• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PLOT DALAM NOVEL JEJAK KALA KARYA

3.2 Tahap Generating Circumtance

Tahap generating circumtance atau tahap pemunculan konflik merupakan tahap yang memunculkan masalah(-masalah) dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Jadi tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

Tahapan ini dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut.

Kutipan (63), Kala memulai kenakalannya, seperti sengaja mengoleskan getah buah jambu monyet pada apel yang akan dimakan Pak Zae, sehingga Pak Zae jadi gatal-gatal. Pada kutipan (64), (65) dan (66), Kala juga menaruh kertas ulangan Ina di meja sehingga dilihat oleh orang tua Ina yang sebelumnya Ina telah dengan sengaja menaruh kertas ulangannya yang mendapat nilai jelek itu di tumpukan sampah yang siap di bakar oleh Kala saat setelah menyapu halaman dengan maksud supaya nilai ulangan yang jelek itu tidak diketahui oleh mamak

juga bapaknya, hal itu membuat Ina sangat marah dan akhirnya terjadi perkelahian Ina dengan Kala. Kutipan (67), kenakalannya ini adalah sebagai bentuk protes terhadap keputusan yang telah diambil Emak bahwa Kala harus ikut bersama majikannnya yang baru, pindah dan bekerja di kota. Alasan Kala melakukan kenakalan itu karena disebabkan oleh perasaan Kala yang merasa bahwa Emak sengaja berbuat begitu untuk menyingkirkannya, bahwa Emak tidak mau mengurusnya lagi dan Emak ingin membuang Kala dan juga Emak merasa malu dengan Kala, dan juga karena Kala sebenarnya tidak ingin pergi ke kota. Itulah yang ada dalam benak Kala saat ia tahu Emak mengambil keputusan atas dirinya. Berikut kutipannya.

(63) O, ho, ho! Kala menahan gelinjang kesenangan di hatinya. Getah itu kini sudah menyebar. Bercak-bercak cokelatnya tampak dimana-mana. Rencananya berhasil. Tak lama lagi, getah yang berasal dari buah jambu monyet, yang sengaja diolesnya dengan hati-hati ke seluruh permukaan apel, akan membuat Pak Zae bertingakh mirirp monyet sungguhan, menggaruk kulitnya yang gatal terkena getah (Thayf, 2009: 51).

(64) “Ternyata kau sudah berani melawan ya, Kala,” Ina membuka percakapan dengan suara perlahan, tapi kemudian berubah sengit, “Katakan padaku! Apa maksudmu menaruh kertas-kertas itu di atas meja?! Bukankah kertas itu sudah kutaruh di antara tumpukan dun kering yang akan kau bakar sore nanti? Lalu, mengapa tidak kau bakar saja seperti biasa? Apakah kau tidak tahu betapa marahnya Mamak dan Bapak padaku tadi? Sekarang, aku kena hukuman. Kena omelan. Itu semua gara-gara kau, Kala!” (Thayf, 2009: 52-53).

(65) Tubuh Ina yang lebih tinggai membuat Kala tidak mungkin balas menarik rambut anak itu, apalagi potongannya pendek model laki-laki. Kala juga tidak mungkin menggigit lengan Ina yang tergantung cukup tinggi dari mulutnya. Maka, dengan mengandalkan naluri, Kala memulai serangan dengan terlebih dulu menghantamkan tumitnya pada punggung kaki Ina kuat-kuat (Thayf, 2009: 54-55).

(66) Dari wajahnya yang memucat dan lelehan air mata di kedua sisi pipi, Kala tahu betapa parah rasa sakit yang dirasa Ina saat ini,

lebih sakit daripada benturan tanpa sengaja kaki meja pada tulang kering (Thayf, 2009: 55).

(67) Kala pun sengaja berbuat nakal untuk menyakiti hati perempuan itu, sekaligus sebagai protes atas keputusan yang telah diambil emak. Selain itu, Kala juga berpikir bahwa mungkin saja tamu-tamu Pak Dukuh akan batal mengajaknya ke kota jika ia menunjukkan sikap nakal (Thayf, 2009: 59).

Kala merasa sakit dan sedih, bukan cuma sakit fisik karena akibat dari kenakalannya ia dipukuli pantatnya dengan tongkat bambu oleh Emak, yang selama ini tidak pernah menyakiti fisiknya. Dari peristiwa itu Kala merasakan bentuk perbedaan, perbedaan fisik Kala dengan Kemi dan juga perbedaan sikap Emak kepada Kala yang berbeda daripada sikap emak ke Kemi bahwa Kala merasa emak selalu perhatian dan dan tidak pernah terlalu keras pada Kemi. Pada kutipan ini juga dipaparkan kembali ciri-ciri fisik Tokoh Kala. Berikut kutipannya.

(68) Dengan memendam rasa sakit dan kecewa, bocah itu memaksa kakinya berlari menjauhi petak kamar kecil di bagian belakang rumah Pak Dukuh, tempat ia menerima hukuman tadi. Meninggalkan Emak yang duduk termenung di depan meja setrika setelah kelelahan memukul dan mengomel, melarikan diri dari seluruh penghuni rumah itu terutama Ina. Tanpa peduli tatapan penuh selidik orang-orang yang dijumpainya sepanjang perjalanan , Kala membiarkan kakinya menentukan arah ke mana semua sakit hati dan kecewa itu akan ia labuhkan (Thayf, 2009: 58).

(69) Entah sejak kapan, Kala mulai bisa melihat perbedaan yang ada antara ia dan kakaknya itu. Kulit hitam yang kusam dan kering, rambut kribo yang bergerombol serupa kembang kol, mata sipit yang nyaris tanpa alis –saking tipisnya- dan tubuh yang seakan tidak pernah lebih tinggi dari pucuk tanaman jagung yang masih muda. Berlawanan dengan milik Kemi. Tapi, perbedaan yang palling menyakitkan bagi Kala adalah sikap Emak. Seingatnya, Emak selalu perhatian dan tidak pernah terlalu keras pada Kemi. Yang terjadi pada dirinya adalah kebalikan daripada itu. Kata-kata Emak selalu tegas padanya. “Kerja, kerja, dan kerja,” itulah yang tak henti diserukan emak di telinga Kala sejak hari masih terlalu dini untuk dimulai hingga petang tiba. Adakah ia benar-benar anak Emak atau bukan? Pertanyaan serupa itu selalu membuat kepalanya

tiba-tiba sakit. Bocah itu mengerutkan dahi dalam-dalam sambil meringis pedih (Thayf, 2009: 59-60).

(70) Lama, Kala bertahan dalam posisi itu, tak bergerak. Entah tidur atau melamun, yang pasti, semua kejadian di hari ini datang silih berganti dalam pikirannya, berseling rasa kecewanya pada Emak-yang jika makin diingat, kecewa itu berubah jadi marah, lalu benci. Ya ia benci pada emak yang telah menghukumnya begitu rupa, padahal menurutnya, kesalahan itu tidaklah sedemikian besar. Ia juga benci pada Ina yang tidak mendapat hukuman sama sekali dari mamak atau bapaknya, padahal anak itulah yang sering berbuat salah dan mengawali perkelahian. Pak Zae juga dibencinya karena langsung melapor pada Bu Dukuh begitu merasa dirinya dijahili Kala, padahal sejak pertama kali mandor itu melakukan hal serupa pada Kala, dirinya tidak perna dilaporkan. Baru kali ini, Kala merasa dunia begitu pilih kasih. Begitu kejam. Ia pun mulai berpikir untuk membenci dunia. Maka, direngutkan wajahnya (Thayf, 2009: 60-61).

Pada kutipan berikut dipaparkan tentang informasi tentang adanya tokoh sepasang suami istri yaitu Kak Tien juga Kak Banar sebagai majikan Kala yang baru di kota. Sepasang suami istri ini telah sebelumnya datang ke tempat Pak Dukuh untuk mencari seorang anak perempuan yang masih kecil tetapi sudah bisa bekerja, dan bekerja sebagai pengasuh anak dari pasangan suami istri majikan baru Kala tersebut. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

(71) Tamu dari kota itu mencari seorang anak perempuan yang masih kecil, tapi sudah bisa bekerja, untuk dijadikan teman sekaligus pengurus anak pertama mereka (Thayf, 2009: 67).

(72) “Mulai sekarang, panggil saja aku ‘Kak’. Kak Tien,” tegasnya (Thayf, 2009: 69).

(73) “Dan suamiku itu,” selanjutnya, Kak Tien menunjuk ke sosok laki-laki yang duduk di kursi penumpang depan, sebelah sopir, “panggil saja ‘Kak Banar’.” (Thayf, 2009: 69).

Terdapat informasi yang menjelaskan tentang latar tempat yaitu di Manado dan latar waktu yaitu pada tahun 1969 dan juga memeberikan gambaran tentang tokoh Kala bahwa ia sudah bukan anak kecil lagi. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.

(74) Manado, 1969 (Thayf, 2009: 71).

(75) Sosok itu memang kecil, tapi ia sudah bukan anak kecil lagi. Sikapnya menunjukkan itu, begitu pula perubahan di beberapa bagian tubuh yang tampak membesar dan menonjol, meski terkadang berusaha ia samarkan dengan berjalan agak membungkuk atau menutupinya dengan buku yang didekap dekat di dada (Thayf, 2009: 71).

Kala mengalami masalah dengan tahun-tahun pertamanya di kota. Sangat terasa berat baginya, bahkan juga pandangan orang-orang terhadapnya, ini dikarenakan oleh penampilan Kala yang berbeda dengan orang kota. Termasuk juga saat Kala menjalani proses belajarnya di sekolah, Kala sangat lemah dalam hal ulangan dan kala harus berjuang keras untuk bisa lulus karena sebelumnya Kala pernah tinggal kelas. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(76) Gadis kecil itu menatap bengong kertas kosong di depannya. Ia tidak tahu mau menulis apa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tertulis di papan tulis. Otaknya memang selalu begini tiap kali masa ulangan tiba; sekonyong-konyong kosong melompong, seolah tak ada isi (Thayf, 2009: 75).

(77) Padahal, semalam ia sudah mati-matian menghafal hampir seluruh isi buku catatan pelajaran Bahasa Indonesianya, terutama bagian yang dikatakan Pak Guru akan keluar pada ulangan hari ini. Herannya, tidak sedikit pun dari yang dihafalnya itu teringat sekarang (Thayf, 2009: 76).

(78) Sungguh ia tidak mau tinggal kelas sekali lagi, seperti waktu kelas satu dulu (Thayf, 2009: 76).

(79) Tahun-tahun pertama Kala di kota terasa sangat berat. Ia merasa setiap orang selalu memandangnya dengan tatapan aneh seakan dirinya makhluk asing. Mungkin karena penampilannya yang dianggap kuno, dengan baju berpotongan sederhana dan sandal jepit butut. Apalagi, ditambah model rambut kribonya yang jarang dimiliki orang pada saat itu, sehingga jelaslah perbedaannya (Thayf, 2009: 83).

Kala dihadapakan dengan yang apa disebut cinta, sebuah cinta dari seorang laki-laki yang sebelumnya telah berkenalan terlebih dulu dengan Kala, laki-laki itu bernama Koesnaedi. Dia adalah seorang ajudan dari majikannya Kak

Banar. Kala telah jatuh cinta terhadap Koesnaedi. Cinta membuat Kala terbuai oleh pesona dari laki-laki yang dikaguminya tersebut. Tetapi Kala juga tidak menyadari dibalik cinta itu juga membawa rasa pahit yang dalam bagi Kala, karena pemuda yang dicintainya ternyata telah memilih seorang perempuan yang lain. Kala pun sakit bukan main. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

(80) “Pantas rasanya aku pernah lihat. Aku Koesnaedi. Ajuban baru Bapak,” ungkapnya memperkenalkan diri. “Karena kebetulan kita mau ke tempat yang sama, mari kuantar,” lalu ia mengajukan tawaran hangat itu seiring sepotong besar senyum tanpa pamrih pada bibirnya yang digantungi titik-titik air (Thayf, 2009: 100). (81) Ah, betapa indah memang hidup dalam cinta. Semua warna ada,

kecuali hitam dan kelabu. Semua rasa tumpah ruah, hingga kedua sudut bibir selalu belepotan senyum. Semua suara adalah simfoni. Semua gerakan bibir adalah tarian. Kala tak menyangkal melihat bintang di langit siang. Melihat pelangi di langit malam. O, indahnya cinta (Thayf, 2009: 102-103).

(82) Ternyata kenyataan tidak pernah mau berkompromi dengan ia yang sedang jatuh cinta. Tapi, sekali lagi, cinta telah membuat kaki Kala serasa tak jejak bumi. Selama hatinya tak henti menyanyikan nama sang kekasih, selama itu pula semua tampak indah di mata Kala (Thayf, 2009: 104).

(83) Setelah berbulan-bulan menikmati indahnya mimpi manusia yang sedang dimabuk asmara, dan berdiang dalam hangatnya gairah perapian cinta yang penuh asa, kini semuanya terpaksa harus berkahir. Mimpi dan api itu telah mati. Terganti perih yang nyeri. Lubuk hati menangis. Pedih teriris. Sakit yang tak terkikis (Thayf, 2009: 105).

(84) Laksana pedang, siapa sangka undangan perkawinan yang datang pagi tadi mampu memangkas pokok pohon cinta Kala dalam sekali tebasan kasar. Meninggalkan luka menganga penuh makna pada hatinya yang masih perawan. Berdarah-darah hingga menyembur ke limpa, ginjal, lambung, usus, jantung, paru-paru, dan melumeri seluruh isi otaknya. Membuat gadis itu sontak meriang dengan batin mengerang. O, cinta! Betapa kejam siksamu! Inikah balasan ketulusan itu (Thayf, 2009: 105).

Kutipan berikut memberikan informasi tentang tahun saat itu. Keterangan tersebut juga dibarengi dengan keterangan kesusksesan Kak Banar. Berikut kutipannya.

(85) Tahun 1977 adalah tahun kesuksesan Kak Banar (Thayf, 2009: 107).

Kutipan berikut memberikan informasi tentang umur Kala. Kala telah memasuki usia dua puluhan. Kala telah berhasil menyembuhkan dari sakit hatinya karena Koesnaedi. Kutipan berikut juga memaparkan seperti apa ciri fisik juga kepribadian Kala saat telah memasuki usia dua puluhan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(86) Kala telah memasuki usia dua puluhan. Ia berhasil menyembuhkan luka hatinya dan melewati hari-hari “patah” dengan menyibukkan diri mengikuti kursus keterampilan di sana-sini dan mulai membuka diri dengan orang luar, selain penghuni rumah. Teman dan kenalannya bertebaran di mana-mana. Semua kenal Kala. Semua senang padanya. Memang si Kribo bukanlah gadis berparas menarik, berkulit putih, bertubuh seksi, atau berambut indah yang selalu diharapkan datang ke setiap pesta ajojing para anak muda. Si Kribo Kala juga bukan gadis keluarga kaya yang selalu dihujani ajakan bergabung ke dalam salah satu geng muda-mudi yang merasa diri paling yahud. Tapi, si Kribo Kala adalah gadis yang ramah, rajin, cekatan, mau bekerja keras, dan tak pernah mengeluh, yang selalu dicari oleh siapa pun yang butuh bantuan atau sekadar uluran tangan. Kala, si Kribo Penolong (Thayf, 2009: 114).

Kutipan berikut menjelaskan tentang informasi tahun saat itu, yaitu tahun 1981. Berikut kutipannya.

(87) Pada tahun 1981, Iswadi tepat berusia 17 tahun (Thayf, 2009: 117). Kala harus kehilangan seseorang yang selama ini telah tinggal bersama di rumah Kak Banar. Ia adalah orang yang sangat baik kepada Kala, yaitu Kak Mien (adik perempuan Kak Tien-majikan Kala di Kota). Kak Mien pergi karena harus mengikuti suaminya yang berada jauh di ujung negeri usai melangsungkan pernikahan dengan pria yang dicintainya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

(88) Dalam banjir air mata, Kala melepas kepergian Kak Mien yang selalu bersikap baik padanya dan sudah ia anggap sebagai saudra sendiri. Baru kali ini, Kala menyadari betapa ditinggal pergi orang terkasih tak hanya menyedihkan hati. Ia merasa kehilangan (Thayf, 2009: 123).

Kala dihadapkan pada peristiwa-peristiwa yang membuatnya kawatir dan mulai memikirkan tentang pernikahan, karena Kala sendiri juga mempunyai harapan untuk menikah. Kekawatiran ini muncul setelah teman-teman sebaya Kala sudah ada yang melewati jenjang pernikahan dan juga ada yang telah memiliki anak, sementara sisanya telah mempunyai pacar dan bersiap menuju ke jenjang itu. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

(89) Sebenarnya, Kala sendiri berada di antara himpitan dua rasa; senang dan khawatir. Lingkungan membuat Kala mulai memikirkan tentang pernikahan. Beberapa teman sebayanya sudah menikah dan memiliki anak, sementara sisanya, telah punya pacar dan bersiap menuju jenjang itu. Ada pun Kala malah belum pernah berpacaran sama sekali (Thayf, 2009: 129-130).

Dokumen terkait