatuhnya :
a. Thalaq sunni, thalaq yang dijatuhkan ketika isteri telah suci dari
haidnya dan belum dicampuri.
b. Thalaq bid’iy yaitu thalak yang dijatuhkan ketika isteri sedang haid
atau nifas, atau dalam keadaan suci tapi sudah dicampurinya
kembali14
5. Ditinjau dari segi cara penyampaiannya :
a. Dengan ucapan, secara langsung dengan ucapannya.
b. Dengan tulisan, disampaikan lewat tulisan. Thalaq dengan surat
yang ditulis suami sendiri dan dibaca hukumnya sama dengan
lisan, tetapi jika surat itu tidak dibaca sebelum dikirim isterinya,
maka sama dengan kinayah.
c. Dengan utusan, thalaq yang melalui perantara orang lain15.
d. Dengan isyarat, isyarat bagi orang bisu merupakan alat
komunikasi. Ia menempati lafal dalam menjatuhhkan thalaq. Jika
ia memberi syarat yang menunjukan pada maksudnya yaitu
menghentikan hubungan pasangan suami isteri dan semua orang
13
Mohammad Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap pedoman hukum ibadah lengkap dengan berbagai permasalahannya,h. 504
14
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih munakahat 2 ,h.41
15
paham, maka talak itu sharih (jelas). Akan tetapi jika syarat itu tidak dapat dipahami melainkan orang cerdas saja, ada dua
pendapat; adakalanya sharih dan adakalanya kinayah16.
C. Hukum dan Hikmah Thalak
1. Hukum thalak
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum tahalak, pendapat yang lebih
benar adalah makruh jika tidak ada hajat yang menyebabkannya, karena thalak berarti
kufur terhadap nikmat Allah. Pernikahan itu adalah suatu nikmat dari bebrapa nikmat
Allah maha mebalikkan segala hati.17 Hidup dalam hubungan perkawinan itu
merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam.
Sebaliknya melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi sunnah Allah
dan Rasul tersebut dan menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang
sakinah mawaddah warahmah. Meskipun demikian bila hubungan pernikahan itu
tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi
kehancuran dan kemudharatan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya
perceraian. Dengan demikian pada dasarnya perceraian atau thalak itu adalah sesuatu
yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqih disebut makruh.
Hukum makruh in dapat dilihat dari adanya usaha pencegahan terjadinya talak
itu dengn berbagai pentahapan. Hal ini terlihata dalam surat al-Nissa’ ayat 34 :
16
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqih Munaqahat ( Khitbah, Nikah, dan thalak ) h. 271
17
I ☺ ☺
⌧
☺
⌧
☺ ⌧
⌧ ⌧
)
ءﺎ ا
/
4
:
34
(
Kaum laki laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki)telah menefkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh ialah yang taat kepada Allah dan memelihara diri. Wanita – wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS: An-Nisaa : 34)
Walaupun hukum asal dari talak itu adalah makruh, namun melihat keadaan
tertentu dalam situasi tertentu maka hukumnya thalak itu adalah sebagai berikut:
a. Nadab atau sunnah ; yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat
dilanjutkan kembali dan seandainya dipertahankan juga kemudharatannya
akan lebih banyak timbul.
b. Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan
tidak ada pihak – pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan
manfaatnya juga ada.
c. Wajib atau mesti dilakukan, yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh
isterinya ssendiri sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak bergaul dengan
isterinya. Tindakannya itu memudaratkan isterinya.18
d. Haram, yaitu jika talak itu akan mendatangkan kemadharatan atau kerugian
bagi suami isteri.19
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tentang hukum thalak secara
rinci. Menurut mereka hukum thalak terkadang wajib dan haram dan sunnah. Al-
Bujairimi Al-khatib berkata “ Hukum thalak itu ada lima, yaitu adakalanya wajib,
seperti thalaknya orang yang bersumpah ila’ ( bersumpah tidak mencampuri isteri ) atau dua utusan dari keluarga suami dan isteri, adakalanya haram seperti thalak
bid’ah, dan adakalanya sunnah seperti thalaknya orang yang lemah, tidak mampu
melaksanakan hak – hak pernikahan. Demikianpun sunnah, thalaknya suami yang
tidak ada kecendrungan hati kepada isteri, karena perintah salah satu dari dua orang
tua yang bukan memberatkan, karena buruk ahklaknya dan ia tidak tahan untuk hidup
bersamanya, ini tidak mutlak karena pada umumnya wanita seperti itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa thalak adakalanya wajib, seperti
thalaknya dua utusan keluarga yang ingin menyelesaikan perpecahan pasangan suami
isteri karena thalak inilah satu solusi perpecahan tersebut. Demikian juga thalak orang
yang bersumpah ila’ (tidak menyampuri isteri) setelah menunggu masa iddah empat bulan sebagaimana firman Allah SWT :
18
Amir Syarifuddin, (Garis garis Besar FIQIH,) h,.126-127 19
Mohammad Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap pedoman hukum ibadah lengkap dengan berbagai permasalahannya,h. 502
⌦ ⌧
⌧
) .
ةﺮ ا
/
2
:
226
(
Kepada orang – orang yang mengila’ isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) thalak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Menegtahui. ( QS: Al-Baqarah : 226 )
Pembicaraan tentang beberapa hikmah diisyaratkannya talak sebagaimana
yang telah kami bicarakan di atas, bahwa Islam memberikan hak thalak ini hanya
bagi suami karena ia lebih mendorong keabadian pernikahan, ia korbankan harta
benda yang dibutuhan untuk mencapai jalan ini, bahkan lebih besar dari itu ketika ia
thalak dan meghendaki menikah dengan wanita yang lain.20
2. Hikmah thalak
Meskipun thalak itu dibenci terjadinya dalam suatu iakatan rumah tangga,
namun sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaab tertentu
boleh dilakukan. Hikmah dibolehkannya thalak itu adalah karena dinamika kehidupan
runah tangga kadang – kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan
tujuan pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan seperti ini kalau dilanjutkan
juga, rumah tangga akan menimbulkan mudharat kepada dua belah pihak dan orang
sekitarnya. Dalam rangka menolak terjadinya mudharat yang lebih jauh, lebih baik
20
ditempuh perceraian dalam bentuk thalak tersebut. Dengan demikian thalak dalam
Islam hanyalah untuk suatu tujuan mashlahat.21
D. Sebab dan Akibat Putusnya perkawinan
1. Sebab putusnya perkawinan
Ada beberapa hal yang menyebakan putusnya perkawinan di antaranya
adalah;
Menurut mazhab Hanafi adalah;
a. Pengucapan cerai oleh suami
b. Ila’
c. Khulu
d. Li’an
e. Perpisahan karena cacad kelamin (aib jinsi) pada pihak suami
f. Murtad
Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali adalah;
a. pengucapan thalak oleh suami
b. khulu
c. pernyataan thalak oleh hakim karena suami menjatuhkan talak disebabkan
ila’22
Menurut mazhab Maliki adalah;
21
Amir Syarifuddin. Garis garis Besar FIQIH ,h. 127-128
22
a. Diucapkan oleh suami
b. Khulu
c. Cacadnya salah seorang dari suami atau isteri
d. Berbagai kesulitan suami untuk memberikan nafkah kepada isterinya
e. Adanya hal yang membahayakan (dhihar) karena Ila’
f. Tiadanay kufu 23
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 116 mengenai hal perceraian dapat terjadi
karena alasan-alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagiannya yang sukar disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman ataupun penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain ;
e. Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
23
Abdurahman I Doi, Perkawinan dalam Syari’at Islam ( terjemahnya ), cet ke-1,h.4
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga ;
g. Suami melanggar taklik talak;
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.24
Dari penyebab putusnya perkawinan di atas kiranya istilah – istilah tersebut
perlu dijelaskan yaitu;
Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh isteri untuk menebus
dirinya dari ikatan suaminya25
Ila’ ialah sumpah seorang suami dengan nama Allah untuk tidak
menggauli isterinya26.
Li’an ialah perkataan suami sebagai berikut “ saya persaksikan kepada
Allah bahwa saya benar terhadap tuduhan isteri saya bahwa dia telah
berjinah”. Kalau kalau ada anak yang diyakini bukan anaknya, hendaklah
diterangkan pula bahwa anak itu bukan anaknya. Perkataan tersebut
24
Abdurahman , Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta : CV AKADEMIKA PRESSINDO, 2010),h.141
25
Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab ( terjemah ), penerjemah: Masykur AG et all, ( Jakarta: Penerbit Lentera, 2000),Cet,ke-5,h.456
26
Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab ( terjemah ), penerjemah: Masykur AG et all, Cet,ke-5,h.498
hendaklah diulanginya empat kali,kemudian ditambahkan lagi dengan
kalimat: “ atasku la’nat Allah sekiranya aku dusta dalam tuduhanku” 27.
Penyebab putusnya perkawinan sebagaimana disebutkan diatas antara mazhab
tidak banyak perbedaan. Secara lebih singkat setidaknya ada empat kemungkinan
yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu timbulnya keinginan
untuk putus/ terputusnya perkawinan, yaitu:
a. Terjadinya Nusyuz dari pihak isteri
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap
suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan,
dan hal-hal yang lain yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga28.
Mengenai hal ini Allah berfirman :
☺ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ⌧ ⌧
.
)
ءﺎ ا
/
4
:
34
(
“Kaum laki laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki)telah menefkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh ialah yang taat kepada Allah dan memelihara diri. Wanita –
27
Sulaiman Rasyid, fiqih Islam ( hukum fiqih lengkap ), ( Bandung: CV Sinar baru, 1986 ),h.382
28
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.(QS: Al-Nissa:34)
Petunjuk dalam Al-Qur’an tersebut merupakan langkah mengantisipasi
terjadinya perceraian, dengan pemberian nasehat, memisahkan tempat tidur isteri dari
tempat tidur suami apabila nasehat gagal, terakhir apabila langkah kedua gagal adalah
memberinya pelajaran dan memukulnya, namun hal ini merupakan langkah terakhir
setelah didahului mendidiknya dengan member pengertian-pengertian.
a. Terjadinya Nsuyuz dari pihak suami
Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari pihak isteri dapat juga
datang dari pihak suami29, hal ini diterangkan dalam Al-Qur’an :
⌧ ☺ ☺ ☯ ⌧ ☯ ⌧ ⌧ ☺ ☺
)
ءﺎ ا
/
4
:
128
(
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir”. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh), maka sesungguhnya Allah adalah maha menetahui apa yang kamu kerjakan. ( QS Al-Nisa : 128 )
b. Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan isteri yang disebut
syiqoq30. Dalam hal ini Allah memberi petunjuk :
29
☺ ☺ ☯ ☺ ⌧ ☺
) .
ءﺎ ا
/
4
:
35
(
“Dan jika kamu khawatir ada pertengkaran antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscahaya Allah member taufik kepada suami isteri itu, sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana “. ( QS. Al- Nissa: 35 )
c. Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau fahisyah, yang
menimbulkan saling tuduh-menuduh antara keduanya 31. Cara penyelesaianya
adalah membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an dengan
mengucap sumpah. Li’an sesungguhnya telah memasuki “ gerbang” putusnya
perkawinan dan bahkan untuk selamanya karena akibat li’an adalah terjadinya
talak ba’in kubra.
Selanjutnya penyebab putusnya perkawinan menurut peraturan tertulis di
Indonesia yaitu Undang -Undang No 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
lebih rincinya adalah :
Menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 38 bahwa
penyebab putusnya perkawinan adalah :
a. Salah satu pihak meninggal dunia b. Karena perceraian
c. Atas putusan pengadilan32.
30
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,,h.272 31
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,,h. 273
32
Dari jenis penyebab putusnya perkaiwinan di atas , perceraian merupakan
fenomena yang paling banyak terjadi di masyarakat, baik itu cerai yang dijatuhkan
oleh suami terhadap isteri yang disebut dengan cerai talak dan cerai yang diminta
oleh sang isteri agar suaminya menjatuhkan talak kepadanya yang disebut dengan
cerai gugat. Putusnya perkawinan karena kematian salah satu pihak dengan
sendirinyua perkawinan itu terputus. Sedangkan putusnya perkawinan atas keputusan
pengadilan dapat terjadi karena pembatalan suatu perkawinan.
Lebih lanjut perceraian di atur dalam pasal 39 yang memuat ketentuan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan33.hal ini dilakukan
setelah upaya damai mengalami kebuntuan. Menurut hemat penulis peraturan ini
sangat tepat guna menghilangkan kesewenang-wenangan dalam menjatuhkan talak
oleh suami. Peraturan ini dilaksanakan demi kepastian hukum yang benar-benar
didasarkan pada pemeriksaan kekuasaan yang berwenang, aturan ini juga pantas
diterapkan dalam masyarakat yang berbudaya dan moderen34.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, mengenai penyebab putusnya perkawinan
sama dengan yang tertuang dalam Undang-Undang perkawinan. Dalam pasal 113
Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perkawinan dapat diputus karena:
a. Salah satu dari mereka meninggal dunia b. Karena perceraian
33
Departement Agama R.I, Himpunan peraturan per-Undang-undangan dalam lingkungan peradilan Agama,, ( Jakarta: , 2001 )h. 141
34
c. Atas putusnya pengadilan35.
Mengenai alasan alasan perceraian sama dengan Undang – udang perkawinan, hanya
saja ada penambahan yaitu suami melanggar taklik talak dan peralihan agama atau
murtad yang menyababkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumahtangga, hal ini
dijelaskan pada pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.
2. Akibat Putusnya Perkawinan
Putusnya sebuah ikatan perkawinan akan menimbulkan akibat hukum baik
terhadap manusia pelaku perkawinan yaitu suami isteri maupun yang dihasilkan dari
perkawinan itu seperti anak dan harta bersama.
Diantara akibat dari putusnya perkawinan dalam Undang – undang perkawinan No 1
tahun 1974, dalam pasal 41 bahwa :
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya36.
35
Departement Agama R.I, Himpunan peraturan per-Undang-undangan dalam lingkungan peradilan Agama, ( Jakarta: , 2001 )h.140.
36
Departement Agama R.I, Himpunan peraturan per-Undang-undangan dalam lingkungan peradilan Agama, ( Jakarta: , 2001 ),h.140.-141
Ketentuan-ketentuan akibat perkawinan karena perceraian dalam pasal 41
Undang-Undang perkawinan tersebut di atas terlihat lebih bersifat global karena tidak
merinci secara detail jenis perinciannya. Namun hal ini diperjelas dengan hadirnya
Kompilasi Hukum Islam yang merupakan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991. Akibat
putusnya perkawinan, Kompilasi Hukum Islam merincinya dalam empat kategori
yaitu akibat cerai talak, cerai gugat, li’an, dan kematian suami, secara rinci kompilasi
hukum Islam menjelaskan beberapa pasal.
Pasal 149, dalam pasal ini dijelaskan akibat perceraian karena talak, bunyi redaksi
sebagai berikut:
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isteri, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isterinya tersebut qabla dukhul.
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhkan talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-dukhul.
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak yang belummencapai umur 21 tahun
Berikutnya dalam pasal 156 dijelaskan tentang akibat perceraian karena cerai
gugat, yaitu cerai yang dijatuhkan oleh isteri agar suami menjatuhkan talak
kepadanya. Bunyi pasal tersebut ialah:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak untuk mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
1. Wanita – wanita dalam garis lurus keatas dari ibu 2. Ayah
5. Wanita – wanita kerabat sedarah menuurut garis samping dari ayah
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah anak dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabatnya yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurusi diri sendiri (21 tahun)
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan keputusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d).
f. Pengadilan dapat pula mengingat kemampuan ayah menetapkan jumlah biaya unutuk pemeliharaan anak dan pendidikannya yang tidak turut padanya.
Mengenai harta bersama dijelaskan dalam pasal 157, bahwa harta bersama
dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96, 97. Adapun bunyi
pasal 96 adalah :
1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama
2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar Pengadilan Agama.
Pasal 97 menjelaskan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing
berhak seperdua dari harta bersama sepanjang dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Dalam pasal 158 disebutkan tentang mut’ah bahwa mut’ah wajib diberikan oleh
bekas suaminya dengan syarat:
Selanjutnya pasal 159 menjelaskan bahwa mut’ah sunnah diberikan oleh bekas
suaminya tanpa syarat tersebut pada pasal 158, dan besarnya mut’ah disesuaikan
dengan kepatuhan dan kemampuan suami sebagaimana disebutkan dalam pasal 160.
Dalam pasal 161 dijelaskan mengenai akibat perceraian dengan jalan khulu, pasal ini
menjelaskan bahwa “ perceraian dengan jalan khulu mengurangi jumlah talak dan
tidak dapat rujuk “.akibat perceraian karena li’an dijelaskan dalam pasal 162, bahwa “
bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang
dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban
memberi nafkah37
37
Departement Agama R.I, Himpunan peraturan per-Undang-undangan dalam lingkungan peradilan Agama, ( Jakarta: , 2001 )h.353-356
BAB III
KONSEP DASAR HADHANAH
A. Pengertian Hadhanah
Hadhanah berasal dari kata “ Hidhan “, artinya lambung. Seperti kata
ﻦﻀ
ﻀْ
ﺮْ ا
Burung itu mengapit telur yang ada di bawah sayapnya. Begitu pulaseorang perempuan (ibu) yang mengempit anaknya. 1Secara etimoloogis, hadhanah
berarti di samping atau berada di bawah ketiak2. Hadhanah basal dari kata
yang memiliki arti mengasuh atau memeluk anak3.
Dari segi etimologi, hadhanah memiliki definisi yang variatif walaupun
subtansinya sama definisi ini diberikan oleh beberapa ulama fiqih antara lain :
Menurut Muhammad Ibnu Ismail al-San’ani, hadhanah adalah memelihara
anak yang belum mampu mengurusi dirinya sendiri dan menjaganya dari sesuatu
yang dapat membinasakan atau membahayakan. Seperti di dalam ungkapan : 4
ﺮْﻀ
ْوأ
ﻜ ْﻬ
ﺎ ﻋ
ﺎ وو
ﺎ ْﺮ و
ﺮْ ﺄ
ْ ﻻ
ْﻦ
ﻆْ
Kemudian menurut Imam Taqiyuddin, bahwa hadhanah itu :
ﺎ وو
ْ
ﺎ
ﺎ ْﺮ و
ﺮْ ﺄ
ْ
ﻻو
ﺰ ﻻ
ْﻦ
ﻆْ
مﺎ ا
ﻦﻋ
ةرﺎ ﻋ
ﺎ ﻋ
ْدْﺆ
.
1
Slamet Abidin, Aminuddin, fiqih munakahat II, ( Bandung: CV pustaka setia, 1999 ), h. 171 2
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta: Ichtia Baru Van Hoepe, 1999 ) Jil. 2,h. 415
3
Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, ( Jakarta : Hidakarya Agung, 1990 ), cet.ke- 8,h.104
4 Al- Imam Muhammad Ibnu Ismail Sana’ani, Subulussalam, juz 3, h,227
“ ibarat menjalakan untuk menjaga orang (anak) yang belum mumayyiz atau tidak berakal dan mengerjakannya akan kebaikan serta menjaganya dari sesuatu yang sangat membahayakannya “5
para ahli fiqih mendefinisikan “ hadhanah” ialah: “ melakukan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil lai-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar,
tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang
menjadikan kebaikannya, mendidik dan menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan
merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri
menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.”6
Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah, mendidik dan merawat anak wajib. Akan tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah hadahanah ini mejadi hak
orang tua ( terutama ibu ) atau hak anak. Ulama mazhab hanafi dan maliki misalnya
berpendapat bahwa hak hadhanah itu menjadi hak ibu sehingga ia dapat saja
mengugurkan haknya. Tetapi menurut jumhur ulama, hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah Zuhaily, hak hadhanah
adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang
didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak.7
Hadhanah yang dimaksud dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua
untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan
ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi
5
Imam Taqiyuddin, Kifayatul al- Akhyar, 151
6 Sayyid Sabiq, fiqih sunnah 8, ( Bandung: PT ALMA’ARIF, 1980 ), h.173 7
kebutuhan sosial anak.8pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung
jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta
mencukupi kebutuhan hidup dari seoarang anak oleh orang tua. Selanjutnya tanggung
jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah
anak tersebut bersifat terus-menerus sampai anak tersebut mencapai batas umur yang
legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.9
Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan adalah kewajiban orang tua
untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak tersebut
menjadi manusia ang mempunyai kemampuan dedikasi hidup yang dibekali dengan
kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan
dikembangkannya di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai landasan hidup dan
penghidupannya setelah ia lepas dari tanggung jawab orang tua.10
Setidaknya ada delapan nilai-nilai pendidikan yang harus diajarkan orang tua
kepada anaknya seperti berikut ini:
1. Agar senantiasa mensyukuri nikmat Allah SWT
2. Tidak mensyariatkan Allah dengan sesuatu yang lain
3. Berbuat baik kepada orang tua, sebagai bukti kesyukuran anak
4. Mempergauli orang tua secara baik – baik ( ma’ruf )
8
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: Rajawali pers, 1998), h.235 9
M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, ( Medan: Zahir Traiding, 1975),h.204 10
5. Setiap perbuatan betapapun kecilnya akan mendapatkan balasan dari Allah
SWT
6. Menaati perintah Allah SWT. Seperti shalat, amal ma’ruf dan nahi munkar, serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan
7. Tidak sombong dan angkuh
8. Sederhana dalam bersikap dan bertutur kata11.
Dengan demikian, mengasuh artinya memelihara dan mendidik. Maksudnya
adalah mendidik dan mengasuh anak-anak yang belum mumayyiz atau belum dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk, belum pandai menggunakan pakaian
yang bersuci sendiri dan sebagainya. Anak yang masih kecil memiliki hak hadhanah.
Karena itu, ibunya diharuskan melakukannya jika mereka membutuhkannya dan tidak
ada orang lain yang bisa melakukannya. Hal ini dimaksudkan agar hak anak atas
pemeliharaan dan pendidikannya tersia-siakan. Jika di hadhanahnya dapat ditangani
orang lain, misalnya bibi perempuan dan ia rela melakukannya, sedangkan ibunya
tidak mau, maka hak ibu untuk mengasuh menjadi gugur dengan sebab bibi
perempuan yang mengasuhnyapun mempunyai hak hadhanah ( mengasuh ).12 B. Syarat-syarat dalam Hadhanah
Seorang hadhinah ( ibu asuh ) yang menangani dan menyelenggarakan
kepantingan anak kecil yang di asuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan.
Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat
11
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: Rajawali pers, 1998), h. 240-244 12
tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan
hadhanahnya.
Syarat- syaratnya itu adalah :
1. Berakal sehat, jadi bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya
tidak boleh menangani hadhanah. Karena mereka ini tidak dapat
menangani mengurusi dirinya sendiri. Sebab itu ia tidak boleh diserahi
mengurusi orang lain. Sebab orang yang tidak punya apa-apa tentulah ia
tidak dapat memberi apa-apa kepada orang lain.
2. Dewasa, sebab anak kecil sekalipun mumayyiz, tetapi ia tetap
membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya,
oleh karena itu dia tidak boleh mengurusi urusan orang lain.
3. Mampu mendidik, karena itu tidak boleh menjadi pengasuh orang buta
atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya
untuk mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut, yang
bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang mengabaiakan urusan
rumahnnya sehingga merugikan anak kecil yang diurusnya, atau bukan
orang yang tinggal bersama orang yang sakit menular atau bersama
orang yang suka marah kepada anak-anak, sekalipun kerabat anak kecil
itu sendiri, sehingga akibat kemarahannya itu tidak bisa memperhatikan
kepentingan si anak secara sempurna dan menciptakan suasana yang
4. Amanah dan berbudi, sebab orang yang curang aman bagi anak kecil
dan tidak dapat dipercaya akan dapat menunaikan keawjibannya dengan
baik. Bahkan nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti
orang yang curang ini.
5. Islam, anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan
muslim. Sebab hadhanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan
Allah tidak membolehkan orang mukmin di bawah perwalian orang
kafir.
6. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan
urusan-urusan dengan tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk
mengasuh anak kecil.13
7. Wanita yang mengasuh itu tidak bersuamikan dengan seoarng laki-laki
yang bukam mahram dari anak yang diasuh itu karena ia sibuk
melayani keperluan suaminya sehingga untuk mengasuh anak itu sudah
hamper-hampir tidak ada waktu. Tetapi ibunya itu kawin dengan anak
asuhan itu, seperti pamannya maka perempuan itu boleh mengasuh.14
C. Pihak Pihak yang Berhak Mendapatkan Hak Hadhanah
Suatu rumah tangga, idealnya diramaikan oleh anak-anak sebagai buah hati
kasih sepasang suami istri. Buah hati yang menyenangkan itu sudah menjadi
kewajiban suam istri untuk memeliharanya dengan baik, diberikan pendidikan yang
13
Sayyid Sabiq, fiqih Sunnah 8, ( Bandung: PT ALMA’RIF , 1980 ), h. 179-184 14
berkualitas baik yang menyangkut “ imtak “ maupun “ iptek “sehingga ada
keseimbangan antara intelektual quotient dan spiritual quoitieun dalam diri si anak, dan memang begitulah seharusnya orang tua yang baik yang memiliki emosi
kebapakan dan keibuan tumbuh pada jiwa yang kedua orang tua, dan dari hati mereka
terpancar sumber sensitifitas, tak pelak dalam sesitifits tersebut terdapat pengaruh
mulia dan hasil hasil positif dalam memelihara anak – anak dan kesejahteraan mereka
dan bergerak menuju kehidupan tentang dan tentram dan masa depan yang mulia dan
luhur15
Ilustrasi dari sebuah rumah tangga di atas dijelaskan oleh banyak pasangan
dan itu merupakan perwujudan dari ketaatan kepada Allah SWT, sebagimana
ditegaskan dalam Al-Qur’an:
⌧
)
ﺮ ا
/
66
:
6
(
“ Hai orang – orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendhuharkai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakannya apa yang diperintahkannya “. ( QS.Al-Tahrim:6 )
Ayat tersebut memerintahkan untuk semua kaum muslimin untuk mengasuh
dan mendidik anak – anaknya. Di antara banyaknya rumah tangga yang bahagia, ada
15
Abdullah Nashih Ulwah, Pemeliharaan kesehatan jiwa anak ( terj ), penerjmh: Khulullah Ahmad Masjkur Hakim, ( Bandung : Remaja Rosdakarya,1996 ), Cet, ke- 3,h.7
saja rumah tangga yang mengalami krisis internal sehingga terkadang menimbulkan ketegangan. Ketegangan suami isteri biasanya timbul dari hal yang kecil seperti
perasaan yang kurang dihargai bagi isteri oleh suaminya maupun sebaliknya. Hal
kecil tersebut bila dibiarkan dan tidak coba dikomunikasikan, maka akan dapat
menjadi “ bom waktu “ yang sewaktu- waktu dapat meledak sehingga akhirnya
terjadi perceraian.
Perceraian baik yang disebabkab oleh kematian salah satu pihak atau talak,
fasakh, atau li’an, akan menimbulkan akibat bagi ” penyelenggaraan anak “ terutama
anak yang belum mumayyiz atau berumur 12 tahun. Mengenai pemeliharaan anak ini
yang lebih berhak menurut mayoritas ulama adalah ibu dikarenakan kesempurnaan
kasih sayangnya. Alasan mengapa ibu lebih didahulukan hak asuhnya dari pada ayah,
atas dasar hadist Rasulullah SAW :
ﻋ
ْﻦ
ﻋ
ْﺪ
ﷲا
ْ
ﻦ
ﻋ
ﺮ
وا
ن
اْ
ﺮ
اة
ﺎ
ْ
ا
ﷲا
ن
اْ
ْﺪﺛو
ءﺎﻋو
ْ
نﺎآ
ﺬه
ﷲا
لﻮ ر
لﺎ
ﻋﺰ ْ
ْنا
دراو
ﺎ ا
ناو
ءاﻮ
يﺮْ و
ءﺎ
ﻜْ
ْ ﺎ
ا
ْا
و
ْ ﻋ
ﷲا
)
ﺪ أ
ﺟﺮﺧا
(
“ Dari Abdillah Bin Amr, bahwasanya seorang perempuan berkata : ya Rasulullah sesunggunya anakku ini perutku tempatnya, susuku menjadi minumnya, pangkuanku menjadi tempat pemeliharaanya, dan sesungguhnya ayahnya telah mentalaknya saya dan ia hendak mengambilnya dari saya, maka Rasulullah berkata : engkaulah lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah .16
( dikeluarkan oleh Imam Ahmad )
16
Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia
membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksana urusannya dan orang yang
mendidiknya. Dan ibulah yang berkeawajiban melakukan hadhanah.17
Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur teretentu
memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti makan,
pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur.
Karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran,
dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (shaleh) di kemudian hari. Disamping
itu, harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu. Dan yang
memiliki sayarat-syarat tersebut itu ialah wanita.18
Menurut Imam Malik dalam kitab Muwatha’ dari yahya bin sa’id berkata
Qasim bin Muahammad bahwa Umar bin Khatab mempunyai seorang anak, namanya
Ashim bin Umar, kemudian ia bercerai. Pada suatu waktu Umar pergi ke Quba dan
menemui anaknya itu sedang bermain-main di dalam masjid. Umar mengambil
anaknya itu dan meletakkannya di atas kudanya. Dalam pada itu datanglah nenek si
anak, Umar berkata, “ anakku”. Wanita itu berkata pula, “ anakku”. Maka dibawalah
perkara itu kepada khaliah Abu Bakar. Abu Bakar memberi keputusan bahwa anak
Umar itu ikut Ibunya, dengan dasar yang dikemukakannya.19
Menurut ketentuan hukum perkawinan meskipun telah terjadi perceraian
antara suami istri, mereka masih tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-
17
Sayid Sabiq, Fiquh Sunnah 8,,h.173 18
Abdurahman Ghazaly, Fiqih munaqahat,( Jakarta : Prenada Media,2003 ),h.177 19
anak mereka yang semata- mata ditunjukan bagi kepentingan si anak. Dalam
pemeliharaan tersebut walau pada praktiknya dijalankan oleh salah seorang dari
mereka, tidak berarti pihak lainnya terlepas dari tanggung jawab terhadap
pemeliharaan tersebut. Persoalannya jika terjadi perceraian, siapakah yang berhak
untuk memelihara si anak. 20
Apabila sepasang suami dan istri bercerai, baik dengan jalan thalak, ataupun
jalan fasah atau lian, sedangkan mereka mempunyai anak yang masih kecil, maka
yang lebbih berhak mengasuh anak mereka ialah istri, yaitu ibu anak itu. Alasannya
ialah bahwa pernah terjadi suatu peristiwa di zaman Rasulullah, seoarang perempuan
datan pada Rasulullah: “ ya Rasulullah, anakku ini adalah dari kandunganku,
pangkuanku merupakan tempatnya berlindung dan ari susuku ia mendapat minuman.
Bapaknya telah menceraikan daku dan ia hendak mengambil anak ini dari padaku.”
Rasulullah pun menjawab: “ engkau lebih berhak terhadap anak ini selama engkau
belum kawin lagi.”21
Tampaknya teks-teks suci dalam hal pemeliharaan anak , menetapkan untuk
pemeliharaan anak pada pihak ibu selama si anak belum balig dan belum menikah
dengan lelaki lain. Alasanya bisa dilihat pada pernyataan Abu Bakar Siddiq, “ ibu
lebih cendrung (sabar) kepada anak, lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun,
lebih baik dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya. Maka jelaslah yang
20
Aminur Nuruddin, Azhari Akmal Taligan, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi kritis perkembangan hukum islam dari fiqih.UU No 1/ 1974 sampai KHI ( Jakarta: Prenada Media,2006 ),h.296
21
berhak merawat anak adalah dari pihak istri. Alasannya seperti telah diungkap dalam
pernyataan Abu Bakar Siddiq di atas.
Masdar F. Mas’udi menyimpulkan sebagai berikut : pertama, sebagai ibu
ikatan lahiir batin dan kasih sayang dengan anak cendrung selalu melebihi kasih
sayang sang ayah. kedua, derita keterpisahan seorang ibu dengan anaknya akan terasa
lebih berat dibanding derita keterpisahan dengan seorang ayah. ketiga, sentuhan
tangan keibuan pertumbuhan dimiliki oleh ibu akan lebih menjamin pertumbuhan
mentalitas anak secara lebih sehat.22
Senada dengan penjelasan Masdar, menurut Muhammad Baqir Al-Habsyi,
sebab-sebab ibu lebih berhak adalah, karena ibu lebih memiliki kemampuan untuk
mendidik dan memperhatikan keperluan anak dalam usianaya yang masih amat muda
itu, dan juga lebih sabar dan teliti dari pada ayahnya. Di samping itu, ibu memiliki
waktu yang lebih panjang untuk melaksanakan tugasnya tersebut di banding seorang
ayah yang memiliki banyak kesibukan.23
Para ahli fiqih kemudian memperhatikan bahwa kerabat ibu lebih didahulukan
dari pada keayah dalam menangani masalah hadhanah, dan urutannya sebagai berikut
ini: jika ada suatu halangan yang mencegahnya untuk didahulukann, mislanya karena
salah satu syaratnya tidak terepenuhi, mak berpindahlah ke tangan ibu dari ibu
(nenek) dan terus ke atas. Jika ternyata ada