• Tidak ada hasil yang ditemukan

TABEL 2. 1 KLASIFIKASI HIPERTENSI

Dalam dokumen HUBUNGAN ANTARA ASUPAN NATRIUM ASUPAN KA (Halaman 24-36)

Kategori

Tekanan Darah (mmHg)

Sistolik Diastolik

Normal <120 Dan < 80

Pre Hipertensi 120 – 139 Atau 80 -89

Hipertensi stage 1 ≥140 -159 Atau 90 -99

Hipertensi stage 2 ≥ 160 Atau ≥ 100

Sumber: Joint National Commitee on Prevention, Detection, and Evaluation, and Treatment of

High Blood Pressure: Seventh Report (JNC VII) 2.2.2 Patofisiologi Hipertensi

Patofisiologi hipertensi dapat disebabkan karena masalah dalam regulasi tekanan darah. Regulasi tekanan darah dalam tubuh bergantung pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup, dan TPR. Peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang tidak dikompensasi tersebut dapat menyebabkan hipertensi (Corwin, 2009).

Peningkatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan saraf simpatis atau hormonal yang abnormal. Peningkatan denyut jantung yang kronis seringkali menyertai kondisi hipertiroidisme (Corwin, 2009). Kondisi ini menyebabkan tubuh menahan kelebihan sodium dan kehilangan potasium yang memicu hipertensi, penambahan berat badan, lemah otot, dan retensi cairan. Peningkatan sekresi aldosteron dapat terjadi akibat tumor adrenal (Tambayong, 2000).

Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam berlebihan (Corwin, 2009). Ginjal mengatur tekanan

darah dengan mengontrol volume cairan ekstraseluler dan mensekresikan renin, yang mana selanjutnya akan mengaktifkan sistem renin-angiotensin. Saat mekanisme regulator tersebut terganggu, terjadilah hipertensi (Krummel, 2004). Hal ini disebabkan hipertensi distimulasi oleh sistem renin-angiotensin, rendahnya diet kalium, dan penggunaan obat cyclosporine. Semua ini menyebabkan vasokonstriksi, yang mana dapat mengakibatkan iskemia atau perubahan arterial (Krummel, 2004). Selain peningkatan asupan diet garam, peningkatan abnormal kadar renin dan aldosteron atau penurunan aliran darah ke ginjal juga dapat mengganggu pengendalian garam dan air (Corwin, 2009).

Peningkatan TPR yang kronis dapat terjadi pada peningkatan rangsangan saraf simpatis atau hormon pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terhadap rangsangan normal. Pada peningkatan TPR, jantung harus memompa lebih kuat, dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintasi pembuluh darah, sehingga menyebabkan tekanan darah tinggi (Corwin, 2009).

Diameter pembuluh darah juga sangat mempengaruhi aliran darah (Krummel, 2004). Saat diameter pembuluh darah mengecil (pada atherosclerosis), tahanan dan tekanan darah meningkat. Sebaliknya, saat diameter membesar (pada obat terapi vasodilator), tahanan menurun dan tekanan darah pun menurun.

Hipertensi pada individual mungkin juga memiliki variasi dalam gen yang memproduksi angiotensin I (Nelms et al, 2007). Peningkatan angiotensin I dapat menyebabkan peningkatan produksi angiotensin II yang berlanjut akan terjadinya penurunan ekskresi natrium dan air sehingga meningkatkan tekanan darah.

2.2.3 Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Etiologi

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut.

a. Hipertensi primer / hipertensi esensial

Pada sekitar 90% kasus hipertensi, tidak diketahui penyeybabnya (Hipertensi primer atau esensial) (Mitchell dkk, 2008). Ada banyak faktor yang mempengaruhi hipertensi primer salah satunya adalah faktor genetik atau keturunan. Hipertensi esensial melibatkan interaksi yang sangat rumit antara faktor genetik dan lingkungan yang dihubungkan oleh pejamu mediator neuro-hormonal. Gen yang berpengaruh pada hipertensi primer (faktor herediter diperkirakan meliputi 30% sampai 40% hipertensi primer) meliputi reseptor angiotensin II, gen angiotensin dan renin, gen kalsium transpor dan natrium hidrogen antiporter (memengaruhi sensitivitas garam); dan gen yang berhubungan dengan hipertensi sebagai kelompok bawaan (Brashers, 2008).

b. Hipertensi sekunder

Sekitar 10% dari kasus hipertensi adalah hipertensi sekunder karena penyakit renal atau (yang lebih jarang) karena stenosis arteri renalis (hipertensi renovaskuler), kelainan endokrin, malformasi vaskuler, hipertensi karena kehamilan, atau karena kelainan neurogenik (Mitchell dkk, 2008).

1) Renal artery stenosis yaitu penyempitan arteri yang menyuplai darah ke ginjal (Casey dan Benson, 2012). Kondisi ini terjadi karena adanya plak pada dinding arteri. Kasus ini juga dapat terjadi pada wanita muda, umumnya karena pertumbuhan berlebihan dari jaringan otot di dinding arteri (fibromuscular dysplasia).

2) Hyperaldosteronism adalah produksi berlebihan dari aldosteron (Tambayong, 2000). Kondisi ini disebut hyperaldosteronism

yang menyebabkan tubuh menahan kelebihan sodium dan kehilangan potasium yang memicu hipertensi, penambahan berat badan, lemah otot, dan retensi cairan. Peningkatan sekresi aldosteron dapat terjadi akibat tumor adrenal.

3) Hyperthyroidism adalah kondisi di mana kelenjar tiroid hiperaktif yakni memproduksi hormon berlebih yang memicu perubahan denyut jantung dan tekanan darah, serta perubahan berat badan, pencernaan, dan fungsi otot (Casey dan Benson, 2012). 4) Pheochromocytoma yaitu tumor medula adrenal yang berakibat

peningkatan sekresi katekolamin adrenal (Tambayong, 2000). 5) Hipertensi gestasional yaitu hipertensi yang terjadi setelah usia

kehamilan 20 minggu pada wanita nonhipertensi sebelumnya, dan membaik dalam 12 minggu pascapartum. Hipertensi gestasional tampaknya terjadi akibat kombinasi dari peningkatan curah jantung dan peningkatan TPR (Corwin, 2009).

6) Kelainan neurogenik meliputi psikogenik, peningkatan tekanan intrakranial, sleep apnea, dan stres akut termasuk pembedahan (Mitchell dkk, 2008).

2.2.4 Manifestasi Klinis Hipertensi

Menurut Corwin (2009), hipertensi menimbulkan gejala apabila penyakit ini sudah tahap lanjut. Manifestasi klinis hipertensi adalah sebagai berikut.

a. Sakit kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranium.

b. Penglihatan kabur akibat kerusakan hipertensif pada retina.

c. Cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.

d. Nokturia (buang air kecil yang luar biasa sering di malam hari) yang disebabkan peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.

e. Edema (pembengkakan) dependen n akibat peningkatan tekanan kapiler.

2.2.5 Faktor Risiko Hipertensi

Faktor risiko hipertensi dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu faktor yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat diubah.

a. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah 1) Umur

Tekanan sistolik dan diastolik meningkat secara bertahap sesuai usia hingga dewasa. Pada lansia, arterinya lebih keras dan kurang fleksibel terhadap tekanan darah. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik. Tekanan diastolik juga meningkat karena dinding pembuluh darah tidak lagi retraksi secara fleksibel (Berman dkk, 2009).

Tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Kelompok usia 25-34 tahun memiliki risiko hipertensi 1,56 kali lebih besar dibandingkan usia 18-24 tahun (Depkes, 2009). Tekanan darah meningkat sesuai umur, dimulai dari sejak umur 40 tahun (Bustan, 2007). Seiring bertambahnya usia pembuluh darah akan lebih kaku sehingga kehilangan kelenturannya (Tamher dan Noorkasiani, 2009).

2) Genetis

Beberapa faktor risiko hipertensi di antaranya adalah genetik (Nadar dan Lip, 2009). Studi epidemiologi menyebutkan 20-60% hipertensi esensial adalah diturunkan. Hal ini berkaitan dengan kelainan gen produksi angiotensinogen.

Kemungkinan yang jauh lebih besar adalah bahwa hipertensi esensial merupakan kelainan yang bersifat heterogen dan multifaktor (Corwin, 2009). Hal ini dapat terjadi dikarenakan kombinasi efek mutasi atau polimorfisme pada beberapa lokus gen.

3) Jenis Kelamin

Pada umumnya insidens pada pria lebih tinggi daripada wanita, namun pada pertengahan dan lebih tua, insidens pada wanita mulai meningkat, sehingga pada usia di 65 tahun, insidens pada wanita lebih tinggi (Tambayong, 2000). Wanita umumnya memiliki tekanan darah lebih rendah daripada pria yang berusia sama, hal ini lebih cenderung akibat variasi hormon. Setelah menopouse, wanita umumnya memiliki tekanan darah yang lebih tinggi (Berman dkk, 2009).

4) Ras

Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada yang berkulit putih (Corwin, 2009). Akibat penyakit ini umumnya lebih berat pada ras kulit hitam. Misalnya mortalitas pasien pria hitam dengan diastole 115 atau lebih 3,3 kali lebih tinggi daripada pria berkulit putih, dan 5,6 kali wanita putih. b. Faktor Risiko yang Dapat Diubah

1) Merokok

Rokok akan menyebabkan penurunan kadar oksigen ke jantung, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, peningkatan penggumpalan darah, dan kerusakan endotel pembuluh darah (KEPMENKES, 2009). Asap rokok menginduksi kekakuan arterial, dan memiliki kemungkinan besar untuk memicu hipertensi. Efek merugikan dari merokok disebabkan karena kehadiran beberapa senyawa dalam tembakau termasuk nikotin. Tekanan sistolik meningkat pada orang-orang yang merokok setelah merokok 1 batang, yang rata-rata peningkatan

tekanan sistoliknya hingga mencapai 6 mmHg (Lerma dan Rosner, 2012).

2) Obesitas

Obesitas adalah faktor risiko untuk peningkatan tekanan darah dan profil lipid yang tidak menguntungkan (penurunan kadar HDL-kolesterol dan peningkatan kadar LDL-kolesterol serta trigliserida) yang selanjutnya merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular (Gibney dkk, 2008).

3) Alkohol

Dasar mekanisme patofisiolgi hubungan antara konsumsi alkohol dengan hipertensi adalah alkohol mampu menstimulasi sistem saraf simpatetik dan sistem renin-angiotensin-aldosteron (Lerma dan Rosner, 2012).

4) Asupan natrium

Asupan natrium yang meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan, yang mengakibatkan peningkatan volume darah (Muliyati dkk, 2011). Hal ini disebabkan peningkatan asupan natrium mempengaruhi keaktifan mekanisme hormon renin-angiotensin sehingga produksinya menjadi berlebih yang selanjutnya menaikkan volume darah (Krummel, 2004). Peningkatan volume darah akan menyebabkan tekanan darah naik. Menurut WHO (2013) anjuran asupan natrium dalam makanan sehari-hari adalah ≤ 2000 mg.

5) Asupan kalium

Kalium menjaga keseimbangan antara konsentrasi cairan intraseluler dengan ekstraseluler. Asupan tinggi kalium membantu untuk menjaga keseimbangan cairan dan menurunkan tekanan darah (Escott-Stump, 2008). Efek asupan kalium pada tekanan darah termasuk menurunkan tahanan periferal, peningkatan ekskresi air dan natrium dari tubuh, serta menekan sekresi renin dan angiotensin (Krummel, 2004).

Menurut WHO (2013) anjuran asupan kalium dalam makanan sehari-hari adalah ≥ 3510 mg.

6) Latihan Fisik

Latihan fisik menguntungkan untuk regulasi tekanan darah. Latihan fisik akan memperbaiki sistem kerja jantung, mengurangi keluhan nyeri dada/angina pektoris, melebarkan pembuluh darah, dan mencegah timbulnya penggumpalan darah (KEPMENKES, 2009). Latihan fisik, terutama bila disertai penurunan berat badan, menurunkan tekanan darah dengan menurunkan kecepatan denyut jantung istirahat dan mungkin Total Perpheral Resistance/TPR (Corwin, 2009). Latihan fisik yang dianjurkan adalah 30 menit selama 3-4 hari dalam seminggu (KEPMENKES, 2009).

7) Stress

Stimulasi sistem saraf simpatis meningkatkan curah jantung dan vasokonstriksi arteriol, sehingga meningkatkan tekanan darah (Berman dkk, 2009).

2.3 Hubungan antara Asupan Natrium dengan Tekanan Darah

Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler (Almatsier, 2009). Sebagai kation utama dalam cairan ekstraseluler, natrium menjaga keseimbangan cairan dalam kompartemen tersebut.

Penyerapan natrium yang meningkat (dikarenakan asupan berlebihan) menyebabkan volume cairan ekstraseluler meningkat yang kemudian akan meningkatkan reabsorpsi air (Corwin, 2009). Hal ini akan menyebabkan tubuh meretensi cairan dan meningkatkan volume darah (Muliyati, 2011). Natrium diretensi oleh ginjal, hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh renin-angiotensin-aldosteron yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah (Mustamin, 2010).

Mikronutrient yang paling berperan dominan dalam patogenesa hipertensi esensial adalah natrium (Andarini dkk, 2012). Kelebihan asupan natrium dapat menimbulkan hipertensi (Almatsier, 2009). Studi cross sectional yang dilakukan oleh Muliyati dkk (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola diet Natrium (p < α) dengan insiden hipertensi. Hasil penelitian Anggara dan Nanang (2013) menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara asupan Natrium dengan tekanan darah dengan nilai p < α. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Ariwidyaningsih (2013) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan natrium dengan tekanan darah sistolik (p < α) dan tekanan darah diastolik (p < α). Penelitian yang dilakukan oleh Farid (2010) menunjukkan adanya hubungan antara asupan natrium dengan tekanan darah sistolik (p < α) dan tekanan darah diastolik (p < α).

2.4 Hubungan antara Asupan Kalium dengan Tekanan Darah

Kalium adalah kation intraseluller utama (95%). Kalium penting dalam metabolisme seluler. Kadar kalium darah dikendalikan oleh aldosteron. Hormon lain yang menstimulasi asupan selular terhadap kalium adalah insulin dan epinefrin (Sloane, 2004).

Menurut Almatsier (2009), secara normal tubuh dapat menjaga keseimbangan antara natrium di luar sel dan Kalium di dalam sel. Kalium terdapat di dalam semua makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Sumber utama adalah makanan mentah/segar, terutama buah, sayuran, dan kacang-kacangan.

Asupan kalium yang inadekuat dapat meningkatkan tekanan darah. Diet tinggi Kalium dapat melindungi dari hipertensi, dan defisiensi kalium dapat meningkatkan tekanan darah, dan menginduksi ektopi ventrikular (Gulledge dan Beard, 1999).

Diet tinggi kalium memiliki efektifitas dalam penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi. Asupan tinggi Kalium membantu untuk menjaga keseimbangan cairan, menurunkan tekanan darah (Escott-Stump, 2008). Dalam studi populasi, diet Kalium dan tekanan darah memiliki hubungan yang berkebalikan, yaitu asupan tinggi Kalium berhubungan dengan penurunan tekanan darah (Krummel, 2004). Peningkatan asupan kalium adalah beberapa strategi yang paling efektif untuk menurunkan tekanan darah (Appel et al, 2006). Efek asupan kalium pada tekanan darah termasuk menurunkan tahanan periferal, peningkatan ekskresi air dan natrium dari tubuh, serta menekan sekresi renin dan angiotensin (Krummel, 2004).

Studi cross sectional yang dilakukan Muliyati dkk (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola diet rendah kalium (p < α) dengan kejadian hipertensi. Studi cross sectional yang dilakukan oleh Kiptiyah (2007) menunjukkan ada hubungan antara asupan Kalium dengan tekanan darah sistolik (p < α). Penelitian yang dilakukan oleh Farid (2010) menunjukkan adanya hubungan antara asupan kalium dengan tekanan darah sistolik (p < α) dan tekanan darah diastolik (p < α). Penelitian yang dilakukan oleh Anggara dan Nanang (2013) juga menunjukkan adanya hubungan antara asupan kalium dengan tekanan darah dengan (p < α).

2.5 Hubungan antara Rasio Asupan Natrium : Kalium dengan Tekanan Darah

Tekanan darah normal memerlukan perbandingan antara Natrium dan Kalium yang sesuai dalam tubuh (Almatsier, 2009). Rasio Natrium : kalium dari diet berhubungan dengan tekanan darah (Krummel, 2004). Rasio konsumsi natrium dan kalium yang dianjurkan adalah ≤ 1 : 1 (KEPMENKES, 2009). Sebenarnya secara alami, banyak bahan pangan yang memiliki kandungan kaliumnya lebih tinggi dibandingkan dengan

natrium. Namun, hal ini kemudian menjadi terbalik akibat perilaku penambahan garam dan bumbu penyedap ke dalam makanan sehingga menyebabkan tingginya kadar natrium di dalam makanan tersebut.

Peningkatan rasio asupan natrium : kalium merupakan indikator terkuat meningkatkan risiko hipertensi daripada natrium dan kalium sendiri (NIH, 2009). Hal ini berarti bahwa seseorang yang memiliki asupan natrium yang tinggi (lebih daripada yang dianjurkan) tidak memilki masalah tekanan darah tinggi selama asupan kaliumnya lebih tinggi. Ketidak seimbangan asupan natrium dan kalium karena pola makan yang berubah menyebabkan meingkatnya prevalensi hipertensi di negara maju maupun berkembang (Andarini dkk, 2012). Percobaan klinis telah menunjukkan bahwa peningkatan asupan kalium menurunkan tekanan darah, dan efek kalium dalam menurunkan tekanan darah menunjukkan lebih besar saat asupan natrium secara bersamaan tinggi (Otten et al, 2006). Studi cross sectional yang dilakukan oleh Hendrayani (2009) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna (p < α) antara rasio asupan natrium : kalium dengan hipertensi.

2.6 Metode Semiquantitative Food Frequency Questionnaire (SFFQ)

Desain Semiquantitative Food Frequency Questionnaire (SFFQ) memberikan tinjauan secara umum tentenag berbagai persoalan yang berhubungan dengan penggunaan kuisioner frekuensi makan dengan data kuantitatif standar konsumsi makanan jangka panjang yang biasa dilakukan dan telah digunakan untuk mengukur konsumsi makanan di masa lalu. Bagian utama SFFQ terdiri atas daftar produk pangan (atau kelompok pangan). Menurut Gibney dkk (2008) produk pangan dipilih untuk menangkap data tentang :

a. sumber utama energi dan nutrien bagi sebagian besar penduduk; b. variabilitas antarpenduduk dalam hal asupan pangan mereka;

c. tujuan yang spesifik atau hipotesis pada penyelidikan tersebut.

Tujuan mengisi Semiquantitative Food Frequency Questionnaire adalah melengkapai data yang tidak dapat diperoleh melalui ingatan 24 jam (Arisman, 2009). Data yang didapat dengan SFFQ merupakan data frekuensi, yakni berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan responden mengkonsumsi makanan tertentu disertai dengan URT yang selanjutnya akan dikonversi ke gram bahan makanan.

2.6.1 Kelemahan Metode SFFQ

Menurut Soekatri (2011) kelemahan dari metode ini adalah sebagai berikut.

a. Pengisian kuisioner hanya mengandalkan ingatan.

b. Dibutuhkan kejujuran dan motivasi yang tinggi dari responden.

c. Memerlukan percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan dimasukkan ke dalam kuisioner

2.6.2 Keunggulan Metode SFFQ

Menurut Arisman (2009) keunggulan dari metode ini adalah sebagai berikut.

a. Relatif murah dan sederhana.

b. Cocok jika diterapkan pada penelitian kelompok besar yang asupan pangan setiap hari sangat variatif.

c. Lebih menggambarkan pola konsumsi responden daripada recall 24 jam.

22 3.1 Kerangkap Konsep

Natrium merupakan kation utama di cairan ekstraseluler dalam tubuh. Natrium menjaga keseimbangan cairan dalam kompartemen tersebut. Asupan tinggi natrium menyebabkan tubuh meretensi cairan dan meningkatkan volume darah yang mana akan berhubungan dengan peningkatan tekanan darah. Kalium merupakan kation yang terutama terdapat di dalam cairan intrasel. Kalium menurunkan tekanan darah dengan cara menjaga keseimbangan antara konsentrasi cairan intraseluler dengan ekstraseluler. Tekanan darah normal memerlukan perbandingan antara natrium dan kalium yang sesuai dalam tubuh. Rasio asupan natrium : kalium dari diet berhubungan dengan tekanan darah. Rasio asupan natrium : kalium yang dianjurkan adalah ≤ 1 : 1. Apabila rasio asupan natrium : kalium lebih tinggi dari yang dianjurkan, tekanan darah di tubuh akan mengalami peningkatan.

Untuk melihat hubungan antara asupan natrium, asupan kalium, dan rasio asupan natrium : kalium dengan tekanan darah lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan kerangka konsep sebagai berikut.

Gambar 3.1 HUBUNGAN ANTARA ASUPAN NATRIUM, KALIUM, DAN RASIO ASUPAN NATRIUM : KALIUM DENGAN TEKANAN DARAH

Asupan Natrium

Asupan Kalium Rasio Asupan Natrium :

Kalium

Dalam dokumen HUBUNGAN ANTARA ASUPAN NATRIUM ASUPAN KA (Halaman 24-36)

Dokumen terkait