TESIS
Oleh
BASRIL
107011001/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
BASRIL
107011001/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Notaris Syafnil Gani, SH, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum
Nama : BASRIL
Nim : 107011001
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS HAK PEKERJA ATAS BOEDEL PAILIT YANG SUDAH DIBEBANI HAK
TANGGUNGAN
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
merupakan hutang yang didahulukan pembayarannya. Selain pekerja ada pihak lain yang juga dinyatakan mempunyai hak mendahulu terhadap boedel pailit yaitu pemegang Hak Tanggungan yang disebutkan dalam pasal 21 Undang-undang nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan bahwa apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-undang Hak Tanggungan, termasuk dalam hal ini melakukan eksekusi/lelang Hak Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan dan mengambil pelunasan hutang pemberi Hak Tanggungan atas hasil lelang tersebut. Pasal 55 Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa pemegang Gadai, Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan yang dalam pelaksanaannya pemegang hak agunan atas kebendaan dimaksud ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Adanya ketentuan didahulukan untuk pembayaran hutang pengusaha pailit kepada pekerja dan pemegang Hak Tanggungan sering menimbulkan permasalahan di lapangan karena apabila pengusaha dinyatakan pailit biasanya boedel pailit tidak cukup untuk membayar semua hutang pengusaha tersebut termasuk hutang kepada pekerja dan pemegang Hak Tanggungan, sehingga harus ada kreditur yang didahulukan pembayarannya. Apabila pemegang Hak Tanggungan melaksanakan haknya maka pekerja tidak memperoleh pembayaran hak-haknya. Hal ini sering menimbulkan permasalahan karena pekerja yang jumlahnya banyak selalu berusaha untuk mendapatkan pembayaran hak-haknya seperti melalui demonstrasi ke Kantor Pemegang Hak Tanggungan, Kurator, Pengadilan, Dewan Perwakilan Rakyat dan instansi terkait lainnya. Berdasarkan keadaan tersebut, dalam penelitian ini akan dibahas tentang hak-hak pekerja dan pemegang Hak Tanggungan dalam hal pengusaha dinyatakan pailit serta pengaturan peringkat kreditur untuk menentukan kreditur mana yang harus didahulukan dalam pembayaran piutangnya.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan peraturan perundang-undangan. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research) yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier.
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa pemegang Hak Tanggungan yang dalam kepailitan disebut kreditur separatis memiliki hak didahulukan atas obyek Hak Tanggungan yang merupakan boedel pailit. Pembayaran piutang pemegang Hak Tanggungan lebih didahulukan dari pada piutang/tagihan pekerja.
in a company, a company the goes bankrupt or is liquidated based on legal provisions, the wages and other rights of employees become a debt which has to be paid beforehand. Besides employees, hyphothecation holders , who are mentioned in Article 21 of Law No. 4/1996 on Hyphotecation, have also to be paid beforehand on boedel bankruptcy. When the mortgagor goes bankrupt, the hyphotecation holders still have the authority to have their rights according to the legal provisions on hypothecation, including their right to execute/auction the object of hyphotecation and obtain the payoff of the loan from the auction. Article 55 of Law No.37/2004 on Bankruptcy and Postponement of the Obligation to Pay Debt states that the holders of the right of lien, fiduciary, mortgage, hypothecation, or other collaterals can execute the rights as if there were no bankruptcy which in practice, the payment for hypothecation holders on collaterals is postponed within 90 (ninety) days since the statement of bankruptcy is stated. The provision on the payment for the bankrupt employer’s debt to employees and to hypothecation holders beforehand has caused problems because when the employer goes bankrupt, the boedel bankruptcy is usually not sufficient to be paid the employees and hypothecation holders, so that there must be a creditor who will pay it beforehand. When a hypothecation holder exercises his right, the employees cannot get their rights for payment. This case usually causes problems because the great deal of employees always claim the right by doing demonstration in front of the Mortgage holder’s office, the Curator, the Court, the House of Representatives and other agencies. Therefore, the aim of the research was to analyze the right employees and hypothecation holders when the employer goes bankrupt and the regulation on the level creditors in order to determine which creditor has to be paid his loan beforehand.
The research used judicial normative and legal provisions approach. The data were gathered by using library research which comprised primary, secondary, and tertiary legal materials.
Based on the result of the research, it can be concluded that a Hypothecation holder in the state of bankruptcy, who is also called a separate creditor, has the right on the object of hypothecation which is boedel bankruptcy. The payment for the loan of hypothecation holder is paid before the emlpoyees’ loan/claim for payment
Tesis ini yang berjudul : “TINJAUAN YURIDIS HAK PEKERJA ATAS BOEDEL PAILIT YANG SUDAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN”. Tujuan penulisan Tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kenotariatan (MKn) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan Tesis ini, Penulis banyak mengalami kesulitan namun
dengan bantuan berbagai pihak, Tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu pada
kesempatan ini, dari lubuk hati yang paling dalam, Penulis menyampaikan terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SP.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi
Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada Penulis
dalam menyelesaikan pendidikan ini ;
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan
Pembimbing II yang telah memberikan arahan, bimbingan dan saran–saran
kepada Penulis serta mendorong Penulis untuk segera menyelesaikan Tesis ini ;
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Penguji
yang telah memberikan arahan, bimbingan dan saran–saran kepada Penulis ;
5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembimbing Utama yang
memberikan arahan, bimbingan dan saran–saran kepada Penulis ;
8. Bapak dan Ibu Dosen Magister pada Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan
arahan, bimbingan dan memfasilitasi Penulis selama Penulis menjalani
pendidikan ;
9. Seluruh staf /pegawai pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dan memfasilitasi
Penulis dalam mengikuti pendidikan ;
10. Bapak Tudi Nuryanto selaku Regional Credit Recovery Manager pada PT Bank
Mandiri (Persero) Tbk. Regional Credit Recovery Medan yang telah memberikan
waktu dan motivasi kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan
pendidikan ;
11. Rekan – rekan sekantor di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Regional Credit
Recovery Medan yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk
menyelesaikan pendidikan ;
12. Rekan – rekan Mahasiswa dan Mahasiswi pada Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya angkatan
Tahun 2010 yang telah memberikan motivasi kepada Penulis dalam
menyelesaikan Tesis ini ;
13. Isteriku tercinta, Ir. Afri Yanti yang selalu memberikan dukungan dan doanya
serta selalu setia mendampingi Penulis dengan penuh kasih sayang ;
14. Anak – anakku tersayang, Farhan Abdillah, Asyraf Mufid dan Radhitya Affan
Zhafif, dengan segala tingkah laku dan pengertiannya telah mengobarkan
semangat untuk menyelesaikan pendidikan ini ;
15. Bapak Deni Purba, SH, LL.M, ACIArb., yang telah memberikan masukan dalam
memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan Tesis
ini ;
Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi
penulisan maupun materi yang dibahas, karena itu Penulis mengharapkan kritikan dan
saran dari pembaca demi kesempurnaan Tesis ini. Harapan Penulis semoga Tesis ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Februari 2013
Penulis
Tempat/tanggal lahir : Muara Panas, 28 Agustus 1969
Jenis kelamin : Laki - laki
Status : Kawin
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., Regional Credit Recovery Medan
Alamat : Komp. Citra Seroja Blok D No. 3 Sunggal, Medan
II. IDENTITAS KELUARGA
Isteri : Ir. Afri Yanti
Anak : - Farhan Abdillah
- Asyraf Mufid
- Radhitya Affan Zhafif
III. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SD Negeri I Kampung Batu Dalam, Kecamatan Lembang Jaya, Kabupaten Solok, Sumatera Barat
: Berijazah
2. SMP Negeri Bukit Sileh, Kecamatan Lembang Jaya, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
Berijazah
3. SMA Negeri I Solok, Sumatera Barat Berijazah
4. Srata Satu (S1) Fakultas Hukum, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat
Berijazah
5. Srata Dua (S2) Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, Sumatera Utara
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR SINGKATAN ... ix
DAFTAR ISTILAH ASING... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Keaslian Penulisan... 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 10
1. Kerangka Teori ... 10
2. Konsepsi ... 14
G. Metode Penelitian ... 16
BAB II KEDUDUKAN PEKERJA DALAM KEPAILITAN ... 20
A. Pengertian Kepailitan... 20
B. Syarat- syarat Debitor Dapat Dinyatakan Pailit... 22
C. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Pailit Dan Dapat Dinyatakan Pailit Serta Akibat Pernyataan Pailit ... 32
D. Boedel Pailit... 48
E. Hak-Hak Pekerja Dalam Hal Pengusaha Dinyatakan Pailit ... 49
BAB III HAK-HAK PEMEGANG HAK TANGGUNGAN TERHADAP BOEDEL PAILIT ... 79
E. Eksekusi Hak Tanggungan ... 97
F. Akibat Putusan Pailit Terhadap Pemegang Hak Tanggungan .. 99
BAB IV KEDUDUKAN HAK PEKERJA DAN PEMEGANG HAK TANGGUNGAN TERHADAP BOEDEL PAILIT ... 105
A. Hak Mendahului dari Pekerja dan Pemegang Hak Tanggungan Apabila Pengusaha Dinyatakan Pailit... 105
B. Pengaturan Peringkat Kreditur ... 107
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 120
A. Kesimpulan ... 120
B. Saran-saran ... 121
BNI : Bank Nasional Indonesia
FSPMI : Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia
KKB : PT Karya Kompos Bagas
KSB : Kapling Siap Bangun
PKPU : Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
PKWT : Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
PKWTT : Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
RRJ : PT Robby Rajasa Jaya
SPAK : Standar Profesional Akuntan Publik
UUK dan PKPU : Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Bankrupt : Pailit
Catering : Penyediaan makanan
Cash : Uang tunai
Cleaning service : Pelayanan kebersihan
Droit de preference : Kedudukan yang diutamakan
Droit de suite : Mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada
Fee : Biaya atau ongkos
Good will : Aset yang mencerminkan manfaat ekonomi masa depan yang timbul dari aset lainnya yang diperoleh dalam kombinasi bisnis yang tidak dapat diidentifikasi secara individual dan diakui secara terpisah
Individueel bepaald : Sesuatu yang dapat dimiliki sebagai kebendaan yang menurut hukum dapat ditentukan terpisah
Insolvent : Keadaan tidak mampu membayar Jura in re aliena : Terbatas
Legal entity : Badan hukum
Onsplitsbaarheid : Tidak dapat dipisah-pisahkan
Outsoucing : Penyerahan pekerjaan kegiatan perusahaan baik sebagian atau secara keseluruhan kepada pihak lain yang tertuang dalam kontrak perjanjian
Onvermogen : Keadaan nyata-nyata tidak mampu
merupakan hutang yang didahulukan pembayarannya. Selain pekerja ada pihak lain yang juga dinyatakan mempunyai hak mendahulu terhadap boedel pailit yaitu pemegang Hak Tanggungan yang disebutkan dalam pasal 21 Undang-undang nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan bahwa apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-undang Hak Tanggungan, termasuk dalam hal ini melakukan eksekusi/lelang Hak Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan dan mengambil pelunasan hutang pemberi Hak Tanggungan atas hasil lelang tersebut. Pasal 55 Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa pemegang Gadai, Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan yang dalam pelaksanaannya pemegang hak agunan atas kebendaan dimaksud ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Adanya ketentuan didahulukan untuk pembayaran hutang pengusaha pailit kepada pekerja dan pemegang Hak Tanggungan sering menimbulkan permasalahan di lapangan karena apabila pengusaha dinyatakan pailit biasanya boedel pailit tidak cukup untuk membayar semua hutang pengusaha tersebut termasuk hutang kepada pekerja dan pemegang Hak Tanggungan, sehingga harus ada kreditur yang didahulukan pembayarannya. Apabila pemegang Hak Tanggungan melaksanakan haknya maka pekerja tidak memperoleh pembayaran hak-haknya. Hal ini sering menimbulkan permasalahan karena pekerja yang jumlahnya banyak selalu berusaha untuk mendapatkan pembayaran hak-haknya seperti melalui demonstrasi ke Kantor Pemegang Hak Tanggungan, Kurator, Pengadilan, Dewan Perwakilan Rakyat dan instansi terkait lainnya. Berdasarkan keadaan tersebut, dalam penelitian ini akan dibahas tentang hak-hak pekerja dan pemegang Hak Tanggungan dalam hal pengusaha dinyatakan pailit serta pengaturan peringkat kreditur untuk menentukan kreditur mana yang harus didahulukan dalam pembayaran piutangnya.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan peraturan perundang-undangan. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research) yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier.
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa pemegang Hak Tanggungan yang dalam kepailitan disebut kreditur separatis memiliki hak didahulukan atas obyek Hak Tanggungan yang merupakan boedel pailit. Pembayaran piutang pemegang Hak Tanggungan lebih didahulukan dari pada piutang/tagihan pekerja.
in a company, a company the goes bankrupt or is liquidated based on legal provisions, the wages and other rights of employees become a debt which has to be paid beforehand. Besides employees, hyphothecation holders , who are mentioned in Article 21 of Law No. 4/1996 on Hyphotecation, have also to be paid beforehand on boedel bankruptcy. When the mortgagor goes bankrupt, the hyphotecation holders still have the authority to have their rights according to the legal provisions on hypothecation, including their right to execute/auction the object of hyphotecation and obtain the payoff of the loan from the auction. Article 55 of Law No.37/2004 on Bankruptcy and Postponement of the Obligation to Pay Debt states that the holders of the right of lien, fiduciary, mortgage, hypothecation, or other collaterals can execute the rights as if there were no bankruptcy which in practice, the payment for hypothecation holders on collaterals is postponed within 90 (ninety) days since the statement of bankruptcy is stated. The provision on the payment for the bankrupt employer’s debt to employees and to hypothecation holders beforehand has caused problems because when the employer goes bankrupt, the boedel bankruptcy is usually not sufficient to be paid the employees and hypothecation holders, so that there must be a creditor who will pay it beforehand. When a hypothecation holder exercises his right, the employees cannot get their rights for payment. This case usually causes problems because the great deal of employees always claim the right by doing demonstration in front of the Mortgage holder’s office, the Curator, the Court, the House of Representatives and other agencies. Therefore, the aim of the research was to analyze the right employees and hypothecation holders when the employer goes bankrupt and the regulation on the level creditors in order to determine which creditor has to be paid his loan beforehand.
The research used judicial normative and legal provisions approach. The data were gathered by using library research which comprised primary, secondary, and tertiary legal materials.
Based on the result of the research, it can be concluded that a Hypothecation holder in the state of bankruptcy, who is also called a separate creditor, has the right on the object of hypothecation which is boedel bankruptcy. The payment for the loan of hypothecation holder is paid before the emlpoyees’ loan/claim for payment
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam melaksanakan suatu usaha terdapat hubungan yang saling
membutuhkan antarapengusaha dengan pekerja, dalam hal ini pengusaha
membutuhkan pekerja untuk membantu atau melaksanakan pekerjaan dan melakukan
segala sesuatu yang terkait dengan usaha dari pengusaha sedangkan pekerja
membutuhkan pengusaha untuk mendapatkan pekerjaan dan dengan melaksanakan
pekerjaan tersebut, pekerja dapat memperole upah guna memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Pengusaha dan buruh adalah teman seperjuangan dalam proses produksi yang
berarti bahwa baik pekerja maupun pengusaha wajib bekerja sama serta membantu
dalam kelancaran usaha dalam meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan
produksi.1
Agar usaha dari pengusaha dapat berjalan lancar dan dapat berkembang
sehingga bisa memberikan keuntungan yang maksimal kepada pengusaha sedangkan
pekerja mendapatkan upah yang dapat meningkatkan kesejahteraannya, diperlukan
adanya hubungan kerja sama yang baik dan saling mendukung antara pengusaha dan
pekerja.
1
Menurut Imam Soepomo, bahwa pada dasarnya hubungan kerja, yaitu
hubungan antara buruh dan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh
dengan majikan,dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada
majikan dengan menerima upah dan dimana majikan menyatakan kesanggupannya
untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.2Perjanjian kerja tersebut
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak sebagaimana disebutkan
dalam Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1
angka 14.
Dalam perkembangan selanjutnya tidak ada yang bisa memastikan bahwa
usaha dari pemilik usaha/pemberi kerja akan dapat bertahan seterusnya karena dalam
dunia usaha terdapat faktor – faktor yang mempengaruhi kelangsungan usaha, antara
lain keadaan ekonomi baik makro maupun mikro , konflik antara pemilik perusahaan
dan perusahaan mengalami permasalahan keuangan yang dapat mengakibatkan
perusahaan pailit.
Pengertian kepailitan disebutkan dalam Undang – undang nomor 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, selanjutnya
dalam tesis ini disebut UUK dan PKPU, Pasal 1 angka 1 yaitu :
Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur
dalam Undang – undang ini.
2Iman Soepomo,Pengantar Hukum Perburuhan, Cetakan ke-13, Djambatan, Jakarta, 2003,
Pernyataan pailit ini dinyatakan berdasarkan putusan Majelis Hakim
Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum dan berlaku sejak saat putusan
tersebut diucapkan sebagaimana diatur dalam UUK dan PKPU Pasal 1 angka 7
junctoPasal 24.
Menurut Pasal 29 UUK dan PKPU, suatu tuntutan hukum di Pengadilan yang
diajukan terhadap debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban
dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan
diucapkan putusan pernyataan pailit terhadap debitor.
Akibat hukum terhadap perjanjian kerja antara debitor pailit dengan pekerja
diatur dalam UUK dan PKPU Pasal 39 yaitu :
(1) Pekerja yang bekerja pada debitor dapat memutuskan hubungan kerja dan sebaliknya kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang – undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 hari sebelumnya.
(2) Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit
Penjelasan Pasal 39 tersebut adalah sebagai berikut :
Ayat (1) :
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja, kurator tetap berpedoman pada peraturan perundang – perundangan di bidang ketenagakerjaan.
Ayat (2) :
Dari Pasal tersebut dapat diketahui bahwa pemutusan hubungan kerja pada
saat debitordinyatakan pailit dapat berasal dari inisiatif pekerja ataupun dari kurator
yang mengurus harta debitor pailit.3
Dalam Pasal 165 Undang – undang nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa :
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).4
Berdasarkan ketentuan di atas, pekerja mempunyai hak untuk mendapatkan
pembayaran upah yang belum dibayarkan oleh pemberi kerja dan upah yang belum
dibayarkan tersebut merupakan hutang harta pailit yang pembayarannya dilaksanakan
setelah dilakukan pemberesan/penjualan harta pailit.
Menurut Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,Pasal
95 ayat (4) bahwa dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka upah dan hak – hak
lainnya dari pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Selain pekerja, ada pihak lain yang berhak terhadap harta pailit, antara lain
kreditur yang piutangnya dijamin dengan Hak Tanggungan.
Putusan pernyataan pailit oleh Hakim tidak mempunyai pengaruh terhadap
pemegang Hak Gadai, Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan,hipotek atau hak agunan
3Jono,Hukum Kepailitan,Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 118
4Lalu Husni,Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,Edisi Revisi, Jakarta, PT Raja Grafindo
atas kebendaan lainnya dan hak retensi sebagaimana diatur di dalam Pasal 55 dan 61
UUK dan PKPU.5
Pasal 21 Undang – undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda – Benda yang Berkaitan Dengan Tanah yang selanjutnya dalam
tesis ini disebut Undang-undang Hak Tanggungan, memberikan jaminan terhadap
hak dari pemegang Hak Tanggungan apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan
pailit. Menurut Pasal 21 tersebut apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit,
pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang
diperolehnya menurut ketentuan Undang–undangHak Tanggungan. Dengan demikian
objek Hak Tanggungan tidak akan disatukan dengan harta kepailitan untuk dibagi
kepada kreditur – kreditur lain dari pemegang Hak Tanggungan.6
UUK dan PKPU Pasal 55 menyatakan bahwa dengan tetap memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58, setiap
kreditur pemegang Gadai, Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, hipotek atau hak
agunan ataskebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah – olah tidak terjadi
kepailitan.
Dengan demikian setiap kreditur pemegang Hak Gadai, Jaminan Fidusia, Hak
Tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi
haknya seolah olah tidak terjadi kepailitan. Hak kreditur untuk melaksanakan
eksekusi atas haknya dimaksud ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90
5Sunarmi,Hukum Kepailitan, Edisi 2, PT Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 113
6Sutan Remy Sjahdeni,Hak Tanggungan Asas – Asas, Ketentuan – Ketentuan Pokok dan
(sembilan pupuh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Jangka
waktu tersebut berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau
pada saat dimulainya keadaan insolvensi, sebagaiman diatur dalam UUK dan PKPU
Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 57 ayat (1).
Pasal 138 UUK dan PKPU menyebutkan bahwa :
Kreditur yang piutangnya dijamin dengan Gadai, Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemudian tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak – hak yang dimiliki kreditur konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya.
Berdasarkan Undang – Undang nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Undang-undang Hak Tanggungan dan UUK dan PKPU terhadap
harta pailit, terdapat 2 (dua) pihak yang mempunyai kedudukan didahulukan untuk
mendapatkan pelunasan piutangnya yaitu pekerja dan kreditur pemegangHak Gadai,
Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya.
Permasalahan timbul dalam hal hasil penjualan agunan/boedel pailit tidak mencukupi
untuk pembayaran hutang kepada pekerja dan kreditur pemegang Hak Gadai,
Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya.
Untuk selanjutnya dalam tesis ini hanya akan dibahas tentang Hak Pekerja dan Hak
pemegang Hak Tanggungan terhadap boedel pailit.
Bahwa dengan adanya pengaturan didahulukan oleh Undang-undang untuk
mendapatkan pembayaran dari hasil penjualan boedel pailit terhadap hak pekerja dan
masing-masing pihak merasa mempunyai hak untuk mendapat pembayaran piutang
lebih dahulu dan keduanya sama-sama dinyatakan oleh Undang-undang mempunyai
hak didahulukan yaitu Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda – Benda yang Berkaitan Dengan Tanah dan Undang-undang
nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.Mengingat jumlahnya yang banyak, pekerja selalu mengadakan penekanan
terhadap pemegang Hak Tanggungan, Kurator dan Pengadilan agar haknya dapat
dibayarkan lebih dahulu dengan melakukan demonstrasi yang dapat mengganggu
kelancaran operasional pemegang Hak Tanggungan, Kurator dan Pengadilan.
Sebagian besar pemegang Hak Tanggungan adalah Bank yang akan sangat dirugikan
apabila operasionalnya terganggu sebagai akibat adanya demonstrasi dimaksud
seperti pada saat demonstrasi berlangsung di kantor Bank, maka nasabah dari Bank
tersebut tidak dapat datang ke Bank untuk melakukan transaksi, merusak image Bank
karena Bank dianggap tidak peduli terhadap nasib pekerja, munculnya
ketidaknyamanan terhadap nasabah untuk bertransaksi dengan Bank yang
bersangkutan dan sebagainya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa demonstrasi berikut
ini :
1. Demonstrasi yang dilakukan oleh ratusan aktivis dari Aliansi Perjuangan Buruh
(APB) Mojokerto di Bank Nasional Indonesia (BNI) 1946 Cabang Mojokerto
pada tanggal 1 Mei 2012 yang meminta agar BNI membayar pesangon pekerja
tanggal 29 Februari 2012 dan aset KKB sudah dijual oleh BNI. Pekerja meminta
BNI yang telah menjual aset KKB bertanggung jawab karena pekerja KKB tidak
mendapatkan haknya (pesangon). Demonstrasi juga dilakukan di Kantor Wali
Kota Mojokerto dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Mojokerto.7
2. Ratusan pekerja yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia
(FSPMI) melakukan demonstrasi di depan Pengadilan Negeri Surabaya pada
tanggal 25 Juni 2009 menuntut kejelasan nasib mereka sehubungan dengan
perusahaan tempat mereka bekerja yaitu PT Metalindo Perwita yang mempunyai
pekerja sekitar 650 orang, telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga
Surabaya atas permohonan kreditur PT Metalindo Perwita yaitu CV Pratama
Multi Perkasa yang memiliki piutang Rp. 140.000.000,00 (seratus empat puluh
juta Rupiah). Selain itu, PT Metalindo Perwita juga berutang kepada Bank OCB
senilai Rp. 40.000.000.000,00(empat puluh milyar Rupiah) dan PT Nachindo
Tape Industry senilai Rp. 29.000.000,00 (dua puluh sembilan juta Rupiah).8
3. Ratusan buruh PT Robby Rajasa Jaya (RRJ) di Tangerang berunjuk rasa di
Kantor Dinas Ketenagakerjaan Tangerang pada tanggal 9 Maret 2012, menuntut
agar pihak perusahaan tempat mereka bekerja membayarkan pesangon kepada
buruh. RRJ tutup akibat pailit karena tidak mampu membayar upah buruh dan
7
Beritajatim.com, Di Mojokerto Buruh Demo Bank BNI,http://www.beritajatim.com/ detailnews.php/8/Peristiwa/2012-05-01/134157/Di_Mojokerto,_Buruh_Demo_Bank_BNI_46_, diakses tgl. 26 Januari 2013
8Kompas.com, Buruh Metalindo Demo PN Surabaya, http://properti.kompas.com/index.php/
hutang kepada Bank serta minimnya order terhadap produk yang dihasilkan oleh
perusahaan.9
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan hak pekerja apabila pemberi kerja/pengusaha dinyatakan
pailit? ;
2. Bagaimana pengaturan hak kreditur pemegang Hak Tanggungan apabila
debitordinyatakan pailit? ;
3. Dalam hal hasil penjualan agunan/boedel pailit tidak mencukupi untuk
pembayaran hutang kepada pekerja dan kreditur pemegang Hak Tanggungan,
hutang kepada siapakah yang harus dibayarkan terlebuh dahulu? ;
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hak-hak pekerja yang harus dibayarkan apabila pemberi
kerja/pengusaha dinyatakan pailit;
2. Untuk mengetahui kedudukan hak kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam
hal debitor dinyatakan pailit;
3. Untuk mengetahui piutang siapa yang harus didahulukan pembayarannya dalam
hal hasil penjualan agunan/boedel pailit tidak mencukupi untuk pembayaran
hutang kepada pekerja dan kreditur pemegang Hak Tanggungan.
9 Radar Tangerang,Buruh Garmen Demo Disnaker, http://satelitnews.co.id/?p=685, diakses
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan tersebut dan
dengan tercapainya tujuan penulisan tesis ini, diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
1. Secara teoritis, penelitian ini untuk memberikan masukan terhadap
pengembangan Hukum Ketenagakerjaan, Hak Tanggungan dan Hukum
Kepailitan ;
2. Secara praktis, peneilitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi para pekerja
dan kreditur pemegang Hak Tanggungan, sehingga azas keadilan dan kepastian
hukum dapat dicapai.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan informasi dan penulusuran yang dilakukan terhadap hasil – hasil
penelitian yang dilakukan oleh penulis sebelumnya di Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara atau oleh orang lain, belum pernah dilakukan penelitian
sebelumnya dengan judul “Tinjauan Yuridis Hak Pekerja Terhadap Boedel Pailit
yang SudahDibebani Hak Tanggungan”. Dengan demikian penelitian ini dapat
dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Menurut M. Solly Lubis, landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau
ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir
dalampenulisan.10
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto teori adalah suatu sistem yang
berisikan proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya untuk menjelaskan aneka
macam gejala sosial yang dihadapinya dan memberikan pengarahan pada aktifitas
penelitian yang dijalankan serta memberikan taraf pemahaman tertentu.11
Pentingnya kerangka teori dalam suatu penelitian menurut Ronny Hanitjio
disebabkan karena adanya hubungan timbal balik antara teori dengan
kegiatan-kegiatan pengumpulan data, konstruksi data, pengolahan data dan analisis data.12
Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kerangka
teori merupakan kerangka pemikiran berupa teori, konsep, azas-azas,
pendapat-pendapat dari ilmuwan yang dinilai relevan dengan permasalahan yang diteliti yang
dapat membuat jelas permasalahan dan dapat digunakan untuk memecahkan
permasalahan yang diteliti.
Bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan
(rechtgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid).13Tujuan hukum menurut van Apeldoornadalah untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Untuk mencapai kedamaian dan
keadilan hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan
10M.Solly Lubis,Filsafat Ilmu Hukum dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80 11Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1998, hal. 3
12
Ronny Hanitjio, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 41.
13Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung
perimbangan antara kepentingan yang saling bertentangan satu sama lain dan setiap
orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya.14
Menurut W. Friedman, untuk mewujudkan keadilan, suatu Undang-undang
haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat
perbedaan-perbedaan di antara pribadi-pribadi tersebut.15
Mengenai keadilan, Aristoteles berpendapat bahwa keadilan dipahami dalam
pengertian kesamaan.Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara
kesamaan numerik dan kesamaan proporsional.Kesamaan numerik mempersamakan
setiap manusia sebagai satu unit. Inilahyang sekarang biasa kita pahami tentang
kesamaan dan yang kita maksudkanketika kita mengatakan bahwa semua warga
negara adalah sama di depan hukum.Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa
yang menjadi haknya sesuaidengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya.16
Bahwa terhadap harta benda debitor yang telah dinyatakan pailit terdapat
beberapa pihak yang berhak untuk mendapatkan pembayaran didahulukan dari pihak
lainnya antara lainpekerja yang dinyatakan berhak oleh Pasal 95 ayat (4)
Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa upah dan hak-hak
lainnya dari pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
14R. Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 57
15W. Friedman,Teori dan Filsafat Hukum dalam Buku Telaah Krisis atas Teori-teori
Hukum, diterjemahkan dari buktu aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, Raja Grasindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 7
Selain pekerja, kreditur pemegang Hak Tanggungan juga dinyatakan berhak
untuk mendapatkan pembayaran yang didahulukan sebagaimana dinyatakan dalam :
a. Pasal 21 Undang-undang Hak Tanggungan, menyatakan bahwa apabila pemberi
Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang
melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-undang
Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan
Tanah;
b. Pasal 55 UUK dan PKPU menyatakan bahwa dengan tetap memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58, setiap
kreditur pemegang Gadai, Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, hipotek atau hak
agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak
terjadi kepailitan.
Berdasarkan Undang – Undang tersebut di atas, pekerjadan kreditur
pemegang Hak Tanggungan memiliki hak didahulukan untuk mendapatkan
pembayaran atas hasil penjualan/lelang asetdebitor pailit. Permasalahan timbul
apabila aset/harta benda tidak cukup untuk membayar kewajiban/hutangnya kepada
pekerjadan kreditur pemegang Hak Tanggungan atau untuk membayar
hutang/kewajiban kepada salah satu saja (pekerja atau kreditur pemegang Hak
Tanggungan), hutang/kewajiban kepada siapa yang harus didahulukan
Adanya Undang-undang atau ketentuan yang saling bertentangan
menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga tujuan dari dibentuknya
Undang-undang atau ketentuan tersebut yaitu untuk mewujudkan kepastian hukum dan
keadilan bagi seluruh anggota mansyarakat tidak terwujud, karena itu diperlukan
sinkronisasi dan harmonisasi atas Undang-undang atau ketentuan yang saling
bertentangan tersebut.
Pemikiran harmonisasi bermula dari Rudolf Stammler yang mengemukakan
bahwakonsep dan prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup “harmonisasi”
antaramaksud, tujuan dan kepentingan individu dengan maksud, tujuan dan
kepentingan masyarakat umum. Dengan kata lain, hukum akan tercipta baik apabila
terdapat keselarasan antara maksud, tujuan dan kepentingan penguasa (pemerintah)
dengan masyarakat.Di sisi lain, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Hukum dan Hak Azasi Manusia , memberikan pengertian harmonisasi hukum sebagai
kegiatan ilmiah untuk menuju proses perharmonisasian
(penyelarasan/kesesuaian/keseimbangan) hukum tertulis yang mengacu pada
nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis dan yuridis.17
Dalam hal ini diperlukan campur tangan Pemerintah untuk menyelesaikan
permasalahan sebagai akibat adanya beberapa peraturan perundang – undangan yang
saling bertentangan dalam pelaksanaannya.
2. Konsepsi
17
Yang dimaksud dengan konsep adalah kata yang menyatakan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal–hal yang khusus yang disebut dengan definisi
operasional.18Definisi operasional ini penting guna menghindari perbedaan
pengertian atau penafsiran dari suatu istilah yang dipergunakan.
Dalam penelitian ini diperlukan untuk mendefinisikan konsep sebagai berikut:
a. Pekerja, adalah :
Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain;19
b. Pengusaha, adalah :20
1) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri ;
2) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya ;
3) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1) dan 2)
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia ;
c. Kepailitan, adalah :
Sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;21
18Sumandi Suryabrata,Metodologi Penelitian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 3
19
d. Boedel pailit, adalah :
Harta kekayaan seseorang atau badan yang telah dinyatakan pailit dan dikuasai
oleh Kurator ;
e. Kreditur, adalah :
Orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang
dapat ditagih di muka pengadilan;22
f. Debitor, adalah :
Orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang
pelunasannyadapat ditagih di muka pengadilan;23
g. Hak Tanggungan, adalah :
Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur - kreditur lain.24
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini, maka penelitian
bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta di lapangan
serta mengaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan
permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan dengan keadaan
yang terjadi di lapangan.25
21UUK dan PKPU, Pasal 1 angka 1. 22
UUK dan PKPUPasal 1 angka 2.
23
UUK dan PKPUPasal 1 angka 3
24Undang – undang Hak Tanggungan, Pasal 1 angka 1.
Dalam penelitian ini akan dikaji dan dijelaskan serta dianalisa teori hukum
yang bersifat umum, peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang
berlaku dan berhubungan dengan hak-hak pekerja terhadap pengusaha baik
perseorangan maupun perusahaan yang sudah dinyatakan pailit, kepailitan dan
hak-hak kreditur terhadap agunan yang sudah diikat dengan Hak Tanggungan dalam hal
perusahaan/pengusaha dinyatakan pailit.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian atas aturan
perundang-undangan baik ditinjau dari sudut hirarki perundang-undangan (vertikal),
maupun hubungan harmoni diantara perundang-undangan (horizontal).26 Soerjono
Soekanto dan Sri Mamuji memberikan pengertian tentang penelitian hukum normatif
yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan
(data sekunder) yang mencakup penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika
hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah
hukum.27
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, dilakukan dengan studi pustaka
terhadap bahan hukum-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat,
berupa peraturan perundang-undangan dan putusan hakim, antara lain :
1) Undang-Undang Dasar 1945 ;
26Fokky Fuad,Pemikiran Ulang Atas Metodologi Penelitian Hukum,
http://uai.ac.id/2011/04/13/pemikiran-ulang-atas-metodologi-penelitian-hukum diakses tgl.14 Januari 2012.
27Soerjono Soekamto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tunjauan
2) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3) Undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial ;
4) Undang-undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang;
5) Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah;
6) Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
7) Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 18/PUU-VI/2008
tanggal 23 Oktober 2008;
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian dan jurnal ilmiah
dari kalangan hukum yang terkait dengan masalah penelitian.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum pelengkap dari bahan hukum primer
dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedi, majalah dan sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan permasalahan dalam tesis ini yang dilakukan terhadap bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang disebutkan
Untuk mendukung data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan ini
dilakukan wawancara dengan Kurator, Balai Harta Peninggalan, Departemen Tenaga
Kerja dan Bank.
4. Analisis data
Seluruh data dan bahan hukum yang diperoleh, dianalisa secara kualitatif
dengan mempelajari seluruh data dan bahan hukum dengan memberikan telaah yang
berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan
kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri
dan dibantu dengan teori yang dikuasai.28 Setelah itu keseluruhan data tersebut akan
disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh
jawaban yang baik pula.29
Berdasarkan hasil analisis tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang
merupakan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
28
Mukti Ali et al, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, PT Pustaka Fajar, Yogyakarta, 2010, hal. 183.
29Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.
BAB II
KEDUDUKAN PEKERJA DALAM KEPAILITAN
A. Pengertian Kepailitan
Secara etimologi kepailitan adalah segala sesuatu yang menyangkut peristiwa
pailit.Dalam Black’s Law Dictionary, pailit ataubankruptadalah :
“The state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due.The term includes a person against whom an involuntary petition has beenfilled, or who has filled a voluntary petition, or who has been adjudged abankrupt”30
Berdasarkan pengertian bankrupt yang terdapat dalam Black’s Law Dictionary diketahui bahwa pengertian pailit berkaitan dengan ketidakmampuan untuk
membayar dari seorang debitor atas hutang – hutangnya yang sudah jatuh tempo yang
diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya hutang meskipun telah ditagih dan
ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan proses pengajuan ke pengadilan, baik
atas permintaan debitor itu sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih
krediturnya.31
Menurut Undang-undang nomor 37 UUK dan PKPU, Pasal 1 angka 1
bahwa:
30Henry Campbell Black,Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, St. Paul – Monessota,
USA, 1990.
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
Dalam Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU tersebut ditegaskan bahwa kepailitan
adalah sita umum, karenanya Undang- undang Kepailitan menyaratkan bahwa untuk
mengajukan permohonan pailit harus memiliki dua atau lebih kreditur. Jadi apabila
hanya ada satu kreditur maka tidak dapat dinyatakan pailit dan apabila mau dilakukan
penyitaan terhadap harta debitormaka yang berlaku adalah sita individual.
Ketentuan Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU tersebut sejalan dengan Pasal1131
dan 1132 Kitab Undang – undang Hukum Perdata. Pasal 1131 menyebutkan bahwa :
Segala kebendaan siberhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan.
Pasal 1132 menyebutkan bahwa :
Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semuaorang yang
mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda - bendaitu dibagi-bagi menurut
keseimbangan, yaitu menurut besarkecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila
diantara para kredituritu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kepailitan mempunyai unsur – unsur sebagai berikut :
1. Adanya sita atas semua kekayaan debitor;
3. Pengurusan dan pemberesan harta kekayaan yang disita tersebut dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas ;
B. Syarat- syarat Debitor Dapat Dinyatakan Pailit
Untuk dapat dinyatakan pailit, sesuai Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU debitor
harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
1. Mempunyai dua atau lebih kreditur ;
2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih;
Syarat – syarat agar debitor dapat dinyatakan pailit tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Mempunyai dua atau lebih kreditur
Persyaratan dua atau lebih Kreditur initerkait dengan filosofi hukum
kepailitan itu sendiri yaitu meletakkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor
dan mengatur bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan debitor
tersebut untuk membayar kewajiban debitor kepada semua krediturnya.
Pengertian kreditur dan debitor diatur dalam UUK dan PKPU, sebagai
berikut:
Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa :
Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
Undang-Undang yang dapatditagih di muka pengadilan.
Yang dimaksud dengan "Kreditur" dalam ayat ini adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatismaupun kreditur preferen.Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur preferen, mereka dapatmengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang merekamiliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.Bilamana terdapat sindikasi kreditur maka masing-masing Kreditur adalah Kreditur sebagaimanadimaksud dalam Pasal 1 angka 2.
Berdasarkan ketentuan tersebut dalam sindikasi kreditur, setiap kreditur dapat
mengajukan permohonan pailit.Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa :
Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
Undang-undang yang pelunasannyadapat ditagih di muka pengadilan.
2. Pengertian tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih.
Menurut Prajoto, Pengertian “tidak membayar” harus diartikan :32
a. Menolak untuk membayar ;
b. Cidera janji (wan prestasi) ;
c. Keadaan tidak membayar tidak sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor
tidak cukup untuk melunasi seluruh hutangnya ;
d. Tidak diharuskan bahwa debitor tidak memiliki kemampuan untuk membayar
(onvermogen)dan memikul seluruh hutangnya ;
e. Istilah “tidak membayar” harus diartikan sebagai naar de letter, yaitu debitor pada saat diajukan permohonan pernyataan pailit telah sama sekali berhenti
membayar hutangnya.
32Prajoto, RUU Kepailitan Ditinjau dari Aspek Perbankan dalam Sunarmi, Hukum
Sejalan dengan pendapat Prajoto tersebut, Ricardo Simanjuntak menyatakan
bahwa yang dijadikan pertimbangan oleh Hakim pada Pengadilan Niaga untuk
menyatakan seorang debitor pailit, tidak saja oleh karena ketidakmampuan
debitoruntuk membayar hutang-hutangnya tetapi juga termasuk ketidakmauan
debitor tersebut untuk melunasi hutang-hutangnya seperti yang sudah
diperjanjikan.33
Jadi berdasarkan pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, debitor yang tidak
membayar lunas sedikitnya salah satu hutangnya yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dapat dinyatakan pailit tanpa memperhatikan apakah debitor
tersebut tidak mampu membayar hutang atau tidak mau membayar hutang.
Meskipun dalam penjelasan pasal 57 ayat (1) UUK dan PKPU disebutkan bahwa
yang disebut dengan insolvensi adalah keadaan tidak mampu membayar, tetapi
tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian “tidak mampu membayar”
dimaksud. Dengan tidak disyaratkan bahwa untuk dapat dinyatakan pailit harus
dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvent)maka tidak diwajibkan untuk melakukan insolvency testterhadap debitor yang akan dinyatakan pailit. Dalam hal ini terlihat bahwa UUK dan PKPU hanya melindungi kepentingan kreditur
yang mengakibatkan kreditur dapat dengan mudah mengajukan permohonan
pailit hanya dengan didasarkan pada hutang yang telah jatuh tempo dan dapat
33Ricardo Simanjuntak,Rancangan Perubahan Undang-undang Kepailitan Dalam Prespektif
ditagih sehingga banyak perusahaan di Indonesia yang dinyatakan pailit secara
hukum.34
Tidak adanya insolvency test dalam Hukum Kepailitan di Indonesia merupakan kelemahan sehingga debitor yang masih memiliki kekayaan yang
cukup untuk membayar hutang-hutangnya dapat dinyatakan pailit oleh
Pengadilan karena tidak membayar hutang. 35Dalam praktek bisnis, keadaan
berhenti membayar utang atau insolven merupakan hal yang biasa terjadi. Untuk
menilai keadaan finansial atau tingkat solvabilitas seorang debitor atau suatu
badan hukum (legal entity) ada beberapa pendekatan ilmu ekonomi yang lazim digunakan, yaitu :36
a. Insolven berdasarkanCash Flow Test
Cash flow testmerupakan pendekatan klasik yang digunakan oleh peradilan di negara Civil Law untuk menentukan keadaan insolven.37Pendekatan cash flow test menilai keadaan insolven dari ada atau tidaknya ketersediaan dana segar atau cash money yang dimiliki debitor untuk membayar hutang yang sudah jatuh tempo. Debitor yang berhenti membayar hutang dikarenakan
34Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Edisi 2, PT
Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 316 dan 326
35
Sunarmi,loc. cit, hal.33
36Elyta Ras Ginting, Hakekat Kepailitan dan Keadaan Insolven Menurut UU No.37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan PKPU, dalam Alumni FH USU, Menuju Paradigma Baru dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (Bunga Rampai Karya Tulis Alumni FH USU),Alumni FH USU, 2012, hal. 133 - 137
37J. Honsberger,The Failure to Pay One’s Debts Generally As They Become Due, American
ketiadaan uang tunai(cash) dinilai telah insolven.Cash flow test tidak mempertimbangkan keadaan lainnya, seperti aset non liquid yang dimiliki oleh debitor, seperti tanah, bangunan atau sumber dana dalam bentuk lain
yang tidak dapat langsung diuangkan seperti good willperusahaan danroyalty dari hak kekayaan intelektual yang dimiliki oleh debitor. Berdasarkan hal
tersebut keadaan insolven dikarenakan ketiadaan uang tunai yang tersedia
untuk membayar hutang kerap disebut sebagai keadaan insolven secara
temporer. Pada saat ini cash flow testuntuk menilai solvabilitas debitor sudah ditinggalkan karena dinilai tidak akurat menggambarkan keadaan finansial
debitor untuk memenuhi kewajibannya membayar hutang.
b. Insolven berdasarkanbalance sheet test
Pendekatan balance sheet test atau disebut juga liquidation value berfokus pada perbandingan antara aset yang dimiliki debitor dengan besarnya
kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitor, karenanya debitor yang tidak
membayar hutang dianggap insolven jika seluruh kewajiban untuk membayar
(termasuk membayar biaya likuidasi) lebih besar jumlahnya dibanding dengan
seluruh asetnya. Dalam keadaan demikian debitor diperkirakan tidak akan
dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar seluruh hutangnya yang
sudah maupun yang belum jatuh tempo.
c. Insolven berdasarkangoing concern value
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAK) tahun 2001 merumuskan opini
memastikan bahwa perusahaan dapat mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Dengan demikian oponigoing concerndapat dijadikan acuan untuk mengukur tingkat solvabilitas suatu perusahaan karena opini going concern yang diberikan oleh akuntan publik mengindikasikan perusahaan masih dapat
meneruskan kelangsungan usahanya di masa yang akan datang, paling tidak
untuk setahun ke depan.
Menurut Revol dan Tamba, salah satu indikator yang umum digunakan oleh
seorang auditor memberikan penilaian bahwa suatu perusahaan tidak lagi
going concern adalah keadaan debt default yaitu debitor gagal memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang pokok beserta bunganya yang sudah
jatuh tempo
Ketentuan mengenai insolven yang menjadi dasar dari pernyataan pailit oleh
Undang-undang Kepailitan, adalah sebagai berikut :
a. Menurut Faillissements Verordening(Undang-undang tentang Kepailitan) yang berlaku di Indonesia berdasarkan Staatsblad 1905:217 juncto Staatblad No. 1906:348 yang mulai berlaku tanggal 1 November 1906, Pasal 1 adalah
sebagai berikut :
Setiap pihak yang berhutang (debitor) yang berada dalam keadaan berhenti
membayar hutang-hutangnya, dengan putusan hakim, baik atas permintaan
sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berpiutang
Jadi debitor yang dapat diputus pailit adalah debitor yang berada dalam
keadaan berhenti membayar hutang-hutangnya namun Undang-undang tidak
memberi penjelasan lebih lanjut tentang keadaan berhenti membayar
hutang-hutang dimaksud. Karena itu, dengan sendirinya ukuran atau kriteria debitor
yang berhenti membayar hutang dimaksud diserahkan kepada doktrin dan
hakim.38
b. Menurut Undang-undang nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, Pasal 1
angka (1):
Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.
Perubahan redaksi dari berhenti membayar menjadi tidak membayar
terjadi karena pada masa krisis moneter di Indonesia yang mulai terjadi pada
tahun 1997. Pada masa krisis moneter tersebut sesungguhnyadebitor di
Indonesia berada dalam keadaan tidak mampu membayar hutang karena pada
saat itu mereka kekurangan dana segar, tetapi asetdebitormasih lebih besar
dibanding hutang. Apabila aset tersebut dijual maka hutang debitorakan
lunas, namun permasalahannya pada waktu itu tidak ada orang yang mau
38
membeli aset tersebut karena perekonomian Indonesia mengalami krisis
sehingga terjadi kesulitan keuangan.39
Adanya perubahan konsep “berhenti membayar hutang” yang
disebutkan dalam Pasal 1 Faillissements Verordeningmenjadi “tidak membayar hutang” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 4
Undang-undang nomor 4 Tahun 1998disebabkan nilai asetdebitor yang masih tinggi
dibanding hutangnya sehingga debitor tidak bisa dinyatakan pailit. Akhirnya
konsep “berhenti membayar ” diubah menjadi “tidak membayar ”40
c. Menurut Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) :
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yangtelah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan, baik ataspermohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 merupakan
penyempurnaan dari Undang-undang nomor 4 Tahun 1998 yaitu dengan
penambahan kata “lunas” sehingga konsep hutang yang menjadi dasar untuk
pernyataan pailit menjadi “tidak membayar lunas”. Adanya penambahan kata
“lunas” ini dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan yang muncul dalam
praktek yaitu debitor yang membayar hutangnya tetapi tidak lunas maka
debitor tersebut tidak dapat dipailitkan.41
Yang dimaksud dengan hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
terdapat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, yaitu :
kewajiban untukmembayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah
diperjanjikan, karena percepatan waktupenagihannya sebagaimana diperjanjikan,
karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yangberwenang, maupun
karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.
Sedangkan yang dimaksud dengan hutang, dijelaskan dalam Pasal 1 angka 6
UUK dan PKPU, yaitu :
kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam matauang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudianhari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi olehdebitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari hartakekayaan debitor.
Memperhatikan pengertian hutang yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 6
UUK dan PKPU tersebut dapat disimpulkan bahwa hutang yang dimaksud dalam
UUK dan PKPU adalah hutang dalam arti luas sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1233 dan 1234 Kitab Undang – undang Hukum Perdata.
Pasal 1233Kitab Undang – undang Hukum Perdata menyebutkan :
Tiap – tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang –
undang ;
41
Pasal 1234 Kitab Undang – undang Hukum Perdata menyebutkan :
Tiap – tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu
atau untuk tidak berbuat sesuatu
Pengertian hutang disini juga terkait dengan prinsip debt pooling dimana kepailitan adalah sarana untuk melakukan distribusi asetdebitor terhadap para
krediturnya dan kreditur dalam hal ini tidak berkaitan khusus dengan perjanjian
hutang piutang saja melainkan dalam konteks perikatan.42
Selain itu Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU menyebutkan bahwa :
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secarasederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan
pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telahdipenuhi.
Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU disebutkan bahwa :
Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana" adalah adanya fakta dua atau lebih Kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangidijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Pasal 178 ayat (1) UUK dan PKPU menyebutkan :
Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian,
rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan
perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.
42M. Hadi Subhan,Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma dan Praktek di Peradilan, Kencana,
C. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Pailit Dan Dapat Dinyatakan Pailit Serta Akibat Pernyataan Pailit
1. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Pailit
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit disebutkan dalam
Pasal 2 UUK dan PKPU yaitu :
a. Debitor sendiri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, debitor yang mempunyai
hutang kepada dua orang kreditur atau lebih dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih atas permintaan
sendiri dapat mengajukan permohonankepada Pengadilan Niaga untuk
dinyatakan pailit.43
Terhadap debitor yang terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan pailit
hanya dapat diajukan atas persetujuan suami/isterinya kecuali perkawinan
dimaksud tidak ada persatuan harta sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat
(2) UUK dan PKPU;
b. Seorang atau beberapa orang kreditur
Hal ini masih terkait dengan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU dan kreditur
yang dimaksud disini adalah kreditur sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal
1 angka 2 yaitu orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang –
undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Pengertian kreditur ini lebih
43 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Edisi Revisi, Unit Penerbitan Universitas
dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU bahwa
kreditur yang dimaksud adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis
maupun kreditur preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan
pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap
harta debitor dan haknya untuk didahulukan. Bila mana terdapat sindikasi
kreditur maka masing – masing kreditur adalah kreditur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 2 ;
c. Kejaksaan untuk kepentingan umum
Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU, Kejaksaan dapat
mengajukan permohonan pailit dengan alasan kepentingan umum dalam hal
persyaratan debitor untuk dapat dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU sudah terpenuhi dan tidak ada pihak yang
mengajukan permohonan pailit. Yang dimaksud dengan kepentingan umum
adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas,
misalnya :
1) Debitor melarikan diri ;
2) Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan ;
3) Debitor mempunyai hutang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan
usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat ;
4) Debitor mempunyai hutang yang berasal dari penghimpunan dana dari
5) Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan
masalah hutang piutang yang telah jatuh waktu ; atau
6) Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum .
d. Bank Indonesia dalam hal debitor adalah bank
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU menyebutkan bahwa pengajuan
permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan
Bank Indonesia semata – mata didasarkan atas penilaian atas kondisi keuangan
dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu
dipertanggungjawabkan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan pencabutan
izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan
perundang-undangan.
Pengajuan permohonan pernyataan pailit bank perlu dibatasi dan hanya dapat
dilakukan melalui Bank Indonesia dengan pertimbangan agar bank tidak
senantiasa dibayang-bayangi pengajuan permohonan pernyataan pailit. Bila
kondisi ini terjadi jelas akan mengganggu kinerja perbankan nasional, yang
selanjutnya akan mengganggu perekonomian nasional karena bank merupakan
agent of modernization.44 e. Badan Pengawas Pasar Modal
Dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring
dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan
pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Hal