• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH

A. Syarat-Syarat Permohonan Pailit

Dalam perkembangan hukum kepailitan di Indonesia, telah terjadi beberapa kali perubahan hukum positif yang mengatur ketentuan dari syarat-syarat permohonan pailit. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan (disingkat UUK) yang berasal dari PERPU Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Kepailitan menyatakan untuk dapat dinyatakan pailit, seorang debitur harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditor

2. Debitur tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih 3. Permohonan pailit dapat diajukan sendiri maupun atas permintaan seorang atau

lebih krediturnya.78

Dalam proses pemeriksaan pernyataan pailit tersebut diperiksa secara sederhana (sumir), yaitu pemeriksaan yang tidak memerlukan alat-alat pembuktian seperti diatur dalam buku ke IV KUH Perdata cukup bila peristiwa itu telah terbukti dengan alat-alat pembuktian yang sederhana.79

78

Lampiran dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan.

79

Pasal 1866 KUHPerdata menyatakan alat-alat bukti terdiri atas : a. bukti tulisan;

b. bukti dengan saksi-saksi; c. persangkaan-persangkaan; d. pengakuan;

Lahirnya Pasal 1 UUK ini sebenarnya dalam rangka untuk lebih memberikan perlindugan hukum kepada kreditur atau debitur dibandingkan dengan peraturan yang lama yang mana terdapat celah hukum yang sering kali dimanfaatkan oleh debitur yang nakal, karena di dalam Pasal 1 Peraturan Kepailitan yang lama80 syaratnya hanya debitur dalam keadaan berhenti membayar, tanpa ada penjelasan lebih lanjut maka kemudian disalah artikan, mestinya untuk debitur yang benar-benar tidak mampu membayar bukan debitur yang tidak mau membayar kemudian minta dijatuhi kepailitan.81

Dalam syarat yang pertama di atas, mengenai syarat paling sedikit harus ada dua kreditor, Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU memungkinkan seorang debitur dinyatakan pailit apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditor, syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditur dikenal sebagaiconcursus creditorium. Rasio adanya minimal dua kreditur tersebut adalah sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitur itu untuk kemudian dibagi-bagi hasil perolehanya kepada semua krediturnya sesuai dengan tata urutan tingkat kreditur sebagaimana diatur dalam UU. Apabila seorang debitur hanya mempunyai satu orang kreditur, eksistensi dari UU kepailitan kehilangan Raison d’etrenya , apabila debitur hanya memiliki seorang kreditur saja bila dibolehkan mengajukan permohonan pailit padanya, harta kekayaan debitur yang menurut

e. sumpah; serta

Segala sesuatunya dengan mengindahkan aturan-aturan yang ditetapkan dalam KUH Perdata.

80

Lampiran Pasal 1Faillisement Verordening.

81

ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan jaminan utangnya tidak perlu diatur. Mengenai bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan itu. Sudah pastilah bahwa seluruh hasil penjualan harta kekayaan itu merupakan sumber pelunasan bagi kreditur satu-satunya itu, tidak akan ada ketakutan terjadi perlombaan dan perebutan terhadap harta kekayaan debitur karena hanya ada satu orang kreditur saja.82

Menurut Sutan Remy harus dibedakan antara pengertian kreditur dalam kalimat “..mempunyai dua atau lebih kreditur...” dan kreditur dalam kalimat “...atas permintaan seorang atau lebih krediturnya” yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 UUK. Kalimat yang pertama adalah untuk mensyaratkan bahwa debitur tidak hanya mempunyai utang kepada kreditur saja. Dengan demikian, pengertian kreditur disini adalah menujuk pada sembarang kreditur, yaitu baik kreditur konkuren maupun kreditur preferen. Yang ditekankan disini adalah bahwa keuangan debitur bukan bebas dari utang, tetapi memikul beban kewajiban membayar utang-utang.83

Sedangkan maksud kalimat yang kedua adalah untuk menentukan bahwa permohonan pailit dapat diajukan bukan saja oleh debitur sendiri tetapi juga oleh kreditur. Kreditur yang dimaksud disini adalah kreditur konkuren. Mengapa harus kreditur konkuren adalah karena seorang kreditur preferen/separatis pemegang hak-hak jaminan mempunyai tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak-hak mengajukan

82

Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 37.

83

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan; Memahami Faillisementsverordening juncto Undang-undang No.4 Tahun 1998,(Jakarta: Grafity, 1992), hal. 66.

permohonan pernyataan pailit mengingat kreditur separatis telah terjamin sumber pelunasan tagihanya, yaitu dari barang agunan yang telah dibebani dengan hak jaminan.84

Terkait dengan syarat yang kedua, yakni adanya suatu “utang”. (kata “utang” diambil dari kataGotisch“skulan” atau“sollen”)85 disebutkan terdahulu yakni utang yang tidak terbayar adalah utang pokok atau bunganya.86 sehingga utang dalam pengertian ini merupakan hal yang dapat timbul pada kedua belah pihak. Dalam perikatan, kewajiban (pemenuhan prestasi) yang harus dijalankan menurut hukum oleh si debitur merupakan utangnya sementara di sisi kreditur, pemenuhan prestasi tersebut diterima sebagai suatu penerimaan yang harus terjadi menurut hukum dan merupakan tagihannya yang dapat dimintakan ganti rugi bila tidak dipenuhi oleh si debitur, sehingga si berpiutang atau kreditur memiliki piutang(inschuld)dan hak atas tuntutan ganti rugi, sementara pada pihak si berutang atau debitur memiliki utang (uitschuld)dan tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi(haftung).87

Di dalam UU kepailitan yang lama (UUK) tidak memberikan defenisi jelas atau pengertian mengenai apa yang yang dimaksudkan dengan utang secara gamlang, hanya disebutkan bahwa utang adalah kewajiban yang dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena

84

Ibid,hal.67.

85

C. Assers, Bagian Pengajian Hukum Perdata Belanda, Jilid II Hukum Perikatan Pertama Perikatan, (Jakarta: Dian Rakyat, 1991), hal.23.

86Ibid.

87

perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk medapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Akibat tidak adanya defenisi yang jelas (menimbulkan multi interpretasi) tentang apa yang dinamakan utang dalam UUK, apakah lantas sesuatu yang belum diketahui di kemudian hari dapat dikatakan sebagai utang. Menurut Sutan Remy dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, karena penafsiran yang berbeda yaitu apakah utang tersebut hanya timbul dari utang piutang saja ataukah karena kewajiban seseorang untuk menyerahkan sejumlah uang. Selain itu, apakah kewajiban untuk melakukan sesuatu yang tidak berupa uang, tetapi akibat tidak terpenuhinya kewajiban tersebut yang dapat menimbulkan kerugian dapat diklasifikasikan sebagai utang? Selain itu, juga apakah setiap kewajiban untuk memberikan sesuatu, atau untuk melakukan sesuatu, atau tidak untuk melakukan sesuatu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1243 KUH Perdata sekalipun tidak telah menimbulkan kerugian dapat diklasifikasikan sebagai utang sebagaimana dimaksud dalam UUK.88

Putusan Mahkamah Agung dalam perkara Kepailitan telah memberikan gambaran mengenai makna utang secara sempit, tetapi pada saat lain juga mengartikan utang dalam pengertian yang luas. Putusan Mahkamah Agung No. 30 K/N/1998 dalam sengketa perjanjian pengikatan jual beli rumah susun Golf Modern dengan cara cicilan antara Drs. Husein Sani dan Djohan Subekti sebagai pembeli dan PT. Modern Land Realty yang menjadi perusahaan pengembang rumah susun. PT.

88

Modern Land Realty telah gagal melakukan penyerahan unit rumah susun yang dipesan, juga gagal mengembalikan uang pembayaran yang diterima dari pembeli, sehingga para pembeli tersebut mengajukan permohonan pailit ke pengadilan Niaga Jakarta Pusat Terhadap PT. Modern Land Realty.

Di tingkat Pertama, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengeluarkan putusan Nomor 07/Pailit/1998/PN.Niaga/JKT.PST. tanggal 12 Oktober 1998 yang mengabulkan permohonan pailit tersebut. Pengadilan Niaga berpendapat bahwa meskipun permohonan pailit yang diajukan permohonan pailit tidak bedasarkan pada perjanjian utang yang yang timbul dari konstruksi hukum pinjam meminjam, tetapi timbul dari perikatan jual beli rumah susun tetapi karena PT. Modern Land Realty belum mengembalikan uang pembangunan yang telah diterima pembeli, termohon pailit harus dinyatakan telah mempunyai utang kepada masing-masing pemohon pailit.

Terhadap pemohon kasasi yang diajukan PT. Modern Land Realty, Majelis Hakim perkara kasasi dalam putusan perkara Nomor 30/K/N/1998 tanggal 2 Desember 1998 menyatakan tidak sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Niaga, khususnya terhadap pertimbangan yang mengartikan utang secara luas.89 Menurut Majelis Hakim Kasasi, pemaknaan secara luas yang dilakukan oleh judex factie seperti itu jelas bertentangan dengan pengertian utang sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (1) UUK dimana pengertian utang yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK tidak boleh terlepas dari konteksnya, yaitu konsiderans

89

tentang maksud diterbitkanya UUK dan tidak dapat dilepaskanya kaitanya itu dari padanya yang pada dasarnya menekankan pinjaman-pinjaman swasta, sehingga pengertian utang tidak meliputi bentuk wanprestasi lain yang tidak berawal pada konstruksi hukum pinjam meminjam uang.

Terhadap putusan kasasi tersebut telah diajukan Peninjauan Kembali, Majelis Hakim dalam putusan Nomor 06/PK/N/1999 telah membenarkan keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi (Drs. Husein Sani dan Djohan Subekti), tetapi tidak memberikan pendapat hukum mengenai dalil-dalil yang diajukan pemohon kasasi atau pendapat hukum yang membenarkan dalil-dalil hukum Pemohon Peninjauan Kembali. Majelis hakim hanya menyatakan bahwa keberatan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan karena tidak ada kesalahan berat dalam penerapan hukum yang dilakukan Majelis Hakim Kasasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Majelis Hakim Penjanjuan Kembali sependapat dengan Majelis Hakim Kasasi yang mengartikan utang secara sempit.90

Untuk mengajukan permohonan pailit maka utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Pasal 2 ayat 1 UUK membedakan sekaligus menyatukan syarat utang yang telah jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih. Penyatuan tersebut ternyata dari kata dan diantara kata jatuh waktu dan dapat ditagih. Menurut Sutan Remy, kedua istilah itu berbeda pengertian dan kejadianya. Suatu utang dapat saja telah dapat ditagih tetapi belum jatuh waktu. Pada perjanjian-perjanjian kredit perbankan, kedua hal tersebut jelas dibedakan. Utang yang telah jatuh waktu ialah

90

utang yang dengan lampaunya waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu, menjadi jatuh waktu dan karena itu juga kreditur berhak untuk menagihnya. Di dalam dunia perbankan disebut bahwa utang itu telah expired.Tidak harus suatu kredit bank dinyatakan expired pada tanggal akhir perjanjian kredit sampai cukup apabila tanggal-tanggal jadwal angsuran kredit telah sampai misalnya, pada perjanjian kredit investasi, kredit harus diangsur setiap tiga bulan setelahgrace period kredit tersebut.91 Namun dapat terjadi bahwa sekalipun belum jatuh waktu, tetapi utang tersebut telah dapat ditagih karena telah terjadi salah satu dari peristiwa-peristiwa yang disebut events of defaulth. Events of default clauses lazim dicantumkan dalam perjanjian kredit perbankan, yaitu klausul yang memberikan hak kepada bank untuk menyatakan nasabah debitur in defaulthatau cedera janji apabila salah satu peristiwa yang tercantum dalam events of defaulth itu terjadi. Terjadinya peristiwa (event) itu bukan saja mengakibatkan nasabah debitur cedera janji, tetapi juga memberikan hak kepada bank (kreditur) untuk seketika menghentikan penggunaan kredit lebih lanjut oleh nasabah debitur (nasabah debitur tidak berhak lagi menggunakan kredit yang belum digunakan), dan seketika itu pula memberikan hak kepada bank (kreditur) untuk menagih kredit yang telah digunakan oleh nasabah debitur.92Contoh-contohnya dapat berupa larangan-larangan (negatif covenants) dan dapat berupa kewajiban-kewajiban(Positive atau affirmativecovenant)yang biasanya termuat dalam klausula perjanjian, dan dapat dijadikan suatu peristiwa atau event yang apabila dilanggar oleh nasabah debitur akan mengakibatkan nasabah debitur

91

Sutan Remy Sjahdeini,Op.cit,hal.68-69.

92

cedera janji (in default), dan karena terjadinya peristiwa itu dapat merupakan salah satu darievent of default, seketika itu juga kredit menjadi dpat ditagih. Dari uraian di atas, perbedaan antara pengertian utang yang telah jatuh waktu dan utang yang dapat ditagih adalah utang yang telah jatuh waktu atau expired dengan sendirinya menjadi utang yang dapat ditagih. Namun utang yang dapat ditagih belum tentuutang yang telah jatuh waktu. Utang hanyalah telah jatuh waktu apabila menurut perjanjian kredit atau perjanjian utang piutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh debitur sebagaimana ditentukan dalam perjanjian itu.93

Dalam penjelasan Pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwa yang dimaksud “kreditur adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditor preferen”. Kreditur Separatis adalah kreditur yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-olah tidak terjadi Kepailitan. Sedangkan kreditur Preferen/Istimewa merupakan golongan kreditur yang mempunyai kedudukan istimewa artinya kreditur ini mempunyai hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan boedel pailit. Sedangkan kreditur konkuren adalah kreditur yang pelunasan piutangnya dicukupkan dari hasil sisa penjualan/pelelangan harta pailit setelahbagian golongan separatis dan preferen diambil.94

Kartini Mulyadi berpendapat bahwa istilah utang dalam UUK yang dikaitkan dengan Pasal 123395 dan Pasal 1234 KUH Perdata.96 Dari uraiannya dapat

93

Sutan Remy,Ibid.hal.69-70.

94

Sunarmi,Op.cit,hal.170.

95

Pasal 1233 KUH Perdata Berbunyi : Tiap-Tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang.

96

Pasal 1234 berbunyi : Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

disimpulkan bahwa utang sama dengan kewajiban. Kewajiban yang dimaksud adalah kewajiban dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena UU. Selanjutnya, Kartini Muljadi menghubungkan perikatan yang dimaksud dengan Pasal 1233 KUH Perdata tersebut dengan ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata yang menentukan bahwa tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. dengan kata lain, pengertian utang yang dimaksud dalam UUK adalah setiap kewajiban debitur kepada setiap krediturnya baik kewajiban itu adalah kewajiban kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dengan kata lain Kartini Muladi menganut pengertian utang secara luas.97

Dalam Undang-Undang Kepailitan yang baru yakni UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU), syarat-syarat sahnya permohonan pailit ini masih sama dengan bunyi dari Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1998 namun yang berbeda hanya letak Pasalnya saja. Bila dalam UU No. 4 Tahun 1998 mengenai syarat permohonan pailit ini diatur dalam Pasal 1 maka di UU No. 37 Tahun 2004 syarat permohonan pailit ini diatur dalam Pasal 2 ayat 1.

Pengertian dari “utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” menurut penjelasan Pasal 2 ayat 1 adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu waktu penagihanya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase.

97

Dalam UUK-PKPU sendiri pemberian pengertian utang diberi batasan secara tegas, demikian pula pengertian jatuh waktu, hal ini semata-mata untuk menghindari adanya berbagai penafsiran.98 Dengan demikian penerapan dari syarat pengajuan permohoan pailit tersebut haruslah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Salah satu syarat yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU agar seorang debitur dapat dimohonkan pailit adalah selain debitur memiliki dua atau lebih kreditur juga cukup apabila satu utang kepada salah satu krediturnya telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Sama sekali tidak dipersyaratkan bahwa debitur telah dalam keadaan insolven.99 Menurut penjelasan Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU, bahkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh Pemohon Pailit dan Termohon Pailit tidak menghalangi dijatuhkanya putusan pernyataan Pailit. Tegasnya, hanya karena seorang debitur tidak membayar utangnya yang jumlahnya relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan asset perusahaan (misalnya kreditur yang memiliki tagihan hanya sebesar Rp. 10.000.000,- dapat mengajukan pailit terhadap debitur yang memiliki aset Rp.10 Triliun). Debitur tersbut dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga. Tidak dipersoalkan apakah debiur tidak dalam keadaan insolven. Tegasnya, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan terhadap perusahaan yang masih solven.100

98

Rahayu Hartini,Hukum Kepailitan Edisi Revisi,UMM Press, Malang , 2008, hal.28.

99

Insolven merupakan suatu kondisi yang menyatakan ketidakmampuan debitur dalam melaksanakan kewajiabanya.

100

Perpu No.1 Tahun 1998 sebagaimana telah disahkan menjadi UU No. 4 tahun 1998 Tentang Kepailitan merupakan perubahan dari bunyi Pasal 1 Faillissementverordening(FV) S.1905 No.217 jo S 1906 No.348 yang merupakan ketentuan tentang syarat untuk dapat mengajukan permohonan pailit. Di dalam UUK-PKPU terdapat dalam Pasal 1 ayat 1, adalah:

“Setiap debitur yang tidak mampu membayar utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang tersebut, baik atas permintaanya sendiri maupun atas permintaan seorang kreditur atas beberapa orang krediturnya, dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitur yang bersangkutan dalam keadaaan Pailit.”

Dalam Pasal 1 ayat 1 Fv tersebut dipersyaratkan bahwa debitur telah “tidak mampu” dan telah berada dalam keadaan berhenti membayar”, artinya berhenti membayar utang-utangnya. “tidak mampu membayar utang-utangnya” tidak selalu mengakibatkan debitur berhenti utang-utangnya”, karena mungkin saja debitur tetap membayar utang-utangnya dari sumber utang baru. Artinya, debitur melakukan upaya gali lubang tutup lubang. Sebaliknya dalam hal “debitur berhenti membayar utang-utangnya” mungkin saja bukan karena tidak mampu membayar utang-utangnya itu tetapi karena tidak mau membayar utang-utang itu. Di dalam istilah perbankan sangat dibedakan istilah “willingness to repay” atau “kemauan untuk melunasi utang” dan “ability to repay” atau “kemampuan untuk melunasi utang”. Oleh karena itu, tepat sekali rumusan Pasal 1 ayat 1 Fv tersebut di atas sampai sekarang tetap dipertahankan olehFaillissementwet atau Undang-Undang kepailitan Negeri Belanda dan di adopsi di Indonesia dalam UUK-PKPU. Namun dalam ketentuan UUK-PKPU permohonan pailit dapat dimintakan sendiri oleh debitur dengan ketentuan sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU yaitu debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan debitur sedikitnya tidak membayar satu utang yang telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih.

Dokumen terkait