• Tidak ada hasil yang ditemukan

PF 304 50 Uji beda nyata rata rata kadar gula setiap plot percobaan terhadap

DAFTAR LAMPIRAN

E- PF 304 50 Uji beda nyata rata rata kadar gula setiap plot percobaan terhadap

nilai pembanding dengan metode one-sample t test pada taraf

kepercayaan 95% ……….………. 305 51 Uji beda nyata rata -rata rendemen setiap plot percobaan terhadap

nilai pembanding dengan metode one-sample t test pada taraf

kepercayaan 95% ……….………. 306 52 Uji beda nyata rata -rata taksasi setiap plot percobaan terhadap nilai

pembanding dengan metode one-sample t test pada taraf

kepercayaan 95% ……….………. 307 53 Uji beda nyata antara rata -rata pada taksasi awal dan akhir setiap

plot percobaan dengan metode paired-sample t test pada taraf

kepercayaan 95% ……….. 308 54 Uji beda nyata antara rata -rata taksasi awal dan setiap plot

percobaan dengan metode one -sample t test pada taraf kepercayaan

95% ……….……….. 308 55 Uji beda nyata antar plot percobaan dengan metode One Way

ANOVA ………. 309

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok kebutuhan hidup sehari-hari yang sangat penting. Kebutuhan gula nasional tahun 2001 yaitu 3,400,000 ton, sementara produksi dalam negeri hanya 1,700,000 ton, sehingga diperlukan impor 1,700,000 ton (World Sugar Market and Trade 2001 dalam

GPM, 2002). Kebutuhan gula nasional tersebut meningkat dari tahun ke tahun dan pada tahun 2005/2006 dilaporkan kebutuhan gula nasional sebesar 3,800,000 ton (USDA, 2005 dalam PSE, 2006). Program yang dicanangkan oleh

Departemen Pertanian sampai dengan tahun 2004 adalah target terjadinya pengurangan volume impor dari sekitar 1.7 juta ton pada tahun 2001 menjadi satu juta ton pada tahun 2004. Hal ini dicapai dengan meningkatkan produktivitas dari 4.7 ton hablur per hektar menjadi 8 ton hablur per hektar, dan peningkatan produksi gula sekitar 200,000 ton per tahun. Satu hal yang penting dan perlu diketahui bahwa produksi gula dalam negeri ternyata tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan nasional setiap tahun karena kemampuan produksi dalam negeri baru sekitar 1.7 – 1.9 juta ton (DPRIN, 2004).

Upaya peningkatan produksi gula nasional telah dilakukan dengan beberapa cara, antara lain (1) intensifikasi pada pertanaman tebu yang sudah mapan, (2) ekstensifikasi dengan memperluas pertanaman tebu ke areal bukaan baru dengan sistem tegalan terutama di luar Jawa, (3) rehabilitasi pabrik -pabrik

peninggalan Belanda agar lebih efisien dalam menghasilkan gula, dan (4) memperbaiki sistem pengelolaan kebun dan perkebunan (AGI, 1996).

Peningkatan produksi dengan masukan bahan kimia yang rendah, seperti pemupukan dan aplikasi herbisida, sangat diperlukan karena sejak tahun 1980 kegiatan pertanian untuk produksi pangan yang tidak terkontrol menjadi penyebab pencemaran lingkungan (Umeda et al., 1999). Sebagai contoh aplikasi pupuk

nitrogen dan fosfor yang berlebihan menjadi penyebab terjadinya pemanasan global dan hujan asam. Salah satu masalah utama yang dihadapi bagi kehidupan manusia adalah pencemaran air tanah oleh nitrogen nitrat. Selain itu penggunaan

bahan beracun seperti pestisida dapat beresiko terhadap kesehatan manusia karena residu dalam pangan dan resiko langsung pada petani.

Dengan memperhatikan hal tersebut, maka masalah besar yang dihadapi dalam pertanian adalah peningkatan produksi di satu sisi dan pengurangan dampak lingkungan di sisi lain. Berbagai sistem produksi tanaman diusulkan untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu alternatif yang diusulkan adalah pertanian organik (Organic Farming/OF) yaitu metode pertumbuhan tanaman

tanpa penggunaan bahan kimia sintetik seperti pupuk, herbisida, insektisida, fungisida, atau je nis pestisida yang lain, dan hormon pertumbuhan atau pengatur pertumbuhan. Pertanian organik secara nyata dapat mengurangi dampak lingkungan tetapi hasil yang diperoleh lebih rendah dan biaya lebih tinggi dibanding produksi konvensional. Di samping itu pertanian organik memerlukan tenaga yang banyak khususnya dalam pengendalian gulma dan hama. Oleh karena itu diperlukan sistem baru dalam produksi tanaman yang dapat mengatasi masalah tersebut. Sistem pertanian baru yang kemudian diusulkan dikenal sebagai pertanian berkelanjutan rendah masukan (Low External Input Sustainable Agriculture/LEISA). Beberapa tahun kemudian LEISA didefinisikan ulang sebagai

pengelolaan tanaman spesifik lokasi (Site-Specisic Crop Management/SSCM) dan

sekarang secara umum dikenal sebagai pertanian presisi (Precision Agriculture/PA atau Precision Farming/PF). LEISA, SSCM, dan PF berbeda

istilah tetapi mempunyai isu utama yang sama (Lee, 2001).

Precision Farming merupakan informasi dan teknologi pada sistem

pengelolaan pertanian untuk mengidentifikasi, menganalisa, dan mengelola informasi keragaman spasial dan temporal di dalam lahan untuk mendapatkan keuntungan optimum, berkelanjutan, dan menjaga lingkungan. Tujuan dari PF

adalah mencocokkan aplikasi sumber daya dan kegiatan budidaya pertanian dengan kondisi tanah dan keperluan tanaman berdasarkan karakteristik spesifik lokasi di dalam lahan (McBratney dan Whelan, 1995). Hal tersebut berpotensi diperoleh hasil yang lebih besar dengan tingkat masukan yang sama (pupuk, kapur, herbisida, insektisida, fungisida, bibit), hasil yang sama dengan pengurangan input, atau hasil lebih besar dengan pengurangan masukan dibanding sistem produksi pertanian yang lain.

Precision Farming mempunyai banyak tantangan sebagai sistem produksi

tanaman sehingga memerlukan banyak teknologi yang harus dikembangkan agar dapat diadopsi oleh petani. PF merupakan revolusi dalam pengelolaan sumber

daya alam berbasis teknologi informasi. Antara periode pertengahan tahun 1970 dan awal 1980 dikembangkan pengetahuan tentang tanah dengan survei tanah, penginderaan jauh, dan pemantauan tanaman. Di Amerika serikat, survei tahun 1996 pada pertanian jagung menunjukkan bahwa petani yang menerapkan PF

mencapai 9% yang sama dengan 20% luas lahan pertanian yang ada. Pengambilan sampel tanah dengan grid dan pemetaan hasil dengan yield monitor

merupakan teknik yang paling banyak diadopsi (Robert, 1999).

Di Eropa, survei tahun 1998 pada area pertanian menunjukkan bahwa area pertanian yang mengadopsi PF mencapai 3%. Angka ini dapat meningkat sampai

10% area tanam yang sama dengan 2 juta rumah tangga petani pada tahun 2005. Mesin panen dengan yield monitor dikenalkan pada 12 tahun yang lalu. Lebih

dari 400 mesin panen dengan yield monitor dioperasikan pada tahun 1999. Di

Denmark, untuk menegaskan pertanian yang ramah lingkungan, bahan kimia pertanian dikurangi sampai 20% dalam 5 tahun dan sampai 10% dalam 10 tahun (Shibusawa, 1999).

Di Belanda, petani terlalu banyak menggunakan pestisida. Pada tahun 1990, Pemerintah Belanda menyatakan bahwa untuk mencapai pertanian berkelanjutan maka jumlah pestisida pada tahun 2000 harus kurang dari 50% yang digunakan pada tahun 1990. Pada periode yang sama, aplikasi pupuk harus seimbang dengan yang dibutuhkan oleh tanaman.

Di Jepang, penelitian PF pada lahan sawah dimulai pada tahun 1997,

sedangkan untuk lahan kering dimulai pada tahun 1998. Tujuan dari penelitian tersebut adalah (1) menjaga tingkat hara pada hasil yang optimum dengan keragaman spasial yang rendah, (2) mengembangkan yield sensor, remote sensor,

dan variable rate fertilizer applicator, dan (3) membuat peta informasi lahan

untuk sistem pendukung keputusan (Lee, 2001). Di Korea, penelitian PF dimulai

pada tahun 1998 dengan tujuan seperti penelitian PF yang dilakukan di Jepang

(Park et al., 2000). PF diadopsi pada 10,000 ha areal pertanian yang sama dengan

Sistem Informasi Geografis. Di Australia, penelitian PF juga mendapat perhatian serius. Bahkan sejak tahun 1997 dilakukan simposium tahunan mengenai penelitian PF dan aplikasinya (ACPA, 2005).

Di luar Indonesia, penelitian PF sudah sedemikan besar mendapat perhatian. Sementara di Indonesia sendiri penelitian PF belum mendapat perhatian yang me madai. Sebagai contoh adalah kurangnya perhatian terhadap keragaman produksi pada areal perkebunan tebu dan dampak lingkungan yang terjadi. Keragaman produksi suatu lahan dapat terjadi, dimana satu bagian menunjukkan produksi yang tinggi, sementara bagia n lain menunjukkan produksi yang rendah. Keragaman produksi pada suatu lahan dapat terjadi diantaranya karena adanya keragaman kesuburan tanah.

Precision Farming sebagai teknologi baru yang sudah demikian

berkembang di luar Indonesia perlu segera dimula i penelitiannya di Indonesia untuk memungkinkan perlakuan yang lebih teliti terhadap setiap bagian lahan sehingga dapat meningkatkan produktivitas dengan meningkatkan hasil, menekan biaya produksi dan mengurangi dampak lingkungan. Maksud tersebut dapat dicapai dengan PF melalui kegiatan pembuatan peta hasil (yield map), peta tanah

(soil map), peta pertumbuhan (growth map), peta informasi lahan (field information map), penentuan laju aplikasi (variable rate application), pembuatan yield sensor, pembuatan variable rate applicator, dan lain-lain.

Peta hasil (yield map) menunjukkan bagian-bagian lahan dengan hasil

yang lebih baik atau lebih rendah. Evaluasi dapat dilakukan pada bagian dengan hasil yang rendah untuk menentukan faktor-faktor pembatas yang ter jadi dan mengelola dengan hasil yang optimum pada waktu berikutnya. Pembuatan peta hasil dapat lebih cepat dan akurat dengan adanya yield sensor.

Pemberian pupuk dengan tepat jumlah harus memperhatikan tingkat kesuburan tanah, yang di antaranya dapat diketahui dari hasil uji kesuburan tanah dan pengamatan pertumbuhan tanaman. Dengan hasil uji kesuburan tanah, maka tanah yang mempunyai nilai kesuburan tinggi, penambahan hara dari pupuk tentunya tidak sebanyak pada tanah-tanah yang bernilai kesuburan rendah. Keadaan ini dapat mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Keragaman kesuburan tanah dapat diketahui dari peta tanah (soil map) sebagai hasil dari uji

tanah dan analisa data (soil testing and data analysis). Penggabungan peta hasil,

peta tanah, peta pertumbuhan tanaman menghasilkan peta informasi lahan (field information map) sebagai dasar perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik

lokasi yaitu dengan diperolehnya variable rate application. Pelaksanaan kegiatan

ini akan lebih cepat dan akurat apabila sudah tersedia variable rate applicator.

Sebagai awal dari pengkajian PF di Indonesia, penelitian ini belum sampai

pada pembuatan perangkat keras seperti yield sensor, remote sensor, variable rate applicator, dan lain-lain. Di samping itu penelitian tidak dilakukan pada semua

bagian kegiatan budidaya dan jenis tanaman. Penelitian ini dilakukan pada kegiatan pemupukan dan jenis tanaman tebu.

Pemberian pupuk dengan tepat jumlah perlu dilakukan karena dengan pola intensifikasi maka akan sangat tidak mungkin bila pasokan hara hanya mengandalkan dari alam seperti pelapukan, air hujan, dan lain-lain. Dengan demikian meskipun kontribusi biaya pupuk terhadap biaya budidaya tanaman hanya 8 – 10%, namun peran pupuk dalam mendukung keberhasilan budidaya tanaman adalah sangat penting, bahkan mutlak (Arifin, 2002). Di negara berkembang, penggunaan energi dalam produksi pertanian utamanya adalah pada pupuk mineral yang hampir mencapai 70% dari penggunaan energi komersial di pertanian (FAO, 1981). Hal ini mencerminkan peran pupuk yang penting dalam teknologi yang digunakan sekarang ini untuk meningkatkan produksi pertanian melalui peningkatan hasil tanaman.

Dengan peranan yang begitu besar, maka penggunaan pupuk yang lebih efisien pada budidaya tebu akan sangat nyata membantu menekan biaya produksi. Efisiensi penggunaan pupuk semakin perlu mendapat perhatian karena saat ini pupuk menjadi barang yang langka dan harganya mahal (Ant/fir, 2005). Memasuki musim tanam 1997/1998, distribusi pupuk mengalami kemelut sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah memberlakukan pola dualisme dalam distribusi dan pemasaran. Distribusi pupuk untuk usahatani tanaman pangan dimonopoli oleh pemerintah dengan harga tersubsidi, sedangkan pupuk untuk usaha perkebunan tanpa subsidi dari pemerintah. Hal ini berdampak pada misalokasi penyaluran pupuk. Kecenderungan mengalirnya pupuk bersubsidi ke aktivitas nonpangan membawa implikasi berkurangnya ketersediaan pupuk untuk

usahatani tanaman pangan, dan seringkali hal ini dikaitkan dengan isu kelangkaan pupuk (Rachman, 2003). Sementara itu perdagangan pupuk di pasar internasional cenderung semakin kompetitif sehingga menuntut industri pupuk dalam negeri untuk meningkatkan efisiensi dan daya saingnya.

Indonesia merupakan negara produs en pupuk (urea), bahkan sebagian produk urea diekspor ke negara lain, namun kebutuhan pupuk di dalam negeri terus mengalami peningkatan seiring dengan pelaksanaan pembangunan pertanian yang semakin meluas. Kebutuhan pupuk dalam negeri mengalami peningkatan sekitar 4.6 persen per tahun, seiring dengan masifnya program intensifikasi dan peningkatan produktivitas komoditas pangan yang dicanangkan pemerintah (Pusri, 2001 dalam Rachman 2003).

Kelangkaan pupuk saat musim tanam sebenarnya merupakan masalah klasik dan hampir terjadi setiap tahun. Hal tersebut selain disebabkan oleh permintaan yang tinggi dan masalah distribusi, tetapi juga ditengarai disebabkan oleh kelangkaan gas yang menyebabkan produksi pupuk nasional terganggu (Ant/fir, 2005) dan terhentinya impor (stagnan) pupuk dari negara luar (G12-74n, 2004). Khusus pada musim tanam 1998/1999, masalah kelangkaan pupuk juga disebabkan oleh (1) adanya aliran pupuk subsidi ke nonsubsidi (subsektor tanaman ke subsektor perkebunan), (2) adanya ekspor pupuk (urea) akibat perbedaan harga antara pasar dalam negeri dan luar negeri, serta (3) tingginya harga pupuk impor, yaitu KCl, TSP, dan ZA karena melemahnya nilai rupiah (Sudaryanto dan Adnyana, 1999 dalam Rachman, 2003). Fenomena tersebut tidak tertutup kemungkinan dapat terjadi lagi pada waktu-waktu berikutnya. Oleh karena itu sangat diperlukan pendekatan precision farming dalam pemupukan N,

P, dan K dengan salah satu implikasi meningkatnya efisiensi penggunaan pupuk. Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan precision farming ini adalah untuk

menyempurnakan pemupukan yang dilakukan di lapangan dengan hanya menentukan dosis pupuk tanpa mengubah jenis pupuk.

Penentuan jenis tanaman tebu pada penelitian ini karena tebu merupakan penghasil gula sebagai salah satu bahan pokok yang saat ini sedang banyak mengalami masalah, diantaranya berkaitan dengan produksi gula nasional yang

belum dapat mencapai swasembada, fluktuasi harga gula yang sangat labil, dan impor gula.

Ruang Lingkup

Penelitian dibatasi pada pendekatan precision farming untuk pemupukan

N, P, dan K di perkebunan tebu.

Tujuan

Penelitian ini mempunyai tujuan:

1 menganalisa keragaman spasial kandungan hara N, P, dan K di dalam petak lahan tebu;

2 menganalisa keragaman spasial produktivitas di dalam petak la han tebu; 3 menentukan kebutuhan jumlah hara N, P, dan K pada target hasil tebu

(yield) dan kadar gula yang diharapkan; serta

4 membuat sistem pendukung keputusan untuk strategi pemupukan pada budidaya tebu dengan pendekatan precision farming.

Hipotesa

Hipotesa pada penelitian ini adalah bahwa

1 terdapat keragaman spasial kandungan hara N, P, dan K di dalam petak lahan;

2 terdapat keragaman spasial produktivitas di dalam petak lahan; 3 keragaman spasial kandungan hara N, P, dan K tidak bersifat acak 4 keragaman spas ial produktivitas lahan tidak bersifat acak;

5 pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K pada

budidaya tebu dapat:

a menekan keragaman spasial kandungan hara N, P, dan K; b menekan keragaman spasial produktivitas lahan;

c mengurangi pemborosan penggunaan pupuk; d meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman; e meningkatkan produktivitas lahan;

f meningkatkan rendemen; g meningkatkan keuntungan.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1 penentuan pemupukan pada musim berikutnya; dan

2 dasar bagi rancang bangun alat dan mesin budidaya tebu, khususnya: a variable rate application (VRA) pemupuk; dan