• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab V Penutup

A. Syari’ah: Gunung Masalah

Suatu agama makin berkembang dihimpun oleh doktrin-doktrin agama. Doktrin agama, sebenarnya adalah kekayaan dalam agama yang dapat disebut kaidah kencana (the golden rule) andai saja ia tidak ditunggangi kepentingan tertentu yang terkadang bukan kepentingan mendasar untuk mempertahankan keberadaannya (kepentingan hayati), tetapi kepentingan narsistik, yaitu kepentingan yang didasari oleh sebuah

kondisi semacam penegasan diri−di mana seseorang merasakan sesuatu yang benar,

berbudaya, dan paling kuat adalah dirinya, kelompoknya, bangsanya, keyakinannya, dan agamanya. “Yang Lain” tidak dianggap nyata dan bernilai, dan hanya dipahami sebatas nalar.

Sikap narsistik, dapat menyebabkan malapetaka, sebab standar ganda yang digunakan dalam mempersepsikan sesuatu. Orang, bangsa dan agama yang narsistik hanya merasa aman dengan keyakinan diri tentang kesempurnaan, kehebatan, dan keunggulan dirinya. Sikap ini dibarengi dengan “menginferiorkan “yang Lain” sebagai

salah, sesat, buas, brutal dan tidak manusiawi yang harus diselamatkan atau bahkan diperangi. Memperkuat citranya, kaum narsistik mengklaim diri pembela martabat, perdamaian, dan sebagainya. Ketika narsisismenya terancam, ia akan merasa terancam kepentingan hidupnya, untuk itu ia sanggup melakukan apa saja, misal mendukung kebijakan perang yang dikeluarkan oleh pemimpin mereka. Kekerasan terhadap “yang Lain” itu dianggap sebagai ungkapan patriotisme, keyakinan diri dan kesetiaan.

Narsistik bukan cuma fenomena psikologi manusia, tetapi juga psikologi agama. Pada bab II dibahas bagaimana fenomena kekerasan muncul dari benak agama, yaitu:

Pertama, penganut agama ingin bertindak sejalan sempurna dengan doktrin agama

yang dalam Islam disebut syari’ah. Kedua, penekanan berlebih agama pada “yang benar”, “yang menyelamatkan” dan “yang diutus”. Persekutuan narsisisme, semangat teokrasi dan doktrin kian kuat sehingga menjadikan kekerasan agama melembaga secara tak terkendali dan terus menerus mewujudkan eksistensi atas “yang Lain”. Tanpa sadar eksistensi kelompok suatu agama menjadi kekuatan penting yang tak jarang terlibat dalam pergumulan politik dan kekuasaan. Kekerasan berkembang dan menjadi nyata ketika teks agama memberi landasan etis untuk memerangi “yang Lain”. Sementara umat sendiri tidak memilah antara perintah agama dan budaya, antara keputusan politik dan ketentuan hukum.

Kenapa kebencian terhadap “yang Lain” dihalalkan? Kenapa kekerasan dianggap sebagai aplikasi jihad? Mengapa agama dapat membuat penganutnya berani memasuki wilayah sakral dari kehidupan? Semua terjadi semata bukan karena narsisme dan semangat teokrasi, melainkan karena adanya doktrin agama itu sendiri yang memberi peluang bagi terjadinya konversi absolutisme vertikal kepada absolutisme

horizontal. Penghayatan akan Yang Ilahi, penentu mati hidup manusia, ternyata dapat menghasilkan semacam religiositas fatalistik, yang membuat umat tertentu merasa berhak mewakili Yang Absolut dalam menentukan mati hidup seseorang. Religiositas fatalistik ini sanggup memotivasi penganut agama untuk melakukan tindak kekerasan. Bentuk lain religiositas fatalistik ini adalah ketika kelompok di luarnya dipandang sebagai musuh yang harus dibasmi seperti dalam perang suci.

Atas nama syari’ah orang merasa dapat melakukan apa saja yang dianggap menyimpang. Di sinilah, saya melihat bahwa “gunung” masalah sesungguhnya dari keberagamaan yang ekstrem (bukan akar) adalah syari’ah, dengan contoh konkret, jihad. Dalam buku 10 Musuh Cita-Cita Menuju Indonesia Baru Berlandaskan Islam (Irfan S. Awwas, Yogyakarta: Wihdah Press, 1999), disebutkan perang terhadap 10 musuh Allah, salah satunya kafir merupakan bagian dari salah satu tugas suci keagamaan, memerangi orang kafir adalah tindakan yang sah. Alasan yang diajukannya karena; 1) perang tersebut berguna untuk memajukan Islam di Indonesia; 2) sesuai dengan kehendak Allah, dan, 3) ditujukan kepada musuh-musuh Allah.

Dari uraian Irfan dalam buku itu, saya merasakan aura kultural yang kuat. Jihad diartikan dengan menaklukkan lawan dengan kekerasan dan pertobatan pemeluk agama lain guna menjadi Islam. Di MMI, jihad dimaknai berdakwah untuk menegakkan syari’ah Islam secara legalistik-formal sampai titik darah penghabisan, bukan pada tataran substansiasi nilai-nilai Islam, seperti sikap anti kekerasan, kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan. Padahal, kalau MMI konsisten pada Sunnah, mereka tidak akan melakukan kekerasan. Tindakan Nabi ketika tidak membalas tindakan tak bermoral Quraisy atasnya, dengan perlakuan yang sama, bahkan ia memaafkan dan

mendo’akan pelaku, sebenarnya adalah upaya untuk memortifikasi kekerasan (menyangkali kekerasan berlaku atas dirinya), secara politis berarti tindakan untuk memutus spiral kekerasan. Inilah jihad yang sesungguhnya. Kenapa hal ini tidak terbaca sepanjang waktu. Kenapa jihad terbenam dalam politisasi Barat-Timur, Islam-Kristen, mesianistik-ekspansif?

Kondisi ini, menurut saya disebabkan adanya teks-teks syari’ah yang memuat semacam kebencian umat non-muslim terhadap Muslim. Teks-teks itulah yang memperkuat wacana kecurigaan dan kebencian terhadap “yang Lain”, sekaligus menjadi alasan kelompok-kelompok yang memiliki kecurigaan dan kebencian itu untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok “yang Lain”. Dalam kondisi demikian, suatu kelompok radikal akan melihat segala persoalan yang berkaitan dengan umat dari agama lain dalam perspektif teologi eksklusif. Jika kelompok itu dari Islam, ia akan melihat permusuhan yang kebetulan terjadi antara seorang Muslim dan seorang Kristen sebagai permusuhan agama. Meski persoalannya bersifat pribadi dan kultural yang tidak ada kaitannya sedikitpun dengan agama.

Dalam kondisi itulah, saya melihat adanya “kabut tebal” yang tengah menyelimuti “lazuardi” yang akan muncul di pucuk “gunung”. Kabut tebal itu adalah

pertama, apa yang disebut Yonki Karman dengan sublimasi kekerasan. Kekerasan

ditujukan demi tegaknya agama, atau untuk sesuai perintah agama. Karenanya, kekerasan memperoleh makna teologis dan peluhuran. Sehingga, ia tidak berhenti pada kekerasan itu sendiri. Di balik itu selalu terkandung tujuan-tujuan soteriologis, misal demi efek pengkudusan dan keselamatan umat pada masa tertentu. Kedua, apa yang disebut Dr. Munir Mulkan tradisi impunity Islam, para pelaku kejahatan tidak harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dibebaskandari hukuman, dengan syarat tobat dan “beramal saleh”, misal berhaji, mendirikan masjid dan sebagainya. Keyakinan ini didasari oleh doktrin syari’ah;1) Tuhan tidak menambah dosa, tetapi melipatgandakan pahala; 2) pendosa yang saat menghembus nafas terakhirnya bertobat dengan menyebut nama Tuhan, ia diampuni dari segala dosanya. Konsep ini menyebabkan Muslim berani melakukan kekerasan. Ketiga, apa yang disebut Dr. Haryatmoko dengan politik porno. Politik yang meminggirkan dan berkonsentrasi semata-mata pada tujuan. Kekerasan dan kekejaman menjadi sah demi gilang gemilangnya tujuan (amar ma’ruf nahi munkar). Pertimbangan nilai, prioritas, ideologi dikesampingkan demi efektifitas realisasi sebuah tujuan tegaknya hukum Tuhan di muka bumi).

Radikalisme agama dan terorisme adalah wujud konkret politik porno. Demi sebuah imperium kebenaran, pelenyapan nyawa manusia lain menjadi justifikasi. Korban menjadi sosok tak berwajah dibandingkan dengan tujuan mulia yang dibawa pelaku. Dasar etikanya adalah demi kebahagiaan yang lebih besar, kerugian minimal dikesampingkan. Tindakan brutal yang beralaskan kalkulasi etis semacam itu memutus tali persaudaraan, cinta kasih yang diajarkan oleh agama dan bertentangan dengan jiwa dari agama yang berpusatkan pada Sang Khalik yang penuh dengan kasih sayang, yang maunya menghadirkan damai sejahtera di bumi.

Dokumen terkait