• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tokoh dan plot dalam novel Jejak Kala karya Anindita S. Thayf - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Tokoh dan plot dalam novel Jejak Kala karya Anindita S. Thayf - USD Repository"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi  

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyusun skripsi ini dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan mempunyai beberapa kekurangan karena keterbatasan kemampuan serta pengalaman penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun kesempurnaan dan perbaikan skripsi ini.

Dalam meyusun skripsi ini penulis telah banyak memperoleh bimbingan, pengarahan, saran, serta dorongan yang bermanfaat dan mendukung penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum selaku pembimbing I yang telah memberikan perngarahan dan membimbing dengan sabar sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

(7)

vii  

3. Bapak Drs. Hery Antono, M.Hum selaku pembimbing akademik angkatan 2003 yang selalu mengingatkan dan selalu men-support

untuk segera menyelesaikan skripsi.

4. Seluruh dosen di Fakultas Sastra, terutama para dosen Program Studi Sastra Indonesia yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan. 5. Segenap keluarga besar Program Studi Sastra Indonesia. Terima kasih

untuk persahabatannya.

6. Bapak, Ibu, Kakak, dan Adik tercinta. Terima kasih atas doa, kesabaran, semangat, cinta, dan kepercayaan, juga “cambukkan” yang diberikan kepada penulis untuk segera meyelesaikan skripsi.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna dan mempunyai beberpa kekurangan karena keterbatasan kemampuan serta pengalaman penulis. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan perbaikan skripsi ini.

(8)

viii  

ABSTRAK

Aji, Gayung Wisnu. 2011. Tokoh dan Plot dalam Novel Jejak Kala Karya Anindita S. Thayf. Skripsi S1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Uneversitas Sanata Dharma.

Penelitian ini berisi analisis tokoh Kala dan penokohannya Kala serta analisis plot dalam novel Jejak Kala karya Anindita S. Thayf.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural. Teori struktural ini bertujuan membongkar dan memaparkan secermat mungkin tokoh Kala dan penokohannya dalam novel Jejak Kala. Teori struktural juga bertujuan memaparkan plot dalam novel Jejak Kala.

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Dengan metode tersebut penulis menganalisis dari segi strukturalnya kemudian mendeskripsikan fakta-fakta yang ada dalam novel Jejak Kala karya Anindita S. Thayf tersebut.

Dalam kajian struktural yang diteliti adalah tokoh Kala dan penokohannya dalam novel Jejak Kala. Tokoh Kala digambarkan sebagai tokoh yang patuh kepada ibunya, selalu ingin tahu, senang berfantasi, menghargai pekerjaan orang lain, mandiri, jujur, sejak kecil kerja di rumah Pak Dukuh sebagai pembantu lalu ia pindah bekerja di rumah keponakan Pak Dukuh, Kala mempunyai pendirian yang kuat tentang pernikahan, selalu berusaha untuk menjadi sesuatu bagi orang lain.

Lewat kajian struktural juga, yang diteliti adalah plot dalam novel Jejak Kala. Analisis plot menggunakan tahapan plot yang memiliki lima tahapan. Pertama, tahap situation atau penyituasian. Kedua, tahap generating circumtance

atau pemunculan konflik. Ketiga, tahap rising action atau peningkatan konflik. Kempat, tahap climax atau klimaks. Kelima, tahap denoument atau penyelesaian

(9)

ix  

ABSTRACT

Aji, Gayung Wisnu. 2011. Characters and Plot in the Novel Jejak Kala by Anindita S. Thayf. S1 Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature, Sanata Dharma University.

This research was about a character analysis of Kala and his characterization, and the plot analysis in the novel Jejak Kala by Anindita S. Thayf.

The theory used in this research was structural theory. Structural theory was aimed to dismantle and expose the character of Kala and the characterization in the novel Jejak Kala as carefully as possible. Structural theory was also to expose the plot in the novel Jejak Kala.

The method used in this research was descriptive-analytic method. This method was used to analyze the structural aspect, and then to describe the facts in the novel Jejak Kala by Anindita S. Thayf.

In the structural study, the character of Kala and the characterization in the novel Jejak Kala were analyzed. Kala was described as a character who was obedient to his mother, curious, imaginative, appreciative, independent, honest. He had worked as a house maid in Pak Dukuh’s house, and then moved to Pak Dukuh’s niece’s house. Kala had a strong stance on marriage, always tried to be something for others.

Through the structural study as well, the plot in the novel Jejak Kala was examined. Plot analysis used plot stages that consisted of five stages. The first stage was situation. The second stage was generating circumstance. The third stage was rising action. The fourth stage was climax. The fifth stage was denoument.

Based on the results, in can be concluded that the elements examined through structural study in this regard, Kala and his characterization and plot, were the elements that built a work of literature and supported the story and the strength of the novel itself through mental symptoms displayed.

(10)

x  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

HALAMAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Tinjauan Pustaka ... 5

1.6 Landasan Teori ... 5

1.6.1 Tokoh ... 6

1.6.2 Penokohan ... 7

(11)

xi  

1.7 Metode Penelitian ... 11

1.7.1 Pendekatan ... 11

1.7.2 Metode Penelitian ... 11

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data ... 11

1.7.4 Sumber Data ... 12

1.8 Sistematika Penyajian ... 12

BAB II ANALISIS TOKOH KALA DAN PENOKOHANNYA DALAM NOVEL JEJAK KALA KARYA ANINDITA S. THAYF ... 14

BAB III PLOT DALAM NOVEL JEJAK KALA KARYA ANINDITA S. THAYF ... 29

3.1 Tahap Situation atau Tahap Penyituasian ... 39

3.2 Tahap Generating Circumtance atau Pemunculan Konflik ... 39

3.3 Tahap Rising Action atau Tahap Peningkatan Konflik ... 46

3.4 Tahap Climax atau Klimaks ... 49

3.5 Tahap Denoument atau Tahap Penyelesaian ... 54

(12)

xii  

4.1.1 Tokoh Kala dan Penokohannya ... 60

4.1.2 Plot ... 62

4.1.2.1 Tahap Situation atau Tahap Penyituasian ... 62

4.1.2.2 Tahap Generating Circumtance atau Pemunculan Konflik ... 63

4.1.2.3 Tahap Rising Action atau Tahap Peningkatan Konflik ... 63

4.1.2.4 Tahap Climax atau Klimaks ... 64

4.1.2.5 Tahap Denoument atau Tahap Penyelesaian ... 65

4.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (Wellek, Warren via Budianta, 1989: 3). Dalam hal ini karya seni salah satunya berupa suatu tulisan, seperti yang diungkapkan oleh Wellek dan Warren via Budianta (1989: 11) bahwa batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Tidak hanya tertulis dan tercetak, tetapi karya sastra juga merupakan suatu proses kreativitas dan imajinasi. Karya sastra merupakan seni yang memuat kreativitas dan imajinasi. Karena sifat rekaannya, karya sastra secara tidak langsung mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak menggugah kita untuk langsung bertindak (Luxemburg via Hartoko, 1989: 5).

(14)

Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreatifitas sebagai karya seni (Nurgiyantoro, 2005: 2-3).

Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-masing (Endraswara, 2003: 96). Gejala jiwa tersebut dimunculkan oleh pengarang melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra yang dihasilkan, dan ini yang dipandang sebagai fenomena psikologis.

(15)

sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsuru-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Atau, sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja, misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya penceritaan, dan lain-lain.

Unsur-unsur intrinsik tersebut diatas yang akan dianalisis oleh penulis. Dalam hal ini, penulis ingin menganalisis hubungan penokohan dan plot saja karena yang dianggap mewakili dalam memunculkan gejala jiwa tokoh Kala dalam novel Jejak Kala.

Penulis tertarik dengan topik ini karena apa yang dialami tokoh Kala juga bisa dijumpai pada kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia sebagai makhluk bermasyarakat. Secara tidak sadar itu terjadi dalam kehidupan kita sebagai manusia.

(16)

yang diteliti, karena dari unsur intrinsik inilah gejala jiwa yang ada dalam novel

Jejak Kala ini dimunculkan.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah tokoh Kala dan penokohannya dalam novel Jejak Kala karya Anindita S. Thayf?

1.2.2 Bagaimanakah plot dalam novel Jejak Kala karya Anindita S. Thayf?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah adalah:

1.3.1 Mendeskripsikan tokoh Kala dan penokohannya dalam novel Jejak Kala karya Anindita S. Thayf.

1.3.2 Mendeskripsikan plot dalam novel Jejak Kala karya Anindita S. Thayf.

1.4Manfaat Penelitian

(17)

1.4.1 Hasil penelititan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi studi sastra khususnya dalam menelitit plot yang dapat memunculkan suatu gejala-gejala jiwa dalam keterkaitannya dengan penokohan.

1.4.2 Hasil penelitian ini diharapkan bisa membantu pembaca dan sastrawan untuk mengetahui peran plot dalam memunculkan gejala jiwa dalam karya sastra.

1.4.3 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan apresiasi sastra Indonesia yang menyangkut tokoh dan penokohan serta plot dalam karya sastra.

1.5Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis, belum ada tulisan yang membahas novel Jejak Kala sebagai bahan tulisan ilmiah.

1.6Landasan Teori

(18)

dengan mengidentifikasikan dan dideskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2005:37).

Unsur intrinsik (intrinsic) itu sendiri adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra (Nurgiyantoro, 2005: 23).

Penulis menggunakan teori struktural berupa tokoh dan penokohan yang menjadi salah satu unsur intrinsik. Melalui tokoh dan penokohan ini penulis dapat mengetahui gejala jiwa yang muncul dalam jalan cerita (plot) yang ada pada munculnya tokoh yang dituju.

1.6.1 Tokoh

Menurut Abrams via Nurgiyantoro (2005: 165), tokoh cerita adalah orang(-orang) yang karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirka memiliki kualitas moral dan kecnderungan tertentu seperti yang diekpresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dijelaskan oleh Nurgiyantoro (2005: 165), bahwa istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya yaitu sebagai pelaku cerita

(19)

yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character) (Nurgiyantoro, 2005: 176).

Dalam tugas akhir ini penulis hanya akan membahas satu tokoh saja, yaitu tokoh Kala sebagai tokoh utama dalam novel Jejak Kala. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2005: 176-177). Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan konflik, penting yang mempengaruhi perkembangan plot (Nurgiyantoro, 2005: 177).

1.6.2 Penokohan

Jones via Nurgiyantoro (2005: 165), menjelaskan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan memberikan ciri lahir (fisik) maupun batin (watak) tokoh (Sudjiman, 1998: 25).

(20)

itu, baik hal hal itu dilukiskan secara langsung maupun tidak langsung. Kesemuanya itu tentu saja akan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan konkret tentang keadaan para tokoh cerita tersebut.

1.6.3 Plot

Nurgiyantoro (2005: 94) menjelaskan bahwa plot lebih menekankan mengapa justru peristiwa itu yang ditampilkan menyusul peristiwa sebelumnya, mengapa bukan peristiwa (-peristiwa) yang lain, adakah (atau: bagaimanakah) hubungan kausalitas antarberbagai peristiwa yang dikisahkan itu. Plot lebih menekankan permasalahannya pada hubungan kausalitas, kelogisan hubungan antarperistiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang bersangkutan.

(21)

Peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan plot cerita. Eksistensi plot itu sendiri sangat ditentukan oleh ketiga unsur tersebut (Nurgiyantoro, 2005: 116). Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain (Nurgiyantoro, 2005: 117). Konflik (conflict), menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh(-tokoh) cerita, yang, jika tokoh(-tokoh) itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya (Nurgiyantoro, 2005: 122). Klimaks adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Artinya, berdasarkan tuntutan dan kelogisan cerita, peristiwa dan saat itu memang harus terjadi, tidak boleh tidak. Klimaks juga merupakan titik pertemuan antara dua (atau lebih) hal (keadaan) yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan (konflik itu) akan diselesaikan. Secara lebih ekstrem, barangkali, boleh dikatakan bahwa dalam klimaks “nasib” (dalam pengertian yang luas) tokoh utama (protagonis dan antagonis) cerita akan ditentukan (Nurgiyantoro, 2005: 127).

(22)

tokoh(-tokoh) cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. Kedua, adalah tahap generating circumtance atau tahap pemunculan konflik, masalah(-masalah) dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi tahap ini merupakan tahap awalnya munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap ketiga adalah tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Tahap empat adalah tahap climax atau klimaks, konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui ada atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh(-tokoh) utama yang yang berperan sebagai pelaku atau penderita terjadinya onflik utama. Dan tahap yang kelima adalah tahap

(23)

1.7Metode Penelitian

Dalam metode penelitian akan dikemukakan pendekatan, metode, teknik pengumpulan data, dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini.

1.7.1 Pendekatan

Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan struktural. Penedekatan ini adalah dengan menganalisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dilakukan dengan mengidendifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2005: 37).

1.7.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2004:53).

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

(24)

1.7.4 Sumber Data

Data adalah bahan penelitian. Dari bahan itulah diharapkan objek penelitian dapat dijelaskan karena di dalam bahan terdapat objek penelitian yang dimaksud (Sudaryanto, 1988: 9-10). Sumber data adalah tempat data diambil atau diperoleh yang berupa karya sastra, buku-buku, karya tulis, serta data dari internet yang berkaitan dengan objek penelitian. Karya sastra yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah novel dengan identitas sebagai berikut.

Judul : Jejak Kala

Pengarang : Anindita S. Thayf Tahun Terbit : 2009

Penerbit : Sheila Tebal : ii + 194 halaman Cetakan : Pertama

1.8Sistematika Penyajian

Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Keempat bab tersebut adalah:

Bab I berupa pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika penyajian.

(25)

Bab III berupa pembahasan analisis plot dalam novel Jejak Kala karya Anindita S. Thayf.

(26)

14

BAB II

ANALISIS TOKOH KALA DAN PENOKOHANNYA

DALAM NOVEL JEJAK KALA

KARYA ANINDITA S.THAYF

Analisis struktural dalam kajian sastra merupakan salah satu cara untuk memahami dan mengerti isi dari sebuah karya sastra. Analisis dilakukan dengan cara memperhatikan dan mengkaji unsur-unsur intrinsik. Tokoh dan penokohan merupakan unsur intrinsik karya sastra. Kedua unsur inilah yang akan dianalisis oleh penulis untuk mempermudah memahami karya sastra.

Dalam bab II ini penulis akan menganalisis salah satu unsur intrinsik novel Jejak Kala yaitu tokoh dan penokohan. Analisis unsur intrinsik yang berupa tokoh dan penokohan diperlukan untuk mengetahui pengambaran individu-individu beserta perilaku mereka dalam sebuah karya sastra. Dalam analisis tokoh dan penokohan ini penulis membatasi pada tokoh utamanya saja. Tokoh ini dipilih karena dianggap memiliki makna hidup yang mendominasi dalam cerita.

Tokoh Kala

(27)

Di usia yang masih kecil Kala setiap hari harus bangun pagi dan membantu emak bekerja di rumah Pak Dukuh. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan berikut.

(1)Tiap hari begini. Selalu seperti ini. Tanpa pernah ada yang berubah sejak kakinya mulai lincah berjalan dan tangannya cekatan bekerja, dan emak membawanya ke rumah Pak Dukuh entah beberapa tahun yang lalu. Tepatnya, Kala sudah tidak ingat .

“Kala, bangun! Waktunya mulai bekerja,” bisik perempuan itu tegas, sangat dekat di telinga.

Di awali suara mengeluh yang panjang, Kala menggeliat malas. Menggosok-gosok kelopak matanya yang masih setengah terkatup dengan gerakan enggan, menyeka sisa liur yang belum kering di sudut bibir, sebelum kemudian mengakhiri ritual bangun itu dengan merentangkan kedua tangan jauh-jauh ke atas (Thayf, 2009: 3).

Tokoh Kala selalu menghibur dirinya sendiri saat muncul keinginan Kala untuk hidup normal sesuai umurnya, keinginannya untuk bersekolah juga bermain sepuas hati bersama anak-anak lain, tapi Kala tidak bisa karena Kala harus bekerja. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(2)“Ah”, mungkin nanti jika aku sudah tidak ingusan lagi, tubuhku bertambah tinggi. Dan, kalau sudah bersekolah, emak tidak akan menyuruhku bekerja seperti ini,”

“Jika sudak begitu, aku bisa bermain sepuas hati dari pagi sampai sore. Wah senangnya!” (Thayf, 2009:5).

Kala membayangkan dalam benaknya bahwa sangat enak menjadi anaknya Pak dukuh. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(3)Tidak ada yang lebih enak selain menjadi anaknya Pak Dukuh, begitu menurut Kala. Sambil bersusah payah menimba air dari sumur untuk mengisi penuh bak mandi, dicobanya mengingat-ingat apa saja keenakan itu.

(28)

Tokoh Kala kecil digambarkan sebagai tokoh yang sabar melakukan sesuatu. Kala sadar akan tanggung jawab pada pekerjaannya bahwa pekerjaan yang dilakukannya itu haruslah selesai meskipun pekerjaan itu cukup berat untuk ukuran umur seorang bocah seperti Kala. Dalam kutipan berikut, Kala diingatkan oleh Bu Dukuh untuk istirahat setelah lama menimba air mengisi bak mandi yang digunakan untuk mandi oleh lima orang anggota keluarga Pak Dukuh.

(4)“Kala! Kalau baknya sudah penuh, istirahatlah dulu, Nak. Pergilah ke dapur untuk sarapan pagi. Bukankah setelah aku tidak ada lagi yang mandi pagi?” (Thayf, 2009: 12).

(5) “Iya, Bu. Sebentar lagi,” Kala menjawab setengah berteriak sambil terus menarik tali timba dengan tangannya yang mulai gemetar. Bayangkan, ia sudah menimba satu jam lebih, tapi bak itu tidak pernah bertahan penuh karena selalu saja ada yang mandi (Thayf, 2009: 12-13).

Tokoh Kala kecil digambarkan sebagai seorang anak yang bertubuh kecil dan pendek. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan percakapan Kala dengan Ano (tukang masak Bu Dukuh) saat sedang berada di dapur saat sedang makan sebagai berikut.

(6)“He-eh. Aku hanya makan ikan kecil-kecil, nasi, dan sambal.” “Nah, itu dia. Makanya tubuhmu seperti itu terus sejak dulu.” “Seperti bagaimana?”

“Kecil dan pendek.” (Thayf, 2009: 15).

Kala kecil digambarkan senang berfantasi dengan hal-hal yang dijumpainya. Dalam kutipan berikut, saat Kala berada di pasar bersama Bu Dukuh, Kala berkhayal layaknya anak-anak seusianya, dan khayalan itu dirasa sangat indah baginya.

(29)

seakan-akan tinggal di atas gunung tinggi. Gunung yang ditumbuhi sabun mandi, bedak, sisir, dan bermacam barang jualan lain, bukan rumput atau bunga. Oh, betapa menyenangkan! (Thayf, 2009: 16). Pada kutipan berikut, tokoh Kala kecil digambarkan sebagai bocah yang pantang menyerah, Kala mempunyai semangat yang besar. Kala harus membawa barang belanjaan yang dibeli Bu Dukuh ditumpangkan di atas kepalanya walaupun beban itu dirasa cukup berat bagi Kala.

(8)Tanpa berkata-kata, Kala mempersiapkan kepalanya untuk kembali ditumpangi beban. Sehelai kain lusuh yang berfungsi sebagai pengalas dilipatnya beberapa kali hingga cukup tebal, sebelum kemudian ditaruh tepat di puncak kepala. Setelah itu, barulah meletakkan keranjang belanjaan yang berat itu di atasnya dengan hati-hati. Sesaat, leher Kala tampak menggigil menerima beban di luar kemampuannya. Tapi, dengan semangat yang besar, Kala menguatkan-nguatkan lehernya hingga bertonjolanlah urat-urat yang ada di situ (Thayf, 2009: 18-19).

Kala kecil sudah mempunyai rasa tidak tega terhadap sesuatu yang membuat orang susah. Dalam kutipan berikut Kala merasa tidak tega saat melihat emak sedang dengan susahnya menghilangkan noda kotor pada celana Ina saat sedang dicucinya. Belum lagi jika Ina mengadukan hal itu kepada Bu Dukuh bahwa emak tidak bersih mencuci pakaiannya.

(30)

Tokoh Kala kecil sadar akan tanggung jawab yang besar di usianya yang masih kanak-kanak. Meskipun begitu Kala kecil tetaplah kanak-kanak yang masih mempunyai keinginan untuk bermain seperti anak-anak kecil lainnya. Tetapi keinginannya hanya bisa ia lakukan dalam angan dan Kala cukup bisa menerima keadaan yang berbeda itu, bahwa Kala sadar akan tanggung jawab yang diembannya dan karena Kala juga tidak ingin menyusahkan orang lain akibat dari kesalahannya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

(10) Andai saja ada yang tahu isi hati Kala, sebenarnya ia sangat ingin bermain di tengah siang yang terik begini. Membasahi yang telah dipakainya bekerja sejak subuh dengan kesejukan air, seperti tingkah segerombolan anak-anak yang dilihatnya saat melewati jembatan tadi. Mereka berkecipak-cipak girang tanpa beban di sengai kecil berair kecil yang bahagia. Sayang, Kala tidak bisa begitu. Jika ia memaksa singgah walau sebentar, sudah pasti telinganya akan mendengar omelan banyak orang. Pak Zae yang kelaparan, Ano yang terlalu lama kehilangan cerek dan gelas, dan emak yang mendapat teguran Bu Dukuh - karena laporan Pak Zae. Kala hanya bisa bermain air dalam angan, seperti biasa. Memang tidak semenyenangkan yang nyata, tapi cukuplah menerbitkan senyum di bibir bocah itu (Thayf, 2009: 27).

Dalam diri Kala, ia ingin menjadi seseorang yang disukai oleh orang lain dan orang lain bisa merasa nyaman berada di dekatnya, Kala tidak ingin dibenci orang-orang. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(31)

Biarpun masih kecil, Kala sudah mampu untuk mengurus dirinya sendiri juga dalam hal mengurus keperluan makan anggota keluarganya (Emak dan Kemi-kakak perenpuan Kala). dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(12) Aroma khas ikan goreng masih mengapung di langit-langit rumah ketika Kemi datang. Kala baru saja selesai memasak. Ia sedang sibuk mengaduk-aduk nasi panas dalam bakul sambil sesekali meniup-niup uapnya yang memedihkan kulit (Thayf, 2009: 36). Kala pernah berdebat hebat dengan Ina (anak prempuan ke dua Pak Dukuh). Kala berusaha mempertahankan apa yang ia lakukan itu adalah benar. Kala berusaha mempertahankan apa yang telah menjadi kebulatan kata hatinya dan pendiriannya, karena Kala merasa bahwa ia dan emak yang selalu saja disalahkan, padahal itu bukan kesalahan mereka. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(13) “Ahhh! Sudah, diam! Kau benar-benar jahat, Kala. Kau telah melihat nilai ulanganku tanpa izin, juga dengan sengaja menaruhnya di atas meja agar dilihat Mamak dan Bapak.”

“Tidak, Ina! Bukan aku yang jahat, tapi kau. Kau selalu mengadu yang tidak-tidak pada mamak dan bapakmu. Kaulah yang jahat.” “Aha! Jadi, ini balas dendam, ya?”

“Tidak.” “Lalu?”

“Aku hanya tidak suka perbuatanmu.” “Tapi, itu kan bukan urusanmu.”

“Memang bukan, tapi yang selalu kau salahkan itu kan aku dan emakku, Ina. Aku tidak suka!” (Thayf, 2009: 53-54).

Kala kecil digambarkan sebagai anak yang memiliki kulit hitam yang kusam, rambut keribo yang bergerombol, mata sipit nyaris tanpa alis, dan tubuh yang tidak pernah lebih tinggi dari pucuk tanaman jagung yang masih muda. Hal itu terdapat dalam kutipan berikut ini.

(32)

rambut keribo yang bergerombol serpa kembang kol , mata sipit yang nyaris tanpa alis - saking tipisnya – dan tubuh yang seakan tidak pernah lebih tinggi dari pucuk tanaman jagung yang masih muda (Thayf, 2009: 59).

Tokoh Kala berada pada usia remaja. Tokoh Kala juga digambarkan sebagai tokoh yang ramah, ceria, juga hangat pada siapapun. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(15) Sosok itu memang kecil, tapi ia sudah bukan anak kecil lagi. Sikapnya menunjukkan itu, begitu pula perubahan di beberapa bagian tubuh yang tampak membesar dan menonjol, meski kadang berusaha ia samarkan dengan berjalan membungkuk atau menutupinya dengan buku yang didekap dekat di dada. Namun begitu, di wajahnya yang bulat penuh, ceria kanak-kanak itu masih terpancar. Apalagi, ketika ia mulai menyapa satu per satu orang yang ditemuinya di jalan.

“Selamat pagi, Jamila! Pagi Sroja!

“Hai, Enal! Sepedamu sudah tidak rusak lagi, ya? Baguslah.” “Pagi, Suli. Maaf, aku tidak melihatmu tadi.

“Eh ... Tiar. Kukira siapa. Pagi juga. Hehe ....”

“Aduh, Ros! Kau itu selalu saja terlambat. Ayo, larilah. Cepat!” “Selamat pagi, Bu Suwarni, Pak Jamal.”

“Hai, teman-teman! Selamat pagi semuanya!”

Dan rona gadis itu semakin berseri seiring banyaknya orang yang membalas salamnya sekaligus memberikan senyuman.

“Selamat pagi juga, Kala. Hari ini kau seceria biasa.” “Hehe ... terima kasih.” (Thayf, 2009: 71-72).

Kala sangat menghargai Kak Banar yang telah menyekolahkan Kala. Meskipun Kala sadar betapa terbatasnya kemampuan Kala dalam bidang-bidang yang dipelajari di sekolahnya. Tetapi Kala tetap mau berusaha dengan sangat, tidak mau mengecewakan orang yang telah baik padanya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(33)

tidak merasa menjadi lebih pintar dengan itu. Tapi, demi Kak Banar yang telah membiayai pendidikannya selama ini, Kala memaksa dirinya untuk terus belajar (Thayf, 2009: 78).

Kala, ia mau dengan tulus mengerjakan semua yang menjadi atau yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(17) “Kala! Tolong kau buatkan Kak Banar kopi.” “Ya, Kak Tien.”

“Kopinya kau bawa ke kamar, ya?” “Iya.”

“Eh, hampir lupa. Apakah sudah kau siapkan seragam Is untuk besok, Kala? Jika belum, segera kau siapkan dan jangan lupa periksa kaos kakinya.”

“Baik , Kak Tien. Akan aku lakukan.”

“Sumar! Jangan lupa kunci pintu gerbang depan.” “Tidak mau ah, Kak! Kala saja. Aku sedang sibuk baca.” “Ya, sudah. Kala! Kau yang kunci gerbang depan, ya?” “Iya, Kak Tien. Akan kukunci.” (Thayf, 2009: 80-81).

Kutipan di atas menjelaskan kesibukkan Kala dalam mengurus keperluan Is (anak laki-laki Kak Tien dan Kak Banar) tetapi Kala masih mau melakukan tugas yang sebelumnya bukan menjadi tugasnya, karena Kak Tein terlebih dahulu menyuruh Sumar (adik tiri Kak Tien).

(18) Suka atau tidak, Kala harus mau membersihkan kaca pintu dan jendela, yang merupakan tugas Sumar, setiap dua hari sekali, di sore hari (Thayf, 2009: 95).

(19) Adapun Kak Mien , yang ternyata bertubuh lemah dan menderita banyak alergi, Kala dengan senang hati menggantikan tugasnya untuk merapikan tempat tidur mereka di pagi hari (Thayf, 2009: 95).

(20) Dari Siah, Kala mendapat limpahan tanggung jawab untuk menyiapkan hidangan jika Kak Banar ingin makan sepulang kerja, di malam hari (Thayf, 2009: 95-96).

(34)

Kak Mien (adik perempuan Kak Tien), dan juga Siah (tukang masak di rumah Kak Tien).

Seorang Kala juga ingin meringankan pekerjaan orang lain, padahal itu bukanlah tanggung jawab Kala untuk melakukan tugas itu, sudah ada seseorang yang bertugas mengerjakannya. Seperti yang dilakukan Kala untuk meringankan tugas dari Akko (seorang keluarga jauh sekaligus pesuruh setia Kak Banar).

(21) Tugas Akko-lah yang paling banyak dan berat-berat.

Hanya Akko yang tidak pernah menyuruh Kala melakukan tugasnya. Tapi , terkadang karena merasa kasihan dan ingin sedikit membantu, Kala selalu menyempatkan diri mengisi penuh kembali bak selesai dirinya mandi atau sekedar mengepel kamarnya sendiri setiap kali selesai disapu (Thayf, 2009: 96).

Kala yang dikenal sebagai seseorang yang sabar dan menerima apapun keadaan yang ia alami, juga pernah memaki seseorang walaupun itu hanya dalam hati. Saat itu Kala sangat merasa patah hati saat Koes (ajudan Kak Banar) mengatakan bahwa ternyata tidak pernah menganggap Kala lebih dari seorang adik dan Koes akan menikah, padahal Kala sangat menaruh hati padanya.

(22) “O, benar-benar terkutuk engkau Koes! Dasar pengumpul cinta! Mata keranjang! Pergilah kau ke kerak neraka terjahanam dari yang terjahanam. Laki-laki tak tahu diri! Semoga kutuk jatuh padamu!” Kala benar-benar memaki sepenuh hati, walau hanya terucap di hati. Hari ini adalah puncak sengsaranya (Thayf, 2009: 106).

Meskipun Kala bukanlah gadis berparas menarik, berkulit putih, bertubuh seksi, atau berambut indah, atau juga bukan dari kelurga kaya. Akan tetapi Kala tumbuh menjadi seorang gadis ramah, rajin, cekatan, mau bekerja keras, dan tak pernah mengeluh. Hal itu gambarkan dalam kutipan berikut.

(35)

bukan gadis keluarga kaya yang selalu dihujani ajakn bergabung ke dalam salah satu geng muda-mudi yang merasa diri paling yahud. Tapi, si Kribo Kala adalah gadis yang ramah, rajin, cekatan, mau bekerja keras, dan tak pernah mengeluh, yang selalu dicari oleh siapa pun yang butuh bantuan atau sekedar uluran tangan. Kala si Kribo Penolong (Thayf, 2009: 114).

Kala berada di antara himpitan dua perasaan. Perasaan senang saat melihat teman sebaya Kala sudah menikah dan memiliki anak. Satu perasaan yang lain, Kala merasakan kekawatiran, Kala memikirkan tentang pernikahan. Tetapi Kala bisa mengatasi kekawatiran itu. Kala optimis bahwa ia masih mempunyai waktu untuk mencari dan ia yakin bahwa setiap orang memiliki jodohnya sendiri. Dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(24) Lingkungan membuat Kala mulai memikirkan tentang pernikahan. Beberapa teman sebayanya sudah menikah dan memiliki anak, sementara sisanya telah punya pacar dan bersiap menuju jenjang itu.

Waktunya masih panjang untuk mencari. Apalagi, ia juga yakin bahwa setiap manusi pasti ada jodohnya (Thayf, 2009: 130).

Kala tahu bagaimana harus bersikap, tahu bagaimana ia harus mengasuh Ela (anak perempuan Iswadi) saat di rumah majikannya itu terjadi pertengkaran hebat (pertengkaran antara Kak Banar dan Kak Tien). Karena pada saat itu orang tua Ela (Iswadi dan Putri-istri Iswadi) sedang tidak ada di rumah.

(25) “Kala, kau dengar itu? Aku takut. Nenek dan kakek marahan lagi.” “Ya, Nak. Aku dengar. Ayo kita keluar saja ke depan sana.” (Thayf, 2009:135).

(36)

Tokoh Kala selalu ingin membantu dengan segala jerih payah usaha pikirannya, dengan segala kemampuannya. Hal ini terjadi saat Kala mencoba menenangkan Kak Tien yang tengah ingin membuktikan perselingkuhan Kak Banar.

(27) Beragam masalah telah menghantam Kala, tapi semua itu tidaklah membuat dirinya kacau balau disebabkan masalah itu hanya melibatkan ia seorang, dan kalau pun melibatkan orang lain tetap masih bisa ditanganinya karena ia punya kedudukan dalam maslah itu. Namun, kali ini, Kala hanyalah orang luar yang tidak bisa menerobos masuk dan ikut campur begitu saja.

Sampai pusing kepala Kala memikirkan cara yang harus ia lakukan untuk membantu Kak Tien menyelesaikan hal itu tanpa melukai banyak orang (Thayf, 2009: 140).

Kala peduli pada siapapun. Kala selalu ingin membantu jika ada orang yang memang Kala pikir membutuhkan bantuan. Seperti saat Kala menemukan Putri (istri Iswadi) sedang menangis. Kepedulian Kala tidak selalu juga harus turun tangan langsung menenangkan, tetapi dengan membiarkan Putri. Maksud Kala adalah supaya Putri bisa menempa hati atas semua derita yang dirasakan.

(28) Kala hanya sering mendengar istri Is itu menangis diam-diam di dalam kamar.

Awalnya, Kala ingin membujuk dan menawarkan pelukan hangat untuk meredakan kesedihan putri, tapi sesuatu mencegahnya. Bukannya tega, tapi Kala hanya ingin membiarkan perempuan muda itu menmpa hati dan jiwanya (Thayf, 2009: 145).

(37)

Setelah orang-orang tercinta Kala pergi meninggalkan lewat kematian, pertama adalah kepergian emak, kemudian Kak Tien dan Kak Banar yang meninggal kaena kecelakaan, lalu disusul Is yang menyusul kepergian orang tuanya karena kelemahan fisik yang berangsur menurun terus menerus karena kesedihan yang sangat dirasakannya. Kala akhirnya memutuskan untuk pergi.

(30) Ia kini tercengkram rasa kesepian. Begitu terpencil. Meski berada di tengah ketiga anak Is, entah mengapa, Kala tak bisa merasa lagi seceria dulu. Sepi itu membuat badannya sering sakit-sakit –inikah yang dirasakan Is sebelum ia meninggal?- semikian Kala pernah berpikir. Ruang kosong yang telah lama padanya, semakin bertambah luas saja kosongnya. Di saat-saat tertentu, Kala merasa ruang itu menyedot jiwanya, lalu menawannya jauh di jantung kegelapan. Ia tak tahan lagi. Ia tak mau berakhir seperti Is; merepotkan anak-istrinya dengan sakit yang disebabkan duka yang dalam. Atau emak; yang meninggal dalam penantian akan dirinya. ia juga tidak mau menambah daftar sesalnya, seperti Kak Tien, karena terlambat melakukan sesuatu yang seharusnya ia lakukan saat badan masih memiliki nyawa. Lalu, sekelebat, muncullah kesadaran itu (Thayf, 2009: 168-169).

Kala menyadari kondisi dirinya dan tidak ingin merepotkan orang lain. meskipun dengan kondisi sakit, Kala tetap melanjutkan hidupnya. Kala pergi mencari tampat tinggal juga pekerjaan.

Kala lalu bertemu dengan Lilik (teman Kala). Kala meminta tampat tinggal juga pekerjaan pada Lilik. Tetapi Kala yang masih punya sisa semangat tidak ingin tinggal dengan cuma-cuma karena ia tidak ingin meyusahkan orang yang sudah mau menolongnya.

(38)

Saat Kala berada pada ujung usianya, bahwa ajal akan segera menjemput Kala. Ada kekawatiran dalam diri Kala bahwa ia belum punya keturunan seorang pun akan tetapi ia mengerti akan suatu hal, atas apa telah ia berikan pada hidup. Dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(32) Entah bagaimana ia tahu kalau jejak keberadaanya di dunia akan berakhir sebentar lagi, tanpa seorang keturunan pun yang akan meneruskan. Sebersit kekawatiran Kala muncul, tapi segera lenyap. Sekedip mata, suatu kesadaran tiba-tiba muncul dalam benak permpuan itu, bahwa jejak tak selamanya harus terpatri jelas di atas permukaan tanah, melainkan bisa pula terukir indah jauh di lubuk hati; dalam bentuk cinta, ketulusan, kebaikan, kenangan, dan kepedulian pada orang lain (Thayf, 2009: 187-188).

(39)
(40)

banyak mengalami kehilangan orang-orang yang dicintainya (30). Kala adalah seseorang yang tidak ingin membuat orang lain susah akan kehadirannya (31). Kala menemukan jawaban bahwa semua yang ia lakukan dalam kehidupannya tidaklah melulu harus selalu yang bisa dilihat nyata, tetapi sesuatu yang telah membekas dalam hati pada orang-orang yang ditinggalkannnya (32).

(41)

29

BAB III

PLOT DALAM NOVEL JEJAK KALA

KARYA ANINDITA S. THAYF

Plot memiliki tahapan-tahapan bagian. Seperti rincian yang dikemukakan oleh Tasrif (dalam Nurgiyantoro, 2005: 149-150) bahwa rincian yang membedakan tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah: Pertama, tahap situation atau tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh(-tokoh) cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. Kedua, adalah tahap generating circumtance atau tahap pemunculan konflik, masalah(-masalah) dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi tahap ini merupakan tahap awalnya munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap ketiga adalah tahap rising action

(42)

penderita terjadinya konflik utama. Dan tahap yang kelima adalah tahap

denoument atau tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-konflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.

Pada bab ini penulis akan membahas lima tahapan plot tersebut diatas.

3.1 Tahap Situation atau Tahap Penyituasian

Tahap Situation atau tahap penyituasian adalah tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh(-tokoh) cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang, terutama, berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

Tahapan ini dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut.

Kutipan berikut menjelaskan tentang latar tempat cerita dalam novel Jejak Kala dikisahkan dan juga informasi tentang tempat dan waktu yaitu di Kaki Gunung Boliohutu pada tahun 1963. Informasi tentang tempat dan waktu tersebut terdapat pada kutipan (33). Pada kutipan (34), mulai diperkenalkan adanya tokoh Emak dan juga tokoh Kala. Sebagai tokoh utama dalam cerita, Kala, sudah diperkenalkan tentang rutinitas Kala setiap hari. Kala harus selalu bangun pagi untuk segera bekerja di tempat Pak Dukuh. pengenalan yang di dapat adalah Emak sebgai ibu dari Kala juga tempat dimana Kala bekerja setiap hari yaitu di tempat Pak dukuh.

(33) Kaki Gunung Boliohutu, 1963 (Thayf, 2009: 1).

(43)

dan emak membawanya ke rumah Pak Dukuh entah beberapa tahun yang lalu. Tepatnya, Kala sudah tidak ingat. Mungkin, rupa-rupa keranjang beban selalu dibawa di atas kepalanya mendesak keluar sebagian ingatan itu lewat keringat yang membasahi rambut.

Sebelum subuh benar-benar mengakhiri malam, emak sudah lebih dulu mengakhiri kenikmatan lelapnya dengan tepukan lembut di pipi.

“Kala, bangun! Waktunya mulai bekerja,” bisik perempuan itu tegas, sangat dekat di telinga.

Seketika buyarlah mimpi-mimpi Kala (Thayf, 2009: 3).

Kutipan (35) berikut memberikan pengenalan tokoh Kala waktu kecil, bahwa Kala kecil masih ingusan, tingginya masih setinggi anak pohon pisang dan belum bisa bersekolah. Kutipan tersebut di atas juga mengenalkan adanya tokoh Bu Dukuh.

(35) Masih ingusan, menurut orang-orang yang sering melihatnya melap ingus dengan baju. Masih setinggi anak pohon pisang, komentar tetangganya, si pemilik kebun pisang. Masih belum bisa bersekolah, kata istri Pak Dukuh (Thayf, 2009: 4).

Kutipan (36) berikut memberikan informasi tentang tokoh Kala, bahwa Kala adalah seorang yang optimis.

(36) “Ah”, mungkin nanti jika aku sudah tidak ingusan lagi, tubuhku bertambah tinggi. Dan, kalau sudah bersekolah, emak tidak akan menyuruhku bekerja seperti ini,”

“Jika sudah begitu, aku bisa bermain sepuas hati dari pagi sampai sore. Wah senangnya!” (Thayf, 2009:5).

Kutipan (37) menggambarkan bagaimana situasi latar saat Kala harus menuju ke sungai. Kutipan ini juga menjelaskan pekerjaan Kala yang harus menuju sungai untuk mencuci pakaian dan mengambil air untuk memasak.

(44)

Karenanya, tugas mencuci pakaian dan mengambil air untuk masak pun bisa ia selesaikan cukup cepat (Thayf, 2009: 5).

Kutipan (38) berikut menunjukkan latar dan keadaan perjalanan yang harus ditempuh Kala saat berangkat dari rumah menuju tempat kerjanya yaitu di tempat Pak Dukuh.

(38) Ada pun rumah Pak Dukuh begitu jauh dari rumahnya. Melewati sebuah hutan kecil, kebun, halaman rumah orang, menyusuri jalan besar, hingga tiba di sebuah rumah paling besar di tangah desa. Di rumah itulah, Kala bekerja sebagai pesuruh dengan bayaran kecil. Suasana di rumah Pak Dukuh cukup terang karena ada lampu minyak kecil di teras depan dan bagian belakang rumah. Sebaliknya, di sepanjang jalan menuju ke tempat itu sungguh gelap, apalagi di hutan. Benar-benar gelap! (Thayf, 2009: 5-6). Kutipan (39) memberikan informasi adanya tokoh Ina (anak perempuan Pak Dukuh) yang suka mengejek Kala.

(39) Baru kali ini Kala berlari sekencang itu, seakan berlomba dengan angin. Wajar saja, ia benar-benar takut. Mau menangis rasanya. Untunglah, tidak ada anak majikannya, Ina yang melihat. Jika tidak, wah, sudah pasti dirinya akan mendapat ejekan baru dari si mulut cerewet itu: Kala si penakut (Thayf, 2009: 7).

Kutipan (40) memberikan gambaran tentang kepatuhan Kala kepada Emak.

(40) Sejak mulai bekerja pada Pak Dukuh, selama itu pula Kala harus melewati hutan kecil itu sendirian, tanpa ditemani emak yang sudah lebih dulu pergi berkeliling mengumpulkan kayu bakar untuk dijual di pasar, demi kepatuhannya pada emak, Kala terpaksa harus melawan rasa kantuk, dingin, dan takut itu hari demi hari (Thayf, 2009: 7-8).

Kutipan (41) berikut memberikan gambaran tokoh Kala yang membayangkan dalam benaknya bahwa sangat enak menjadi anaknya Pak dukuh.

(45)

sumur untuk mengisi penuh bak mandi, dicobanya mengingat-ingat apa saja keenakan itu.

“Bisa tidur lebih lama,” ucap Kala spontan dalam hati (Thayf, 2009: 8).

Kala kecil belajar untuk menyadari ada banyak hal yang lebih penting daripada dirinya sendiri. Kala menyadari bahwa apa yang dilakukan Kemi merupakan hal yang sangat penting bagi keluarga mereka, terutama karena Kemi menghidupi keluarga. Kala juga belajar lebih menghargai Kemi dan pekerjaanya setelah mendengar jawaban Emak. Hal tersebut digambarkan pada kutipan berikut, sekaligus memberikan informasi bahwa Kemi adalah kakak perempuan Kala.

(42) Mengapa Kemi boleh tidur lebih lama, sedangkan aku tidak? Sekali waktu pertanyaan itu pernah diutarakannya kepada emak. “Karena kakakmu punya pekerjaan yang lebih berat dan penghasilan yang lebih besar. Ia harus seharian menjaga toko dan tidak boleh mengantuk, kecuali ia akan menghitung uang dan merugikan majikannya. Bukankah kita tidak ingin kakakmu dipecat gara-gara kurang tidur?” jawab emak.

Sejak itu, Kala berhenti mengomel jika melihat Kemi masih meringkuk di balik kehangatan sarung, sementara dirinya harus mulai berbaur dalam selimut kabut pagi yang dingin (Thayf, 2009: 8-9).

Kutipan berikut memberikan pengenalan pada tokoh Ina yang paling anti diperintah. Juga adanya tokoh yang bernama Kei (anak bungsu Pak Dukuh) – adik Ina.

(46)

kutipan berikut juga digambarkan bahwa Kala adalah seorang anak yang senang berfantasi, Kala membayangkan Pak Dukuh seperti benda atau bentuk dari makanan dan juga bentuk dari tanaman.

(44) Begitu Kei selesai, giliran Pak Dukuh yang mendatangi kamar mandi. Ia adalah seorang laki-laki paruh baya bertubuh bulat. Betul bulat! Menurut Kala, semua yang ada pada majikannya itu serba bulat; tubuh pendek yang gemuk, lengan dan kaki serupa lontong padat, perut buncit mirip separuh bola, dan bentuk wajah yang sesempurna bulan di hari kelima belas. Bahkan Kala melihat kalau jari-jari Pak Dukuh pun mirip bulat-bulatan jahe-membuatnya selalu tertawa jika kebetulan teringat hal itu saat sedang berbelanja di pasar. Pak Dukuhlah yang paling lama mandi di antara semua penghuni rumah itu. Ia selalu masuk kamar mandi sambil tersenyum kecut dan keluar dengan senyuman lebar. Hampir mirip sifat kei, Pak Dukuh cepat marah tanpa alasan (Thayf, 2009: 11). Kutipan berikut menginformasikan adanya tokoh Salma (anak perempuan tertua Pak Dukuh; kakak perempuan dari Ina dan Kei) dan pelukisannya dalam cerita. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

(45) Berikutnya sudah menunggu anak tertua majikan Kala, Salma. Ia yang sejak tadi duduk di ruang tengah segera bangkit berdiri begitu melihat bapaknya keluar dari kamar mandi dengan leher berkalung handuk. Dari ruang tengah yang pintunya hanya diberi kain tipis, suasana kamar mandi dan ruang cuci terlihat cukup jelas. Sambil tersenyum ramah, gadis hitam manis itu berjalan mendekati Kala yang tampak kelelahan (Thayf, 2009: 11).

Tokoh Salma dipaparkan pelukisan ciri fisiknya, seperti pada kutipan berikut.

(46) Ia juga menggumi fisiknya; rambut ikal panjang sepunggung, bibir tipis yang merah, hidung mungil berujung lancip, san mata bulat yang berpayung bulu mata lentik. Sungguh cantik Kak Salma! (Thayf, 2009: 12).

(47)

yang dilakukannya itu haruslah selesai meskipun pekerjaan itu cukup berat untuk ukuran umur seorang bocah seperti Kala. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.

(47) “Kala! Kalau baknya sudah penuh, istirahatlah dulu, Nak. Pergilah ke dapur untuk sarapan pagi. Bukankah setelah aku tidak ada lagi yang mandi pagi?” (Thayf, 2009: 12).

(48) “Iya, Bu. Sebentar lagi,” Kala menjawab setengah berteriak sambil terus menarik tali timba dengan tangannya yang mulai gemetar. Bayangkan, ia sudah menimba satu jam lebih, tapi bak itu tidak pernah bertahan penuh karena selalu saja ada yang mandi (Thayf, 2009: 12-13).

Pelukisan tokoh Bu Dukuh (istri Pak Dukuh-majikan Kala) terdapat pada kutipan berikut.

(49) Suara keibuan yang hangat itu adalah suara istri Pak Dukuh. ia seorang perempuan berkulit putih seperti Ina, berambut ikal seperti qSalma, dan berbadan gemuk-besar seperti Kei. Kala hafal sekali dengan raa keakraban yang ditawarkannya (Thayf, 2009: 12).

Kutipan berikut menginformasikan adanya tokoh Ano dalam cerita, diceritakan juga bagaimana penggambaran tokoh Ano. Ano adalah tukang masak di rumah Bu Dukuh tempat Kala bekerja. Berikut kutipannya.

(50) “Tadi Ano masak nasi goreng terasi,” ucap Bu Dukuh sambil berjalan mendekat. Ano adalah tukang masak di rumah itu (Thayf, 2009: 13).

(51) Lalu, terbayang dalam kepala Kala, sosok si tukang masak, Ano. Seorang perempuan tua bertubuh agak bongkok dan berambut cepol sedang berdiri dengan tubuh mengerut di depan kompor, sembari memegang penggorengan (Thayf, 2009: 13).

(48)

(52) “He-eh. Aku hanya makan ikan kecil-kecil, nasi, dan sambal.” “Nah, itu dia. Makanya tubuhmu seperti itu terus sejak dulu.” “Seperti bagaimana?”

“Kecil dan pendek.” (Thayf, 2009: 15).

Kala kecil digambarkan senang berfantasi dengan hal-hal yang dijumpainya. Dalam kutipan berikut, saat Kala berada di pasar bersama Bu Dukuh, Kala berkhayal layaknya anak-anak seusianya, dan khayalan itu dirasa sangat indah baginya. Berikut kutipannya.

(53) Di mata Kala, panggung itu sangat tinggi. Dia harus membuang kepalanya jauh ke belakang untuk dapat melihat dengan jelas hingga ke puncak. Di matanya, undak-undakan itu serupa tangga menuju langit dan membuat si penjual yang sedang duduk di puncak sana seakan-akan tinggal di atas gunung tinggi. Gunung yang ditumbuhi sabun mandi, bedak, sisir, dan bermacam barang jualan lain, bukan rumput atau bunga. Oh, betapa menyenangkan! (Thayf, 2009: 16).

Pada kutipan berikut, tokoh Kala kecil digambarkan sebagai bocah yang pantang menyerah, Kala mempunyai semangat yang besar. Kala harus membawa barang belanjaan yang dibeli Bu Dukuh ditumpangkan di atas kepalanya walaupun beban itu dirasa cukup berat bagi Kala.

(54) Tanpa berkata-kata, Kala mempersiapkan kepalanya untuk kembali ditumpangi beban. Sehelai kain lusuh yang berfungsi sebagai pengalas dilipatnya beberapa kali hingga cukup tebal, sebelum kemudian ditaruh tepat di puncak kepala. Setelah itu, barulah meletakkan keranjang belanjaan yang berat itu di atasnya dengan hati-hati. Sesaat, leher Kala tampak menggigil menerima beban di luar kemampuannya. Tapi, dengan semangat yang besar, Kala menguatkan-nguatkan lehernya hingga bertonjolanlah urat-urat yang ada di situ (Thayf, 2009: 18-19).

(49)

memenuhi tanggung jawab itu sebagai pekerja di rumah Pak Dukuh. Kala tidak senang melihat ibunya bekerja terlalu keras, apalagi karena anak-anak Pak Dukuh yang tidak pernah menghargai pekerjaan Emak.

(55) Kala menemukan emak sedang menyikat sebuah celana selutut berwarna merah. Tanpa perlu bertanya, ia sudah tahu siapa pemiliknya. Ina. Hanya anak itu yang suka berpakaian warna mencolok seperti merah dan kuning. Pun, tiasa yang lain selain Ina yang pakaiannya paling kotor karena kerap dipakai memanjat pohon atau duduk sembarangan. Setiap kali melihat susahnya emak menhilangkan noda kotor akibat ulah Ina itu, ingin rasanya Kala mencelup semua pakaian berwarna ke dalam seember cat hitam agar noda yang ditinggalkannya tidak begitu kelihatan. Apalagi, Kala selalu mendengar Ina mengadu pada mamaknya bahwa emak tidak bersih mencuci, tanpa mau tahu betapa kerasnya usaha emak menyikat pakaian itu tanpa membuatnya sobek (Thayf, 2009: 19-20).

Meskipun Kala sudah merasakan capek, tetapi ia seperti tidak pernah kehabisan tenaga. Kala digambarkan sebagai seorang anak yang selalu bersedia dan ingin membantu meringankan pekerjaan orang lain. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.

(56) “Mmm... aku akan membantu Emak saja. Biar cuciannya bisa segera dijemur,” jawab Kala cepat sebelum terdengar ada yang mengomel lagi (Thayf, 2009: 21).

Pengenalan terhadap adanya tokoh Pak Zae. Pak Zae adalah buruh tani yang dipekerjakan oleh Pak Dukuh. Pak Zae juga digambarkan sebagai orang yang suka mencaci. Berikut kutipannya.

(57) “Maaf, Pak Zae. Bukan salahku,” jawab Kala ketika sudah mendekat, “Tapi Ano baru saja selesai memasak.” (Thayf, 2009: 26).

(50)

(59) “Kasihan Ano, sudah capek-capek memasak, malah dicaci,” gumam batinnya keras. Rasa tidak enak hati terpancar di wajah Kala saat ia bergegas menaruh barang bawaannya dan mulai sibuk mempersiapkan makan siang untuk kesepuluh buruh tani Pak Dukuh yang pasti sudah kelaparan (Thayf, 2009:26).

Tokoh Kala kecil digambarkan sebagai tokoh yang sadar akan tanggung jawab yang besar di usianya yang masih kanak-kanak. Meskipun begitu Kala kecil tetaplah kanak-kanak yang masih mempunyai keinginan untuk bermain seperti anak-anak kecil lainnya. Tetapi keinginannya hanya bisa ia lakukan dalam angan dan Kala cukup bisa menerima keadaan yang berbeda itu, bahwa Kala sadar akan tanggung jawab yang diembannya dan karena Kala juga tidak ingin menyusahkan orang lain akibat dari kesalahannya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

(60) Andai saja ada yang tahu isi hati Kala, sebenarnya ia sangat ingin bermain di tengah siang yang terik begini. Membasahi yang telah dipakainya bekerja sejak subuh dengan kesejukan air, seperti tingkah segerombolan anak-anak yang dilihatnya saat melewati jembatan tadi. Mereka berkecipak-cipak girang tanpa beban di sengai kecil berair kecil yang bahagia. Sayang, Kala tidak bisa begitu. Jika ia memaksa singgah walau sebentar, sudah pasti telinganya akan mendengar omelan banyak orang. Pak Zae yang kelaparan, Ano yang terlalu lama kehilangan cerek dan gelas, dan emak yang mendapat teguran Bu Dukuh - karena laporan Pak Zae. Kala hanya bisa bermain air dalam angan, seperti biasa. Memang tidak semenyenangkan yang nyata, tapi cukuplah menerbitkan senyum di bibir bocah itu (Thayf, 2009: 27).

Kala digambarkan sebagai anak yang ingin menjadi seseorang yang disukai oleh orang lain dan orang lain bisa merasa nyaman berada di dekatnya, Kala tidak ingin dibenci orang-orang. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(51)

emak dan kemi. Padahal, aku tidak ingin begitu, Ano. Aku ingin semua orang suka berada di dekatku. Makanya, aku berusaha untuk tidak marah. Aku tidak mau dibenci orang-orang.” (Thayf, 2009: 32 -33).

Kala kecil juga digambarkan pula seorang anak kecil yang sudah mampu untuk mengurus dirinya sendiri juga dalam hal mengurus keperluan makan anggota keluarganya (Emak dan Kemi-kakak perempuan Kala). Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(62) Aroma khas ikan goreng masih mengapung di langit-langit rumah ketika Kemi datang. Kala baru saja selesai memasak. Ia sedang sibuk mengaduk-aduk nasi panas dalam bakul sambil sesekali meniup-niup uapnya yang memedihkan kulit (Thayf, 2009: 36).

3.2 Tahap Generating Circumtance atau Tahap Pemunculan Konflik

Tahap generating circumtance atau tahap pemunculan konflik merupakan tahap yang memunculkan masalah(-masalah) dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Jadi tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

Tahapan ini dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut.

(52)

juga bapaknya, hal itu membuat Ina sangat marah dan akhirnya terjadi perkelahian Ina dengan Kala. Kutipan (67), kenakalannya ini adalah sebagai bentuk protes terhadap keputusan yang telah diambil Emak bahwa Kala harus ikut bersama majikannnya yang baru, pindah dan bekerja di kota. Alasan Kala melakukan kenakalan itu karena disebabkan oleh perasaan Kala yang merasa bahwa Emak sengaja berbuat begitu untuk menyingkirkannya, bahwa Emak tidak mau mengurusnya lagi dan Emak ingin membuang Kala dan juga Emak merasa malu dengan Kala, dan juga karena Kala sebenarnya tidak ingin pergi ke kota. Itulah yang ada dalam benak Kala saat ia tahu Emak mengambil keputusan atas dirinya. Berikut kutipannya.

(63) O, ho, ho! Kala menahan gelinjang kesenangan di hatinya. Getah itu kini sudah menyebar. Bercak-bercak cokelatnya tampak dimana-mana. Rencananya berhasil. Tak lama lagi, getah yang berasal dari buah jambu monyet, yang sengaja diolesnya dengan hati-hati ke seluruh permukaan apel, akan membuat Pak Zae bertingakh mirirp monyet sungguhan, menggaruk kulitnya yang gatal terkena getah (Thayf, 2009: 51).

(64) “Ternyata kau sudah berani melawan ya, Kala,” Ina membuka percakapan dengan suara perlahan, tapi kemudian berubah sengit, “Katakan padaku! Apa maksudmu menaruh kertas-kertas itu di atas meja?! Bukankah kertas itu sudah kutaruh di antara tumpukan dun kering yang akan kau bakar sore nanti? Lalu, mengapa tidak kau bakar saja seperti biasa? Apakah kau tidak tahu betapa marahnya Mamak dan Bapak padaku tadi? Sekarang, aku kena hukuman. Kena omelan. Itu semua gara-gara kau, Kala!” (Thayf, 2009: 52-53).

(65) Tubuh Ina yang lebih tinggai membuat Kala tidak mungkin balas menarik rambut anak itu, apalagi potongannya pendek model laki-laki. Kala juga tidak mungkin menggigit lengan Ina yang tergantung cukup tinggi dari mulutnya. Maka, dengan mengandalkan naluri, Kala memulai serangan dengan terlebih dulu menghantamkan tumitnya pada punggung kaki Ina kuat-kuat (Thayf, 2009: 54-55).

(53)

lebih sakit daripada benturan tanpa sengaja kaki meja pada tulang kering (Thayf, 2009: 55).

(67) Kala pun sengaja berbuat nakal untuk menyakiti hati perempuan itu, sekaligus sebagai protes atas keputusan yang telah diambil emak. Selain itu, Kala juga berpikir bahwa mungkin saja tamu-tamu Pak Dukuh akan batal mengajaknya ke kota jika ia menunjukkan sikap nakal (Thayf, 2009: 59).

Kala merasa sakit dan sedih, bukan cuma sakit fisik karena akibat dari kenakalannya ia dipukuli pantatnya dengan tongkat bambu oleh Emak, yang selama ini tidak pernah menyakiti fisiknya. Dari peristiwa itu Kala merasakan bentuk perbedaan, perbedaan fisik Kala dengan Kemi dan juga perbedaan sikap Emak kepada Kala yang berbeda daripada sikap emak ke Kemi bahwa Kala merasa emak selalu perhatian dan dan tidak pernah terlalu keras pada Kemi. Pada kutipan ini juga dipaparkan kembali ciri-ciri fisik Tokoh Kala. Berikut kutipannya.

(68) Dengan memendam rasa sakit dan kecewa, bocah itu memaksa kakinya berlari menjauhi petak kamar kecil di bagian belakang rumah Pak Dukuh, tempat ia menerima hukuman tadi. Meninggalkan Emak yang duduk termenung di depan meja setrika setelah kelelahan memukul dan mengomel, melarikan diri dari seluruh penghuni rumah itu terutama Ina. Tanpa peduli tatapan penuh selidik orang-orang yang dijumpainya sepanjang perjalanan , Kala membiarkan kakinya menentukan arah ke mana semua sakit hati dan kecewa itu akan ia labuhkan (Thayf, 2009: 58).

(54)

tiba-tiba sakit. Bocah itu mengerutkan dahi dalam-dalam sambil meringis pedih (Thayf, 2009: 59-60).

(70) Lama, Kala bertahan dalam posisi itu, tak bergerak. Entah tidur atau melamun, yang pasti, semua kejadian di hari ini datang silih berganti dalam pikirannya, berseling rasa kecewanya pada Emak-yang jika makin diingat, kecewa itu berubah jadi marah, lalu benci. Ya ia benci pada emak yang telah menghukumnya begitu rupa, padahal menurutnya, kesalahan itu tidaklah sedemikian besar. Ia juga benci pada Ina yang tidak mendapat hukuman sama sekali dari mamak atau bapaknya, padahal anak itulah yang sering berbuat salah dan mengawali perkelahian. Pak Zae juga dibencinya karena langsung melapor pada Bu Dukuh begitu merasa dirinya dijahili Kala, padahal sejak pertama kali mandor itu melakukan hal serupa pada Kala, dirinya tidak perna dilaporkan. Baru kali ini, Kala merasa dunia begitu pilih kasih. Begitu kejam. Ia pun mulai berpikir untuk membenci dunia. Maka, direngutkan wajahnya (Thayf, 2009: 60-61).

Pada kutipan berikut dipaparkan tentang informasi tentang adanya tokoh sepasang suami istri yaitu Kak Tien juga Kak Banar sebagai majikan Kala yang baru di kota. Sepasang suami istri ini telah sebelumnya datang ke tempat Pak Dukuh untuk mencari seorang anak perempuan yang masih kecil tetapi sudah bisa bekerja, dan bekerja sebagai pengasuh anak dari pasangan suami istri majikan baru Kala tersebut. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

(71) Tamu dari kota itu mencari seorang anak perempuan yang masih kecil, tapi sudah bisa bekerja, untuk dijadikan teman sekaligus pengurus anak pertama mereka (Thayf, 2009: 67).

(72) “Mulai sekarang, panggil saja aku ‘Kak’. Kak Tien,” tegasnya (Thayf, 2009: 69).

(73) “Dan suamiku itu,” selanjutnya, Kak Tien menunjuk ke sosok laki-laki yang duduk di kursi penumpang depan, sebelah sopir, “panggil saja ‘Kak Banar’.” (Thayf, 2009: 69).

(55)

(74) Manado, 1969 (Thayf, 2009: 71).

(75) Sosok itu memang kecil, tapi ia sudah bukan anak kecil lagi. Sikapnya menunjukkan itu, begitu pula perubahan di beberapa bagian tubuh yang tampak membesar dan menonjol, meski terkadang berusaha ia samarkan dengan berjalan agak membungkuk atau menutupinya dengan buku yang didekap dekat di dada (Thayf, 2009: 71).

Kala mengalami masalah dengan tahun-tahun pertamanya di kota. Sangat terasa berat baginya, bahkan juga pandangan orang-orang terhadapnya, ini dikarenakan oleh penampilan Kala yang berbeda dengan orang kota. Termasuk juga saat Kala menjalani proses belajarnya di sekolah, Kala sangat lemah dalam hal ulangan dan kala harus berjuang keras untuk bisa lulus karena sebelumnya Kala pernah tinggal kelas. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(76) Gadis kecil itu menatap bengong kertas kosong di depannya. Ia tidak tahu mau menulis apa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tertulis di papan tulis. Otaknya memang selalu begini tiap kali masa ulangan tiba; sekonyong-konyong kosong melompong, seolah tak ada isi (Thayf, 2009: 75).

(77) Padahal, semalam ia sudah mati-matian menghafal hampir seluruh isi buku catatan pelajaran Bahasa Indonesianya, terutama bagian yang dikatakan Pak Guru akan keluar pada ulangan hari ini. Herannya, tidak sedikit pun dari yang dihafalnya itu teringat sekarang (Thayf, 2009: 76).

(78) Sungguh ia tidak mau tinggal kelas sekali lagi, seperti waktu kelas satu dulu (Thayf, 2009: 76).

(79) Tahun-tahun pertama Kala di kota terasa sangat berat. Ia merasa setiap orang selalu memandangnya dengan tatapan aneh seakan dirinya makhluk asing. Mungkin karena penampilannya yang dianggap kuno, dengan baju berpotongan sederhana dan sandal jepit butut. Apalagi, ditambah model rambut kribonya yang jarang dimiliki orang pada saat itu, sehingga jelaslah perbedaannya (Thayf, 2009: 83).

(56)

Banar. Kala telah jatuh cinta terhadap Koesnaedi. Cinta membuat Kala terbuai oleh pesona dari laki-laki yang dikaguminya tersebut. Tetapi Kala juga tidak menyadari dibalik cinta itu juga membawa rasa pahit yang dalam bagi Kala, karena pemuda yang dicintainya ternyata telah memilih seorang perempuan yang lain. Kala pun sakit bukan main. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

(80) “Pantas rasanya aku pernah lihat. Aku Koesnaedi. Ajuban baru Bapak,” ungkapnya memperkenalkan diri. “Karena kebetulan kita mau ke tempat yang sama, mari kuantar,” lalu ia mengajukan tawaran hangat itu seiring sepotong besar senyum tanpa pamrih pada bibirnya yang digantungi titik-titik air (Thayf, 2009: 100). (81) Ah, betapa indah memang hidup dalam cinta. Semua warna ada,

kecuali hitam dan kelabu. Semua rasa tumpah ruah, hingga kedua sudut bibir selalu belepotan senyum. Semua suara adalah simfoni. Semua gerakan bibir adalah tarian. Kala tak menyangkal melihat bintang di langit siang. Melihat pelangi di langit malam. O, indahnya cinta (Thayf, 2009: 102-103).

(82) Ternyata kenyataan tidak pernah mau berkompromi dengan ia yang sedang jatuh cinta. Tapi, sekali lagi, cinta telah membuat kaki Kala serasa tak jejak bumi. Selama hatinya tak henti menyanyikan nama sang kekasih, selama itu pula semua tampak indah di mata Kala (Thayf, 2009: 104).

(83) Setelah berbulan-bulan menikmati indahnya mimpi manusia yang sedang dimabuk asmara, dan berdiang dalam hangatnya gairah perapian cinta yang penuh asa, kini semuanya terpaksa harus berkahir. Mimpi dan api itu telah mati. Terganti perih yang nyeri. Lubuk hati menangis. Pedih teriris. Sakit yang tak terkikis (Thayf, 2009: 105).

(84) Laksana pedang, siapa sangka undangan perkawinan yang datang pagi tadi mampu memangkas pokok pohon cinta Kala dalam sekali tebasan kasar. Meninggalkan luka menganga penuh makna pada hatinya yang masih perawan. Berdarah-darah hingga menyembur ke limpa, ginjal, lambung, usus, jantung, paru-paru, dan melumeri seluruh isi otaknya. Membuat gadis itu sontak meriang dengan batin mengerang. O, cinta! Betapa kejam siksamu! Inikah balasan ketulusan itu (Thayf, 2009: 105).

(57)

(85) Tahun 1977 adalah tahun kesuksesan Kak Banar (Thayf, 2009: 107).

Kutipan berikut memberikan informasi tentang umur Kala. Kala telah memasuki usia dua puluhan. Kala telah berhasil menyembuhkan dari sakit hatinya karena Koesnaedi. Kutipan berikut juga memaparkan seperti apa ciri fisik juga kepribadian Kala saat telah memasuki usia dua puluhan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(86) Kala telah memasuki usia dua puluhan. Ia berhasil menyembuhkan luka hatinya dan melewati hari-hari “patah” dengan menyibukkan diri mengikuti kursus keterampilan di sana-sini dan mulai membuka diri dengan orang luar, selain penghuni rumah. Teman dan kenalannya bertebaran di mana-mana. Semua kenal Kala. Semua senang padanya. Memang si Kribo bukanlah gadis berparas menarik, berkulit putih, bertubuh seksi, atau berambut indah yang selalu diharapkan datang ke setiap pesta ajojing para anak muda. Si Kribo Kala juga bukan gadis keluarga kaya yang selalu dihujani ajakan bergabung ke dalam salah satu geng muda-mudi yang merasa diri paling yahud. Tapi, si Kribo Kala adalah gadis yang ramah, rajin, cekatan, mau bekerja keras, dan tak pernah mengeluh, yang selalu dicari oleh siapa pun yang butuh bantuan atau sekadar uluran tangan. Kala, si Kribo Penolong (Thayf, 2009: 114).

Kutipan berikut menjelaskan tentang informasi tahun saat itu, yaitu tahun 1981. Berikut kutipannya.

(58)

(88) Dalam banjir air mata, Kala melepas kepergian Kak Mien yang selalu bersikap baik padanya dan sudah ia anggap sebagai saudra sendiri. Baru kali ini, Kala menyadari betapa ditinggal pergi orang terkasih tak hanya menyedihkan hati. Ia merasa kehilangan (Thayf, 2009: 123).

Kala dihadapkan pada peristiwa-peristiwa yang membuatnya kawatir dan mulai memikirkan tentang pernikahan, karena Kala sendiri juga mempunyai harapan untuk menikah. Kekawatiran ini muncul setelah teman-teman sebaya Kala sudah ada yang melewati jenjang pernikahan dan juga ada yang telah memiliki anak, sementara sisanya telah mempunyai pacar dan bersiap menuju ke jenjang itu. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

(89) Sebenarnya, Kala sendiri berada di antara himpitan dua rasa; senang dan khawatir. Lingkungan membuat Kala mulai memikirkan tentang pernikahan. Beberapa teman sebayanya sudah menikah dan memiliki anak, sementara sisanya, telah punya pacar dan bersiap menuju jenjang itu. Ada pun Kala malah belum pernah berpacaran sama sekali (Thayf, 2009: 129-130).

3.3 Tahap Rising Action Atau Tahap Peningkatan Konflik

Tahap rising action atau peningkatan konflik merupakan tahap pada konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan.

Tahap ini dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut.

Terdapat keterangan tampat dan waktu yang digambarkan sebagai latar tempat dan waktu saat kejadian dalam novel berlangsung, yaitu di Manado pada tahun 1990. Berikut kutipannya.

(59)

Kala dihadapkan pada keadaan bahwa keluarga majikannya (Kak Tien dan Kak Banar) sudah tidak harmonis lagi. Sepasang suami istri itu sering bertengkar dan keadaan itu membuat Kala cemas. Kala cemas terhadap anak asuhnya yaitu Ela, cucu dari Kak Tien dan Kak Banar, anak dari Iswadi dan Putri. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

(91) “ARGGHHH!! DIAM KAU, PEREMPUAN! Bisakah kau jaga mulutmu itu agar tidak selalu menjawab perkataanku, hah?! Benar-benar mau dihajar kau rupanya. Tidak hanya berani menuduh, tapi juga sudah mulai berani memerintah dan melawanku. DASR ISTRI DURHAKA! PEMBANGKANG!” (Thayf, 2009: 132).

(92) “Sudahlah, Kak. Telingaku sudah bosan mendengar omonganmu. Hatiku juga sudah bosan bersabar dan berpura-pura tidak peduli dengan omongan orang-orang tentang kelakuanmu di belakangku. Aku capek mengalah, Kak. Tidakkah kau capek membohongiku?” (Thayf, 2009: 134).

(93) “Kala kau dengar itu? Aku takut. Nenek dan kakek marahan lagi.” (Thayf, 2009:135).

(94) “Ya, Nak. Aku dengar. Ayo kita keluar saja ke depan sana. Tadi, aku lihat ada tukang es lilin parkir di rumah sebelah. Kita bisa makan es sambil menunggu ibumu dan Ori pulang. Mau, kan?” (Thayf, 2009: 135).

(95) Bocah itu menjatuhkan kepalanya ke dada Kala begitu tubuhnya sampai ke pelukan perempuan pengasuhnya. Saat itu, jelas terasa oleh Kala betapa jantung si kecil berdebar kencang (Thayf, 2009: 136).

(96) “Ia benar-benar takut,” bisik Kala kawatir. “Tenanglah, Ela. Kau aman bersamaku,” dengan penuh sayang, Kala lalu membisikkan kata-kata bujukan pada ank pertama Is itu seraya membawanya keluar pintu (Thayf, 2009: 136).

(97) “Tidak mungkin aku meninggalkan anakmu di dalam rumah yang seperti medan perang itu. Bisa celaka ia atau aku yang sudah gila,” Kala mengomel pelan sambil menurunkan Ela yang meronta ingin dilepaskan (Thayf, 2009: 137).

Referensi

Dokumen terkait

Dalam novel ini terdapat tujuh tokoh perempuan dan lima di antaranya menjalani ketidakadilan gender yaitu Nani yang akan dijodohkan oleh ibunya dengan orang yang tidak ia

Adapun faktor yang paling berpengaruh sebagai pemicu munculnya konflik batin adalah faktor eksternal, (3) Bentuk penyelesaian konflik batin pada tokoh utama dalam novel DT

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kecemasan yang terjadi pada tokoh Aruni dalam novel Menolak Panggilan Pulang, karena pergulatan hatinya dalam mempertahankan

Perjuangan tiga tokoh perempuan, yakni Mabel, Mace, dan Mama Helda yang dianalisis melalui feminisme eksistensialis de Beauvoir, dilihat dari kesadaran sebagai

Volume 5 Nomor 2, Oktober 2017, ISSN I2302-6405 123 terdapat dalam novel Jejak Cinta Sevilla menunjukkan kekerasan terhadap perempuan, kemandirian tokoh perempuan, tokoh

Perjuangan tiga tokoh perempuan, yakni Mabel, Mace, dan Mama Helda yang dianalisis melalui feminisme eksistensialis de Beauvoir, dilihat dari kesadaran sebagai

sehat dan tidak sehat tokoh utama dalam novel Cinta 2 Kodi karya Asma Nadia (3) Tahap klasifikasi, yaitu tahap mengelompokkan data yang sudah

3 Penyebab konflik sosial yang dialami tokoh utama dalam novel I Am Malala Karya Christina Lamb ditinjau dari segi sosiologi sastra, dan 4 Penyelesaian konflik sosial yang dialami tokoh