• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDUKAN PEKERJA DALAM KEPAILITAN

D. Boedel Pailit

Harta kekayaan seseorang atau badan yang telah dinyatakan pailit dan dikuasai oleh Kurator ;

e. Kreditur, adalah :

Orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan;22

f. Debitor, adalah :

Orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannyadapat ditagih di muka pengadilan;23

g. Hak Tanggungan, adalah :

Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur - kreditur lain.24

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini, maka penelitian bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta di lapangan serta mengaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan dengan keadaan yang terjadi di lapangan.25

21UUK dan PKPU, Pasal 1 angka 1. 22

UUK dan PKPUPasal 1 angka 2.

23

UUK dan PKPUPasal 1 angka 3

24Undang – undang Hak Tanggungan, Pasal 1 angka 1.

Dalam penelitian ini akan dikaji dan dijelaskan serta dianalisa teori hukum yang bersifat umum, peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang berlaku dan berhubungan dengan hak-hak pekerja terhadap pengusaha baik perseorangan maupun perusahaan yang sudah dinyatakan pailit, kepailitan dan hak- hak kreditur terhadap agunan yang sudah diikat dengan Hak Tanggungan dalam hal perusahaan/pengusaha dinyatakan pailit.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian atas aturan perundang-undangan baik ditinjau dari sudut hirarki perundang-undangan (vertikal), maupun hubungan harmoni diantara perundang-undangan (horizontal).26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji memberikan pengertian tentang penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (data sekunder) yang mencakup penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.27

2. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan hukum-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, berupa peraturan perundang-undangan dan putusan hakim, antara lain :

1) Undang-Undang Dasar 1945 ;

26Fokky Fuad,Pemikiran Ulang Atas Metodologi Penelitian Hukum,

http://uai.ac.id/2011/04/13/pemikiran-ulang-atas-metodologi-penelitian-hukum diakses tgl.14 Januari 2012.

27Soerjono Soekamto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tunjauan

2) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

3) Undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ;

4) Undang-undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

5) Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah;

6) Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;

7) Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 18/PUU-VI/2008 tanggal 23 Oktober 2008;

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian dan jurnal ilmiah dari kalangan hukum yang terkait dengan masalah penelitian.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum pelengkap dari bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedi, majalah dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan permasalahan dalam tesis ini yang dilakukan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang disebutkan diatas.

Untuk mendukung data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan ini dilakukan wawancara dengan Kurator, Balai Harta Peninggalan, Departemen Tenaga Kerja dan Bank.

4. Analisis data

Seluruh data dan bahan hukum yang diperoleh, dianalisa secara kualitatif dengan mempelajari seluruh data dan bahan hukum dengan memberikan telaah yang berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan dibantu dengan teori yang dikuasai.28 Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.29

Berdasarkan hasil analisis tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

28

Mukti Ali et al, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, PT Pustaka Fajar, Yogyakarta, 2010, hal. 183.

29Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.

BAB II

KEDUDUKAN PEKERJA DALAM KEPAILITAN

A. Pengertian Kepailitan

Secara etimologi kepailitan adalah segala sesuatu yang menyangkut peristiwa pailit.Dalam Black’s Law Dictionary, pailit ataubankruptadalah :

“The state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due.The term includes a person against whom an involuntary petition has beenfilled, or who has filled a voluntary petition, or who has been adjudged abankrupt”30

Berdasarkan pengertian bankrupt yang terdapat dalam Black’s Law Dictionary diketahui bahwa pengertian pailit berkaitan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitor atas hutang – hutangnya yang sudah jatuh tempo yang diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya hutang meskipun telah ditagih dan ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan proses pengajuan ke pengadilan, baik atas permintaan debitor itu sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.31

Menurut Undang-undang nomor 37 UUK dan PKPU, Pasal 1 angka 1 bahwa:

30Henry Campbell Black,Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, St. Paul – Monessota,

USA, 1990.

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Dalam Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU tersebut ditegaskan bahwa kepailitan adalah sita umum, karenanya Undang- undang Kepailitan menyaratkan bahwa untuk mengajukan permohonan pailit harus memiliki dua atau lebih kreditur. Jadi apabila hanya ada satu kreditur maka tidak dapat dinyatakan pailit dan apabila mau dilakukan penyitaan terhadap harta debitormaka yang berlaku adalah sita individual.

Ketentuan Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU tersebut sejalan dengan Pasal1131 dan 1132 Kitab Undang – undang Hukum Perdata. Pasal 1131 menyebutkan bahwa : Segala kebendaan siberhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Pasal 1132 menyebutkan bahwa :

Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semuaorang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda - bendaitu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besarkecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para kredituritu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepailitan mempunyai unsur – unsur sebagai berikut :

1. Adanya sita atas semua kekayaan debitor;

3. Pengurusan dan pemberesan harta kekayaan yang disita tersebut dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas ;

B. Syarat- syarat Debitor Dapat Dinyatakan Pailit

Untuk dapat dinyatakan pailit, sesuai Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU debitor harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut :

1. Mempunyai dua atau lebih kreditur ;

2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih;

Syarat – syarat agar debitor dapat dinyatakan pailit tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Mempunyai dua atau lebih kreditur

Persyaratan dua atau lebih Kreditur initerkait dengan filosofi hukum kepailitan itu sendiri yaitu meletakkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor dan mengatur bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan debitor tersebut untuk membayar kewajiban debitor kepada semua krediturnya.

Pengertian kreditur dan debitor diatur dalam UUK dan PKPU, sebagai berikut:

Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa :

Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang- Undang yang dapatditagih di muka pengadilan.

Yang dimaksud dengan "Kreditur" dalam ayat ini adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatismaupun kreditur preferen.Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur preferen, mereka dapatmengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang merekamiliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.Bilamana terdapat sindikasi kreditur maka masing-masing Kreditur adalah Kreditur sebagaimanadimaksud dalam Pasal 1 angka 2.

Berdasarkan ketentuan tersebut dalam sindikasi kreditur, setiap kreditur dapat mengajukan permohonan pailit.Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa :

Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang- undang yang pelunasannyadapat ditagih di muka pengadilan.

2. Pengertian tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Menurut Prajoto, Pengertian “tidak membayar” harus diartikan :32 a. Menolak untuk membayar ;

b. Cidera janji (wan prestasi) ;

c. Keadaan tidak membayar tidak sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor tidak cukup untuk melunasi seluruh hutangnya ;

d. Tidak diharuskan bahwa debitor tidak memiliki kemampuan untuk membayar (onvermogen)dan memikul seluruh hutangnya ;

e. Istilah “tidak membayar” harus diartikan sebagai naar de letter, yaitu debitor pada saat diajukan permohonan pernyataan pailit telah sama sekali berhenti membayar hutangnya.

32Prajoto, RUU Kepailitan Ditinjau dari Aspek Perbankan dalam Sunarmi, Hukum

Sejalan dengan pendapat Prajoto tersebut, Ricardo Simanjuntak menyatakan bahwa yang dijadikan pertimbangan oleh Hakim pada Pengadilan Niaga untuk menyatakan seorang debitor pailit, tidak saja oleh karena ketidakmampuan debitoruntuk membayar hutang-hutangnya tetapi juga termasuk ketidakmauan debitor tersebut untuk melunasi hutang-hutangnya seperti yang sudah diperjanjikan.33

Jadi berdasarkan pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, debitor yang tidak membayar lunas sedikitnya salah satu hutangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat dinyatakan pailit tanpa memperhatikan apakah debitor tersebut tidak mampu membayar hutang atau tidak mau membayar hutang. Meskipun dalam penjelasan pasal 57 ayat (1) UUK dan PKPU disebutkan bahwa yang disebut dengan insolvensi adalah keadaan tidak mampu membayar, tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian “tidak mampu membayar” dimaksud. Dengan tidak disyaratkan bahwa untuk dapat dinyatakan pailit harus dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvent)maka tidak diwajibkan untuk melakukan insolvency testterhadap debitor yang akan dinyatakan pailit. Dalam hal ini terlihat bahwa UUK dan PKPU hanya melindungi kepentingan kreditur yang mengakibatkan kreditur dapat dengan mudah mengajukan permohonan pailit hanya dengan didasarkan pada hutang yang telah jatuh tempo dan dapat

33Ricardo Simanjuntak,Rancangan Perubahan Undang-undang Kepailitan Dalam Prespektif

Pengacara (Komentar Terhadap Perubahan Undang-undang Kepailitan) dalam Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi 2, PT Sodmedia, Jakarta, 2010, hal. 33

ditagih sehingga banyak perusahaan di Indonesia yang dinyatakan pailit secara hukum.34

Tidak adanya insolvency test dalam Hukum Kepailitan di Indonesia merupakan kelemahan sehingga debitor yang masih memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar hutang-hutangnya dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan karena tidak membayar hutang. 35Dalam praktek bisnis, keadaan berhenti membayar utang atau insolven merupakan hal yang biasa terjadi. Untuk menilai keadaan finansial atau tingkat solvabilitas seorang debitor atau suatu badan hukum (legal entity) ada beberapa pendekatan ilmu ekonomi yang lazim digunakan, yaitu :36

a. Insolven berdasarkanCash Flow Test

Cash flow testmerupakan pendekatan klasik yang digunakan oleh peradilan di negara Civil Law untuk menentukan keadaan insolven.37Pendekatan cash flow test menilai keadaan insolven dari ada atau tidaknya ketersediaan dana segar atau cash money yang dimiliki debitor untuk membayar hutang yang sudah jatuh tempo. Debitor yang berhenti membayar hutang dikarenakan

34Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Edisi 2, PT

Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 316 dan 326

35

Sunarmi,loc. cit, hal.33

36Elyta Ras Ginting, Hakekat Kepailitan dan Keadaan Insolven Menurut UU No.37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan PKPU, dalam Alumni FH USU, Menuju Paradigma Baru dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (Bunga Rampai Karya Tulis Alumni FH USU),Alumni FH USU, 2012, hal. 133 - 137

37J. Honsberger,The Failure to Pay One’s Debts Generally As They Become Due, American

Bankruptcy Law Journal, Vol. 54, 1980, hal. 153 – 154, dalam Elyta Ras Ginting,Hakekat Kepailitan dan Keadaan Insolven Menurut UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, dalam Alumni FH USU,Menuju Paradigma Baru dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (Bunga Rampai Karya Tulis Alumni FH USU),Alumni FH USU, 2012, hal. 135

ketiadaan uang tunai(cash) dinilai telah insolven.Cash flow test tidak mempertimbangkan keadaan lainnya, seperti aset non liquid yang dimiliki oleh debitor, seperti tanah, bangunan atau sumber dana dalam bentuk lain yang tidak dapat langsung diuangkan seperti good willperusahaan danroyalty dari hak kekayaan intelektual yang dimiliki oleh debitor. Berdasarkan hal tersebut keadaan insolven dikarenakan ketiadaan uang tunai yang tersedia untuk membayar hutang kerap disebut sebagai keadaan insolven secara temporer. Pada saat ini cash flow testuntuk menilai solvabilitas debitor sudah ditinggalkan karena dinilai tidak akurat menggambarkan keadaan finansial debitor untuk memenuhi kewajibannya membayar hutang.

b. Insolven berdasarkanbalance sheet test

Pendekatan balance sheet test atau disebut juga liquidation value berfokus pada perbandingan antara aset yang dimiliki debitor dengan besarnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitor, karenanya debitor yang tidak membayar hutang dianggap insolven jika seluruh kewajiban untuk membayar (termasuk membayar biaya likuidasi) lebih besar jumlahnya dibanding dengan seluruh asetnya. Dalam keadaan demikian debitor diperkirakan tidak akan dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar seluruh hutangnya yang sudah maupun yang belum jatuh tempo.

c. Insolven berdasarkangoing concern value

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAK) tahun 2001 merumuskan opini going concern merupakan opini yang dikeluarkan oleh auditor untuk

memastikan bahwa perusahaan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dengan demikian oponigoing concerndapat dijadikan acuan untuk mengukur tingkat solvabilitas suatu perusahaan karena opini going concern yang diberikan oleh akuntan publik mengindikasikan perusahaan masih dapat meneruskan kelangsungan usahanya di masa yang akan datang, paling tidak untuk setahun ke depan.

Menurut Revol dan Tamba, salah satu indikator yang umum digunakan oleh seorang auditor memberikan penilaian bahwa suatu perusahaan tidak lagi going concern adalah keadaan debt default yaitu debitor gagal memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang pokok beserta bunganya yang sudah jatuh tempo

Ketentuan mengenai insolven yang menjadi dasar dari pernyataan pailit oleh Undang-undang Kepailitan, adalah sebagai berikut :

a. Menurut Faillissements Verordening(Undang-undang tentang Kepailitan) yang berlaku di Indonesia berdasarkan Staatsblad 1905:217 juncto Staatblad No. 1906:348 yang mulai berlaku tanggal 1 November 1906, Pasal 1 adalah sebagai berikut :

Setiap pihak yang berhutang (debitor) yang berada dalam keadaan berhenti membayar hutang-hutangnya, dengan putusan hakim, baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berpiutang (krediturnya), dinyatakan dalam keadaan pailit.

Jadi debitor yang dapat diputus pailit adalah debitor yang berada dalam keadaan berhenti membayar hutang-hutangnya namun Undang-undang tidak memberi penjelasan lebih lanjut tentang keadaan berhenti membayar hutang- hutang dimaksud. Karena itu, dengan sendirinya ukuran atau kriteria debitor yang berhenti membayar hutang dimaksud diserahkan kepada doktrin dan hakim.38

b. Menurut Undang-undang nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, Pasal 1 angka (1):

Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.

Perubahan redaksi dari berhenti membayar menjadi tidak membayar terjadi karena pada masa krisis moneter di Indonesia yang mulai terjadi pada tahun 1997. Pada masa krisis moneter tersebut sesungguhnyadebitor di Indonesia berada dalam keadaan tidak mampu membayar hutang karena pada saat itu mereka kekurangan dana segar, tetapi asetdebitormasih lebih besar dibanding hutang. Apabila aset tersebut dijual maka hutang debitorakan lunas, namun permasalahannya pada waktu itu tidak ada orang yang mau

38

Rachmadi Usman,Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. 15

membeli aset tersebut karena perekonomian Indonesia mengalami krisis sehingga terjadi kesulitan keuangan.39

Adanya perubahan konsep “berhenti membayar hutang” yang disebutkan dalam Pasal 1 Faillissements Verordeningmenjadi “tidak membayar hutang” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 4 Undang- undang nomor 4 Tahun 1998disebabkan nilai asetdebitor yang masih tinggi dibanding hutangnya sehingga debitor tidak bisa dinyatakan pailit. Akhirnya konsep “berhenti membayar ” diubah menjadi “tidak membayar ”40

c. Menurut Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) :

Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yangtelah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik ataspermohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 merupakan penyempurnaan dari Undang-undang nomor 4 Tahun 1998 yaitu dengan penambahan kata “lunas” sehingga konsep hutang yang menjadi dasar untuk pernyataan pailit menjadi “tidak membayar lunas”. Adanya penambahan kata “lunas” ini dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan yang muncul dalam

39Sunarmi,loc. cit, hal. 28 40Sunarmi,loc. cit, hal. 28

praktek yaitu debitor yang membayar hutangnya tetapi tidak lunas maka debitor tersebut tidak dapat dipailitkan.41

Yang dimaksud dengan hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih terdapat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, yaitu :

kewajiban untukmembayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktupenagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yangberwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.

Sedangkan yang dimaksud dengan hutang, dijelaskan dalam Pasal 1 angka 6 UUK dan PKPU, yaitu :

kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam matauang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudianhari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi olehdebitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari hartakekayaan debitor.

Memperhatikan pengertian hutang yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 UUK dan PKPU tersebut dapat disimpulkan bahwa hutang yang dimaksud dalam UUK dan PKPU adalah hutang dalam arti luas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1233 dan 1234 Kitab Undang – undang Hukum Perdata.

Pasal 1233Kitab Undang – undang Hukum Perdata menyebutkan :

Tiap – tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang – undang ;

41

Pasal 1234 Kitab Undang – undang Hukum Perdata menyebutkan :

Tiap – tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu

Pengertian hutang disini juga terkait dengan prinsip debt pooling dimana kepailitan adalah sarana untuk melakukan distribusi asetdebitor terhadap para krediturnya dan kreditur dalam hal ini tidak berkaitan khusus dengan perjanjian hutang piutang saja melainkan dalam konteks perikatan.42

Selain itu Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU menyebutkan bahwa :

Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secarasederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telahdipenuhi.

Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU disebutkan bahwa :

Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana" adalah adanya fakta dua atau lebih Kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangidijatuhkannya putusan pernyataan pailit.

Pasal 178 ayat (1) UUK dan PKPU menyebutkan :

Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.

42M. Hadi Subhan,Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma dan Praktek di Peradilan, Kencana,

C. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Pailit Dan Dapat Dinyatakan Pailit Serta Akibat Pernyataan Pailit

1. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Pailit

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit disebutkan dalam Pasal 2 UUK dan PKPU yaitu :

a. Debitor sendiri

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, debitor yang mempunyai hutang kepada dua orang kreditur atau lebih dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih atas permintaan sendiri dapat mengajukan permohonankepada Pengadilan Niaga untuk dinyatakan pailit.43

Terhadap debitor yang terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan pailit hanya dapat diajukan atas persetujuan suami/isterinya kecuali perkawinan dimaksud tidak ada persatuan harta sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UUK dan PKPU;

b. Seorang atau beberapa orang kreditur

Hal ini masih terkait dengan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU dan kreditur yang dimaksud disini adalah kreditur sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal

Dokumen terkait