• Tidak ada hasil yang ditemukan

41.Kategori I. Informan Dengan Tingkat Kecemasan Rendah Pada Tahap Pra- Wawancara

Informan:

1. Yunita Emilia 2. Ditta Aditya 3. Fionita

Yuni adalah informan kedua yang peneliti wawancara. Berdasarkan pengamatan peneliti, Yuni, Ditta dan Fionita tergolong sosok yang memiliki tingkat kecemasan rendah. Mereka merasa tes wawancara adalah tahap yang memang wajar adanya bagi perusahaan untuk dapat mengenali calon karyawan mereka. Yuni, Ditta dan Fio memiliki keinginan yang kuat untuk dapat segera bekerja di perusahaan yang mereka lamar. Mereka memiliki kadar percaya diri yang tinggi di awal tahap ini dikarenakan mereka menganggap mempunyai kemampuan yang qualified untuk bekerja dan setidaknya mereka merasa sudah pernah mengalami hal seperti ini. Mereka sudah memiliki pengalaman bekerja di perusahaan sebelumnya dan mereka melamar untuk posisi yang tidak jauh berbeda di perusahaan yang dituju. Yunita dan Ditta mengatakan kalau mereka tipe ekstrovert dan Fionita mengatakan ia bertipe introvert, dan ketiga ketiganya memiliki perasaan antusias yang cukup tinggi dengan tes wawancara kerja.

Untuk mengontrol rasa kecemasan dan mengurangi rasa ketidakpastian mengenai wawancara, Yuni tidak sungkan untuk bertanya kepada peserta wawancara lain yang berada didekatnya ia tidak sungkan untuk memulai berkomunikasi. Baginya saling berinteraksi seperti ini dapat mengurangi kecemasannya dan rasa ketidakpastiannya atas apa yang akan terjadi saat berhadapan dengan pewawancara. Tindakan seperti ini disebut strategi initeraktif untuk mengurangi rasa ketidakpastian, karena pada strategi ini orang akan secara aktif mencari informasi. Taktik mendapatkan informasi dilakukan dengan cara

bertanya secara langsug atau menawarkan untuk membuka diri dengan maksud lawan bicara juga bersedia untuk membuka dirinya.

Berbeda dengan Yuni, Ditta sebenarnya disamping rasa antusias dan percaya diri yang tinggi ia juga memiliki rasa cemas karena rasa ketidakpastian atas bagaimana proses wawancara berlangsung. Untuk mengontrolnya dan mengurangi rasa ketidakpastian tersebut, Ditta melakukan strategi pasif

disinhibition searching. Ditta bertindak melalui pengamatan diam-diam guna mendapatkan informasi mengenai orang lain dan tidak bertanya kepada orang di sekitarnya dalam situasi informal dimana ia dalam keadaan santai, tidak terlalu menjaga penampilannya dan berperilaku lebih apa adanya.

Pada contoh ini, Ditta lebih memperhatikan ekspesi wajah orang yang keluar dari ruang wawacara juga mengamati tipe dan pembicaraan orang-orang di sekitarnya. Selain itu sembari menunggu, ia juga mendengarkan musik, menonton, atau memakan cemilan yang disediakan dan yang sudah ia persiapkan. Menurut Ramaiah (2003), mendengarkan musik lembut akan dapat membantu menenangkan pikiran dan perasaan serta konsumsi makanan yang mengandung nutrisi tertentu dapat mempengaruhi pikiran dan mood seseorang (Manajemen Emosi:52).

Fionita juga sebenarnya mempunyai rasa kecemasan pada tahap pra- wawancara. Akan tetapi ia lebih mencoba untuk menenangkan diri sendiri secara perlahan dengan mendengarkan musik. Ia tidak memulai interaksi dengan peserta wawancara lain, karena ia beranggapan semua butuh ketenangan, walaupun begitu ia tidak menutup interaksi kepada peserta wawancara lain. Apabila peserta wawancara lain bertanya, maka ia akan menjawab. Menurut Ramaiah (2003) Pengendalian diri dapat mengatasi rasa kecemasan dan hal ini menurut Blackburn dan Davidson (1994) termasuk dalam Self efficacy yakni perkiraan individu terhadap kemampuannya sendiri dalam mengatasi situasi (Manajemen Emosi:54).

42.Kategori II. Informan Dengan Tingkat Kecemasan Menengah Pada Tahap Pra-Wawancara.

Informan:

1. Imanda Rizky Soaloon Lubis 2. Taufik Hidayat

Mereka berdua termasuk dalam kategori tingkat kecemasan sedang. Hal ini langsung terlihat pada saat saat ditanya bagaimana perasaan mereka saat akan menjalani tes wawancara. Mereka merasa tidak pasti dengan perasaannya. Mereka merasa antusias, gugup dan tidak bisa menemukan perasaan yang dominan dikarenakan rasa kecemasan yang timbul tenggelam. Mereka menemui rasa ketidak pastian akan apa yang akan mereka hadi saat tes wawancara berlangsung.

Imanda sudah lebih dari 5 kali mengikuti tes wawancara kerja. Tepatapi ia belum dapat menguasai perasaannya secara utuh. Menurut hasil wawancara, hal ini dikarenakan Imanda pernah beberapa kali mempunyai kesan buruk terhadap pewawancara dikarenakan sikap mereka yang menurutnya jutek, disamping itu sampai pada saat wawancara berlangsung ia mengatakan kalau ia sering gagal mendapatkan pekerjaan karena gagal dalam menjalani tes wawancara.

Untuk mengurangi rasa kecemasan dan ketidakpastian sebenarnya Imanda telah membuat persiapan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang dianggap menjebak, karena menurutnya ia sering tidak bisa menjawab pertanyaan yang bersifat menjebak. Walaupun begitu ia tetap merasa cemas, dan biasanya ia juga melakukan interaksi dengan calon wawancara lain, biasanya ia dapat lebih tenang jika berinteraksi dengan peserta yang baru saja melakukan wawancara dan mendapat dukungan dari teman barunya.

Taufik juga sudah sering menjalani tes wawancara kerja dan beberapa kali lulus hingga dapat menjadi karyawan di perusahaan. Akan tetapi ia tetap saja merasa cemas karena ia menganggap tes wawancara kerja itu seperti proses interogasi (biasanya oleh POLISI), Dan ia juga sering mendapat pewawancara yang dianggapnya kurang bersahabat. Sama seperti Imanda, ia juga mengandalkan interaksi dengan peserta lainnya untuk mengurangi rasa cemas dan ketidakpastian

akan apa yang akan dia hadapi saat wawancara kerja pada setiap tes wawancara kerja. Menurut pengamatan peneliti mereka berdua tergolong orang yang ekstrovert saat wawancara.

43.Kategori III. Informan Dengan Tingkat Kecemasan Tinggi Pada Tahap Pra- Wawancara.

Informan:

1. Aprini Situmorang 2. Dian Febrina

Aprini dan Dian adalann informan yang memiliki kecemasan tinggi. Mereka tidak ragu mengatakan kalau proses wawancara adalah proses yang menakutkan dan jika ditanya bagaimana perasaan saat akan menjalani mereka menjawab hanya nervous. Mereka memiliki ketakutan tidak dapat menjawab pertanyaan atau salah dalam menjawab pertanyaan yang berakibat pewawancara menggangap mereka kurang cerdas.

Aprini sudah 6 kali menjalani tes wawancara kerja, tetapi ia belum dapat terbiasa dengan perasaan cemas untuk menghadapi tes wawancara kerja. Untuk bisa merasa rileks ia merasa harus berinteraksi dengan peserta yang sudah diwawancara, kalau masih merasa cemas ia juga akan berinteraksi dengan temannya yang sudah pernah menjalani tes wawancara sekaligus untuk meminta dukungan dari temannya. Ia mengalami kecemasan untuk hal yang banyak, seperti takut telat, takut berjumpa pewawancara yang jutek, takut barangnya tertinggal, takut ia menjawab dengan kalimat yang berputar-putar. Jadi ia sulit untuk merasa tenang walau telah melakukan interaksi dengan peserta wawancara yang lain.

Dalam tes wawancara Aprini berpendapat ia orang yaang ekstrovert, akan tetapi menurut peneliti Aprini sosok yang introvert saat diwawancara. Hal ini terbukti saat Aprini mengungkapkan kalau sebelumnya seorang pewawancara pernah mengatakan kalu ia orang yang terlalu pendiam. Mungkin Aprini tidak bermaksud demikian, tetapi karena rasa kecemasan yang tinggi, situasi komunikasi antarpribadi mereka menjadi terganggu dan pewawancara menangkap kesan yang salah menurut Aprini.

Dian sebenarnya mempunyai rasa percaya diri untuk menjalani tes wawancara kerja karena menurutnya ia lulusan universitas ternama. Pada awal pemberitahuan juga ia sudah merasa antusias untuk menjalani tes wawancara kerja. Tetapi apabila Aprini memiliki sumberkecemasan dari pikiran yang dibuatnya sendiri, maka Dian merasa sumber kecemasannya pada tahap pra- wawancara karena ia merasa peserta wawancara yang juga mempunyai materi yang bagus dan terlihat lebih mencolok dari dia.

Sebenarnya Dian orang yang ekstrovert, tetapi karena ia melihat orang lain lebih terlihat mencolok ia merasa kurang percaya diri. Inilah yang menjadi masalah Dian, karena itu ia langsung merasa kalau orang lain memiliki kesempatan yang lebih terbuka dari dia, berdasarkan fisik atau ganteng/cantik mereka. Dian takut kalah saing. Jadi ia mulai introvert pada tahap ini dan tidak memulai komunikasi dengan orang lain. Walaupun ia memiliki rasa ketidak pastian dengan bagaimana keadaan wawancara, ia hanya bertanya dan memendamnya didalam hati. Selain itu ia juga mengakui kalau ia pernah menjawab pertanyaan wawancara secara berbelit karena tidak dapat mengontrol kecemasannya, jadi ia merasa dihantui oleh pemikiran seperti itu.