• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konsep Kebijakan Publik

2.1.1.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik

Kebijakan publik memiliki beberapa tahapan yang saling terkait satu sama lain karena secara umum, kebijakan publik merupakan proses yang kompleks, dinamis dan dipengaruhi oleh banyak aktor yang menginginkan kepentingannya terpenuhi lewat kebijakan publik tadi. Berikut adalah gambar dari tahapan-tahapan dalam kebijakan publik.

Masyarakat yang dicita-citakan Masyarakat pada Masa Transisi Masyarakat pada Kondisi Awal

41

Gambar 2.2

Tahapan Kebijakan Publik Sumber: Nugroho (2012: 185)

Gambar 2.2 di atas dapat dijelaskan dalam sekuensi berikut:

1. Isu kebijakan. Disebut isu apabila bersifat strategis, yakni bersifat mendasar, menyangkut banyak orang atau bahkan keselamatan bersama, (biasanya) berjangka panjang, tidak bisa diselesaikan oleh orang-seorang, dan memang harus diselesaikan. Isu ini diangkat sebagai agenda politik untuk diselesaikan. Isu kebijakan ini terdiri atas dua jenis, yaitu problem dan goal. Artinya, kebijakan publik dapat berorientasi pada permasalahan yang muncul pada kehidupan politik, dan dapat pula berorientasi pada goal atau tujuan yang hendak dicapai pada kehidupan publik

2. Isu kebijakan ini kemudian menggerakan pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut. Rumusan kebijakan ini akan menjadi hukum bagi seluruh negara dan warganya – termasuk pimpinan negara.

3. Setelah dirumuskan, kebijakan publik ini kemudian dilaksanakan baik oleh pemerintah atau masyarakat maupun pemerintah bersama-sama dengan masyarakat.

4. Namun, dalam proses perumusan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan, diperlukan tindakan evaluasi sebagai sebuah siklus baru untuk dinilai apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan dengan baik dan benar dan diimplementasikan dengan baik dan benar pula.

5. Implementasi kebijakan bermuara pada output yang dapat berupa kebijakan itu sendiri atau manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh pemanfaat.

6. Dalam jangka panjang, kebijakan tersebut menghasilkan outcome dalam bentuk impak kebijakan yang diharapkan semakin meningkatkan tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan tersebut.

Perumusan Kebijakan Implementasi Kebijakan Evaluasi Kebijakan Isu Kebijakan

Berdasarkan gambar 2.2 di atas dapat dilihat bahwa siklus kebijakan publik selalu berputar untuk mendapatkan kebijakan publik yang dianggap layak dan pas dalam menyelesaikan permasalahan publik. Pada siklus tersebut dapat dilihat bahwa proses kebijakan publik selalu diawali dari adanya isu kebijakan. Isu kebijakan tersebut muncul dari masalah yang terjadi pada publik dimana publik merasakan adanya perbedaan antara harapan dengan kenyataan. Isu yang akan dibahas dalam agenda setting penyusunan kebijakan merupakan isu-isu yang dianggap penting dan serius untuk dibahas dan dicarikan pemecahan masalahnya oleh para pembuat kebijakan.

Setelah penetapan isu kebijakan selesai dilakukan, selanjutnya adalah merumuskan kebijakan. Dalam proses perumusan kebijakan inilah terjadi pertarungan antar aktor untuk memenangkan kepentingannya masuk dalam kebijakan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Lindblom dalam Winarno (2014: 93), dalam memahami proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan tersebut, baik aktor-aktor yang resmi maupun aktor-aktor yang tidak resmi. Untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pemeran serta (participants), bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta saling mengawasi. Dari berbagai jenis pemeran serta, masing-masing pemeran serta ini menurut Lindblom mempunyai peran secara khusus yang meliputi: warganegara biasa, pemimpin

43

organisasi, anggota DPR, pemimpin lembaga legislatif, aktivis partai, pemimpin partai, hakim, pegawai sipil, ahli teknik, dan manajer dunia usaha.

Menurut Anderson dalam Winarno (2014: 96) perumusan kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi. Ia merupakan proses yang secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khusus.

Suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh seorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah, atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Tahap keputusan kebijakan bukan merupakan pemilihan dari berbagai altenatif kebijakan, melainkan tindakan tentang apa yang boleh dipilih. Pilihan-pilihan ini sering disebut sebagai alternatif kebijakan yang dipilih, yang menurut para pendukung tindakan tersebut dapat disetujui. Pada saat proses kebijakan bergerak ke arah proses pembuatan keputusan, maka beberapa usul akan diterima sedangkan usul-usul yang lain akan ditolak, dan usul-usul lain lagi mungkin akan dipersempit. Pada tahap ini perbedaan pendapat akan dipersempit dan tawar-menawar akan terjadi hingga akhirnya dalam beberapa hal, keputusan kebijakan hanya akan merupakan formalitas.

Tahap-tahap dalam perumusan kebijakan dapat dijelaskan sebagai berikut (Winarno, 2014: 122-124):

1. Perumusan Masalah (Defining Problem)

Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik pula. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu,

seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam masyarakat menjadi pertanyaan yang menarik dalam evaluasi kebijakan publik. Namun demikian, apakah pemecahan masalah tersebut memuaskan atau tidak bergantung pada ketepatan masalah-masalah publik tersebut dirumuskan. Rushefky dalam Winarno (2014: 124) secara eksplisit menyatakan bahwa kita sering gagal menemukan pemecahan masalah yang tepat dibandingkan menemukan masalah yang tepat.

2. Agenda Kebijakan

Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah-masalah tersebut saling berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti misalnya apakah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera dilakukan? Masalah publik yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan akan dibahas oleh para perumus kebijakan, seperti kalangan legislatif (DPR), kalangan eksekutif (presiden dan para pembantunya), agen-agen pemerintah dan mungkin juga kalangan yudikatif. Masalah-masalah lain tersebut dibahas berdasarkan tingkat urgensinya untuk segera diselesaikan.

3. Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk Memecahkan Masalah

Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Di sini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam kondisi seperti ini, maka pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negosiasi yang terjadi antaraktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.

4. Tahap Penetapan Kebijakan

Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan diambil sebagai cara untuk memecahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam pembentukan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembentukan kebijakan tersebut.

Setelah melewati beberapa tahap perumusan kebijakan publik seperti di atas, maka langkah selanjutnya adalah mengimplementasi kebijakan yang telah disahkan oleh pemerintah. Pada tahap implementasi kebijakan inilah sebuah

45

kebijakan dapat teruji kualitasnya, apakah mampu untuk memecahkan masalah atau sebaliknya yaitu tidak mampu memecahkan masalah publik yang dimaksud. Setelah melalui tahap implementasi, maka barulah kebijakan dapat dievaluasi untuk menilai apakah kebijakan tersebut patut dilanjutkan, dilanjutkan dengan diperbaiki, ataukah harus dihentikan. Pada akhirnya kebijakan yang telah ditetapkan di awal dalam proses kebijakan akan menghasilkan dampak bagi publik yang kemudian akan melahirkan isu kebijakan yang baru lagi.

Berdasarkan pada penjelasan di atas, implementasi kebijakan merupakan langkah yang paling penting dalam proses sebuah kebijakan. Karena tanpa implementasi, kebijakan yang telah dirumuskan hanya akan menjadi dokumen resmi yang tersimpan rapi dalam laci atau meja kerja pemerintah saja, dan pasti akan menjadi mustahil untuk memecahkan permasalahan yang terjadi pada publik 2.1.2 Implementasi Kebijakan Publik

Setelah proses legislasi kebijakan selesai, maka kebijakan publik perlu segera diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Sebagaimana diungkapkan oleh Lester dan Stewart dalam Kusumanegara (2010: 97), implementasi adalah sebuah tahapan yang dilakukan setelah aturan hukum ditetapkan melalui proses politik.

Ripley dan Franklin dalam Winarno (2014: 148) berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible product). Istilah implementasi menunjuk pada

sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah.

Sementara itu, Grindle dalam Winarno (2014: 149) juga memberikan pandangan tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu, tugas implementasi mencakup terbentuknya (a policy delivery system), dimana sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada tujuan-tujuan yang diinginkan.

Selanjutnya, Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2014: 149) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

Implementasi dipandang secara luas mempunyai pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome).

Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka proses implementasi kebijakan ini merupakan proses yang cukup rumit dan kompleks. Sesuai dengan pernyataan Agustino (2008: 138) bahwa dalam praktiknya implementasi kebijakan

47

merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan. Seperti yang disebutkan oleh Lester dan Stewart (Winarno, 2014: 219), pelaku dalam implementasi kebijakan meliputi birokrasi, legislatif, lembaga-lembaga, pengadilan, kelompok penekan, dan komunitas organisasi. Masing-masing pelaku kebijakan ini mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sehingga penerimaan terhadap implementasi kebijakan juga akan beragam.

Namun, di balik kerumitan dan kekompleksitasannya tersebut, implementasi kebijakan memegang peranan yang cukup vital dalam proses kebijakan. Tanpa adanya tahap implementasi kebijakan, program-program kebijakan yang telah disusun hanya akan menjadi catatan-catatan resmi di meja para pembuat kebijakan. Implementasi kebijakan yang berhasil menjadi faktor penting dari keseluruhan proses kebijakan.

Anderson dalam Kusumanegara (2010: 97) mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan/program merupakan bagian dari administrative process (proses administrasi). Proses administrasi mempunyai konsekuensi terhadap pelaksanaan, isi, dan dampak suatu kebijakan. Dengan adanya penekanan pada „proses administrasi‟, maka dapat dipahami bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri (Agustino, 2008: 139).

Kusumanegara (2010: 97) memiliki pendapat yang senada dengan Agustino (2008) di atas bahwa implementasi sebagai proses administrasi dari hukum (statute) yang didalamnya tercakup keterlibatan berbagai macam aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang dilakukan agar kebijakan yang telah ditetapkan mempunyai akibat, yaitu tercapainya tujuan kebijakan.

Implementasi ini sangat penting dalam suatu pemerintahan. Huntington dalam Abidin (2012: 145) berpendapat sebagai berikut: Perbedaan yang paling penting antara satu negara dengan negara lain tidak terletak pada bentuk atau ideologinya, tetapi pada tingkat kemampuan negara itu untuk melaksanakan pemerintahan. Tingkat kemampuan itu dapat dilihat pada kemampuan dalam mengimplementasikan setiap keputusan atau kebijakan yang dibuat oleh sebuah pilot biro, kabinet, atau presiden negara itu.

Apa yang disampaikan oleh Abidin (2012) di atas sesuai dengan pendapat Kartiwa (2012: 119-120) yang menyatakan bahwa:

“Implementasi kebijakan merupakan tahap yang sering dianggap paling krusial dalam pelaksanaan kebijakan publik. Jika suatu policy sudah diputus, policy tersebut tidak akan berhasil dan terwujud kalau tidak dilaksanakan. Pejabat politik harus memikirkan bagaimana memilih dan membuat policy. Mengenai bagaimana membuat policy itu membutuhkan keahlian dan keterampilan menguasai persoalan yang dikerjakan. Itulah sebabnya kedudukan birokrasi dalam hal ini sangat strategis. Jadi keberhasilan suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan implementasi kebijakan itu sendiri. sementara itu paling pihak yang paling menentukan keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah aparatur birokrasi di samping sistem yang melingkupinya”.

Berdasarkan pernyataan Kartiwa (2012) di atas, dapat dipahami bahwa dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan, kedudukan birokrasi sungguh strategis, yang dilihat pada keahlian dan keterampilan aparatur birokrasi dalam

49

mengerjakannya serta sistem yang mempengaruhinya. Di samping itu, hal penting lainnya dalam implementasi kebijakan publik adalah: (a) harus berorientasi pada kepentingan umum, (b) dipahami oleh aparatur administrasi negara yang melaksanakan kebijakan, (c) diterima oleh masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan publik. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Saefullah (2007: 46) sebagai berikut:

“Kebijakan publik merupakan dasar untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Sebagai pemegang mandat dari rakyat, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus berorientasi pada kepentingan umum. Keberhasilan suatu kebijakan akan bergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhinya. Tetapi yang terpenting adalah pemahaman oleh semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan penerimaan dengan penuh kesadaran oleh lingkungan masyarakat yang menjadi sasaran. Dengan demikian perlu diupayakan adanya saling pengertian antara aparat pelaksana dengan masyarakat sasaran. Saling pengertian ini merupakan realisasi dari keterikatan antara pembuat kebijakan sebagai pemegang mandat dengan publik sebagai pemberi mandat”.

Apa yang disebutkan oleh Saefullah (2007) di atas cukup memberikan penjelasan kepada kita bahwa dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan juga sangat dipengaruhi oleh cara aparatur birokrasi dan stakeholder lain yang terlibat dalam memahami, mengerti dan menerima kebijakan tersebut dengan penuh kesadaran agar pelaksanaanya bisa berhasil.

Menurut Abidin (2012) terdapat dua konsep dasar berkenaan dengan implementasi kebijakan. Pertama, konsep tentang peralatan kebijakan (policy instruments). Peralatan kebijakan adalah cara yang dipakai dalam menerapkan kebijakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan atau yang ingin dicapai.

Peralatan kebijakan ini berhubungan dengan sumber daya manusia, khususnya sumber daya aparatur, dan organisasi.

Sumber daya manusia aparatur atau aparatur pemerintah adalah subjek dan juga sekaligus objek dalam implementasi kebijakan. Sebagai subjek, pembahasannya berkenaan dengan kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan. Sebagai objek, sumber daya manusia berkaitan dengan penerimaan (acceptability) terhadap suatu kebijakan. (Hogwood dan Gunn dalam Abidin, 2012: 152)

Kedua, konsep tentang kewenangan yang tersedia untuk melaksanakan implementasi. Kewenangan adalah kekuasaan tertentu yang dimiliki dan secara formal diakui oleh pihak-pihak lain untuk menggunakan peralatan yang tersedia dalam mengimplementasikan kebijakan. Kewenangan berkaitan dengan posisi organisasi yang bersangkutan dan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Masing-masing organisasi memiliki wewenang dan yuridiksi administrasi tertentu, misalnya organisasi atau instansi pusat, organisasi daerah tingkat provinsi, organisasi daerah tingkat kabupaten, BUMN, atau organisasi swasta.

Sementara itu, perlu dilihat juga posisi atau status dari kebijakan yang ingin diimplementasikan apakah itu suatu kebijakan umum, kebijakan implementasi atau kebijakan pelaksanaan, atau kebijaksanaan operasional atau teknis. Dengan demikian, perlu dibedakan pengertian antara implementasi kebijakan umum dengan implementasi kebijakan pelaksanaan dan implementasi kebijaksanaan teknis. Implementasi kebijaksanaan umum biasanya dilakukan

51

melalui kebijaksanaan pelaksanaan, seterusnya implementasi kebijakan pelaksanaan melalui kebijakan teknis, implementasi kebijakan teknis melalui petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Jadi, pada masing-masing kebijakan itu terdapat implementasi sendiri.

Nugroho (2012: 675-676) memberikan gambaran untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.3

Sekuensi Implementasi Kebijakan Sumber: Nugroho (2012: 675) Kebijakan Publik Kebijakan Publik Penjelas Program Proyek Kegiatan Pemanfaat (Beneficiaries)

Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Daerah (Perda) adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung operasional antara lain Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain.

Rangkaian implementasi kebijakan pada gambar 2.3 di atas, dapat dilihat dengan jelas, yaitu dimulai dari program, ke proyek, dan ke kegiatan. Model tersebut mengadaptasi mekanisme yang lazim dalam manajemen, khususnya manajemen sektor publik, sebagaimana digambarkan berikut ini.

Gambar 2.4

Sekuensi Implementasi Kebijakan Sumber: Nugroho (2012: 676) Misi Visi Strategi/Rencana Kebijakan Program Proyek Kegiatan

53

Gambar 2.4 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: misi adalah yang pertama, karena melekat pada organisasi. Misi adalah raison d‟etre, atau alasan mengapa organisasi hadir atau eksis. Misi adalah tujuan melekat setiap organisasi sampai organisasi tersebut bubar kelak. Misi organisasi memberikan acuan kepada pemimpin untuk merumuskan visi yang sesuai dengan kapasitas pemimpin tersebut untuk membuat mission accomplished melalui kapasitas dan keunggulan yang dimilikinya. Jadi, misi menentukan ke mana akan pergi, atau visi. Jika misi melekat pada organisasi dirombak atau direformasi, visi melekat pada individu yang memimpin organisasi. Setiap pemimpin organisasi harus mempunyai visi ke mana organisasi dibawa selama di bawah kepemimpinannya. Jadi, visi melekat kepada leader. Kombinasi antara misi (organisasi) dan visi (pemimpin) tertuang dalam bentuk strategi.

Penjabaran visi adalah strategi atau rencana. Strategi adalah arah makro atau politik dari upaya pencapaian tujuan. Strategi ini dieksekusi dalam bentuk kebijakan-kebijakan, baik yang bersifat publik maupun non-publik. Jadi, kebijakan publik dapat dikatakan “keputusan politik” terhadap pilihan atas strategi. Tanpa keputusan politik, strategi tinggal konsep di atas kertas. Kebijakan ini dioperasionalisasikan dalam bentuk program-program yang berjalan paralel dengan itu, seperti penganggaran program. Program didetailkan dalam proyek-proyek, dan implementasinya dalam bentuk “produk” baik berupa pelayanan maupun barang. Istilah “produk” juga sering diganti dengan “kegiatan”, namun sengaja tidak digunakan karena ada keluaran yang berupa intangible product, yaitu jasa, dan tangible, yaitu produk.

Menurut Abidin (2012: 148), secara umum, suatu kebijakan dianggap berkualitas dan mampu diimplementasikan ditentukan oleh beberapa elemen sebagai berikut:

1. Tujuan yang ingin dicapai atau alasan yang dipakai untuk mengadakan kebijakan itu. Tujuan atau alasan suatu kebijakan dapat dikatakan baik jika tujuan atau alasan itu memenuhi kriteria berikut:

a. Rasional. Artinya, tujuan tersebut dapat dipahami atau diterima oleh akal sehat. Ini terutama dilihat dari faktor-faktor pendukung yang tersedia. Suatu kebijakan yang tidak mempertimbangkan faktor pendukung, tidak dapat dianggap sebagai kebijakan yang rasional. b. Diinginkan (desirable). Tujuan dari kebijakan tersebut menyangkut

kepentingan orang banyak, sehingga memperoleh dukungan dari banyak pihak.

2. Asumsi yang dipakai dalam proses perumusan kebijakan itu realistis. Asumsi tersebut tidak mengada-ada. Asumsi ini menentukan tingkat validitas suatu kebijakan

3. Informasi yang digunakan cukup lengkap dan benar. Suatu kebijakan menjadi tidak tepat apabila didasarkan pada informasi yang tidak benar atau sudah kadaluarsa (out of date). Sementara itu, kebijakan yang didasarkan pada informasi yang kurang lengkap boleh jadi tidak sempurna atau tidak tepat.

Ketepatan suatu strategi ditentukan oleh kemampuan menyebarkan aspek-aspek positif dari kebijakan dan cukup advokatif terhadap perbedaan pandangan, serta antisipatif terhadap tantangan perubahan dilapangan. Yang perlu diingat bahwa implementasi kebijakan adalah upaya pemerintah untuk memenuhi keinginan masyarakat yang tidak terlepas dari berbagai konflik politik dalam masyarakat.

Dalam hubungan dengan strategi ini, perlu diingat bahwa implementasi suatu kebijakan pada dasarnya adalah suatu perubahan atau transformasi yang bersifat multiorganisasi. Artinya, bahwa perubahan yang diterapkan melalui strategi implementasi kebijakan ini mengaitkan berbagai lapisan dan kelompok masyarakat, baik dalam lingkungan pemerintahan (public sectors), maupun swasta

55

(privat sectors) (Calista dalam Abidin, 2012). Semakin banyak kepentingan yang terkait, maka semakin besar kemungkinan adanya perbedaan di antara kepentingan-kepentingan itu dengan tujuan kebijakan. Oleh karena itu, keberhasilan sangat ditentukan oleh strategi kebijakan yang tepat yang mampu mengakomodasi berbagai pandangan dan kepentingan yang berbeda dalam masyarakat.

Kebijakan yang akan diimplementasikan juga sangat bergantung pada efektifitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan itu sendiri. Apakah kebijakan tersebut dalam pelaksanaannya sudah „tepat‟ atau tidak. Nugroho (2012: 707-709) menyatakan bahwa setidaknya ada “lima tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan implementasi kebijakan. Pertama, apakah kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dimulai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Kedua adalah tepat pelaksananya, ketiga adalah tepat target, keempat adalah tepat lingkungan,dan kelima adalah tepat proses.

Setelah memahami makna dari implementasi kebijakan menurut para ahli kebijakan di atas, maka peneliti dapat mengembangkan suatu pengertian umum bahwa implementasi kebijakan publik pada dasarnya adalah cara-cara atau strategi yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk mencapai tujuan sebuah kebijakan. Proses implementasi kebijakan bermula dari ketika tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan pada awal suatu kebijakan (Winarno, 2014:

Dokumen terkait