• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PLOT DALAM NOVEL JEJAK KALA KARYA

3.4 Tahap Climax atau Klimaks

Tahap climax atau tahap klimaks adalah saat konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui ada atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh(-tokoh) utama yang berperan sebagai pelaku penderita terjadinya konflik utama.

Klimaks pada novel ini terjadi saat tokoh utama mengalami suatu bentuk kesedihan yang berturut-turut datang dalam hidupnya. Yaitu saat Kala harus kehilangan orang yang selalu dicintainya sampai kapan pun dan juga kehilangan orang-orang yang sangat telah dekat dengannya begitu lama. Bukan hanya itu saja, Kala harus terusik dengan sangat akan harga dirinya yang jatuh saat ia dijodohkan secara diam-diam oleh kakaknya.

Tahapan ini dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut.

Keterangan tempat dan waktu dimunculkan sebagai penanda latar tempat dan waktu saat Kala harus pulang karena berita duka yang di dapatnya. Digambarkan pula latar tempat itu. Berikut kutipannya.

(102) Kaki Gunung Baliohutu, 1995 (Thayf, 2009: 150).

(103) Bungan rumput kuning dan merah muda itu masih bergerombol menghias jalan perkampungan serupa kancing kecil-kecil. Pohon kelapa yang buntung karena tersambar petir juga masih ada, walau mungkin bukan lagi pohon kelapa yang dulu. Gunung itu masih setia membentengi desa dari terjangan angin barat. Membuncit di

antara hamparan sawah dan kebun pala, gundukan bukit yang ditumbuhi beragam pohon berdaun penuh debu, membangkitkan kenangan. Kala mencoba merangkum semuanya dalam sekali tebaran pandang yang lama, untuk kemudian disimpannya dalam album tersendiri di hati dan pikirannya. Namun, kini, ada yang bertambah dalam album itu; kesedihan. Dulu, kampung selalu mengingatkan Kala pada keriangan masa kanak-kanak dan kerinduannya pada keluarga, meski tetap saja tak mampu menggerakkan hatinya untuk pulang. Kini, setelah tiga puluh satu tahun mereka terpisah, ternyata kesedihanlah yang memanggil Kala pulang (Thayf, 2009: 150).

Kala dihadapkan pada keadaan yang pahit. Setelah tiga puluh satu tahun terpisah, ternyata kesedihanlah yang memanggil Kala pulang. Kala harus kehilangan Emaknya. Emak meninggal. Kala begitu sedih mendapati keadaan ini, ditambah juga Kemi (kakak perempuan Kala) yang memojokkan Kala akan kematian Emak karena Kala tidak pernah pulang untuk menjenguk Emak. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(104) “Emak selalu bertanya kapan kau pulang, hampir setiap hari, dan semakin sering di saat-saat terakhirnya.”

“Cukup, Kemi. Jangan kau sudutkan aku terus. Aku mengaku bersalah, tapi mau bagaimana lagi? Apa yang kau harap aku lakukan untuk menebusnya?”

“Kuakui kalau kau tak pernah lupa kirim uang kepada kami, keluargamu. Tapi, Kala seharusnya kau juga tak lupa pulang, setidaknya sekali dalam berpuluh-puluh tahun ini. Uangmu tidak bisa menghadirkan sosokmu di sepan Emak saat ia ingin memelukmu. Uangmu mungkin bisa membuat kehidupan Emak jadi lebih baik, tapi tidak isa disertakan bersama uang yang dikirim lewat wesel. Tak tahukah kau itu, Kala?”

“Kemi! Berhentilah menyindirku. Sudah cukup. Aku memang salah. Kuakui itu. Tapi, tolonglah maafkan aku. Tolonglah, Kemi.” (Thayf, 2009: 151).

(105) Kali ini, Kala memilih diam. Ia tahu, sebanyak apa pun kata dan penjelasan tak akan bisa menutup lubang waktu yang tercipta di antara mereka karena perpisahan berpuluh-puluh tahun itu. Kemi tidak akan pernah mengerti dirinya, seperti halnya ia pun tak bisa mengerti Kemi. Hening berayun-ayun di antara mereka. Dibiarkan air matanya merinai tanpa suara sembari tangannya tak henti mengusap-uasap nisan emak yang masih baru, sealan ingin

menyampaikan getar poerasaannya pada sosok yang terbaring di bawah sana (Thayf, 2009: 153).

(106) “Emak, ini Kala. Maaf, aku baru bisa datang sekarang. Di saat kau sudah pergi jauh tidak bisa melihat kehadiranku. Betapa aku sangat menyesal karena wktu kebersamaan kita hanya sedikit, dan lebih menyesal lagi karena aku tidak bisa menatap wajahmu untuk terkhir kali. Tidak benar kata Kemi kalau aku telah lupa padamu, Mak. Hanya Tuhan yang tahu betapa kau selalu ada di hatiku, sampai kapan pun. Semoga kau tenang di alam sana. Aku akan selalu mendoakanmu.” (Thayf, 2009: 153).

Kala mendapatkan perlakuan yang sangat tidak mengenakkan hatinnya, membuatnya begitu marah dan menyakiti hatinya begitu rupa saat Kemi mempertemukan Kala dengan seorang lelaki pilihan Kemi tanpa sepengetahuan Kala sebelumnya. Kemi berniat untuk menjodohkan Kala dengan seorang penjual ikan di pasar. Kala menjadi sangat malu dan kehilangan harga diri. Kala begitu sangat marah dan terjadi pertengkaran antara Kala juga Kemi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(107) “Pssst, Kala! kau sedang apa? Bisakah kau jaga sikapmu sebentar karena kita sudah sampai,” tegur Kemi yang diucapkan setengah berbisik tapi tegas membuat Kala tersadar. Ternyata, mereka telah berada di salah satu sudut pasar tempat para penjual ikan berkumpul. Seorang laki-laki yang wajahnya dibingkai cambang merimbun, yang berdiri di depan mereka, di belakang jejeran keranjang berisi ikan, tiba-tiba melepas sebelah sarung tangan pleastiknya, lalu mengulurkan tangan itu pada Kala.

“Oh, jadi ini yang namanya Kala. kenalkan. Aku Awang.” (Thayf, 2009: 158).

(108) “Aku tidak percaya kau perlakukan aku seperti itu, Kemi. Kau kira aku ini apa?! Meski begini, aku adalah perempuan yang masih punya harga diri. Aku memang belum menikah, tapi bukan berarti aku bisa kau samakan dengan barang tidak laku. Teganya kau tawarkan aku pada orang itu. TEGANYA, KEMI!!” (Thayf, 2009: 159).

(109) “Jangan menuduhku sembarangan Kala! Apa yang kulakukan tadi hanyalah mencoba mengenalkanmu paa seorang laki-laki, yang mungkin saja akan menjdai jodohmu. Salahkah itu?” (Thayf, 2009: 159).

(110) “YA, SALAH! Karena ini menyangkut masa depan dan diriku, bukan dirimu. Kau tidak pernah tanya dulu padaku apakah aku mau dikenalkan atau dijodohkan, atau apa pun namanya, dengan laki-laki itu, atau laki-laki-laki-laki mana pun. Kau malah tiba-tiba mengajakku ke sana, dan aku yang bodoh ini mau saja mengikutimu, berdandan secantik mungkin, lalu mendtangi laki-laki itu sambil mengulurkan tangan serupa perempuan murahan yang mengajukan diri. Kau ini kakakku Kemi! MENGAPA MALAH MEMPERMALUKAN AKU?” (Thayf, 2009: 159).

(111) “Malu itu bukan seperti yang kau kira, melainkan malu karena aku merasa kehilangan harga diri sebagai seorang perempuan. Tahukah kau, apa artinya itu, Kemi? Aku telah kehilangan kehormatanku di depan orang yang tidak kukenal. Bagiku, itu sangat memalukan!” (Thayf, 2009:159-160).

(112) “Ala! Harga diri. Omong kosong apa lagi itu. HARGA DIRI TAI KUCING! Eh, Kala. kau ini tambah sok sejak tinggal di kota. Setelah hanya lulus SMP, tapi sudah merasa lebih pintar. Sengaja pakai alasan ‘harga diri’ yang tidak dimengerti orang kampung seperti aku. Pasti hanya untuk pamer. Ya, kan? Sedahlah, terus terang saja bilang, ‘tidak suka,’ kalau memang kau tidak suka dengan Awang. Beres, kan?” (Thayf, 2009: 160).

(113) “Baiklah kalau begitu. Akan kukatakan padamu, Kemi. AKU TIDAK SUKA DENGAN PENJUAL IKAN ITU!” (Thayf, 2009: 160).

Kegalauan hati menimpa Kala, saat Kala ingin sekali menebus kesalahannya karena tidak pernah pulang kampung untuk sekedar menjenguk Emak. Hal lain yang menggangu Kala juga karena permintaan Emak supaya Kala bisa menikah, Kala ingin sekali memenuhi permintaan itu atas dirinya sebgai anak yang berbakti, tetapi bagi Kala, menikah bukanlah hal yang mudah. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

(114) Secepat datangnya kilat, Kala merasa ada udara beku yang seketika menguasai dirinya; menghentikan detak jantung, menyumbat pembuluh darah, dan menimbulkan rasa nyeri yang menusuk di hati. Betapa Kala tidak menyangka, emak ternyata meninggalkan satu permintaan yang amat susah ia penuhi. Di saat ia berkata akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahannya pada emak karena tidak pernah pulang kampung untuk menjenguk perempuan tua itu, hal tersebut bukanlah berarti ia akan langsung siap jika disuruh menikah. Sebab, bagi Kala, menikah tidaklah semudah

memulai sebuah permainan; begitu merasa bosan dan ada yang curang , ia bisa berhenti begitu saja. Ada pun di lain pihak, sebagai anak yang ingin berbakti, Kala merasa punya kewajiban memenuhi permintaan emak itu (Thayf, 2009: 162).

Kala kembali mendapatkan kejadian yang menyedihkan. Beberapa bulan setelah kembalinya Kala ke kehidupan bahagianya di kota. Tangan nasib kembali mengacaukan ketenangan keluarga itu. Kak Banar tiba-tiba menemui Kak Tien. Kak Banar meminta maaf atas keasalahannya dan meminta Kak Tien untuk kembali. Akan tetapi kecelakaan tragis terjadi saat ke dua pasang suami istri tersebut dalam perjalanan pulang. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(115) Di suatu malam yang berangin, Kak Banar tiba-tiba datang menemui Kak Tien. Ia bersujud meminta maaf atas segala kesalahannya, sekaligus meminta Kak Tien untuk mau tinggal bersamanya lagi di sebuah rumah kecil yang ia beli dari uang tunjangan pensiun (Thayf, 2009: 163-164).

(116) “Aku akan menerimanya kembali, Kala. semua orang layak diberi kesempatan kedua, begitu pun ia.” (Thayf, 2009: 165).

(117) “Bersama lagi dengan Kak banar, mengurusnya, mungkin akan membuatku merasa lebih berarti di usia yang sudah tua itu, Kala. anak dan cucu-cucuku sudah besar, mereka tidak begitu membutuhkanku lagi. Dan, aku pun jadi punya teman. Benar, kan?” (Thayf, 2009: 165).

(118) Tak disangka, pembicaraan tersebut adalah yang terakhir kali antara Kala dan Kak Tien, karena keesokan harinya, hari Sabtu, ketika Kak Banar menjemput sang istri untuk dibawa ke rumah kecil mereka di sisi lain kota, taksi yang ditumpangi pasangan itu mengalami kecelakaan tragis di tengah perjalanan, yang seketika menewaskan keduanya (Thayf, 2009: 166).

(119) Berkumandanglah penyesalan itu di hati Kala, berhari-hari, dengan pilunya. Memang, rasanya benar-benar pahit, tak terlupa (Thayf, 2009: 166).

Duka kembali mendatangi Kala. Kali ini Iswadi (anak tunggal dari Kak Tien) yang menyusul kepergian sang ibu (Kak Tien). Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(120) Aroma duka masih mengambang jelas ketika keluarga Is kembali didera musibah. Tak tahan kehilangan orang-orang terkasihnya begitu cepat dan tragis, Is yang bertubuh lemah jatuh sakit. Limpahan kasih sayang istri dan ceria anak-anaknya ternyata tidak mampu mengisi rasa kehilangan yang dirasakan anak semata wayang Kak Tien itu; dimulai sejak pemakaman orang tuanya hingga berminggu-minggu sesudahnya. Semakin hari, Is semakin tak punya daya hidup. Ia seakan tak mau sebuh dari sakitnya, malah pernah berkata kalau ingin menyusul ibunya ke alam lain (Thayf, 2009: 167).

(121) Di tengah guyuran hujan awal Januari, separuh belahan jiwa yang sekarat itu akhirnya pergi menemui separuhnya yang telah lebih dulu berpulang. Tanpa sempat menyaksikan anak pertamanya masuk SMP, merayakan ulang tahun anak keduanya minggu depan, dan melihat anak ketiganya yang baru lahir, Iswadi meninggal di usia tiga puluh satu tahun, tepat setelah empat puluh hari kematian orangtuanya (Thayf, 2009: 167-168).

Dokumen terkait