• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tesis. Dibuat Sebagai Persyaratan Untuk Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tesis. Dibuat Sebagai Persyaratan Untuk Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

M E M B A C A K E M B A L I S Y A R I ’ A H :

M E N G E L U P A S K A N A G A M A D A R I S I S I - S I S I

P A R A D O K S N Y A

(STUDI TENTANG JIHAD DI MAJELIS MUJAHIDIN

INDONESIA/MMI)

Tesis

Dibuat Sebagai Persyaratan Untuk Mendapat Gelar Magister

Humaniora (M. Hum)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Oleh

Lailatul Fitri 016322009

Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB)

Program Pasca Sarjana

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta, 2006.

(2)
(3)
(4)
(5)

Halaman Persembahan

Untuk

Magister Ilmu Religi Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia

Father Baskara T Wardaya

Mamak-Bapak

This happened several time in the course of history. A thing

which has been conceived in a lofly, ideal manner becomes

coarse and material

(ini sungguh terjadi beberapa kali dalam sejarah. Sesuatu yang dibayangkan dengan cara yang agung dan ideal ternyata menjadi kasar dan material)”………Boris Pasternak (Dr. Zhivago)

(6)

Abstraksi

MEMBACA KEMBALI SYARI’AH: MENGELUPASKAN AGAMA

SISI-SISI PARADOKSNYA.

Studi Tentang Jihad Di Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)

Beberapa tahun belakangan ini, umat beragama sering disuguhi dan mungkin juga menyuguhkan pertikaian dan berbagai tindak kekerasan yang sudah sangat anarkis dan brutal, dengan menggunakan simbol-simbol dan idiom-idiom agama.

Tindakan kekerasan tersebut menurut banyak kalangan tidak bermula dari ajaran agama. Karena agama, mana pun, mengajarkan nilai-nilai luhur, kebaikan, perdamaian, persaudaraan, cinta kasih, dan sebagainya. Agama pada hakikatnya mengharamkan praktik-praktik kekerasan. Praksis kekerasan itu terjadi karena adanya faktor-faktor lain di luar agama yang ikut berperan, misal sosial, politik, dan terlebih ekonomi. Apalagi kalau mengacu pada ideologi Karl Marx, teknikal topografik pertikaian agama hanyalah menjadi materialisasi dari sesuatu yang lain yaitu pertikaian ekonomi. Bahwa orang yang bertikai bukan mempertahankan kebenaran tapi keunggulan ekonomi.

Akan tetapi, kita tidak bisa menutup mata bahwa agama dengan satu dan dua cara turut memotivasi konflik dan perang. Selain, di dalam Kitab Suci tertentu dijumpai rekaman peristiwa-peristiwa perang yang di dalamnya berlangsung tindakan-tindakan biadab seperti pembakaran, perampokan, penjarahan, dan pembantaian massal. Dalam satu dan dua cara juga pertikaian dan kekerasan yang terjadi bermuara dari nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Dengan demikian agama sendiri mengandung ajaran-ajaran yang bernuansa kekerasan.

Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa ajaran-ajaran itu lahir dari atau dalam konteks historis tertentu. Ajaran-ajaran yang mengandung makna kekerasan lahir dari tuntutan-tuntutan saat itu yang sifatnya spesifik dan kontekstual. Oleh karena itu seharusnya ajaran-ajaran itu tidak dipandang secara meta-histories melainkan dipahami dalam konteksnya

Jika hal itu yang dilakukan, maka pemahaman akan ajaran-ajaran agama akan lebih luas dan kaya. Instrumentalisasi agama demi kepentingan politik atau sebaliknya, agama memakai politik untuk memperkuat identitasnya akan dapat diminimalisir. Untuk mengurai gagasan-gagasan di atas, penulis akan mengambil studi kasus tentang jihad di MMI Cabang Yogyakarta.

(7)

Abstract

RE-READING THE SHARIA: UNMASKING

RELIGION FROM ITS PARADOX

A Study on the Jihad Concept of the Yogyakarta Branch of the

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI/Council of Indonesian

Moslem Fighters)

In last few years, many members of established religion offered or are offering conflict and violences. They tend to be brutal with using religious symbols and idioms.

According to the many people, the violences are not originally from the religion. They believed that religion would only over goodness values, kindness, peace, brotherhood, love, etc. They furthermore believed that religion would banned any practice of violence. The practice of violence happened because the other factors outside religion such as social, political, and economic factors. As at Karl Marx technical of tapografhic theory-religious conflict are usually merely reflection of economic conflict. People who are in conflict usually are not because of religion but because they are defending economic interest.

But if we look closely, we will see that religion also play important role in motivating conflicts and wars. Furthermore in the Holy Books, certain Holy Books at least we will find description of wars in which there are also description of brutal act like burning, booting, robbing, and even mass killing. Many factor indicated that conflict and violence have they origin in the values are taught by religion. It is therefore in fact religion contain some teaching that have nuances violence.

Nonetheless, we need to understand religious teaching from their particular historical context. The teaching that contain nuances of violence were born from the necessity that were in specific context and circumstances. Because of that, we need to look at religious teaching not only from a historical point of view but meta-histories.

If we do that, understanding of religious teaching will become broader and richer. By having broader and richer understanding of religious teaching we will be able to minimalize the practice of using religion for politic or using politic for religion. In other to explore the above ideas, the writer of this thesis will study case the jihad concept of the Yogyakarta Branch of the Majelis Mujahidin Indonesia (MMI/ council of Indonesian Moslem fighters)

(8)

“Kata Pengantar”

Seindah apapun kata tidak bermakna jika tanpa koma, ia memerlukan jeda , ruang, dan sebagainya. (Dewi Lestari-Filosofi Kopi). Saya sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan ruang untuk menjadi belajar bersama dan menjadi orang baik, antara lain:

1. Dr. Ir. P. Wiryono Priyoyamtama, Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Romo Paulus Suparno, yang memberikan undangan mengikuti Milad Pondok Pesantren al-Mukmin- Ngeruki, Solo dari beliau lewat Bapak St. Sunardi, bagi saya itu satu bentuk perhatian.

2. St. Sunardi, ketua program IRB yang slalu membesarkan hati dan semangat untuk menggilai teori-teori humaniora. Romo Sastra Pratedja, yang tiada henti memberi semangat mempelajari Machiavelli, dan Romo Budi G. Subanar. Kepada keluarga besar IRB yang memberikan ruang bagi kebersamaan, persaudaraan tulus, dan kasih, bertumbuh.

3. Romo F.X. Baskara T. Wardaya, atas share dan pertemanannya. Kali ini Allah memberiku 3 anugerah sekaligus: sahabat yang selembut rembulan, membuatku bangkit, more than I can be, pembimbing yang sangat teliti, dan “Romo” yang paling pemaaf sedunia. Yang akan selalu ingat dari romo, sampai kapanpun adalah kisah mawar yang baru kuntum dan belum terbuka, tak ada orang yang mengatakan “indah”. Suatu ketika mawar mekar dan memerah orang berbicara tentang mawar yang berduri, baginya, kenapa harus takut mendekat, cukup sadari durinya. Dalam hidup untuk tidak takut dengan hal-hal yang lebih besar. Bahwa tesis ini, adalah persembahanku untuk Romo

yang paling menanti karya ilmiahku. Romo Harry Susanto, pembimbing kedua, yang memberi banyak insight pada tesis ini, terima kasih telah membantu memahami tentang Yang Kudus, yang bagai hijau bagi daun, bagai embun bagi pagi dan sebagainya.

4. Ustadz Irfan Suharyadi Awwas beserta seluruh keluarga besar MMI Cabang Yogyakarta yang mempersilakan saya meneliti jihad dan memberikan kemudahan dalam mengakses data-data. Para ikhwan dan

akhwat MMI yang baik, hangat, dan bersahabat, namun, karena satu dua

hal tak bisa kusebut di sini. Bapak Muhaimin dan keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Ummahat, pak Yusdani dan pak Aden di Pusat Studi Islam (PSI) UII.

5. Romo Haryatmoko, Romo I. Wibowo, Romo Herry Priyono, Romo Budi Susanto, Ibu Sri Mulyani, Maria Pakpahan, Pujo Sumedi, Bang Saut dan Katrin, Tri Subagya, Makin, P.M. Leksono, Listiyo, Ishadi SK. Fred Wibowo, Lana Simatupang, F.B. Hardiman, Nico L. Kana. mas Budiawan, bu Ike, dan Nico, juga para dosen tamu Abdurrahman Wakhid, Aristiddes Kattopo, Sinta Nuriah, Jose Cotte, Daniel Dakhidae, pendeta Gerrit Singgih, Barney Adeney Resikota. Henkie dan Lely yang telah melapangkan jalan bagi mujahid-mujahid IRB.

(9)

6. Sahabatku Andi Dianello (atas diskusi), Rusnan (miz U, very much), Indra Ramos, Kak Firman (Gatra), Ahmad Taufiq (Tempo), Yulia (AJI dan Tri Jaya FM Solo), teman-teman IRB sepejuangan Ita dan Devi, Kamsun, Kukuh, Lilik, Maryanus pak Khoiron, juga Kemal, Tina. Singgih dan Mukhlis (atas joke-jokenya), Rudy (trims, support-nya menyelesaikan studi ini, sesegera mungkin), Ali, Wakhid (atas masukannya), Samuel dan bang Vic. Terkhusus buat Rudi Rahabeat atas dukungan, kesabaran, dan dorongan yang tiada henti-hentinya memotivasi agar ide mewujud dalam bentuk tulisan, menjadi sahabatku dalam bahagia, sekaligus sahabat sejati dalam sedih. Di tengah kesibukan, trim, telah menyempatkan mengedit tesis ini. Takkan kulupa Bang Harun al Rasyid (Cides), Dian Yanuar dan Laode yang menjadi jaminan saat saya disandera dan hampir diusir dari arena kongres. Secara khusus buat Laode Arham, yang meminjamkan kasetkaset wawancara dan dokumentasi-dokumentasi lainnya, yang saya gunakan sebagai sumber primer dalam tesis ini.

7. Teman-teman di lingkungan HMI Lafran Pane UII, di DPD PAN DIY, yang banyak memberi ruang untuk belajar bersama, Mas Sidiq, mba Tanti,… dan di C-Truth, Rudi, Tata, Aziz, Aris, Malik, dan Yanu. Ofi dan Wandi (kapan-kapan ke Merapi lagi yach, air terjun Bojong, wow), juga buat Patrick Levaique (Australian Broad Casting) untuk data-data yang dikirim juga analisis-analisisnya, Elsa, Peter, dan Anwar selama “grey November”, for time to share and understand.

8. Untuk bagian yang selalu ingin ku “baca“ ketimbang ku “rasa“, Suamiku SA, yang berbeda, baik hati. Dalam ideal yang menjadi nyata. Terima kasih, yang menerimaku sebagaimana aku ada. Qodabiyaa qalbii an syiwaka, sungguh hatiku akan menolak dengan sendirinya, selainmu. 9. Mamak dan Bapak, setulusnya saya bermohon maaf atas sikap keras dan

keputusan yang telah mengurai air mata (terutama Mamak), kakek-Gde, baru sekarang aku bisa memahami apa yang ingin kalian katakan, ini soal komunikasi saja. Trim atas pelajaran tentang hidup, atas kasih yang tidak bertepi. Semoga di sana kau bahagia. Idho-Cici, dan keluarga besar Sudjana Sobari di Majalaya. Nana-Suhaimi, Umi-Quyung, OOI dan “Jojo”.

(10)

Daftar Isi

Judul... i

Pernyataan Keaslian... ii

Persetujuan Pembimbing... iii

Halaman Pengesahan... iv

Halaman Persembahan... v

Motto... v

Akbstrak... vi

Kata Pengantar... viii

Daftar isi... ix

Bab I Pendahuluan 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tema ... 7

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Sumber Acuan Utama ... 12

E. Metode Penelitian ... 15

F. Kerangka Teoritis ... 16

G. Relevansi Tulisan ... 17

H. Sistematika Pembahasan ... 19

Bab II Syari’ah, Kekuasaan dan Kekerasan 20

A.

Syari’ah sebagai Sumber Terbaca dan Cara Membacanya A.1.1. Basis Normatif Agama A.1.2. Syari’ah Sebagai Sebuah Penafsiran ... ... ... 28 31 38

B.

Pengaruh Dalil Syari’ah pada Individu ... 51

(11)

Bab III MMI Cabang Yogyakarta dan Wacana Penegakan Syari’ah 61

A. MMI, antara Islamisasi dan Arabisme A.1. Aspirasi dari Ba’asyir A.2. Kharisma Ba’asyir A.3. Arab Sebagai Mainstream ... ... ... ... 65 66 68 70 B. Penguatan Identitas Ideologi di Pesantren ... 75

C. MMI dan syariah: sebuah wacana perlawanan terhadap kolonialisme ... 80

D. MMI dan politik: demokrasi tidak sesuai dengan Islam ... 84

E. MMI dan Jihad: Perjuangan Melawan Globalisasi ... 89

F. Perempuan MMI: Syari’ah Islam Wacana Mendiskripsikan Diri ... 94

Bab IV MMI dan Praksis Jihad; dari Tradisi ke “Keberagamaan yang Ekstrem”97 A. Wacana Kekerasan dalam Islam: Sebuah Dasar Fiqhiyah. ... 102

B. Pengaruh Perang dalam Rumusan Fiqh. ... 107

C. Kedamaian yang Terkoyak. ... 111

D. Bahasa, Agama dan Budaya. ... 114

Bab V Penutup 126

A. Syari’ah: Gunung Masalah ... 127

B. Membaca Ulang, Menghilangkan Kabut Tebal ... 131

C. Kekerasan Sebagai Musuh Bersama ... 133

Daftar Pustaka 138

(12)

Bab I

Pendahuluan: Agama, Syari’ah dan Praksis Kekerasan

A. Latar Belakang dan Deskripsi Penelitian

Berbicara masalah agama,1 seperti berbicara mengenai sebuah paradoks. Di

satu sisi, agama mengajarkan pemeluknya untuk mengamalkan kasih, menghargai sesama manusia, dan perdamaian. Agama merupakan tempat bagi pemeluknya untuk menemukan kedalaman hidup, kedamaian, dan (mungkin juga) penghiburan-penghiburan berupa berita gembira dan kabar pembebasan yang mengukuhkan segala harapan menuju “tanah terjanji”. Agama pun menjadi kekuatan bagi banyak orang

untuk menghadapi berbagai penderitaan dan penindasan.2

Pada sisi ini sepertinya mustahil jika agama dari dirinya sendiri akan mendorong orang untuk melakukan tindak kekerasan represif yang menyengsarakan orang lain. Agama bahkan menegaskan dirinya mengharamkan praktik-praktik kekerasan. Fitrah agama menyangkut ke-fitri-an hidup, keluhuran akhlak, ketenangan, dan sebagainya. Kebrutalan, kezaliman dan tindakan-tindakan amoral lainnya menjadi

bertentangan dengan fitrah agama yang menjunjung tinggi keluhuran moral.3

Namun, pada sisi yang lain, agama seringkali justru “bercumbu mesra” dengan kekerasan dan kebrutalan. Fenomenologi agama tidak terlepas dari praktik-praktik

1 Agama sebenarnya fenomena individu yang percaya tanpa syarat pada suatu objek, kejadian, prinsip, dan

segala sesuatu yang dianggap dapat memberi makna bagi kehidupan. Saya sependapat dengan Keith A. Robert, bahwa Inti agama adalah percaya (iman) (“the nature of believing” is probably more indicative of religion than the nature of belief” it self), Keith, Religion in Sociological Prespective, Wardsworth Publishing Company, International Thomson Publishing Inc, California, Amerika, 1995, 19-20. Tetapi, agama lebih sering dipandang sebagai penomena sosial dari sekelompok orang yang mempunyai pandangan (way of life) dan sistem pemaknaan yang sama. (Keith, 20)

2 Baca Matius 20:25; 21:12-17, Lukas 2:25-35, Yesaya 61:1-2, lihat juga QS al Maidah 5;3 3 Yonki Karman, “Devaluasi Agama Lewat Kekerasan”, Kompas, 1 Juni 2001

(13)

kekerasan. Dalam Kitab Suci tertentu bahkan digambarkan event-event kekerasan seperti ritual kurban, hukuman bagi pelanggaran terhadap ajaran agama berupa hukuman potong tangan dan cambuk, serta perang. Agama juga punya “andil besar” dalam meniupkan kecurigaan, merekayasa kebencian, mengundang kesalahpahaman, membangkitkan kemarahan, dan membenarkan berbagai tindakan radikal, destruktif, dan dehumanistik lainnya.4 Sejarah mencatat bahwa agama terkait dalam berbagai

tindak kekerasan, tak terkecuali di Indonesia beberapa tahun belakangan ini.

Dalam memandang paradoks itu ada pihak yang berdalih bahwa bukan agama, melainkan pemeluknya yang mempolitisasi agama demi kepentingan pribadinya untuk mendapatkan kekuasaan dan klaim atas kebenaran pendapatnya. Pada titik ini, sering kali teks-teks Kitab Suci dipolitisasi sedemikian rupa, agama dijadikan tameng untuk menutupi kepentingan dan kejahatan seseorang. Bisakah memisahkan agama dari pemeluknya? Kalau kita mau realitis, pada dasarnya sikap dan tindakan orang beragamalah yang dipermasalahkan.

Banyak kalangan, terutama pengamat dan akademisi menafikan faktor agama sebagai pemicu kekerasan. Mereka cenderung melihat faktor lain, yaitu ketidakpuasan terhadap tatanan yang ada, kesenjangan ekonomi, pertarungan politik, dan kecemburuan sosial. Apakah dapat dikatakan bukan agama jika tindakan kekerasan itu diilhami oleh teks-teks agama? Sangat naif jika mengabaikan begitu saja produk

4 Sebagai contoh indikasi persuasi yang bernuansa agama, penulis kutipkan dari pidato Paus Urbanus II

sebelum Perang Salib “….Ras Turki adalah ras terkutuk, ras yang sungguh-sungguh jauh dari Tuhan. Mereka adalah orang yang hatinya sungguh tidak mendapat petunjuk dan jiwanya tidak diurus Tuhan. Membunuh para monster tak bertuhan ini adalah tindakan suci…”Robert the Monk, Historia Iherosolimitana, dikutip oleh August C. Krey, The First Crusade: The Account of Eye-Witnesses and Participants (Princeton and London, 1921, 21). Dikutip oleh Karen Amstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today World, Anchor Books, New York, 2001, 14.

(14)

penafsiran Kitab Suci seperti syari’ah yang membedakan orang lain, memberikan landasan ideologis dan stereotife etis untuk memerangi umat beragama lain.

Ketakterhindaran agama dari praktik-praktik kekerasan, dalam pengamatan Daniel L. Pas dalam bukunya Seven Theories of Religion, bermula dari nilai-nilai esoterik dari bangunan normatif dan historis agama, yang diyakini oleh penganutnya secara

rohaniyah sebagai “kebenaran” dan “keselamatan” paling shahih dan authentic.5

“Kebenaran” dan “keselamatan” yang dikandung agama acapkali berskala internal dan bukan eksternal antar umat lain agama. Di sinilah praktik kekerasan antar umat beragama menjadi realitas sejarah yang sangat paradoksal dengan otentisitas masing-masing ajaran agama.

“Kebenaran” sering dipersepsikan hanya sebagai satu klaim yakni bahwa diriku, kelompokku, agamaku bahkan Tuhanku sajalah yang benar, dan di luar itu semuanya adalah sesat, dan oleh karenanya halal untuk dibunuh. Maka ujung-ujungnya adalah penggunaan kekerasan. Sedangkan “keselamatan” beroperasi untuk meniscayakan subordinat dan inferiorisasi agama lain, yang dalam banyak interpretasi lanjutannya melegitimasi dengan keshahihan bahkan kewajiban memerangi dan

menghancurkan ketidakbenaran itu.6 Di sinilah cara kekerasan menjadi pilihan utama.

Memperkuat bukti kalau paradoks semacam itu sungguh terjadi dalam agama yang membuat agama berpotensi terhadap kejahatan, tepatnya kejahatan atas kemanusian, Yonki Karman, rohaniwan dan pemerhati sosial dalam artikelnya “Devaluasi Agama Melalui Kekerasan” mengatakan:

“Keberkaitan agama dengan kekerasan disebabkan oleh fungsi agama sebagai penghubung manusia kepada Yang Mutlak. Demi kodratnya sebagai instrumen manusia untuk berhubungan dengan kuasa-kuasa adikodrati atau Yang Mutlak agama mudah melegitimasi tindak kekerasan, bahkan kekerasan dengan pedang. Terutama pada awal kelahiran dan penyebarannya, demi tegaknya

5 Daniel L Pas, Seven Theories of Religion, Oxford University Press, New York, 1996, 267-282, lihat juga Daniel

L. Pas, “Reduction and Belief”, Journal of Religion 66, no. 1, Januari, 1986, 18-36.

(15)

kewibawaan agama sanksi-sanksi yang rigid dan keras diterapkan. Disiplin hidup komunitas diberlakukan dalam masyarakat luas demi mencapai sebuah

masyarakat ideal yang hukum-hukumnya homogen”.7

Dengan demikian, realitas kekerasan konstitutif ada dalam agama, dan terjadi melalui: intensifikasi ajaran-ajaran agama pada awal kelahirannya dan penerapan sanksi-sanksi dan hukuman demi mendisiplinkan sebuah komunitas. Karena inheren dalam agama, kekerasan pun mendapatkan makna teologis (peluhuran) dan sublimasi (penghalusan). Kekerasan diarahkan untuk tujuan-tujuan kebenaran dan keselamatan. Yang berarti bahwa sebuah tindak kekerasan tidak pernah berhenti pada tindakan itu sendiri. Di balik itu selalu terkandung tujuan-tujuan soteriologis, demi efek

pengkudusan dan keselamatan umat pada masa tertentu.8

Andai pun betul begitu, satu hal yang perlu ditegaskan bahwa setiap teks

mempunyai konteks.9 Teks Kitab Suci tidak dirancang untuk menjadi model

kehidupan umat sepanjang masa. Ia musti dilihat dari rangka pemunculannya (emerging) dan karenanya bersifat darurat (emergent)”. Yang berdasarkan itu semua tindak-tindak kekerasan yang tercatat dalam Kitab Suci tidak begitu saja untuk ditiru dan diterapkan untuk segala masa dan keadaan, terlebih bila perkembangan masyarakat sudah semakin come of age dan kehidupan bermasyarakat sudah diikat hukum-hukum positif. Yang berlaku untuk segala masa dan keadaan hanya nilai-nilai soteriologisnya, yang harus diimplementasikan secara berbeda sesuai perkembangan masa dan keadaan yang sudah tidak sama lagi dengan yang ada dalam Kitab Suci.

7 Yonki , Devaluasi, Idem. 8 Ibid

9 Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan,

(16)

Dengan logika emerging dan emergent kasus-kasus kekerasan dalam Kitab Suci bukan merupakan model untuk menyelesaikan problem-problem sosial, tetapi sebagai

event-event yang sifatnya einmalig, tidak untuk diulangi sebagai kasus, sehingga

efek-efek soteriologisnya harus dihadirkan dalam berbagai cara yang kontekstual sesuai

situasi dan kondisi”.10 Dengan demikian, religiositas yang membenarkan kekerasan

bukan bersumber dari ajaran agama yang terdalam, melainkan dari pemahaman teks-teks Kitab Suci secara prima facie. Maka, pembenarannya bersifat quasi-religius”.11

Ironisnya, kondisi tersebut kini dibalik. Event-event einmalig yang dulunya terbatas pada ruang dan waktu tertentu, sekarang ini dengan begitu saja dihadirkan sebagai pedoman-pedoman moral umat untuk segala masa dan keadaan. Teks-teks Kitab Suci yang membolehkan penggunaan cara kekerasan diambil tanpa mempertimbangkan kondisi faktual saat itu. Dalam Islam, kondisi ini ditambah lagi

dengan pemahaman bahwa teks-teks tersebut merupakan syari’ah.12 Syari’ah dipahami

oleh kelompok tertentu sebagai ketentuan Tuhan (Yang Mutlak) yang abadi dan universal, yang mengatur segala bidang kehidupan (historis dan

meta-kanonik).13 Padahal syari’ah sebenarnya merupakan produk manusia pada abad

tertentu, yaitu abad VII-IX.14

10 Yonki, Ibid 11 Ibid

12 Penulis sengaja tidak menambahkan kata Islam sesudah kata syari’ah, karena kosakata syari’ah hanya ada

dalam Islam. Kalau menyebut syari’ah orang selalu bisa mengasosiasikannya dengan Islam, al Qur’an , dan sebagainya, untuk apa menambahkan identitas lain untuk membedakannya dengan lainnya? Bukankah kalau sebuah identitas sudah kuat tidak memerlukan lagi tanda-tanda yang lain untuk memperkuat identiasnya?

13Kata syari’ah berasal dari kata al-syariah dan al-syir’ah yang berarti empat atau jalan menuju sumber air yang

tidak ada habis-habisnya. Orang Arab menggunakan istilah ini untuk menyebut jalan setapak menuju palung air yang tetap dan terlihat mata, atau jalan yang jelas kelihatan. Dalam perkembangannya, kata ini diartikan cara atau pedoman hidup manusia berdasarkan ketentuan Allah. Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Belum Tertutup, Pustaka Salman, Bandung, 1984, 7. Diterjemahkan dari The Early Development Of Islamic Jurisprudence, 1970. Di dalam literatur, syari’ah diistilahkan dengan Islam, fiqh dan hukum Islam (Islamic law). Ketiga istilah dapat dipertukarkan satu sama lain lain, hal itu menyebabkan kerancuan makna syari’ah, baca Dr. Adang Djumhur

(17)

Masalahnya menjadi lebih parah ketika syari’ah yang demikian itu disakralkan, dianggap sebagai tuntunan ilahiah di mana prinsip dan rinciannya diwahyukan. Yang karenanya pemahaman terhadapnya harus bersifat literal, tekstual, dan harfiyah, bahkan huruf per huruf jika perlu. Kebenaran dari sebuah realitas menurut mereka diukur apabila bersesuaian dan tidak bertentangan dengan teks-teks syari’ah, bahkan diverifikasi secara empiris berdasarkan kesuksesan pemeluknya, kesejahteraan umat dan sebagainya. Penafsiran demikian tentunya mirip dengan konsep Max Weber yang

menyatakan bahwa ajaran tertentu menciptakan etos tertentu bagi pemeluknya.15 Hal

inilah yang menjadi keresahan dan melatarbelakangi penulisan tesis ini.16

“Etos” menegakkan syari’ah (baca: dalam prinsip teologis atau tauhid) selalu ada dalam diri seorang Muslim, termasuk Muslim yang dianggap “sekuler”sekali pun, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang religius (zoon religion). Akan tetapi, ide dan ideal tidak hadir untuk dirinya sendiri. Ada pelaku, penafsir, penghayat dan pengamal yang menjadi subyek sekaligus obyeknya. Proses kodifikasi syari’ah sering kali merespon berbagai dinamika umat. Dan, gerak sejarah komunitas acap kali

Salikin, M.A. Reformasi Syari’ah dan HAM dalam Islam; Bacaan Kritis Terhadap Pemikiran An Naim, Gama Media, Yogyakarta, Januari 2004. Adang mengakui makna syari’ah mengalami penyempitan, dari semula meliputi semua aspek Islam, menjadi identik dengan hukum Islam, secara teknis terkadang disamakan dengan fiqh. Meski demikian, beberapa pendapat tetap kukuh membedaan syari’ah dengan fiqh, fiqh dianggap sebagai produk ulama, sedang syari’ah produks Tuhan. (Adang, 2004-54).

14 Dr. Adang…. Reformasi..Idem, 50-8.

15 Definisi “etos” saya sadur dari pendapat Franz Magnis-Suseno, yaitu sikap kehendak. Etos berhubungan

erat dengan sikap moral. Akan tetapi keduanya tidak seluruhnya identik. Kesamaan terletak dalam kemutlakan sikapnya. Kedua-duanya disadari sebagai sikap yang mutlak dan wajib diambil terhadap sesuatu. Perbedaannya terletak dalam tekanan. “Sikap moral” menegaskan orientasi pada norma-norma sebagai standar-standar yang harus ikuti. Etos adalah sesuatu yang nyata-nyata mempengaruhi, yang menentukan bagaimana saya atau sekelompok orang mendekati dan melakukan sesuatu. Maka istilah “etos” mengungkapkan “semangat dan sikap batin tetap seseorng atau sekelompok orang sejauh di dalamnya memuat tekanan-tekanan moral dan nilai-nilai moral tertentu” Berfilsafat dalam Konteks, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Juli 1991 (cet 1), 122.

16 Penulis sangat terkejut ketika keberhasilan Hidayat Nur Wahid menduduki jabatan ketua MPR RI dikaitkan

dengan penghayatan etos tertentu dalam syari’ah, salah satunya: Muslim yang baik adalah Muslim yang memberi manfaat bagi orang lain. Demikian kemenangan partai berbendera Islam dalam pemilihan legislatif 2004 yang dikaitkan teks al Qur’an: berapa banyak kelompok yang kecil dapat mengalah kelompok yang besar dengan izin Allah. Hasil sharing dengan berbagai sumber di MMI, 19 November 2004.

(18)

terkait dengan komunitas-komunitas lainnya. Ada episteme dan jejaring makna, ada imajinasi,17 ada pengetahuan, dan tentu saja ada kekuasaan.18 Dengan demikian,

syari’ah merupakan konstruksi sosial yang tak luput dari interpretasi, akomodasi kepentingan, dan adaptasi kondisi sosial-budaya, yang tentunya bisa keliru.

Oleh sebab itu, penegakan syari’ah seharusnya tak lagi mengandaikan otoritas para pemimpin agama, melainkan pengalaman umat terutama pengalaman batin. Pegalaman mengandaikan posisi bebas umat (semacam Lebenswelt) untuk melakukan proses interpretasi dengan realitas-realitas hidupnya. Ruang tersebut selama ini dimonopoli oleh pemimpin-pemimpin agama. Hal itu mengakibatkan lahirnya fatwa-fatwa sepihak, dan secara tidak langsung memiskinkan—untuk tidak dikatakan mematikan ruang imajinasi umat. Dalam konteks itu, umat harus berjihad dalam arti berjuang menolong dirinya sendiri dari jejaring-jejaring kuasa yang merugikan dirinya, dengan kata lain berjihad akbar. Dan, sebagai Muslim, gagasan ini seharusnya dipahami sebagai bagian dari dialektika sejarah guna menemukan kembali posisi khas syari’ah dalam konteks kekinian, yang selama ini sering terampas oleh keserakahan dan terkikis oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek.

B. Tema

Meski syari’ah adalah produk manusia, namun, ia merupakan hasil interpretasi historis terhadap sumber fundamental Islam, yaitu Al Qur’an dan Sunnah atas

17 “Imajinasi”, kata ini terinspirasi lewat diskusi panjang dengan “guru penulis” yang sangat menggilai konsep

“Imagined Communities”. Proses pengimajinasian dalam syari’ah tidak lepas dari peran manusia sebagai pelaku yang hidup dan memberi makna tindakannya. Analognya adalah ekspedisi Columbus ke benua Amerika. Ketika kapal Columbus mendarat ke benua Amerika, masyarakat Indian tidak mempunyai gambaran apapun tentang benda yang disebut kapal. Istilah kapal baru muncul dan mengisi imajinasi mereka setelah pemimpin atau pemuka agama mengatakan demikian.

(19)

berbagai problem aktual yang berkembang dalam sejarah nyata umat Islam. Atas dasar itu ada dua nalar yang mestinya dikembangkan; (1) bahwa pada prinsipnya syari’ah dihadirkan demi kemaslahatan umat, demi menghindarkan umat dari kejahatan, kekerasan, dan ketidakadilan; (2) karenanya, wacana kekerasan dengan sendirinya bertentangan prinsip dasar syari’ah.

Dalam kenyataaannya, praksis kekerasan justru terkait erat dengan rumusan– rumusan klasik syari’ah (di bidang teologi, etika dan hukum) yang menyediakan

event-event kekerasan demi tujuan kemaslahatan. Salah satu contohnya adalah teks tentang

jihad.19 Di lain pihak juga, “kemaslahatan” yang dicitakan oleh Islam sendiri menuntut

hadirnya situasi yang kondusif, potensi-potensi yang akan menimbulkan konflik, dan kerusakan kehidupan umat harus diatasi dengan tangan, lisan, dan diam (dengan cara apa pun). Kondisi semacam ini digenapi dengan pemahaman bahwa tuntutan melakukan tindakan kekerasan didasarkan pada pertimbangan etis, demi kemaslahatan umat di dunia dan akhirat, dan demi menegakkan syari’ah Allah.

Tanpa disadari, betapa prinsip kemaslahatan yang merupakan fondasi syari’ah, yang mestinya menolong umat dari kejahatan, ketidakadilan dan kekerasan malah menyeleweng dari cita-citanya yang paling dasariah, yakni memaslahatkan kehidupan manusia. Syari’ah yang semula menjadi sarana untuk mencapai tujuan kebahagian dunia dan akhirat, pada akhirnya menjadi tujuan itu sendiri.

Hal ini, menurut penulis, dilatarbelakangi oleh beberapa sebab yang saling berkait satu dengan lainnya, misalnya cara pembacaan teks-teks yang harfiah dan dogmatis; ketidakmampuan mengkontekstualisasikan ajaran dengan kehidupan konkret; ketidakberanian mengelaborasikan teks lebih jauh melalui perspektif historis

(20)

yang terkait dengan konsep itu; ketidakmampuan menangkap nilai-nilai universal yang dikandungnya untuk diaplikasikan dalam kehidupan konkret saat ini, dan terlebih dari adanya kecenderungan kelompok tertentu—tak jarang dari mereka yang

mengklaim “pengawal setia” syari’ah−untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi

dengan kembali kepada teks dengan melakukan pemahaman yang literal dan parsial terhadap Al Qur’an dan Sunnah. Contoh paling nyata dalam hal ini, umpamanya adalah mengartikan jihad dalam Al Qur’an sebatas arti harfiah yang tersurat.

Untuk memeriksa keberkaitan antara agama dengan keberagamaan yang ekstrem ini, saya melakukan studi kasus tentang jihad di Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Cabang Yogyakarta. Ini karena: Pertama, MMI menyakini bahwa syari’ah adalah kehendak sempurna Tuhan atas kehidupan manusia, yang karenanya mereka memproklamirkan diri sebagai institusi untuk penegakan syari’ah. MMI menjadikan pemberlakuan syari’ah secara legalistik-formal sebagai sebuah keniscayaan. Kedua, MMI menjadikan jihad sebagai ideologi gerakan. Mereka mendasarkan tindakan jihad mereka pada teks-teks tertentu Al Qur’an dan Sunnah.

Doktrin finalitas syari’ah membawa konsekuensi idealisasi formalisme syari’ah dalam kehidupan bernegara. MMI berpandangan syari’ah sebagai satu-satunya sarana untuk mengembalikan Islam seperti pada masa keemasan, (lihat lampiran 1). Hal ini,

karena MMI meyakini syari’ah adalah induk dari segala Yang Baik,20 yang memayungi

kekuasaan,21 yang dapat memperluas dan menciptakan institusi-institusi yang adil.

Dengan pendirian seperti di atas MMI tidak hanya menempatkan syari’ah masalah hukum (sosiologis-historis), tetapi meta-historis yang mampu menjadi kanopi

20 Fuad Amsyari, Diskusi “Formalisasi Syari’ah Islam Dalam Konstitusi Negara”, 21 Sepetember 2001,

dokumen Pusat Studi Islam (PSI), UII.

(21)

seluruh permasalahan umat. Syari’ah seolah-olah adalah meta-kanonik yang ditujukan untuk mengincar hidup baik bersama dan untuk orang lain.

Mujahid MMI sungguh-sungguh dalam menerapkan teks-teks syari’ah “versi mereka”, yang secara garis besar dijabarkan dalam prinsip-prinsip : Tauhid (teologis),

Fiqh (prinsip hukum) dan Aqidah (prinsip etika)22 secara konservatif dalam kehidupan

sehari-hari (lihat lampiran 2), mulai dari interaksi personal hingga interaksi sosial. Mereka tidak mengenal kompromi untuk menerapkan hukum dalam pelaksanaan bidang peribadatan dan pengaturan hidup islami secara benar. Mereka ingin mengembalikan “Islam” ke landasan pokok Al Qur’an dan Sunnah. Dalam rangka itu, MMI memahamkan ke publik bahwa kejahatan-kejahatan yang menimpa masyarakat Islam sekarang ini disebabkan oleh ketidaksetiaan akan model masyarakat Mekkah

dan Madinah.23 Untuk itu mereka merasa perlu untuk menghidupkan kembali

ajaran-ajaran Islam yang selama ini sering dinilai sudah ketinggalan jaman, seperti jilbab,

khilafah, tadarus, dan sebagainya.24

Namun, MMI menolak penggunaan cara kekerasan, meski dalam kondisi tertentu mereka membenarkan cara-cara kekerasan, dan menganggapnya berasal dari teks-teks syari’ah. Praksis kekerasan menjadi tambah dekat dengan kehidupan mereka ketika menjadikan jihad dalam arti yang paling radikal; perang terhadap apa saja yang bertentangan dengan “syari’ah” dan menjadikan kewajiban kolektif (fardhu ain) bagi setiap Muslim. Kajian akademis ini ingin memeriksa kaitan teks-teks syari’ah dengan praksis kekerasan di MMI Cabang Yogyakarta.

22 Tatbiqu al- syari’ahu 23 Ibid

(22)

C. Rumusan Masalah

Syari’ah bagi sebagian umat Islam lebih dari sekedar sistem hukum, bahkan

lebih dari agama itu sendiri.25 Syari’ah menjadi inspirasi bagi kelompok tertentu dalam

setiap aspek kehidupannya. Kontroversi terjadi manakala syari’ah dimaknai secara ekstrim pada salah satu dimensinya saja, atau ketika hendak diaplikasikan. Dimaklumi bahwa aspek ilahiah merupakan aspek ideal Islam. Ketentuan-ketentuan ilahi berlaku universal dan mengandung konsekuensi teologis.

Syari’ah menyimpan problem serius justru: 1) ketika aspek ideal syari’ah akan diimplementasikan dalam kehidupan aktual yang kaya dengan subyektivitas dan nuansa-nuansa lokal; 2) (di sisi lain, tidak bisa dipungkiri) ketika berhadapan dengan realita dalam kehidupan aktual, dalam merespon tantangan tersebut, dalam diri umat Islam tertentu, ada kecenderungan untuk lari ke ortodoksi teks dan beromantisme dengan sejarah masa lalu kala syari’ah diberlakukan secara ketat.

Karena itu melalui kajian akademis ini, penulis hendak mempertanyakan tiga hal mendasar :

1. Benarkah kekerasan dalam jihad bermula dari ajaran agama (terutama,

syari’ah) atau karena bias pemahaman?

2. Setelah teks-teks Kitab Suci tentang penggunaan kekerasan dipahami secara kontekstual, adakah jaminan syari’ah bisa dijalankan tanpa reduksi?

3. Dalam Konteks apa jihad digunakan di MMI

25 Ibid. Di dalam literatur, syari’ah diistilahkan dengan Islam, fiqh dan hukum Islam (Islamic law). Ketiga istilah

dapat dipertukarkan satu sama lain lain, hal itu menyebabkan kerancuan makna syari’ah, baca Dr. Adang, Reformasi..Idem, 50-8. Adang mengakui makna syari’ah mengalami penyempitan, dari semula meliputi semua aspek Islam, menjadi identik dengan hukum Islam, secara teknis terkadang disamakan dengan fiqh. Meski demikian, beberapa pendapat tetap kukuh membedaan syari’ah dengan fiqh, fiqh dianggap sebagai produk ulama, sedang syari’ah produks Tuhan. (Adang, 2004, 54)

(23)

D. Sumber Acuan Utama

“Intim-“nya hubungan antara agama dan kekerasan telah lama “merangsang” minat kalangan akademisi, pengamat, dan peneliti untuk melakukan kajian dan analisis mendalam. Penulis merasa terbantu dengan adanya beberapa buku, tesis, skripsi, kertas kerja, makalah, kolom atau tulisan-tulisan lepas telah dibuat sebagai reaksi atas persoalan tersebut. Meskipun demikian, dalam kajian akademis ini penulis lebih menggunakan tiga buku sebagai acuan utama. Buku-buku itu adalah: (1) Dr, Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Pustaka Buku Kompas, Jakarta, Agustus 2003; (2) Khairul Abdul Karim, Syari’ah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan, LkiS, Yogyakarta, Juli 2003, judul asli Al-Judzur at-Tarkhiyyah li sy-Syari’ah al-Islamiyyah; (3) Irfan S. Awwas

Dakwah-Jihad Abu Bakar Ba’asyir, Wihdah Press, Yogyakarta, 2000.

Kekerasan dan agama, menurut Haryatmoko, adalah hal yang saling bertautan satu sama lain. Ia menunjukkan sisi-sisi agama yang rentan kekerasan, yaitu: Pertama, agama sebagai kerangka penafsiran terhadap hubungan sosial (fungsi ideologis). Sebagai ideologi agama memantapkan satu tata sosial dan memonopoli pemaknaan hubungan-hubungan sosial yang ada di dalamnya. Sehingga satu sentuhan ringan pada tata sosial yang diamini agama tertentu bisa mudah memicu konflik. Kedua, agama sebagai faktor identitas. Ketiga, agama sebagai legitimasi etis hubungan sosial.26

Ia juga melihat adanya upaya terstruktur untuk menjadikan fenomena kekerasan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah, dan umat beragama yang melakukannya merasa tidak berdosa, bahkan mereka akhirnya terbiasa menjadikannya sebagai sarana untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Pelembagaan kekerasan ini mengaburkan kodratnya sebagai kekerasan karena seolah-olah disahkan

(24)

secara institusional karena institusi-institusi yang menopangnya mendapat legitimasi dari agama, ideologi dan sistem nilai.27

Haryatmoko juga tidak melupakan akar-akar psikologis kekerasan. Dengan meminjam filsuf Perancis Rene Girard, ia menunjukkan bahwa kekerasan datang dari hasrat mimesis. Hasrat itu bekerja saat keinginan orang lain terhadap suatu obyek diingini juga oleh orang lain.28 Manusia memiliki kecenderungan meniru keinginan

orang lain terhadap suatu objek. Insting mimesis ini berujung pada penguasaan keinginan orang lain tersebut untuk menutup kekurangannya. Dalam kaitan antara agama dan kekerasan ini Haryatmoko berpendapat :

“Kebenaran yang diklaim agama telah menumbuhkan keinginan agama lain untuk menegaskan dirinya sebagai satu-satunya yang memonopoli kebenaran. Hasrat satu agama akan kemutlakan kebenaran terhalang oleh hasrat agama lain akan hal yang sama. Itu sebabnya tiap agama berlomba-lomba mencari

pengikut demi sebuah pengakuan atas keutuhan kebenaran”.29

Sedikit berbeda dengan Haryatmoko, bagi saya, hasrat memesis tidak hanya bekerja saat keinginan orang lain terhadap suatu obyek yang diingini oleh orang lain, tetapi juga, saat orang lain tidak berhasrat terhadap suatu obyek yang dimilikinya. Di sini, seseorang itu mengajak orang lain merasakan hasrat yang sama dengan hasrat

yang ia miliki.30 Ketika orang lain itu menolak terciptalah kohesi sosial dalam bentuk

tradisi-tradisi. Tradisi itulah berfungsi mempurifikasi kekerasan.

27 Ibid, 59

28

Dalam buku tersebut Haryatmoko memberi contoh seorang anak kecil yang tidak peduli dengan mainan yang dipunyainya. Namun, setelah sepupunya datang ke rumahnya, bermain dengan mainan tersebut, barulah ia berhasrat dan berusaha merebut mainnya kembali, Ibid.

29 Ibid.

30

Wacana pensyari’atan yang dimanifestasikan dengan Perda-Perda Syari’ah merupakan bentuk lain dari hasrat mimesis. Yaitu: hasrat yang bekerja pada saat orang lain tidak mengalami hasrat yang sama dengan ia alami. Dalam konteks seseorang menginginkan orang lain merasakan perasaan aman saat memakai jilbab, perasaan alim saat membaca Al Qur’an, dan sebagainya.

(25)

Permasalahan kekerasan yang dipicu oleh hasrat mimesis yang terhalangi ini semakin menunjukkan bukti bahwa dari sisi individu atau kelompok pelaku mempunyai peran penting membela kepentingan agama. Namun, persoalannya apa yang dianggap sebagai “kebenaran”, “yang otentik”, “yang sakral” dan dibela mati-matian―dalam Islam―belum tentu ia berasal dari perintah Al Qur’an?

Khairul Abdul Karim dalam buku Al-Judzur at-Tarkhiyyah li sy-Syari’ah

al-Islamiyyah mengatakan syari’ah yang dianggap otentik tak lain adalah produk ulama

abad VII-IX yang didominasi oleh nalar Arab dan nalar historis yang absurd. Lebih ekstrem lagi, ia mengatakan bahwa ajaran-ajaran dalam syari’ah seperti pengagungan Baitul Haram, jihad, khilafah, syura, dan sebagainya diadopsi dari tradisi lokal Arab pra-Islam (Jahiliyah).31

Untuk melengkapi pembahasan mengenai keberkaitan agama dan praksis kekerasan di MMI penulis menggunakan Dakwah-Jihad Abu Bakar Ba’asyir sebagai bahan acuan lainnya. Bagi Ba’asyir, jihad adalah sebuah undangan, pertemuan, ajakan dari Tuhan seru sekalian alam untuk melawan musuh.32 Jihad dalam arti kekerasan

fisik (bahasa otot) bukannya sesuatu yang lepas dari kendali fikir, hal itu telah disistemasikan pada acuan masalah yang terjadi. Kekerasan diambil karena pembiaran terhadap kekerasan massif atas Muslim di berbagai wilayah. Jihad merupakan bentuk solidaritas dan kepedulian atas kemanusiaan. Jihad adalah teologi pembebasan untuk menyelamatkan Muslim dari ruang nestapa yang sekian waktu melingkupi kehidupan mereka. Cara demikian dilakukan setelah upaya dan bahasa otak (dakwah) tidak pernah ditanggapi secara serius.

31 Bdk, Khairul Abdul Karim, 5-135

32

(26)

E. Metode Penelitian

Dalam mencari keberkaitan antara teks-teks Kitab Suci (syari’ah) dengan praksis, penulis melakukan “penggalian” konsep syari’ah sebagaimana dipahami dalam MMI. Konsep tersebut lalu dikonfrontir dengan pemahaman syari’ah lainnya, baik dari kelompok Islam moderat maupun dari kelompok liberal. “Penggalian” ini berguna untuk menemukan jawaban-jawaban atas: definisi syari’ah, gagasan dasar syari’ah, cara berpikir (nalar) dalam menginterpretsi teks syari’ah di MMI.

Selanjutnya, penulis mencari manifestasi dari pemahaman syari’ah yang demikian dengan praksis kekerasan yang terjadi, bagaimana teks-teks yang memuat

event-event kekerasan dijalankan di MMI, dan apa akibat pemahaman syari’ah yang

parokhial tersebut bagi kelompok keagamaan lainnya di Indonesia (menyangkut pola jihad dan aplikasinya terhadap ancaman minoritas dan etnis). Penggalian ini berguna untuk mengetahui lebih lanjut posisi khas syari’ah dalam Islam sekaligus posisi syari’ah dalam masyarakat.

Penulis dalam kajian akademis ini banyak menggunakan catatan historis tentang bagaimana jihad dipahami dari waktu ke waktu. Penulis juga menggunakan etnografi yang diperoleh dari pengamatan langsung dan wawancara dengan informan dipilih sebagai metode pokok pengumpulan data. Untuk melihat adanya keterkaitan antara agama, jihad dan kekerasan Dengan tidak mengesampingkan fakta sosiologis bahwa penggunaan jihad bermakna “perang” terkait wicara sehari-hari kita yang memaknai jihad tidak dengan perjuangan untuk menegakkan cinta kasih. Selain itu, penelusuran literatur difungsikan sebagai data sekunder. Lebih lanjut proses analisis akan didasarkan pada keterkaitan antara data yang ditemukan serta hubungan tiap bagian dengan keseluruhan data.

(27)

F. Kerangka Teoritis

Kemunculan gerakan-gerakan keagamaan radikal dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya dapat dilacak pada sisi pemahaman keagamaan mereka. Pemahaman keagamaan mereka didasarkan pada teks Kitab Suci yang tidak dielaborasi secara kontekstual (terutama sebab-sebab historis yang terkait dengan teks tersebut). Kelompok ini menganggap teks-teks tersebut sebagai kebenaran yang berlaku universal yang dapat diaplikasikan ke dalam setiap situasi. Suatu kelompok dengan pemahaman yang literal akan bermetamorfosis menjadi gerakan radikal manakala kelompok itu secara ekonomi atau politik merasa ditindas oleh kelompok atau pemeluk agama lain.

Topik kajian ini akan penulis dekati secara khusus dengan dasar kerangka Max Weber tentang pemikiran rasionalitas tindakan bertujuan. Pembenaran bertitik tolak dari tindakan rasional dalam pengertian Weber ini adalah tujuan menentukan pilihan

sarana. Kelompok-kelompok semacam MMI mendasarkan pada komitmen terhadap

nilai-nilai yang diyakini, sedangkan analisa rasional tidak ada masalah koheransi tujuan. Menyangkut syari’ah dan motivasi jihad, Penulis juga banyak dibantu oleh tulisan dari beberapa pemikir lain, seperti An Naim tentang pemahaman syari’ah dan

Kuntowijoyo tentang paradigma Islam untuk aksi33 atau yang disebut Kuntowijoyo

dengan “Paradigma Ilmu Sosial Propetik”.34 Pendekatan sosial Propetik penting dalam

memeriksa sejarah sosial dari perspektif moral. Artinya, nilai-nilai moral yang mendasari gerakan-gerakan sosial. Perspektif ini penulis gunakan untuk melihat

33 Kuntowijoyo, Dr, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Mizan, Bandung, Agustus 1999 (Cet 9, cet

ke-1, 1991), 327-337.

(28)

pengaruh ajaran-ajaran normatif dalam pelbagai teks syari’ah klasik terhadap motivasi jihad di MMI.

G. Relevansi Tulisan

Terlepas dari faktor-faktor di luar agama, kekerasan oleh pemeluk agama dengan dalih perjuangan membela iman dan kebenaran, singkatnya demi kata Tuhan sendiri sering terjadi di depan mata kita. Kekerasan itu (salah satu sebabnya) bermula dari kebencian yang tak ternetralisir dari pemeluk agama terhadap pemeluk agama lainnya, terutama antara Muslim dan Protestan atau Katolik.

Tulisan ini diharapkan mampu memberikan kesadaran bahwa lahirnya tindak kekerasan tidak hanya dilatarbelakangi oleh persoalan ekonomi dan politik, tetapi juga oleh rumusan-rumusan klasik syari’ah di bidang teologi dan hukum yang memberikan landasan etis dan pembenaran bagi kekerasan-kekerasan berupa: pembedaan muslim dan kafir, darl al-Islam (wilayah Islam) dan darl al-harb (wilayah yang harus diperangi), manusia biasa dan kelompok terpilih, yang profan dan yang sakral, dan sebagainya. Kekerasan agama sering terkait erat dengan pemahaman teks syari’ah secara parsial dan di luar konteks.

Lantas apakah ini berarti syari’ah sebagai inspirasi moral tidak relevan lagi? Bagaimana agar syari’ah mampu menyumbangkan kemaslahatan bagi kemanusiaan? Di sinilah penganut agama (khususnya Muslim) dituntut melakukan dekonstruksi pemahaman. Seperti yang ditulis Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan

“pemahaman lebih baik bila ada proses apropriasi teks”.35 Kajian akademis ini

(29)

mengajak untuk memahami dan menyadari peran kritik terhadap agama dalam membangunkan umat dari kelelapan dogmatis.

Resistensi terhadap agama melahirkan dua hal: Pertama, etika humanis sekuler yang memotong segala rujukan transendental dan berkonsentrasi pada manusia semata. Tuhan sekedar dilambangkan dalam alam pikir manusia sebagai postulat.

Kedua, suatu sikap keagamaan yang peduli pada kemanusiaan.36 Agama melahirkan

etika religius yang mencoba mengatasi persoalan-persoalan dalam tata hidup bersama sebuah komunitas politik. Etika pengampunan, misalnya, dapat menjadi landasan untuk menghentikan spiral kekerasan yang tanpa jeda. Singkatnya agama tertantang oleh para kritikus untuk menawarkan sesuatu yang memperkaya etika. Dan agama yang berpaling pada kemanusiaan hanya bisa mewujud bila mau melepaskan dari baju

dogmatisnya dan memberi ruang kritis bagi para pemeluknya.37

Syari’ah itu indah, namun, keindahannya sering “menyilaukan mata” sehingga “pengawal setia syari’ah” enggan “membuka mata” untuk melihat “sisi gelap” syari’ah. Kajian akademis ini mencoba mengingatkan “mereka” untuk tidak lupa bersikap kritis terhadap apa yang sesungguhnya terjadi. “Syari’ah”(dalam arti tauhid)—kata Syafi’i Ma’arif—termanifestasi lewat sistem yang egaliter. Ia adalah pijakan yang pasti bagi terciptanya kehidupan yang baik, lebih manusiawi, dalam

suasana rukun, damai, aman, dan bukan kehidupan yang penuh kekerasan.38 Dalam

konteks itulah syari’ah menjadi bagian dari wacana kritik sosial, apalagi jika dielaborasi dengan keberpihakan terhadap kepentingan umat secara luas.

36 Berdasarkan tulisan Doni Gahral Adian, “Hubungan Intim yang Menggemaskan antara Etika dan Politik”,

makalah yang disampaikan pada bedah buku Etika Politik dan Kekuasaan, Selasa 14 Oktober 2003.

37 Ibid, Haryatmoko, 48-61. 38 Diskusi, Ibid.

(30)

Pembacaan kembali syari’ah akan menjadi suatu nilai viable yang memberikan arah tegas dan positif bagi kehidupan. Selain juga akan memperkaya wacana kultural karena umat menemukan posisi khas syari’ah sebagai “jalan kembali” kepada dasar-dasar kemanusiaan yang paling hakiki. Dalam perspektif Islam, kemanusiaan hakiki adalah kembali kepada fitrah manusia itu sendiri, sebagai manusia yang cenderung kepada nilai-nilai keagamaan yang substantial dan nilai-nilai moral yang bersifat perennial, bukan sekedar ketertundukan dogmatis dan normatif. Jika hal itu dilakukan syari’ah akan menjadi “cahaya baru” yang terang benderang mencahayai kehidupan ini. Muslim Indonesia akan banyak memberi warna bagi peradaban Islam bahkan peradaban dunia.

H. Sistematika Pembahasan

Keseluruhan tesis ini dibagi dalam lima bab. Bab I. Pendahuluan, terdiri dari latar belakang dan deskripsi penelitian, masalah penelitian, sumber acuan utama, kerangka teoritis, metode penelitian, relevansi tulisan, dan sistematika pembahasan. Bab II. Kekerasan dan Seruan Implementasi Syari’ah, akan membahas motivasi umat beragama terlibat dalam tindak kekerasan (apa yang ingin mereka capai dan kenapa), dengan memakai perspektif rasionalitas tindakan bertujuan, tampak jelas bahwa realitas kekerasan itu bukan karena faktor psikologis, historis, tetapi agama.

Bab III. MMI Cabang Yogyakarta dan Wacana Penegakan Syari’ah, dalam bab ini, saya mencoba menguraikan konteks sosial, politik, dan budaya tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok militansi agama, dalam kaitannya dengan “wacana pensyari’atan”. Mungkinkah hal itu berasal dari semangat keagamaan atau sekedar agresivitas perpolitikan? Perspektif sosial, politik dan budaya, saya gunakan untuk menjawab pertanyaan yang telah lama membenak di pikiran saya, yaitu tentang

(31)

konfrontasi agama yang dicetuskan dengan kekerasan dan anarkisme. Bagi saya, konfrontasi tersebut bukan semata persoalan warisan sejarah, tetapi juga budaya, yang mewujud dalam rumusan-rumusan tertentu syari’ah. Saya menangkap aura-kultural yang keras dalam pemaknaan konsep jihad di MMI.

Bab IV. MMI dan Praksis Kekerasan. Bab ini akan membahas cara MMI membaca dan memahami rumusan-rumusan syari’ah, serta konsekuensi dari pembacaan syari’ah demikian dengan praksis kekerasan yang terjadi yang sering kali melibatkan para mujahid langsung maupun tidak langsung. Bab V. Penutup. Teks-teks tertentu Al Qur’an dan Sunnah, harus diakui memang memuat rumusan-rumusan dan

event-event kekerasan. Namun, meskipun demikian Al Qur’an tidak membenarkan

tindak kekerasan (walaupun tidak ada konsep anti kekerasan yang ditonjolkan, misal, konsep kekerasan sebagai musuh bersama). Apakah teks-teks tersebut salah? Jawabnya, bukan dengan menyalahkan teks, tetapi memahami. Apabila kekerasan secara frima facie itu buruk, maka pengelolahan konflik politik yang baik dalam mengelompokkan secara damai itulah yang diperlukan. Di sini, penganut agama, terutama para pemimpin agama wajib melakukan interpretasi ulang atas event-event kekerasan einmalig dalam Kitab Suci agar dalam kehidupan bersama yang diamalkan adalah nilai-nilai kemanusiaannya yang menghargai toleransi dan bukan radikalisme. Usaha menghidupkan religiositas either-or dalam masyarakat yang serba pluralistik seperti di Indonesia sebenarnya hanya salah satu bentuk penghadiran agama. Ulama dan rohaniawan khususnya, penganut agama umumnya, wajib melakukan interpretasi ulang atas event-event kekerasan di dalam Kitab Suci melalui sublimasi tahap kedua agar yang diamalkan bukan unsur-unsur kekerasannya saja, tetapi nilai-nilai soteriologis dari sublimasi tahap pertama. Keselamatanlah yang harus diamalkan, bukan kehancuran dan kematian.

(32)

Bab II

Kekerasan dan Seruan Implementasi Syari’ah

Kekerasan dengan dalih penegakan syari’ah di Indonesia beberapa tahun belakangan ini mengalami eskalasi yang mengkhawatikan. Dari kekerasan yang dilakukan terhadap penganut yang tidak seagama hingga terhadap penganut yang seagama tapi berada di luar kelompoknya, dan dianggap melanggar dan menyimpang dari perintah agama atau syari’ah, mengesankan bahwa tindak kekerasan tersebut berorientasi pada ajaran-ajaran dan nilai-nilai syari’ah. Lebih parah lagi, kekerasan mengikuti bunyi literer Kitab Suci. Mungkinkah kekerasan macam itu berasal dari teks-teks syar’i?

Sebagai pedoman bagi “hidup” (islami) dan “kedirian”(Muslim); petunjuk arah bagi Muslim dalam menjalani hidup sesuai ketentuan Ilahi. Rasanya mustahil bila syari’ah mampu memotivasi seseorang untuk melakukan tindakan destruktif yang akan menyengsarakan orang lain. Namun, menilik berbagai motif di balik tindakan tersebut, di mana ada dalih agama yang dilekatkan pada tindak kekerasan itu, ada kutipan firman yang menjadi dasarnya, dan ada rujukan agama mengapa seseorang atau sekelompok orang melakukannya, maka, hal itu tidaklah mustahil. Karena itu, tilikan dari perspektif agama perlu dilakukan.

Asumsi ini, disebabkan oleh sejumlah hal. Misalnya, (1) Pada kasus tertentu kekerasan nyata-nyata berasal dari perintah tersurat Al Qur’an, seperti perintah

mempertahankan diri,1 serta dari forma-forma dan idiom-idiom syari’ah, seperti,

1 “Maka barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.”

(33)

rahmatan lil alamin dan khaira ummah;2 (2) Kekerasan mendapatkan pijakannya pada

teks–teks syari’ah yang berisi pandangan mengenai dunia;3 (3) Kekerasan menjadi

sebentuk ketaatan dan kepatuhan dalam menjalankan perintah syari’ah, misal, jihad dan kurban, dalam konteks tertentu, dan (4) Kekerasan menjadi bagian penting dari

pendisiplinan dan penyelamatan umat.4

Dengan berorientasi pada syari’ah, sejumlah kelompok Islam yang merasa menjalankan perintah Allah dan Rasul, dan menggangap diri paling berkomitmen pada asas-asas fundamen syari’ah, dengan melihat posisi organisasi dan diri tampil sebagai penegak syari’ah. Mereka merasa mendapat mandat dari Tuhan untuk mendisiplinkan moralitas masyarakat. Efek lebih lanjut dari keyakinan seperti ini

adalah pemahaman bahwa tindakan mereka merupakan aplikasi dari jihad.5 Mereka

2 Rumusan di atas mengambarkan bahwa Muslim memiliki posisi istimewa dibanding dengan umat beragama

lainnya. Muslim adalah umat terbaik yang sengaja dimunculkan Allah dengan berbagai keunggulan (khaira ummah); pembawa rahmat bagi sekalian alam semesta, yang karenanya jika umat Islam tidak berperan maka kesejahteraan tidak akan pernah tercipta (rahmatan lil alamin). Rumusan-rumusan tersebut pada kenyataannya merupakan kekuatan internal yang memupuk rasa percaya diri umat Islam sekaligus memotivasi umat untuk menegakkan syari’ah secara ekstrem. Kelompok-kelompok tertentu bahkan berkeyakinan jika hukum Islam ditegakkan maka tidak akan ada lagi maksiat.

3 Misal, Dan tidak akan pupus kebencian kaum Yahudi dan Nasrani kepadamu sampai kamu menjadi pengikut mereka.

QS 2; 120:

4 Konsep disiplin dalam tesis ini merujuk pada konsep Michael Foucault tentang disiplin dan hukuman dalam

buku Dicipline and Punish: The Birth of the Prison, Alan Sheridan, Penj, Pantheon, New York., 1977. Dalam buku itu, Foucault membedakan secara tegas antara disiplin dan norma. Norma adalah aturan yang menyatakan nilai bersama yang dihasilkan melalui mekanisme acuan diri dan kelompok. Norma memungkinkan untuk perbandingan dan individualisasi. Disiplin adalah teknik yang digunakan untuk memproduksi manusia atau individu yang patuh yang dapat diperlakukan sebagai tubuh yang patuh, dan selanjutnya tubuh yang produktif. (bdk. DP;1-5)....“Sasaran disiplin adalah tubuh: disiplin mengoreksi dan mendidik. Ini membutuhkan perbandingan dan individualisasi” Dikutip dari Dr. Haryatmoko, “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan”, Basis, Nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari, 2002. Syari’ah menjadi sarana disiplin karena baik teks, ajaran, norma maupun ritualnya mempunyai fungsi regulatif untuk membentuk individu. Ini tidak bisa dilepaskan dari mekanisme normartif dan disipliner. Norma biasanya ditentukan secara negatif. Artinya ia tidak banyak bicara tentang perilaku yang diinginkan, tetapi banyak menentukan perilaku yang dilarang. Syari’ah mengatur individu dan masyarakat melalui penyeragaman perilaku, bahasa, pakaian maupun ritus. Dengan teknik itulah akan dihasilkan identitas yang akan memudahkan mendapatkan kepatuhan dari penganutnya.

5 Padahal pengertian jihad, adalah 1) mengenali pencipta dan mencintai-Nya dengan sepenuh hati;2) resistensi

terhadap tekanan orang tua, teman, dan masyarakat;3) berjuang di jalan yang benar sepenuh hati;4) memperjuangkan perbuatan-perbuatan benar; 5) berani dan gigih mewartakan pesan-pesan agama; 6) mempertahankan Islam dan komunitas; 7) membantu sekutu yang non muslim; 8) mengganti orang-orang yang zhalim dalam kekuasaan; 9) mempertahankan diri dengan prinsip”unsur kejutan”; 10) mengusahakan

(34)

memandang diri mereka sebagai pejuang (mujahid) untuk melawan apa saja yang dianggap melanggar perintah Tuhan.

Untuk memperkuat hal itu, sejumlah bagian Al Qur’an pun dijadikan sumber justifikasi suatu tindakan. Mereka bermaksud membangun suatu “tesis” bahwa beragam aktivitas, termasuk kekerasan tidak bisa dilepaskan dari kerusakan moral dan kemungkaran sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dan, cara kekerasan terpaksa diambil demi tegaknya syari’ah. Kekerasan pun, tidak lagi dilihat sebagai kekerasan, tetapi sebagai alat perjuangan untuk suatu tujuan yang lebih mulia. Pertimbangan nilai, prioritas, ideologi dikesampingkan demi efektifitas realisasi sebuah tujuan. Korban

menjadi sosok tak berwajah dibandingkan dengan tujuan mulia yang dibawa pelaku.6

Dasar etikanya adalah demi kebahagiaan yang lebih besar, kerugian minimal dikesampingkan.7

Indikasi ini bisa dilihat dari praksis kekerasan yang terjadi, yang secara garis besar berpaut dengan dua persoalan: Pertama, sebagai respon atas pelbagai perilaku devian dan abnormal yang dianggap sebagai ancaman bagi nilai-nilai dan eksistensi syari’ah, seperti homoseksual, prostitusi, bahkan modernisme dan sekulerisme dalam konteks tertentu. Kedua, sebagai reaksi atas berbagai tindak kemungkaran yang dilarang oleh syari’ah, seperti korupsi, kriminalitas, syirik, kafir, dan sebagainya.8

kebebasan informasi, ilmu pngetahuan dan teknologi dalam lingkungan terbuka dan bebas. sumber: www.Qital-Islam@plaza.com.

6 Lih surat Imam Samudera kepada Anaknya…Biarkan Abi terluka/ di mata manusia yang tidak mengerti akan

hakikat sebuah perjuangan di jalan Allah/ Ikhlas dan bersabarlah di jalan Allah. Jawa Pos, 28 November 2002

7 Haryatmoko, Etika, Op. Cit,., 58-9

8 Term kafir dalam Islam sebenarnya berbicara tentang aspek moral secara luas. Ia menyangkut moralitas

manusia yang mengingkari perintah Tuhan untuk berbuat kebaikan dan kemaslahatan umat manusia. Pada prakteknya, term ini digunakan hanya pada tataran politik-ideologis. Kafir dilekatkan kepada mereka yang beragama selain Islam dan menyembah Tuhan selain Tuhan yang imajinasikan umat Islam. Namun, dalam kepentingan politik dan ideologi orang/kelompok tertentu untuk menyerang orang/kelompok lain yang menjadi politiknya. Jangan heran jika kafir diidentikkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), penulis.

(35)

Syari’ah menjadi forma untuk menentukan ancaman dan tingkat keparahan dari dekadensi moral, sekaligus forma untuk mereformasi moralitas umat.

Atas dasar itu, tanpa bermaksud mereduksi syari’ah hanya pada literer Kitab Suci, bab ini akan memeriksa korelasi teks-teks syari’ah dengan realitas kekerasan yang terjadi. Dan, tanpa bermaksud mengesampingkan syariah sebagai sistem nilai yang komprehensif, yang memberi semangat hidup, tuntunan, serta petunjuk moral, bab ini mau menunjukkan bukti bahwa basic strucure Islam ini kerap menjadi pangkal tolak bagi keberagamaan “yang ekstrem” berupa penggunaan forma-forma dan idiom-idiom agama dalam tindak kekerasan.

Perlu ditambahkan di sini bahwa definisi kekerasan dalam tesis ini mengacu pada pendapat E. Kristi Poerwandari. Menurutnya kekerasan adalah semua perilaku baik secara intensional dan ataupun karena pembiaran dan lain sebagainya, yang menyebabkan orang lain mengalami luka, sakit, dan penderitaan. Lebih lanjut Poerwandari menyatakan:

“Kekerasan yang dimaksud dapat dilakukan oleh individu, oleh kelompok, mungkin juga oleh negara (baik oleh aparatnya, maupun sebagai suatu sistem), dapat dilakukan oleh orang-orang dekat dengan korban, dapat merupakan suatu bentuk penyelesaian masalah personal, bentuk kekuasaan penyelesaian masalah personal, bentuk rekayasa kelompok, produk kebencian suku dan agama, dan sebagainya. Termasuk di dalamnya laki-laki terhadap lainnya, individu maupun kelompok, kekerasan laki-laki terhadap perempuan, mungkin pula kekerasan manusia terhadap dirinya sendiri melalui mutilasi, masokisme, atau pembunuhan diri”9

Dilihat dari penjelasan yang dituturkan Poerwandari di atas, kekerasan dapat merupakan produk rekayasa dari agama. Kekerasan tidak hanya mencakup kekerasan fisik tapi juga kekerasan psikis, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Tidak

9 E. Kristi Poerwandari, Kekerasan dalam Perspektif Subjek Objek: Tela’ah Perihal Negasi “Yang Lain”. Disertasi

(36)

hanya diterima tetapi juga diderita.10 Ia tampak dalam bentuk konstruksi, reproduksi

atau transformasi sosial dalam hubungannya dengan hubungan sosial. Pertanyaannya, bagaimana cara agama merekayasa kekerasan? Dan, mengapa agama sering memakai istilah korban?

Atas pertanyaan pertama, Mark Juergensmeyer berpendapat:

“Agama membuat orang merasa memiliki nilai penting, yang tidak terbatas pada kurun waktu kehidupan saja, tetapi meluas, bahkan melampaui sejarah. Struktur ideologi agama menempatkan individu dalam kedudukan kosmis, yang sangat istimewa di hadapan Yang Maha Kuasa... Agama memberi keyakinan kepada seseorang bahwa Allah yang memilihnya untuk menganut

agama... Bahwa tindakannya sesuai kehendak Allah.11

Dalam perspektif Juergensmeyer−mekanisme legitimasi pembenaran, sistem

nilai yang khas dari agama, ditambah dengan perasaan terpilih dan terpanggil inilah yang mengaitkan agama dengan kekerasan.

Dan, atas pertanyaan kedua, menurut pengamatan Juergensmeyertak lain,

tumbuhnya kesadaran dalam diri seseorang bahwa dirinya adalah korban, bukan pelaku. Keyakinan tentang korban ini membawa efek pada keyakinan mendalam akan ditempuhnya perlawanan terhadap siapa saja yang selama ini menjadi pelaku atau biang keladi munculnya korban.12 Lihat saja beberapa kasus kekerasan yang terjadi,

mulai dari perusakan terhadap warung makan yang tetap buka pada siang hari di bulan Ramadhan, penggerebekan lokalisasi, dan sebagainya. Mereka merasa tidak ada

10 Pada prinsipnya, penderitaan merupakan sesuatu yang tidak pernah diinginkan oleh manusia atau sesuatu

yang berlawanan dengan yang dikehendaki. Penderitaan berarti sesuatu yang tidak baik. Namun, berkat adanya hukuman dan norma dalam agama, yang menempatkan penderitaan sebagai hukuman, dan, hukuman adalah upaya untuk memberi makna kepada penderitaan supaya membuatnya lebih bisa ditanggung. Penderitaan justru disebut baik, membawa pada keselamatan manusia, dan mempunyai makna... Peter Livine, Nietzsche; Krisis Manusia Modern, diterjemahkan dari Nietzsche and the Modern Crisis of the Humanities, (penj) Ahmad Sahida, IRCiSod, Yogyakarta, 2002, khususnya bab Dionysus Versus Penyaliban, 164-181

11 Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind Of God: The Global Rise of Religious Violence, University Of California

Press, California, 2000, 11-2

Referensi

Dokumen terkait

diperkirakan bukan pohon yang dapat tahan pada lingkungan roof garden, hal ini ditinjau dari bentuk trikoma yang kurang mendukung pohon untuk hidup di lingkungan roof garden

Berasarkan hasil analisis bioaktif, ekstrak kasar gonad dan utuh dari bulu babi Diadema savignyi mengandung bioaktif jenis alkaloid, steroid, flavonoid, saponin

Dengan adanya masalah yang ditimbulkan, penyusun mencoba merencanakan Proposal Tugas Akhir dengan judul METODE PELAKSANAAN, WAKTU, DAN BIAYA PEMBANGUNAN JEMBATAN KALIPEPE JALUR

The results showed that the applications of 100% NPK plus 50% organic fertilizer, and 100% NPK resulted in the highest amount of available-P in the soil, the lowest

Masyarakat Amuntai Tengah adalah meskipun mereka tidak mengetahui bahwa pewarisnya memiliki hutang salat dan puasa mereka tetap melaksanakan qad}a>’ salat dan

Kita dengan mudah berpikir bahwa walaupun telah mendapatkan suatu bentuk kehidupan manusia yang sangat berharga sekarang, namun tidak menjadi soal bila kita tidak menggunakannya

“Didalam dunia yang akan datang, engkau akan menjadi seorang Buddha dengan gelar Sagara Varadara Buddhi Virridhi Tabigna, Tathagata, Maha Terhormat, Maha Bijaksana, Pemimpin

Secara umum hasil penelitian mendukung penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa kebun kakao khususnya yang masih mempertahankan tegakan hutan sebagai pohon