• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kategori I. Informan Dengan Tingkat Kecemasan Rendah Pada Tahap Perkenalan.

Informan:

1. Ditta Aditya 2. Fionita

Memasuki tahap perkenalan, Ditta mengalami penurunan kecemasan. Ditta masih merasa sangat antusias seperti yang di ungkapkannya, “Masih antusias, saya seneng pengen cepet-cepet aja diwawancara biar cepet kerja.” Motivasi Ditta untuk mendapat pekerjakaan terasa kuat sampai menutupi kecemasannya di wal wawancara. Ditta mengungkapkan kalau dia hanya merasa sedikit cemas saat menunggu di panggil wawancara dan ketika ia bertemu pewawancara kecemasannya hilang. Ditta juga merasa pecaya diri, hal ini terlihat dari hasil wawancara saetelah ia mengucal salam kepada pewawancara biasanya ia langsung duduk saja, jarang ia menunggu aba-aba dari pewawancara untuk disuruh duduk.

Berdasarkan hasil wawancara, kecemasan Ditta berkurang karena Ditta berfikir kalau segala sesuatunya pasti bakal terlewati, kalau gagal akan ada hari lain akan ada kesempatan lain. Dengan asumsi yang kuat dari dirinya maka ia dapat menekan rasa kecemasan yang timbul. Selama tahap ini ia juga dapat berbicara dengan lancar dalam memperkenalkan diri. Ia merasa selalu mencari pekerjaan yang sesuai dengan minatnya, jadi dia tidak mau asal saja dalam memilih pekerjaan.

Kecemasan yang dilami oleh Fionita juga menurun, karena menurut Fionita saat bertemu pewawancara ia bertindak sopan sesuai dengan etika. Biasanya Fionita mengetuk pintu dulu, menunggu jawaban, mecucapkan kata salam sambil tersenyum dan menunggu pewawancara untuk mempersilakan duduk dan memperkenalkan diri. Ia mengungkapkan kalau sudah beertemu pewawancara biasanya kecemasannya menurun.

Kategori II. Informan Dengan Tingkat Kecemasan Menengah Pada Tahap Perkenalan.

Informan:

1. Imanda Rizky Soaloon Lubis 2. Taufik Hidayat

3. Yunita Emilia

Pada awal interaksi Imanda berusaha memberi kesan sopan kepada pewawancara. Hal ini terlihat dari hasil wawancara ia biasanya mengetuk pintu, menunggu jawaban dari pewawancara, tersenyum, memberi salam, menunggu disuruh duduk dan berjabat tangan. Tidak seperti informan lainnya, hanya Imanda yang mengaku memulai berjabat tangan dengan pewawancara, menurut pendapatnya ia berjabat tangan untuk mendapatkan kesan baik dari pewawancara itu, biasanya pewawancara akan membalas jabatan tangan Imanda dan ikut memberi seyum.

Pada awal memberi salam ia merasa tidak dapat berbicara dengan lancar. Pengakuan Imanda pada pada tahap ini kecemasannya mulai menurun setelah berjabat tangan itu. Hal ini seperti yang diungkapkan Berger dan Calabrese mengenai aksioma ketidakpastian pada tahap awal interaksi, “Ketika ungkapan non-verbal meningkat maka tinggakt ketidakpastian menurun, jika dua orang yang tidak saling kenal menunjukkan komunikasi non-verbal yang baik, maka mereka akan semakin pasti satu sama lainnya” (Psikologi komunikasi.p92).

Berbeda dengan Imanda. Taufik tidak mengutamakan kesan pribadi secara non-verbal kepada pewawancara. Taufik bertidak seperti biasa saja melakukan greeting memperkenalkan diri, dan menjawab pertanyaan yang ditanyakan pewawancara. Pada awal memasuki ruangan wawancara Taufik merasa kecemasannya meningkat, tetapi untuk interaksi berikutnya Taufik sudah bisa menguasai perasaannya karena ia merasa sudah mempunyai pengalaman sebelumnya, baik itu pengalaman wawancara atau pengalaman bekerja, dan bagi dia semakin sering ia berbicara, maka kecemasannya menurun. Ia sangat berhati- hati dengan kalimatnya, karena ia tidak ingin dianggap jelek karena salah ucap.

Lain pula dengan Yunita, ia sebenarnya merasakan kecemasan saat akan memasuki ruang wawancara, ia cemas memikirkan apa kira-kira pertanyaan pewawancara, apakah suaranya terlalu pelan hingga memberi kesan “lemah” didepan pewawancara, atau bagaimana cara merengkai kalimat agar terdengar bagus. Biasanya itu hal yang terlintas di benaknya saa akan memasuki ruangan wawancara.

Untuk dapat menenangkan perasaannya ia mengingat saat wawancara sebelumnya dan menurutnya dimana-mana pewawancara itu akan sama saja, mereka punya wibawa yang terkadang membuat peserta wawancara merasakan tekanan darinya, mereka bisa saja ramah atau jutek, akan tetapi yang terpenting baginya adalah bagaimana dia dapat menyikapi dengan tenang apa yang ditanyakan pewawancara tersebut, dan akhirnya ia dapat melihat pewawancara itu seperti orang yang melakukan pekerjaan rutin, ....“ memang begitulah mereka, adanya wawancara juga begitu kan, yang penting kita dapat memberi informasi mengenai diri kita secara tenang dan jelas supaya mereka tidak salah tanggap..” katanya. Begitulah cara Yunita menenangkan dirinya, dia mempunyai pandangan yang bagus mengenai pewawancara dan ia pandai menempatkan dirinya agar dapat menghindari tekanan yang biasanya dirasakan didalam ruangan wawancara.

Kategori III. Informan Dengan Tingkat Kecemasan Tinggi Pada Tahap Perkenalan.

Informan:

1. Aprini Situmorang 2. Dian Febrina

Dari kesan awal yang diberikan Aprini sudah menggambarkan suasana wawancara itu menakutkan. Jadi saat memasuki ruangan wawancara Aprini Merasa kecemasannya meningkat, menurutnya kecemasannya meningkat karena ia baru pertama kali bertemu dan ia belum tau tipe pewawancara itu seperti apa, sehingga ia merasa bingung takut salah bertindak dan berkata.

Walaupun di tahap pra-wawancara ia melakukan interaksi dan bertanya tentang pewawancara kepada peserta yang lain, ia hanya berusaha menenangkan

hatinya disaat itu saja. Saat tiba giliran ia diwawancara biasanya kecemasannya mulai meningkat dan ia membiarkan kecemasan tersebut menjalar ke dirinya, jadi informasi yang didapatnya saat interaksi dengan peserta lain serasa percuma. Jantungnya semakin berdebar, badannya mulai berkeringat, bahkan merasa ingin buang air kecil.

Dian juga merasakan kecemasan yang meningkat ia merasa kakinya melemas saat memasuki ruangan wawancara, bibirnya pun sampai gemetar saat berbicara, bahkan untuk greeting sekalipun, ia menggambarkan kalau jantung nya berdebar lebih kencan. Dian juga menggambarkan proses wawancara itu seperti berusaha untuk mengevaluasi dirinya, Hal ini yang membuatnya semakin tidak merasa nyaman.

Menurut Dian ia merasa tertolong karena di awal wawancara memang ada usaha dari pewawancaranya sendiri yang membuat suasana agar tidak kaku. Dian juga dapat merasa tenang karena biasanya gambaran Dian mengenai pewawancara itu seperti sosok “POLISI” ternyata memang meleset. Ia mengatakan kalau pewawancara yang biasa dijumpainya memiliki sosok yang

good looking, muda, dan cara pewawancara menyampaikan pertanyaan juga hangat, jadi terkesan seperti obrolan. Dian mengungkapkan semakin banyak mereka melakukan komunikasi maka kecemasannya dapt saja menurun dengan sendirinya, “Pertama-tama mungkin agak kagok, tapi lama-lama karena dia nanya saya jawab jadi lama-lama lancar, lama-lama hilang sendiri sih nervousnya.”

Seharus nya dengan kondisi seperti itu Dian sudah dapat mengendalikan kecemasannya. Akan tetapi saat ia pewawancara mulai bertanya maka kecemasannya mulai meningkat lagi, bibirnya selalu gemetar saat menjawab pertanyaan wawancara ada saatnya ia merasa tidak dapat berbicara dengan lancar,”....Yaa tetep aja jadi nervous, timbul lagi cemasnya kayak ngomong sampe belibet-belibet gitu...”. Pernah ia menjawab dengan spontan saja apa yang dipikirannya tanpa mencoba mengatur kalimatnya dulu begitu sadar ia tidak berbicara formal biasanya, ia langsung mengakhiri kalimatnya “..gitu.., Pak..” katanya. Walaupun ia tidak diwawancara sendiri dalam ruangan, ia tetap saja merasa cemas.