• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kategori N P2O5 K2O Berlebih > 1.85 > 0.55 > 1.75 Optimum 1.66 – 1.85 0.45 – 0.55 1.26 – 1.75 Kurang 1.45 – 1.66 0.35 – 0.45 0.75 – 1.26 (Sumber: Barnes, 1964)

Menurut Jones et al. (1991), waktu yang baik untuk pengambilan sampel

daun adalah pada umur tanaman 3 – 5 bulan. Daun yang dianalisa adalah daun ke tiga dari pucuk se banyak 15 lembar. Kandungan hara daun standar menurut Jones

et al. (1991) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kandungan hara daun standar Kandungan hara daun (%)

Kategori N P K

Rendah 1.60 – 1.90 0.15 – 0.17 0.90 – 1.00

Cukup 2.00 – 2.60 0.18 – 0.30 1.10 – 1.80

Tinggi > 2.60 > 0.30 > 1.80

(Sumber: Jones et al., 1991)

Sementara itu menurut Samuels (1955, dalam Muhali 1979) dikemukakan bahwa umur tebu yang baik untuk mendapatkan korelasi terbaik antara kadar hara di daun dan produksi tebu per hektar adalah umur tiga bulan, bila keadaan kebun tidak mengalami kekurangan air. Nilai hara daun standar menurut Samuels (1955, dalam Muhali 1979), disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Kandungan hara daun standar Kandungan hara daun (%) Kategori N P K Sangat rendah < 1.00 < 1.00 < 1.00 Rendah 1.00 – 1.40 0.10 – 0.15 1.00 – 1.50 Cukup rendah 1.40 – 1.50 0.15 – 0.18 1.50 – 1.65 Cukup 1.50 – 2.00 0.18 – 0.25 1.65 – 2.00 Tinggi 2.00 – 2.50 0.25 – 0.30 2.00 – 3.00 Sangat tinggi > 2.50 > 0.30 > 3.00

(Sumber: Samuels, 1955, dalam Muhali 1979)

Contoh daun yang diambil adalah daun-daun nomor 4, 5, dan 6 dihitung dari daun yang belum membuka pertama sebagai daun nomor 1. Umumnya dalam analisa daun dipakai daun yang membuka sepenuhnya yang ke tiga yang dihitung dari daun yang tidak menggulung tertinggi sebagai daun nomor 1.

Kalau sampel daun tebu diambil pada umur lebih dari pada tiga bulan, maka harus dipakai faktor koreksi (dalam persen) yang ditambahkan pada hasil analisa daunnya agar didapatkan nilai untuk umur tiga bulan. Makin jauh waktu pengambilan sampel daun dari umur tiga bulan maka makin besar nilai faktor koreksinya (Tabel 5).

Tabel 5 Faktor koreksi hasil analisa daun dari dasar analisa daun pada umur 3 bulan

Faktor koreksi yang ditambahkan untuk hasil analisa daun pada umur sampel daun tebu (%)

Tanpa irigasi Irigasi

Unsur hara

Jenis tanaman

4

bulan bulan 5 bulan 6 bulan 4 bulan 5 bulan 6

Plant cane 0.15 0.30 0.45 0.08 0.15 0.23 N Ratoon 0.28 0.56 0.74 0.11 0.22 0.33 Plant cane P Ratoon 0.015 0.015 0.015 0 0.008 0.016 Plant cane K Ratoon 0.24 0.24 0.24 0.12 0.24 0.36

Uji biologi meliputi: (1) percobaan lapangan, (2) percobaan green house

atau rumah kaca, dan (3) percobaan mikrobiologi (DIKTI, 1991). Percobaan lapangan mempunyai kelemahan yaitu percobaan selalu dipengaruhi oleh iklim, sehingga ada kemungkinan terdapatnya hasil yang selalu berbeda -beda pada setiap kali diulang. Selain itu percobaan la pangan meminta pembiayaan yang lebih besar, waktu yang lebih lama, dan tenaga yang lebih banyak. Sementara itu percobaan rumah kaca mempunyai kelebihan lebih cepat mengetahui status hara yang terdapat di dalam tanah, mudah pengulangan, dan relatif murah. Namun demikian percobaan rumah kaca mempunyai kelemahan yaitu bahwa keadaan lingkungan yang terkendali dalam rumah kaca dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman indikator lebih baik. Sedangkan percobaan mikrobiologi jauh lebih sederhana, relatif lebih cepat, hanya memerlukan sedikit tempat, dan biayanya relatif murah.

Penilaian kesuburan tanah melalui uji tanah merupakan satu cara yang relatif lebih akurat dan cepat. Uji tanah mempunyai banyak kelebihan antara lain adalah: (1) lebih mudah diulang, (2) biayanya relatif lebih murah, (3) ruangan yang dipakai dapat sempit, dan (4) jangkauannya lebih jauh dari pada metode yang lain. Sedangkan kelemahan uji tanah adalah: (1) metode -metode yang tidak dapat dipakai untuk semua jenis tanah, (2) pengambilan contoh tanah untuk analisa harus benar -benar tepat dan akurat mewakili daerah yang sebenarnya. Dengan demikian diperlukan fasilitas laboratorium yang memungkinkan pelaksanaan analisa tanah (DIKTI, 1991).

Uji tanah berdasarkan konsep bahwa tanaman akan respon terhadap pemupukan bila kadar hara kurang atau jumlah yang tersedia tidak cukup untuk pertumbuhan tanaman yang normal. Uji tanah mempunyai tujuan: (1) memelihara (menjaga) status kesuburan dari suatu lahan tertentu; (2) meramalkan kemungkinan-kemungkinan ada nya respon yang menguntungkan dari pemupukan dan pengapuran; (3) mendapatkan rekomendasi pemupukan dan pengapuran; dan (4) mengevaluasi status serta tingkat kesuburan sesuatu daerah untuk tujuan riset, pendidikan, dan pengembangan wilayah (Tisdale et al., 1990). Setyamidjaja

(1986) menyatakan bahwa analisa tanah bertujuan untuk mengetahui jenis dan jumlah unsur hara yang tersedia di dalam tanah bagi tanaman. Secara singkat

hasil dari uji tanah adalah dapat menentukan keadaan atau status hara tanaman yang terdapat dalam tanah, sehingga secara sederhana dapat disimpulkan kebutuhan hara tanaman yang dapat ditambahkan melalui pemupukan. Namun demikian harus pula diperhatikan mengenai kebutuhan hara yang tidak sama untuk setiap jenis tanaman, umur tanaman, dan keadaan iklim yang berbeda. Hambatan yang cukup serius dalam uji tanah adalah diperlukannya orang yang benar-benar ahli dan berpengalaman serta terlatih secara teknis yang menguasai prinsip-prinsip ilmiah dalam mengidentifikasikan hasil analisa.

Untuk menentukan dosis pupuk berdasarkan hasil analisa tanah maka dapat digunakan nomograf tanah (Gambar 5).

Gambar 5 Nomograf tanah untuk penentuan dosis pupuk (Pawirosemadi, 1980).

Nitrogen merupakan hara esensial sekaligus hara pembatas utama pada sebagian besar tanah pertanian yang ditanami tanaman bukan legum. Tanaman adalah konsumen utama N, mengasimilasi 30-70% dari pupuk N yang diberikan (Boswell, Meisinger, dan Ned dalam Engelstad, 1997). Tujuan utama pemberian

pupuk N adalah untuk meningkatkan hasil bahan kering. Fungsi pupuk N adalah meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan kadar protein dalam tubuh tanaman, meningkatkan kualitas tanaman yang menghasilkan daun, da n meningkatkan berkembangbiaknya mikro organisme. Pasokan N yang cukup adalah penting untuk hasil optimum dan berkaitan dengan pertumbuhan vegetatif yang lebat dan warna hijau yang gelap.

Menurut Indarto (1996), peran N dalam menentukan produksi gula sangat unik, karena di satu sisi dapat meningkatkan pertumbuhan sehingga akan meningkatkan produksi tebu, tetapi di sisi lain bila tanaman banyak mengandung N pada fase pemasakan akan menurunkan rendemen. Humbert (1968) menyatakan bahwa tanaman tebu yang kekurangan N akan mempunyai gejala daun berwarna kuning, daun cepat mati atau mengering, pertumbuhan anakan sedikit, batang kecil dan ruasnya pendek, pertumbuhan akarnya jelek, dan tanaman tebu cepat menua.

Pupuk nitrogen diaplikasikan pada awal penanaman dan pada saat tanaman berumur 1.5 – 2 bulan, tetapi tidak melebihi 6 bulan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamin pasokan N tersedia selama masa pertumbuhan, tetapi tidak menghambat fase pemasakan. Kuntohartono (1980 dalam Indarto, 1996) menyatakan bahwa pertumbuhan tebu dibagi menjadi empat fase yaitu fase perkecambahan, fase pembentukan anakan, fase pertambahan tinggi batang, dan fase pemasakan. Dari keempat fase tersebut, hanya fase pemasakan yang tidak memerlukan N.

Menurut Indarto (1996), pemberian N harus tepat, diantaranya adalah ketepatan dalam hal bentuk pupuk dan waktu pemupukan. Untuk tanaman tebu, pemberian pupuk N harus disesuaikan dengan tahap pertumbuhan agar N dapat diserap oleh tanaman, dan atau tidak tersedia karena tidak diperlukan lagi. Meisinger dan Ned dalam Engelstad (1997) menyatakan bahwa kebanyakan tanaman membutuhkan pasokan N yang berkesinambungan pada seluruh musim pertumbuhan dan keperluan ini akan bervariasi dengan tahap kematangan tanaman.

Pemupukan Urea tahap pertama dit ujukan untuk memacu pertumbuhan tunas muda dan pertumbuhan anakan. Jumlah anakan yang terbentuk akan

mempengaruhi jumlah batang yang selanjutnya berpengaruh terhadap produksi tebu (Indarto, 1996). Pemberian pupuk dasar harus diperhatikan karena stek tebu yang baru ditanam belum mampu menyerap unsur hara dari pupuk yang diberikan. Oozer (1993) menyatakan bahwa terbentuknya akar stek yang dapat menyerap unsur hara baru terjadi pada umur 15 hari setelah tanam.

Selain dengan analisa laboratorium, kandungan hara Nitrogen pada daun dapat diketahui dari pengukuran jumlah khlorofil dengan instrumen SPAD Chlorophyll Meter (Anonim, 2002). Hasil penelitian sudah menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara hasil pengukuran instrumen tersebut dengan kandungan N daun. Cara kerja instrumen tersebut adalah dengan menjepitkan pada daun. Contoh model instrumen tersebut disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 SPAD Chlorophyill Meter (Anonim, 2002).

Fosfat menyusun 0.1–0.4% bobot kering tanaman. Tanaman menyerap P selama keseluruhan siklus pertumbuhannya. Fungsi pupuk P adalah mempercepat pertumbuhan akar, mempercepat dan memperkuat pertumbuhan tanaman dewasa pada umumnya, memperkuat tubuh, dan tanaman agar tidak roboh. Penyerapan P oleh tanaman tergantung pada ketersediaan P yang dipengaruhi oleh faktor tanah. Di dalam larutan tanah, P tersedia bagi tanaman dalam jumlah kurang dari satu ppm, sedangkan ketersediaan yang diharapkan lebih dari 40 ppm. Fosfat diserap oleh tanaman hanya sekitar 10% karena pada tanah asam, sebagian besar pupuk P difiksasi oleh Fe dan Al.

Efisiensi pemupukan P dari pupuk buatan sangat rendah. P yang terlarut akan segera dijerap menjadi Fe-P dan Al-P. Cara yang dapat digunakan untuk menekan kejenuhan Al yang tinggi adalah dengan menggunakan pupuk P dosis tinggi. Penerapan pemupukan dengan dosis tinggi bertujuan untuk penjenuhan penyematan P dalam tanah dan pemenuhan kebutuhan hara P pada tanaman tebu (Djojonegoro et al., 1992).

Pupuk P diaplikasikan pada saat penanaman bersamaan dengan pupuk N. Menurut Soeminto (1996), pemberian pupuk P pada saat tanam sangat diperlukan, terutama pada tanah yang kahat P. Pemberian pupuk P yang terlambat akan berakibat tanaman tumbuh kerdil, anakan berkurang, masa pembungaan terlambat, dan kondisi perakaran yang buruk. Fungsi fisiologis akar untuk menyerap nutrisi menjadi berkurang.

Cara penempatan pupuk P sangat berpengaruh terhadap efisiensi penyerapan oleh tanaman. Soeminto (1996) menyatakan bahwa penempatan pupuk N dan P bersama-sama pada kedalaman beberapa centimeter di bawah permukaan tanah akan lebih efektif untuk meningkatkan penyerapan P oleh tanaman daripada cara penempatan terpisah atau diaduk dengan lapisan olah.

Kalium menyusun 0.5–4.0% bobot kering tanaman, sedangkan tanah mengandung 0.5–2.5% K dalam lapisan 15 cm teratas. Fungsi pupuk K adalah mempercepat sintesis (pembentukan) zat karbohidrat dalam tanaman dan mempertinggi daya tahan terhadap hama penyakit. Jumlah K yang harus ditambahkan untuk mempertahankan tanah pada tingkat tertentu akan tergantung pada tingkat awal dan derajat penyematan K oleh tanah. Jumlah pupuk K yang diperlukan oleh tanaman tertentu tergantung pada kebutuhan tanaman, jumlah K yang terdapat dalam tanah, dan efisiensi penggunaan K oleh tanah dan tanaman. Tanaman-tanaman yang mengangkut K dalam jumlah besar menurunkan tingkat K tersedia dalam tanah dan meningkatkan kebutuhan akan K.

Pupuk K diaplikasikan pada saat pemupukan kedua (tanaman berumur 1.5 – 2 bulan), sehingga K yang dapat diserap oleh tanaman cukup banyak. Menurut Barber, Robert, dan Dancy dalam Engelstad (1997), jika K diberikan dalam baris pada saat penanaman, maka K yang ditambahkan bersentuhan dengan perakaran yang terlalu sedikit sehingga serapan K tidak tinggi.

Peningkatan pemberian sesuatu unsur hara kepada tanaman tidak selalu diikuti dengan peningkatan kandungan unsur hara tersebut di dalam daun dan peningkatan hasilnya.

Pemberian hara N yang tinggi perlu diikuti pemberian P2O5 yang tinggi pula dan sebaliknya. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka hasil akan menurun dalam hal ini tampak adanya kemungkinan antagonisme.

Walaupun tidak nyata, ada kecenderungan interaksi antara unsur hara P2O5 dan K2O dapat memperbaiki rendemen. Di sini ada suatu kemungkinan sinergisme antara hara P2O5 dan K2O.

Kandungan hara N daun yang rendah selalu diikuti dengan hara K2O daun yang tinggi. Tetapi dalam keadaan kandungan hara N daun yang tinggi melampaui jenjang normalnya, maka peningkatan kandungan hara N daun diikuti dengan meningkatnya kandungan K2O. Di sini tampak adanya kemungkinan reaksi katalisis.

Hubungan dan interaksi antara hara N, P2O5 ,dan K2O dalam daun disajikan pada Gambar 7.

N

P K

Gambar 7 Hubungan dan interaksi antara hara N, P2O5 ,dan K2O dalam daun (Pawirosemadi, 1980).

Keterangan Gambar 7 :

suatu kemungkinan reaksi katalisis suatu kemungkinan antagonisme suatu kemungkinan sinergisme

Efisiensi pemupukan merupakan persentase jumlah pupuk ditambahkan yang secara nyata digunakan oleh tanaman (Miller et al., 1990). Definisi lain

menyatakan bahwa efisiensi penggunaan pupuk merupakan perbandingan antara jumlah hara yang diserap dan jumlah hara yang ditambahkan (Leiwakabessy dan

Sutandi, 1998). Definisi ini hanya memperhitungkan efisiensi hara yang berasal dari pupuk masuk ke tanaman yang mana lainnya tercuci, menguap, atau terfiksasi oleh tanah tanpa melihat respon tanaman terhadap pemupukan. Definisi lain dari efisiensi penggunaan pupuk adalah sejauh mana tanaman dapat memanfaatkan unsur hara yang telah diserap untuk berproduksi lebih tinggi tanpa menambah hara yang diperlukan. Definisi ini lebih mementingkan respon tanaman terhadap pemupukan.

Pada umumnya penggunaan pupuk, efisiensi yang diharapkan adalah mendekati 30-70% dari N yang ditambahkan, 5-30% dari P yang ditambahkan, dan 50-80% dari K yang ditambahkan. Menurut Leiwakabessy dan Sutandi (1998), usaha-usaha yang dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk adalah

1 Uji tanah

Dosis optimum yang menghasilkan keuntungan maksimum adalah dosis yang terbaik sebagai hasil dari uji tanah yang baik. Akan tetapi hasil uji tanah seringkali sulit untuk menetapkan dosis N yang optimum. Ketersediaan N dalam tanah (dalam bentuk NH4 atau NH3) seringkali berubah setiap waktu karena keseimbangan N dalam tanah ditentukan oleh N-organik. Perubahan N-organik dalam tanah sejalan dengan pengelolaan bahan organik.

2 Pengapuran

Pengapuran dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Perbaikan sifat-sifat tersebut akan memperbaiki pertumbuhan tanaman, sehingga pupuk yang diberikan (untuk mengoreksi suplai hara yang berasal dari tanah setelah pengapuran) akan digunakan secara efisien. Sifat kimia yang diperbaiki adalah meningkatnya pH tanah, meningkatnya kebanyakan ketersediaan hara esensial, menurunnya aktivitas Al, Fe, dan Mn yang bersifat racun bila berlebihan. Oleh karena itu perkembangan akar tanaman menjadi optimum. Selain itu pengapuran mendorong pertumbuhan bakteri penambat N. Kalsium dari kapur akan memperbaiki struktur tanah yang sifat fisiknya buruk, melalui flokulasi dan granulasi koloid tanah. Dengan perbaikan tersebut, maka penetrasi akar tidak

terhambat dan aerasi ta nah lebih baik, sehingga perkembangan akar tidak terbatas.

3 Penempatan pupuk

Kondisi tanah menentukan cara penempatan pupuk yang lebih efisien. Cara sebar mengarah ke penggunaan dosis yang lebih tinggi dan lebih sesuai untuk tanaman berbiji kecil. Alasan penting yang berkaitan dengan penempatan pupuk, yaitu:

a Efisiensi penggunaan hara oleh tanaman dari saat berkecambah sampai dewasa. Awal tumbuh yang cepat dan kontinyuitas ketersediaan hara merupakan hal yang esensial untuk mendapatkan keuntungan maksimum. Penempatan pupuk tidak saja agar pupuk dapat diambil tanaman, tapi juga agar intersepsi akar mengarah ke lapisan yang lebih dalam di mana kelembaban lebih baik sepanjang musim.

b Mencegah kerusakan (salt injury) pada saat perkecambahan. Hara N,

P, dan K yang mudah larut akan membahayakan kecambah. Untuk itu penempatan pupuk perlu ada jarak dengan biji, terutama bagi tanaman berbiji kecil yang peka terhadap kadar garam tinggi. Pupuk dapat berdekatan dengan biji asalkan dosis yang digunakan rendah.

c Kemudahan pemberian. Metode penempatan pupuk hendaknya disesuaikan dengan ketersediaan tenaga kerja, biaya, dan waktu. 4 Waktu pemupukan

Dalam pemupukan N, waktu pemberian pupuk merupakan hal yang penting. Walaupun pupuk N dapat diberikan sebelum tanam, setelah tanam dengan side dressed atau top dressed untuk tanaman berbiji kecil,

namun pemberian ini tidak selalu efektif karena N dalam tanah mudah berubah yang mana dalam bentuk N-NO3 bersifat mobil. Pemberian N yang paling efektif adalah pada saat tanaman tumbuh paling cepat dan pada saat tanaman memerlukan N paling banyak.

5 Penggunaan legum

Tanaman legum dapat bersimbiose dengan bakteri penambat N bebas dari udara. Dengan demikian penanaman legum atau rotasi antara legum dan

non legum akan mengurangi penggunaan pupuk N. Pembenaman limbah tanaman legum setelah panen, selain penambahan bahan organik ke dalam tanah juga akan menambah sejumlah nitrogen yang dibutuhkan oleh tanaman yang ditanam berikutnya.

6 Penggunaan pupuk kandang

Pupuk kandang berfungsi sebagai bahan ameliorasi yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pemupukan N dapat dihemat dengan penggunaan pupuk kandang dan limbah tanaman legum. 7 Seleksi varietas

Seleksi varietas diperlukan untuk mendapatkan tanaman yang dapat beradaptasi paling baik pada tanah-tanah tertentu, sehingga tanaman tersebut mempunyai potensi produksi maksimum dalam lingkungannya. Dengan demikian respon tanaman terhadap pemupukan akan tinggi yang mana pemakaian setiap satuan pupuk dapat digunakan untuk berproduksi secara maksimum.

8 Pengendalian hama, penyakit, dan gulma

Hama ataupun penyakit tanaman akan merusak bagian tanaman atau menghambat pertumbuhan tanaman sehingga produksi menurun. Oleh karena itu pemilihan insektisida, fungsida, atau pestisida lainnya secara tepat sangat penting dalam peningkatan efisiensi berproduksi. Sedangkan gulma akan menyaingi tanaman pokok dalam penggunaan air, cahaya, ataupun hara, sehingga tanaman tidak dapat memanfaatkan faktor produksi secara optimal.

9 Penentuan dan pengaturan w aktu dan pola tanam (pergiliran tanaman) Pola tanam yang tepat memungkinkan pemanfaatan unsur iklim dan kelembaban tanah yang paling baik untuk pertumbuhan tanaman.

10 Pengaruh carry over

Residu pupuk atau kapur perlu diperhatikan karena pupuk, kapur, ataupun bahan organik yang dibenamkan ke dalam tanah tidak habis terangkut atau terurai pada tahun pertama pemberian. Kalau hal ini diperhitungkan berarti jumlah pupuk yang diperlukan dari tahun ke tahun atau musim ke musim menjadi berkurang.

11 Rotasi tanaman

Rotasi tanaman dapat menghemat penggunaan pupuk. Penggunaan pupuk N akan berkurang setelah penanaman legume, atau dosis pupuk dapat dikurangi setelah penanaman tanaman yang bernilai ekonomi baik dengan dosis yang tinggi.

12 Pengairan dan pengelolaan lainnya

Pemberian air dan pengelolaan lainnya bermaksud membuat lingkungan tumbuh tanaman lebih baik atau untuk menghilangkan faktor pembatas tanaman agar tanaman dapat berproduksi lebih tinggi, sehingga efisiensi penggunaan pupuk dapat meningkat seperti disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Respon tanaman gandum beririgasi dan tanpa irigasi terhadap aplikasi nitrogen (Braun dan Roy, 1983).

Precision Farming

Pada pertanian konvensional (conventional farming), seluruh bagian lahan

mendapatkan perlakuan yang seragam. Laju aplikasi yang konstan tersebut seringkali didasarkan pada pengukuran sifat sampel tanah gabungan yang dikumpulkan untuk merepresentasikan karakteristik rata-rata dari keseluruhan lahan. Dengan perla kuan demikian, maka kemungkinan yang dapat terjadi adalah adanya aplikasi yang berlebihan (overapplication) dan aplikasi yang kurang

(underapplication). Sedangkan dengan precision farming, dapat dilakukan

pengaturan masukan pertanian sesuai kebutuhan spesifik tempat tertentu pada setiap lokasi di dalam lahan. Jadi terdapat perbedaan mendasar antara precision farming dan conventional farming yaitu masalah keragaman (variability). Variability merupakan gagasan kunci dari precision farming, khususnya

penjabaran variability di dalam lahan. Variability harus dijabarkan paling tidak

dalam tiga aspek yaitu spatial variability, temporal variability, dan predictive variability.

Precision farming merupakan istilah yang digunakan untuk menjabarkan

tujuan peningkata n efisiensi dalam pengelolaan pertanian (Blackmore, 1994). Definisi lain precision farming adalah pengelolaan setiap masukan produksi

tanaman – pupuk, kapur, herbisida, insektisida, bibit, dan lain-lain – pada suatu tempat tertentu untuk mengurangi pemborosan, meningkatkan keuntungan, dan menjaga kualitas lingkungan (Kuhar, 1997). Precision farming memungkinkan

adanya peningkatan produktivitas, sementara biaya produksi menurun dan dampak lingkungan minimal (NRC 1997, dalam Shibusawa, 2001).

Menurut Blackmore (1994), tiga aspek dalam precision farming adalah:

(1) menemukan apa yang terjadi dalam lahan, (2) memutuskan apa yang dilakukan untuk itu, dan (3) memberi perlakukan pada area tergantung pada keputusan yang dibuat.

Tanaman dan sifat tanah tidak hanya bervariasi terhadap jarak dan kedalaman, tetapi juga terhadap waktu. Beberapa sifat tanah adalah sangat stabil, berubah kecil terhadap waktu, seperti tekstur dan kandungan bahan organik tanah. Sifat-sifat tanah yang lain, seperti kadar nitrat (NO3-) dan kandungan lengas dapat berfluktuasi dengan cepat. Precision farming melakukan pengumpulan sampel

tanah dan tanaman untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana variasi kondisi di lahan.

Teknologi precision farming dapat digunakan dalam semua aspek sik lus

produksi tanaman dari operasi pratanam sampai pemanenan. Teknologi tersebut sekarang tersedia, atau akan segera ada, untuk memperbaiki pengujian tanah (soil testing), pengolahan tanah (tillage), penanaman (planting), pemupukan

(fertilizing), pemberantasan gulma (spraying), pemanduan tanaman (crop scouting), dan pemanenan (harvesting).

Pemakaian precision farming dalam praktek memerlukan pendekatan

sistem terintegrasi yang baik yang mengkombinasikan teknologi keras (hard technology) dan sistem lunak (soft systems) seperti disajikan pada Gambar 9.

Pelaksanaan precision farming merupakan suatu siklus yang

berkesinambungan dari tahap perencanaan (planning season), tahap pertumbuhan

(growing season), dan tahap pemanenan (harvesting season) seperti disajikan

pada Gambar 10.

Pada saat ini banyak produsen tanaman menerapkan site-specific crop management (SSCM). Pemantauan hasil secara elektronis (electronic yield monitoring) seringkali menjadi tahap pertama dalam mengembangkan SSCM atau

program precision farming. Data hasil tanaman yang presisi dapat digabungkan

dengan data tanah dan lingkungan untuk memulai pelaksanaan pengembangan sistem pengelolaan tanaman secara presisi (precision crop management system).

Menurut Wolf dan Wood (1997), komponen teknologi dari precision farming adalah : (1) global positioning system (GPS), (2) yield monitoring, (3) digital soil fertility mapping, (4) crop scouting , dan (5) variable rate application

(VRA).

Precision farming diprediksi pada geo-referencing, yaitu penandaan

koordinat geografi untuk titik-titik pada permukaan bumi. Dengan global postioning system (GPS) dimungkinkan menandai koordinat geografi untuk

beberapa objek atau titik dalam 5 cm, walaupun keakuratan dari aplikasi pertanian kisaran umumnya adalah 1 sampai 3 meter. GPS adalah sistem navigasi

berdasarkan satelit yang dibuat dan dioperasikan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. GPS telah terbukti menjadi pilihan dalam postioning system

untuk precision farming. Metode untuk meningkatkan keakuratan pengukuran

posisi disebut koreksi diferensial atau DGPS (differential global postiong system).

Perangkat keras yang diperlukan adalah GPS receiver, differential correction signal receiver, GPS antenna, differential correction antenna, dan computer/monitor interface.

Gambar 9 Interaksi dalam Precision Farming (Blackmore,1994).

Economic Push Environmental

Pull Legislation

Geographical Information

System

Improved Control

PRECISION

FARMING