• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PROGRAM PENGARUSUTAMAAN PARTISIPASI ANAK DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK DI PROVINSI DKI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IMPLEMENTASI PROGRAM PENGARUSUTAMAAN PARTISIPASI ANAK DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK DI PROVINSI DKI JAKARTA"

Copied!
498
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Pulik

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

OLEH:

HELEN KARTIKA SARI 6661110804

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

“Setiap manusia dibekali empat karunia, yaitu kesabaran, suara hati, kebebasan

keinginan, dan imajinasi kreatif. Ia memberi manusia kebebasan, kekuatan

untuk memiliki, merespon dan untuk berubah.” –

Steven Covey

Skripsi ini ku persembahkan untuk:

(6)

vi

Allah Bappa Yang Maha Kuasa atas segala anugrah dan kasih-Nya yang begitu

berlimpah dalam kehidupan peneliti sehingga Skripsi yang berjudul

Implementasi Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam

Perumusan Kebijakan Publik di Provinsi DKI Jakarta ini dapat terselesaikan

dengan baik.

Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar

Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik, Program Studi Ilmu

Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa. Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan, dukungan, serta

bimbingan dari berbagai pihak, maka akan sangat sulit bagi peneliti untuk

menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, dengan setulus hati peneliti

mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. DR. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa

2. DR. Agus Sjafari M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

3. Kandung Sapto Nugroho S.Sos., M.Si, Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

4. Mia Dwianna W., M.I.Kom., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan

(7)

vii

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

7. Ipah Ema Jumiati S.IP., M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi

Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang terus

mendukung peneliti dalam melakukan penelitian ini.

8. Titi Stiawati S.Sos., M.Si., Pembimbing Skripsi I yang terus

menyemangati dan membimbing peneliti dalam menyusun skripsi ini

9. Listyaningsih S.Sos., M.Si., Pembimbing Skripsi II yang terus

memberikan motivasi dan koreksi positif pada saat penyusunan skripsi ini.

10. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang

telah memberikan banyak ilmu dalam kelas perkuliahan.

11. DR. Dermawan M.Si., Kepala Asisten Deputi Partisipasi Anak, Deputi

Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak RI atas segala informasi dan data yang sangat berguna

bagi peneliti.

12. Jumadi S.E., M.Si., Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan

(8)

viii

Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta yang memberikan data dan

informasi terkait penyelenggaran Musrenbang Provinsi DKI Jakarta yang

melibatkan Forum Anak DKI Jakarta.

14. Prof. DR. Seto Mulyadi, Sekretaris Jenderal Komisi Nasional

Perlindungan Anak yang telah meluangkan waktu untuk menerima peneliti

dengan ramah di tengah kesibukan yang begitu padat serta memberikan

segala informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.

15. Wardoyo Djohar, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Provinsi DKI

Jakarta yang telah memberikan informasi penting kepada peneliti terkait

partisipasi anak di DKI Jakarta.

16. Rachel Priyoutomo, Manajer Program ADP Susukan Yayasan Wahana

Visi Indonesia

17. Dahrul Oktavian S.Sos, Staf Seksi Rehabilitai Sosial Dinas Sosial Provinsi

DKI Jakarta

18. Muhammad Thamrin, Staf Kurikulum dan Sumber Daya Belajar Bidang

SD dan PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

19. Arief Wahyudy, Staf Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Provinsi

DKI Jakarta

20. Rangi Faridha Azis, Analis Perencanaan dan Anggaran Dinas Pertamanan

(9)

ix

banyak memberikan informasi kepada peneliti tentang pembangunan

RPTRA di Provinsi DKI Jakarta.

23. M. Andi Jufri S.Kel., Tim Sosial CSR dari PT. Pembangunan Jaya yang

juga bersedia menjadi Informan bagi peneliti terkait pembangunan RPTRA

di Provinsi DKI Jakarta

24. Bidang Data dan Informasi P2TP2A Provinsi DKI Jakarta untuk data

tentang kekerasan anak di Provinsi DKI Jakarta yang sangat berguna

dalam penelitian ini

25. Yashinta Putri, Pelaksana Tugas Ketua Forum Anak Provinsi DKI Jakarta

beserta seluruh keluarga besar Forum Anak DKI Jakarta (FORAJA) yang

sangat ramah, menyenangkan, dan informatif.

26. Fajar Pratama, Fasilitator Forum Anak Provinsi DKI Jakarta

27. Kedua orang tua yang paling ku cintai di dunia ini, Papa ku Frengki

Butar-Butar S.Th., M.Th dan Mama ku Cut Ratna Kumala Sari terimakasih

banyak untuk segalanya.

28. Kakak ku Susan Novita Herlina S.H, serta ketiga adik ku Bripda Daniel,

Jonathan Arief, Veren Chelsea Banda Putri.

29. Untuk teman-teman seperjuangan seluruh Mahasiswa Ilmu Administrasi

(10)

x

Afani, Shinta Nurulita dan Zahra Almaira Rahman. Terimakasih untuk

semangat dan dukungannya.

31. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Angkatan

2013 terimakasih untuk kebersamaan dan dukungan dari kalian terhadap

peneliti.

32. Keluarga KKM Kelompok 60 Desa Kampung Baru untuk waktu sebulan

yang penuh makna dan pengalaman.

33. Serta pihak lain yang membantu mendukung penelitian ini yang tidak

dapat peneliti ucapkan satu per satu. Peneliti ucapkan terima kasih.

Seperti kata pepatah ‘tak ada gading yang tak retak’. Peneliti menyadari

bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terluput dari kealpaan peneliti. Oleh

karena itu segala kritik, sanggahan maupun saran yang konstruktif sangat peneliti

butuhkan untuk perbaikan kedepannya.

Peneliti berharap semoga skripsi yang telah peneliti tulis ini dapat

bermanfaat bagi seluruh stakeholder, dosen, mahasiswa maupun pihak lain yang

membacanya. Akhir kata, peneliti ucapkan terima kasih.

Serang, 27 Agusutus 2015

(11)

xi

Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik di Provinsi DKI Jakarta. Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Pembimbing I: Titi Stiawati S.Sos., M.Si dan Pembimbing II: Listyaningsih S.Sos., M.Si.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana implementasi Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan di Provinsi DKI Jakarta. Peneliti menggunakan teori implementasi Jones (1996) yang terdiri dari pilar-pilar organisasi, interpretasi, dan aplikasi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil temuan lapangan penelitian menyimpulkan bahwa pelaksanaan Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik di Provinsi DKI Jakarta belum optimal. Pada dimensi organisasi pemerintah, SKPD masih kekurangan sumber daya manusia terlatih konvensi hak anak, data tentang anak belum komprehensif dan terintegrasi dalam satu data base, Rencana Aksi Daerah Pembangunan Kota Layak Anak di Provinsi DKI Jakarta juga belum terbentuk sehingga kinerja di bidang anak masih dilakukan secara parsial. Kemudian pada dimensi organisasi Forum Anak Jakarta masih memiliki kapasitas kepengurusan yang lemah. Pada dimensi interpretasi, pemahaman implementor terhadap program partisipasi anak masih rendah, dukungan dari elit eksekutif bersama legislatif belum maksimal, serta dukungan publik terhadap pelaksanaan partisipasi anak juga masih sangat rendah. Pada dimensi aplikasi, pelibatan Forum Anak Jakarta dalam musrenbang secara struktural sudah dilakukan namun hasilnya belum mengakomodir suara anak, Forum Anak Jakarta juga belum memiliki akses informasi terhadap rencana tindak lanjut hasil usulan mereka, dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap partisipasi anak dalam musrenbang belum dilakukan.

(12)

xii

Province. Department of Public Administration. Faculty of Social and Political Science. University of Sultan Ageng Tirtayasa. First Preceptor: Titi Stiawati S.Sos., M.Si and Second Preceptor: Listyaningsih S.Sos., M.Si.

This research aims to analyze how is the implementation of Program of Mainstreaming of Children’s Participation in Public Policy Formulation in DKI Jakarta. Researcher used policy implementation theory by Jones (1996) which consist three pillars: organization, interpretation, and application. This research used qualitative method with descriptive design. The result of this research concluded that the implementation of the Program of Mainstreaming of Children’s Participation in Public Policy Formulation in Jakarta is not fully optimal. In organization dimension, government institution or SKPD in Jakarta is still lacked of trained human resources of convention on children’s right, the data of children still not comprehensive and integrated into one data base, and the regional action plan of child friendly city development in Jakarta is not formed yet so the task force on children protection still working partially. On another side, Jakarta’s Children Forum still have weak management capacity. In interpretation dimension, implementor understanding towards child participation is still low, the support from executive with legislative elite is not maximal, support from public to children’s participation is also still low. In application dimension, involvement of Jakarta’s Children Forum in Musrenbang is done, but the result showed it did not accommodate any of children’s input, Jakarta’s Children Forum also do not have information access to the follow-up plan of their input, and the monitoring and evaluation about children’s participation are not yet done.

(13)

xiii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 32

1.3. Batasan Masalah ... 33

1.4. Rumusan Masalah ... 33

1.5. Tujuan Penelitian ... 33

1.6. Manfaat Penelitian ... 33

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI, DAN ASUMSI DASAR 2.1 Tinjauan Pustaka ... 35

2.1.1 Konsep Kebijakan Publik ... 35

2.1.1.1Pengertian Kebijakan Publik... 36

2.1.1.2Tahap-tahap Kebijakan Publik ... 40

(14)

xiv

Kebijakan Publik ... 68

2.2.4.1 Dasar Hukum ... 75

2.2.4.2 Maksud dan Tujuan ... 77

2.2.4.3 Sasaran ... 77

2.2.4.4 Strategi ... 79

2.2.4.5 Mekanisme Partisipasi Anak ... 80

2.2 Penelitian Terdahulu ... 89

2.3 Kerangka Berpikir ... 93

2.4 Asumsi Dasar ... 97

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Pendekatan dan Metode Penelitian ... 98

3.2.Fokus Penelitian ... 99

3.3.Lokasi Penelitian ... 99

3.4.Fenomena yang diamati ... 100

3.4.1. Definisi Konsep ... 100

3.4.2. Definisi Operasional ... 101

3.5.Instrumen Penelitian ... 102

3.6.Informan Penelitian ... 103

3.7.Pedoman Wawancara ... 105

3.8.Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 107

3.9.Jadwal Penelitian ... 111

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1Deskripsi Provinsi DKI Jakarta ... 113

(15)

xv

4.5.1 Dimensi Organisasi ... 131 4.5.2 Dimensi Interpretasi... 185 4.5.3 Dimensi Aplikasi/Penerapan ... 224

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 251 5.2 Saran ... 253

DAFTAR PUSTAKA ... xx

(16)

xvi

Tabel 1.2 Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin 2013 ... 20

Tabel 1.3 Provinsi Pilot Project Pengembangan Kota Layak Anak ... 23

Tabel 2.1 Matriks Kegiatan Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Peumusan Kebijakan Publik ... 84

Tabel 2.2 Skema Partisipasi dan Penyertaan Anak ... 87

Tabel 3.1 Informan Penelitian ... 104

Tabel 3.2 Pedoman Wawancara Penelitian ... 106

Tabel 3.3 Jadwal Penelitian ... 112

Tabel 4.1 Luas Daerah dan Pembagian Daerah Administratif Provinsi DKI Jakarta Menurut Kabupaten dan Kota Administrasi ... 114

Tabel 4.2 Kecamatan, Kelurahan, Rukun Warga, Rukun Tetangga, dan Kepala Keluarga Menurut Kabupaten/Kota Administrasi Provinsi DKI Jakarta ... 115

Tabel 4.3 Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 ... 121

Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Usia Anak berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 ... 123

Tabel 4.5 Anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 ... 124

Tabel 4.6 Spesifikasi Informan Penelitian ... 128

(17)

xvii

Tahun 2014 ... 175

Tabel 4.10 Pilot Project Kelurahan Layak Anak Provinsi DKI Jakarta 2014 ... 179

Tabel 4.11 Usulan Anak dalam Musrenbang tingkat Provinsi DKI Jakarta

Tahun 2014 ... 238

(18)

xviii

Gambar 1.2 Jumlah Klien Anak P2TP2A Provinsi DKI Jakarta ... 21

Gambar 2.1 Kebijakan Publik Ideal ... 40

Gambar 2.2 Tahapan Kebijakan Publik ... 41

Gambar 2.3 Sekuensi Implementasi Kebijakan ... 51

Gambar 2.4 Sekuensi Implementasi Kebijakan ... 52

Gambar 2.5 Partisipasi Anak kepada Negara ... 74

Gambar 2.6 Mekanisme Partisipasi Anak ... 81

Gambar 2.7 Flowchart Pemenuhan Hak Partisipasi Anak ... 82

Gambar 2.8 Partisipasi Anak bersama Orang Dewasa ... 88

Gambar 2.9 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 96

Gambar 4.1 Struktur Organisasi BPMPKB Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 .... 127

Gambar 4.2 Strutur Organisasi Forum Anak Jakarta ... 135

Gambar 4.3 Bahan KIE Partisipasi Anak di Kantor BPMPKB Provinsi DKI Jakarta ... 169

Gambar 4.4 Bahan KIE Partisipasi Anak di Kantor Kecamatan Cakung ... 172

Gambar 4.5 Bahan KIE Partisipasi Anak di Kantor KPMP Jakarta Timur ... 172

Gambar 4.6 Acara Kongres Anak Cilincing Tahun 2015 ... 181

Gambar 4.7 Pendamping Forum Anak di Kecamatan Cilincing ... 181

(19)

xix Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian

Lampiran 3 Surat Persetujuan Penelitian

Lampiran 4 Pedoman Umum Wawancara

Lampiran 5 Transkrip dan Koding Data

Lampiran 6 Member Check

Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian

Lampiran 8 Catatan Lapangan

Lampiran 9 Catatan Bimbingan

Lampiran 10 SK Kepala BPMPKB Provinsi DKI Jakarta No. 301/2013 tentang

Pembentukan Forum Anak Daerah Periode 2013-2015 Provinsi

DKI Jakarta

Lampiran 11 Anggaran Pemenuhan Hak Partisipasi Anak Provinsi DKI Jakarta

Tahun 2014

Lampiran 12 Notulensi Musrenbang Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014

Lampiran 13 Perjanjian Kerja Sama Pemprov DKI Jakarta dengan

PT. Pembangunan Jaya tentang Pembangungan RPTRA di

Provinsi DKI Jakarta

(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karakter dan kualitas pembangunan suatu bangsa dan negara sangat

ditentukan oleh modal sumber daya manusia yang dimilikinya. Dalam rangka

menciptakan bangsa yang kuat dan maju, maka dibutuhkan sumber daya manusia

berkualitas handal dan tangguh. Oleh karena itu, pengembangan kualitas sumber

daya manusia harus dipersiapkan sedini mungkin bahkan sejak masa kanak-kanak.

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumber daya manusia

yang cukup besar, menduduki urutan kelima setelah China, India, Uni Eropa, dan

Amerika Serikat (Berdasarkan data populasi penduduk dunia dalam The World

Factbook yang diunggah oleh situs CIA (Central Intelligence Agency), 2014).

Potensi sumber daya manusia tersebut harus dikelola secara tepat dan bijak agar

mampu mendorong masyarakat Indonesia menjadi bibit unggul yang mampu

bersaing dengan masyarakat dunia lainnya.

Mengacu pada Data Susenas Badan Pusat Statistik tahun 2014, jumlah

penduduk Indonesia saat ini mencapai kisaran 254.862.034 jiwa dan 81,8 juta jiwa

diantaranya adalah penduduk usia anak. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 30 %

atau sepertiga penduduk Indonesia terdiri dari anak-anak. Yang dimaksud dengan

anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

(21)

Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak). Kedudukan anak tersebut sungguh

penting dalam kehidupan manusia dan dalam peradabannya, karena anak persis

berada di bagian salah satu sumber daya manusia yang merupakan penerus dan

cita-cita perjuangan bangsa.

Anak-anak merupakan kelompok penduduk usia muda yang mempunyai

potensi untuk dikembangkan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan

di masa mendatang. Mereka merupakan kelompok yang perlu disiapkan untuk

kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Perwujudan anak-anak

sebagai generasi muda yang berkualitas, berimplikasi pada perlunya pembinaan

dan perlindungan terhadap hak-hak yang dimilikinya dalam rangka menjamin

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Karena anak yang

tumbuh kembangnya positif merupakan embrio sumber daya manusia yang

berkualitas dan unggul.

Pengembangan kualitas anak Indonesia lewat pemenuhan hak-hak yang

dimilikinya telah diamanahkan dalam Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi”. Kemudian disempurnakan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan: “Setiap anak

berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

(22)

Hak atas kelangsungan hidup dan perkembangan adalah hak yang paling

mendasar dan melekat pada diri setiap anak dan harus diakui serta dijamin

pemenuhannya oleh negara. Pemenuhan hak kelangsungan hidup dan

perkembangan anak berkaitan dengan pemenuhan hak dasar yaitu kesehatan,

pendidikan, identitas, standar hidup yang layak serta kesempatan untuk

mengembangkan potensi dirinya.

Hak atas perlindungan adalah hak bagi setiap anak untuk mendapatkan

jaminan agar terbebas dari kondisi yang membahayakan dan menimbulkan

kerugian pada proses tumbuh kembangnya baik secara fisik maupun non fisik.

Perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan dari segala bentuk kekerasan,

eksploitasi, pelecehan, maupun diskriminasi.

Hak partisipasi anak adalah hak bagi setiap anak untuk berpartisipasi dan

menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika

menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Hak berpartisipasi ini

dapat diwujudkan dengan memberikan anak kesempatan untuk berkumpul,

berorganisasi, menyatakan pendapat, menyuarakan aspirasi kepada para

pemangku kepentingan (duty bearer) sesuai perkembangan usia dan tingkat

kecerdasannya. Tujuan pemenuhan hak partisipasi anak adalah untuk menunjang

agar pemenuhan hak hidup, hak tumbuh dan berkembang serta hak perlindungan

anak menjadi lebih optimal (Sumber: Joni, 2008: 6).

Secara yuridis formal, Pemerintah Indonesia telah memiliki sejumlah

kebijakan yang lengkap dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak

(23)

Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak,

serta Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 sebagai revisi atas Undang-Undang No.

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Meski demikian, realitas

kesejahteraan anak masih jauh dari harapan. Fakta dilapangan menunjukkan

bahwa situasi perlindungan anak belum mencapai tujuan dari kebijakan

perlindungan anak, yaitu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup anak

pada tahap yang paling maksimal agar tumbuh kembangnya lebih optimal.

Penggambaran tentang situasi anak di Indonesia tersebut dapat dilihat pada tabel

(24)

Tabel 1.1

Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak Tahun 2011-2014

No Klaster/Bidang Tahun Jumlah

2011 2012 2013 2014

1 Sosial dan Anak dalam Situasi Darurat 92 79 246 87 504

2 Keluarga dan Pengasuhan Alternatif 416 633 931 452 2432

3 Agama dan Budaya 83 204 214 59 560

4 Hak Sipil dan Partisipasi 37 42 75 47 205

5 Kesehatan dan Napza 221 261 438 216 1136

6 Pendidikan 276 522 371 249 1480

7 Pornografi dan Cyber Crime 338 175 247 196 806

8 ABH dan Kekerasan 188 530 420 432 1511

a Kekerasan Fisik 129 110 291 142 669

b Kekerasan Psikis 49 27 127 41 244

c Kekerasan Seksual (Pemerkosaan, Sodomi, Pencabulan, Pedofilia) 329 746 590 621 2286

9 Trafficking dan Eksploitasi 160 173 184 93 610 10 Lain-Lain 10 10 173 78 271

Total 2178 3512 4311 2713 12714

Sumber: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2014

Situasi dan kondisi anak Indonesia saat ini seperti yang telah dirinci pada

tabel 1.1 diatas memberikan gambaran kepada kita bahwa implementasi kebijakan

perlindungan anak di tataran lapangan masih sulit untuk diterapkan. Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2014) memang menyatakan

bahwa isu dan permasalahan anak sangat bersifat kompleks, lintas bidang dan

(25)

banyaknya faktor yang saling terkait sebagai penyebab rendahnya kualitas hidup

anak. Sementara disebut isu lintas bidang dan program serta sektoral karena

permasalahannya terdapat di hampir semua sektor, bidang dan program

pembangunan, dan karenanya, penanganan permasalahan tersebut harus

melibatkan seluruh bidang dan program serta sektor pembangunan.

Kompleksnya proses pemenuhan hak anak seperti yang telah disebutkan

diatas nyatanya masih terkendala pada lemahnya sistem koordinasi yang

dilakukan baik lintas bidang, lintas program, maupun lintas sektoral. Hal ini

cukup sesuai dengan hasil kajian UNICEF Indonesia (2012) yang menunjukkan

bahwa hambatan utama dalam upaya mencapai kesejahteraan anak di daerah

terjadi karena beberapa hal seperti: lemahnya koordinasi antar lembaga yang

berhubungan dengan isu kesejahteraan anak dan kurangnya harmonisasi terkait

kebijakan perlindungan anak di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi,

keterbatasan pengetahuan sumber daya manusia dan kapasitas lembaga tentang

hak-hak anak, serta lemahnya tingkat partisipasi anak dalam Musrenbang di

tingkat desa dan kecamatan.

Kelemahan lain yang ditemukan sebagai penyebab kurang efektifnya

perlindungan dan pemenuhan hak anak di Indonesia adalah karena anak itu sendiri

belum dijadikan prioritas yang tinggi dalam kebijakan pembangunan di Indonesia

(Sofian, 2002: vi). Padahal pelibatan anak dalam proses pembangunan dilakukan

untuk mewujudkan kebijakan yang benar-benar dibutuhkan anak, dan sebagai

wujud dari komitmen negara untuk menghormati pandangan anak, serta respon

(26)

Anak). Ini terjadi karena pembangunan yang peduli anak, termasuk perlindungan

haknya, masih belum menjadi mainstream pemahaman para pemangku

kepentingan baik di tingkat nasional maupun di daerah.

Pemerintah sendiri belum menetapkan anak sebagai subjek atas

hak-haknya, melainkan sebagai objek yang hanya bisa menerima manfaat dari

kebijakan pemerintah di bidang perlindungan anak. Ini dikarenakan pengambilan

keputusan dan pengembangan kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk anak

belum melibatkan anak secara langsung. Padahal yang dipahami sebagai pihak

yang paling mengerti dan mengetahui kebutuhan anak adalah anak itu sendiri.

Maka untuk mewujudkan pemenuhan hak anak seutuhnya, pemerintah perlu

mendengar dan mempertimbangkan pandangan dan pendapat setiap anak dalam

pengambilan keputusan yang berhubungan dengan atau mempunyai dampak

terhadap kebutuhan dan kepentingan anak seperti yang tertuang dalam

Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 khususnya pasal 24, “Negara,

Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin anak untuk mempergunakan

haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan

anak”.

Secara khusus, dukungan kebijakan nasional terhadap penyelenggaraan

perlindungan anak dan pemenuhan hak anak di Indonesia telah diakomodir dalam

sebuah Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2015 (PNBAI 2015) yang

memberikan arahan tentang bagaimana kebijakan dan program pemerintah di

bidang anak hingga tahun 2015. Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2015

(27)

dan berkembang, cerdas, ceria, berakhlak mulia, terlindungi dan aktif

berpartisipasi.

Substansi partisipasi anak yang disinggung dalam Program Nasional Bagi

Anak Indonesia 2015 (PNBAI 2015) lewat visi menjadikan anak yang aktif

berpartisipasi selanjutnya diwujudkan melalui misi membangun lingkungan yang

kondusif untuk menghargai pendapat anak dan memberi kesempatan untuk

berpartisipasi sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak. Misi tersebut

turut mendorong seluruh pihak yang berkepentingan untuk selalu melibatkan atau

mendengar aspirasi anak ketika memutuskan segala sesuatu yang berhubungan

dengan kebutuhan anak atau berdampak pada anak-anak. (Sumber: Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2014).

Peluang bagi anak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan yang

berhubungan dengan atau mempunyai dampak terhadap kepentingan dan

kebutuhan dirinya semakin terbuka lebar sejalan pengelolaan desentralisasi tata

kelola pemerintahan dimana pada pasal 12 ayat (2) poin (b) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa urusan

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merupakan urusan konkuren

wajib non pelayanan dasar antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Penerapan desentralisasi yang semakin ramah anak didukung oleh penggunaan

prinsip-prinsip partisipastif masyarakat (termasuk anak) dalam pengambilan

keputusan khususnya dalam rangka pengembangan kabupaten/kota yang layak

(28)

sebuah kebijakan untuk memberikan arahan bagaimana pengembangan partisipasi

anak dilaksanakan baik di tingkat nasional maupun di daerah.

Kebijakan di bidang partisipasi anak tersebut telah disahkan ke dalam

suatu Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Republik Indonesia No. 3 Tahun 2011 tentang Kebijakan Partisipasi Anak dalam

Pembangunan dan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut, dibentuk

pula Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Republik Indonesia No. 4 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kebijakan

Partisipasi Anak dalam Pembangunan. Kebijakan Partisipasi Anak dalam

Pembangunan ini menjadi landasan bagi pelaksanaan pemenuhan hak partisipasi

anak (PHPA) baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah.

Kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam kebijakan di bidang partisipasi

anak tersebut dalam implementasinya dikembangkan dalam tiga kerangka

program besar sebagai berikut: Program Peningkatan Kesadaran Masyarakat yang

diarahkan kepada upaya penyebarluasan informasi tentang pentingnya partisipasi

anak dalam pengambilan keputusan; Program Penyediaan dan Pengembangan

Ruang Partisipasi Anak yang diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan

kapasitas anak; serta Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam

Perumusan Kebijakan Publik yang diarahkan kepada upaya untuk memasukan

pandangan anak kedalam setiap penyusunan kebijakan publik yang terkait dengan

atau mempunyai dampak terhadap kepentingan dan kebutuhan anak, baik di

(29)

Partisipasi anak sendiri pada prinsipnya dapat dimaknai sebagai

keterlibatan seseorang yang belum berusia 18 tahun dalam proses pengambilan

keputusan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya dan

dilaksanakan atas kesadaran dan pemahaman, serta kemauan bersama sehingga

anak dapat menikmati hasil atau mendapatkan manfaat dari keputusan tersebut.

(Sumber: Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2013: 27).

Pelaksanaan partisipasi anak sangat penting mengingat partisipasi anak

merupakan bagian dari proses tumbuh kembang anak. Anak yang aktif, tumbuh

kembang fisik dan mentalnya jauh lebih baik dari pada anak yang pasif. Apabila

tumbuh kembang anak tidak optimal dapat membuat anak-anak rentan terhadap

berbagai bentuk pelecehan, kekerasan dan diskriminasi. Selain itu tumbuh

kembang anak yang tidak optimal juga mengakibatkan anak berada pada posisi

yang lebih rentan terhadap berbagai perubahan sosial yang berdampak negatif

yang mempengaruhi diri mereka, misalkan pengaruh budaya seks bebas atau

penggunaan narkoba. Oleh karena itu, anak-anak perlu diberikan kesempatan yang

lebih luas untuk berpartisipasi secara wajar dan konstruktif.

Pelaksanaan partisipasi anak ini bertujuan menjamin agar anak dapat

tumbuh dan berkembang secara optimal, baik dari segi fisik, mental maupun

sosial serta memperoleh perlindungan, sehingga anak bisa menjawab tantangan

perkembangan jamannya. Di dalamnya termasuk juga upaya untuk

mengembangkan potensi dan kreatifitas anak bersangkutan baik secara pemikiran

(30)

itu dibangun atas kesadaran bahwa pihak yang paling mengetahui masalah,

kebutuhan dan keinginan anak adalah anak itu sendiri. Karena banyak keputusan

orang dewasa selama ini ditujukan untuk anak ternyata tidak sepenuhnya sesuai

dengan kepentingan anak.

Fakta menunjukkan masih sangat sedikit keputusan atau kebijakan publik

yang diambil melalui proses konsultasi atau mendengar dan mempertimbangkan

kebutuhan dan aspirasi anak. Akibatnya banyak sekali kebijakan publik yang pada

akhirnya justru tidak ramah anak. Contoh yang sederhana adalah penentuan acara

dan program stasiun televisi, pembuatan aturan disiplin di sekolah, pembangunan

sarana dan prasarana umum seperti toilet di terminal, di sekolah, di stasiun,

jembatan penyeberangan, angkutan umum dan lain-lain. Hal ini terjadi karena

pemahaman banyak pihak yaitu orang dewasa yang menganggap bahwa cara

berpikir anak masih belum matang, sehingga dianggap belum mampu untuk ikut

serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Kekeliruan pemahaman tentang kemampuan anak untuk berpartisipasi

dalam pengambilan keputusan menyebabkan terbatasnya akses anak untuk

menyampaikan aspirasi, ide, dan kreativitasnya kepada para pemangku

kepentingan. Padahal bila anak tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan,

atau kepentingan dan kebutuhan anak tidak dijadikan sebagai pertimbangan dan

pengambilan keputusan, maka anak akan hidup di dalam lingkungan yang tidak

ramah sehingga tumbuh kembang anak akan terganggu baik secara fisik maupun

(31)

Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan potensi anak untuk

berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik, maka

perlu dilaksanakan Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan

Kebijakan Publik sebagai salah satu program untuk melaksanakan Kebijakan

Partisipasi Anak dalam Pembangunan.

Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan

Publik ini merupakan program dengan strategi yang dapat dilakukan oleh

Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Dunia Usaha,

maupun Masyarakat untuk memberikan akses dan manfaat pembangunan bagi

pemenuhan hak dan perlindungan anak. Program ini bertujuan memfasilitasi suara

anak untuk disampaikan kepada para pemangku kepentingan baik nasional

maupun daerah. Salah satu media yang tepat untuk melibatkan anak dalam

pengambilan keputusan adalah melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan

(Musrenbang) baik di daerah maupun nasional yang melibatkan seluruh

pemangku kepentingan di dalamnya (Wawancara awal dengan Kepala Asisten

Deputi Partisipasi Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak RI, 11 Maret 2015, Pukul 09.00 WIB).

Stakeholder utama atau para pemangku kepentingan, yaitu para pihak yang

tugas pokok dan fungsinya berhubungan secara langsung maupun tidak langsung

dengan upaya pemenuhan hak partisipasi anak di bidang pengembangan bakat,

minat dan kemampuan anak antara lain: Kementerian/Lembaga di bidang

perlindungan anak seperti Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

(32)

olahraga, kesehatan, kepanduan dan hal lain terkait dengan hak-hak anak;

Kelompok Dunia Usaha; serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Leading

sector pelaksana Kebijakan Partisipasi Anak dalam Pembangunan ini adalah

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Daerah (Sumber: Juknis

Pelaksanaan Partisipasi Anak dalam Pembangunan, 2014).

Sasaran pelaksanaan kebijakan partisipasi anak ini adalah terwujudnya

pelibatan atau keikutsertaan anak dalam proses pengambilan keputusan dalam

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan melalui Musyawarah

Perencanaan Pembangunan Daerah dengan substansi khusus yang berhubungan

dengan anak, sehingga anak mendapatkan manfaat maksimal dari keputusan

tersebut dalam rangka optimalisasi tumbuh kembang anak.

Keterlibatan anak dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh

individu setiap anak menurut perkembangan usia dan tingkat kecerdasannya.

Namun untuk tujuan efisien dan efektif, Kementerian Pemberdayaan Perempuan

dan Perlindungan Anak (2014) menyarankan agar pelibatan anak dalam

pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif karena manfaat yang diberikan

jauh lebih efektif baik dari proses maupun hasilnya. Proses partisipasi anak secara

kolektif ini dilakukan melalui Forum Anak.

Forum Anak adalah organisasi atau lembaga sosial yang digunakan

sebagai wadah atau pranata partisipasi bagi anak yang belum berusia 18 tahun

dimana anggotanya merupakan perwakilan dari kelompok anak atau kelompok

kegiatan anak yang dikelola oleh anak-anak dan dibina oleh pemerintah (menurut

(33)

aspirasi, suara pendapat, dan keinginan kebutuhan anak dalam proses

pembangunan. (Sumber: Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2014: 9).

Seperti yang telah disebutkan di atas, dalam Forum Anak anggotanya

merupakan perwakilan dari kelompok anak atau kelompok kegiatan anak.

Kelompok anak yang dimaksud seperti kelompok anak jalanan, anak punk, anak

berkebutuhan khusus, pekerja anak, anak putus sekolah, anak yang berhadapan

dengan hukum, anak dengan kemampuan berbeda, dan sejenisnya. Sedangkan,

kelompok kegiatan anak yang dimaksud adalah kelompok anak yang terbentuk

berdasarkan kesamaan kepentingan, minat, bakat, dan atau kemampuan, misalnya

OSIS, karang taruna, pencinta alam, remaja masjid, pemuda-pemudi gereja,

sanggar budaya dan kesenian anak, perkumpulan olahraga atau bidang lain.

Forum Anak merupakan media yang baik bagi anak untuk menyalurkan

inspirasi, suara, maupun aspirasinya secara berjenjang mulai dari tingkat

kelurahan hingga tingkat nasional. Karena Forum Anak dibina langsung oleh

pemerintah menurut jenjang wilayahnya sehingga penetapannya disahkan

berdasarkan Surat Keputusan Kepala Wilayah setempat. Forum Anak inilah yang

nantinya akan mewakili suara anak menurut jenjang wilayah administrasinya

untuk disampaikan kepada para pemangku kepentingan di wilayah setempat.

Ada sejumlah kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang umumnya dapat

digunakan untuk melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan terutama

(34)

yaitu: usia 13 s/d <18 tahun, dapat berkomunikasi dengan baik, dapat

menyampaikan usulan aspirasi anak dalam Musrenbang, harus didampingi oleh

orang dewasa/fasilitator anak, kesediaan anak, dipilih berdasarkan kesepakatan

Forum Anak/Perwakilan Anak lainnya, serta mendapatkan ijin dari orang tua

(Sumber: Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak, 2014: 29).

Namun, pelibatan anak dalam pengambilan keputusan tidak mutlak harus

mengikuti syarat di atas. Konsep dasar partisipasi anak dapat dilakukan oleh

semua anak menurut tingkat usia dan perkembangan kecerdasan anak. Sehingga

tidak menutup kemungkinan untuk anak berusia di bawah 13 tahun dapat terlibat

jika anak tersebut memang sudah dapat menyampaikan gagasannya kepada para

pemangku kepentingan. (Wawancara awal dengan Asisten Deputi Partisipasi

Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Rabu,

11 Maret 2015, Pukul 08.30 WIB).

Hak partisipasi anak ini sudah selayaknya terjadi di semua lingkungan dan

kegiatan yang berkaitan dengan anak – misalnya di lingkungan keluarga atau

tempat pengasuhan dalam menentukan sekolah, di sekolah tempat anak belajar

dalam mengatasi masalah pendidikan yang menimpa mereka, di lingkungan anak

tinggal dalam merencanakan pembangunan yang ramah anak, bahkan di

lingkungan pemerintah dalam menentukan kebijakan program dan anggaran di

bidang pembangunan maupun perlindungan bagi anak.

Salah satu contoh best practice keterlibatan anak dalam pengambilan

(35)

dalam mencari cara-cara penyelesaian masalah yang menimpa diri mereka sendiri.

Sekolah Highfield adalah sebuah sekolah dasar (7-11 tahun) di daerah miskin di

Inggris. Sekolah tersebut terkenal dengan kejadian kekerasan, perkelahian, dan

pelecehan paling tinggi serta kehadiran kelas yang rendah. Awal tahun 1990,

Kepala Sekolah yang baru memutuskan untuk melibatkan staf dan murid

mewujudkan sekolah dengan lingkungan aman dan pendidikan efektif. Untuk

mencapai tujuan tersebut, Kepala Sekolah melakukan konsultasi kepada semua

murid, guru dan pegawai lainnya tentang kebutuhan perubahan bagi perwujudan

tujuan tadi. Keputusan yang diambil yaitu: (1) Pembentukan dewan sekolah

dimana murid mempunyai kekuatan. Dewan Sekolah dilibatkan dalam hal

pengembangan kebijakan sekolah dan penerimaan pegawai, (2) Pembuatan kotak

saran yang memungkinkan murid melaporkan kejadian pelecehan terhadap

mereka, (3) Penunjukan “malaikat penjaga” – anak-anak relawan yang bersedia

menjadi teman bagi mereka yang tidak mempunyai teman, yang dilecehkan atau

mereka yang butuh dukungan, (4) Penunjukan mediator anak yang membantu

murid menyelesaikan perselisihan di tempat bermain. Hasilnya adalah sekolah

menjadi semakin popular, murid menjadi lebih berbahagia, mencapai hasil

pendidikan lebih baik, mempunyai keterampilan bernegosiasi, membuat

keputusan secara demokratis dan tanggung jawab sosial. (Sumber: Rahardjo,

2006: 11).

Contoh lainnya adalah praktik partisipasi anak di Kota Queensland,

Australia. Pemerintah Kota Queensland membentuk komisi anak dan remaja pada

(36)

fungsi utama yang sesuai dengan Undang-Undang Komisi Anak dan Remaja 2000

yang meliputi: advokasi untuk memberikan perlindungan hak, perhatian, dan

kesejahteraan anak dan remaja yang berusia di bawah 18 tahun; administrasi

negara bersedia mengadvokasi dan memberikan pelayanan untuk anak dan remaja

yang berada di pusat penahanan; menerima, melihat persoalan, dan menyelidiki

keluhan mengenai pembagian pelayanan yang disediakan untuk anak dan remaja;

mengawasi dan mereview hukum, kebijakan, dan praktik yang terkait dengan

pemberian pelayanan untuk anak dan remaja, atau yang berdampak kepada

mereka; dan memimpin dan mengkoordinir penelitian yang terkait dengan

masalah yang berdampak pada anak. Komisi ini secara khusus mengembangkan

sebuah kegiatan untuk anak dengan lembaga non pemerintah, yang bersedia

menjadi penasehat praktik-praktik dan kebijakan yang menjamin kesesuaian

kegiatan dengan anak, mengorganisasikan “Parlemen Remaja”, dan

mempublikasikan cetak biru dari sebuah Persemakmuran Ramah Anak dan

Remaja. (Sumber:http://www.indosiar.com, diakses pada 11 Januari 2015).

Praktik partisipasi anak di dua negara berbeda di atas cukup memberikan

gambaran bahwa pelibatan anak dalam pengambilan keputusan akan sangat

membantu berbagai pihak untuk mengatasi masalah atau kendala seputar isu

perlindungan anak menjadi lebih efektif dan efisien.

Di Indonesia, praktik partisipasi anak juga telah dilaksanakan, misalnya

melalui Kongres Anak Nasional yang diprakarsai oleh Komisi Nasional

Perlindungan Anak dan dimulai sejak tahun 2000, atau melalui pertemuan Forum

(37)

Perempuan dan Perlindungan Anak RI sejak tahun 2006 dalam rangka

memfasilitasi anak Indonesia dalam menyuarakan aspirasinya kepada Pemerintah

Indonesia. Semuanya dilaksanakan dengan tujuan agar anak Indonesia menjadi

warga negara yang proaktif terhadap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan

maupun pengendalian pemenuhan hak anak dan perlindungan anak. (Wawancara

awal dengan Staf Komisi Nasional Perlindungan Anak, 21 November 2014, Pukul

11.18 WIB di Kesekretariatan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia).

Pelaksanaan partisipasi anak pun sudah mulai dilakukan di daerah-daerah,

namun dengan hasil yang sangat beragam mengingat karakteristik bangsa

Indonesia yang sangat multi kultural. Salah satunya yaitu di Provinsi DKI Jakarta.

Provinsi DKI Jakarta merupakan lokus penelitian implementasi kebijakan

partisipasi anak yang peneliti anggap tepat mengingat kedudukan Provinsi DKI

Jakarta sebagai Ibukota Pemerintahan Daerah sekaligus sebagai Ibukota Negara

Indonesia berdasarkan penetapan Undang-undang Nomor 29 tahun 2007 tentang

Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Dengan status dan kedudukan DKI Jakarta yang istimewa tersebut

menghadapkan DKI Jakarta pada tuntutan bahwa DKI Jakarta harus mampu

memiliki posisi sejajar dengan kota-kota besar lainnya di dunia khususnya dalam

hal yang berkaitan dengan pengembangan partisipasi anak. Provinsi DKI Jakarta

juga harus mampu menjadi role model bagi pelaksanaan kebijakan partisipasi

anak di dalam negeri sendiri khususnya bagi daerah-daerah otonom lainnya.

Berdasarkan posisi Provinsi DKI Jakarta sebagai jantung negara Indonesia

(38)

kehidupan seperti perekonomian, politik dan pemerintahan, serta pengembangan

sosial dan kebudayaan negara Indonesia. Dengan kekhususan yang dimiliki oleh

Provinsi DKI Jakarta tersebut turut diiringi berbagai permasalahan yang

kompleks, seperti daya tampung dan daya dukung lingkungan yang semakin

terbatas terus berkembang seiring pertumbuhan dan perkembangan kota. Hal ini

diindikasikan dengan peningkatan jumlah penduduk, yang semakin bertambah

dengan segala dampak yang ditimbulkannya terhadap aspek-aspek pemukiman,

penataan wilayah, potensi bencana alam, transportasi, penyediaan fasilitas publik

dan faktor-faktor lainnya.

Perkembangan kependudukan sejak tahun 2010-2014 di DKI Jakarta dapat

dilihat pada gambar 1.1 berikut ini.

Gambar 1.1.

(39)

Dengan perkembangan kependudukan yang tinggi seperti pada gambar 1.1

di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat kerawanan sosial yang timbul pun

akan semakin tinggi. Hal ini tentu menyumbangkan dampak negatif bagi

anak-anak yang hidup, tumbuh dan berkembang di wilayah Ibu Kota Jakarta.

Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta mencatat pada tahun 2013,

total jumlah penduduk DKI Jakarta berjumlah 9.969.948 jiwa, dengan penduduk

berusia dibawah 18 tahun berjumlah 3.191.018 jiwa (Jakarta dalam Angka Tahun

2014: 80 ). Jumlah anak tersebut dapat di lihat pada tabel 1.2 berikut ini:

Tabel 1.2

Penduduk menurut Kelompok Umur Anak dan Jenis Kelamin, 2013

Kelompok Umur Laki-Laki Jenis Kelamin Perempuan Jumlah

0-4 473.605 455.300 928.905

5-9 417.006 389.497 806.503

10-14 360.805 349.601 710.406

15-19 358.904 386.300 745.204

TOTAL 1.610.320 1.580.698 3.191.018

Sumber: Jakarta dalam Angka 2014.

Berdasarkan data pada tabel 1.2 di atas, dapat diketahui perbandingan

jumlah anak dengan total penduduk DKI Jakarta berkisar 33% atau kurang lebih

sepertiga dari jumlah seluruh penduduk yang tinggal di DKI Jakarta. Sebagai

Ibukota Negara Indonesia, Provinsi DKI Jakarta tergolong daerah yang

mempunyai permasalahan pelik terkait anak. Ketua Komisi Nasional

Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait sebagaimana dikutip dari sebuah kabar

harian menjelaskan bahwa tercatat hingga akhir tahun 2013, Provinsi DKI Jakarta

(40)

Indonesia, kemudian disusul oleh Kota Makassar pada posisi kedua, dan Kota Bandung di posisi ketiga, dimana kasus kekerasan terhadap anak di DKI Jakarta menempati posisi paling atas yaitu sebanyak 48% atau mencapai 21 juta dari total kasus pelanggaran hak anak terlapor yang terjadi di seluruh provinsi di Indonesia (Sumber: http://www.regional.kompas.com, diakses pada 11 Januari 2015).

Data dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta pun menunjukkan kasus kekerasan terhadap anak di Ibu Kota terjadi peningkatan selama 4 tahun terakhir sebagaimana yang digambarkan pada gambar 1.2 di bawah ini.

Gambar 1.2

Jumlah Klien Anak P2TP2A Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008-2014

Sumber: P2TP2A Provinsi DKI Jakarta

Tingginya kasus kekerasan anak di Ibu Kota Jakarta seperti pada gambar 1.2 di atas menggambarkan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum optimal melaksanakan amanah Undang-Undang Perlindungan Anak. Fenomena kasus kejahatan terhadap anak di Ibu Kota Jakarta yang kasusnya sempat terungkap ke media massa antara lain: kasus pelecehan seksual yang dialami oleh

342

198

155

251

325

468

553

(41)

beberapa murid Taman Kanak-Kanak Jakarta International School (JIS),

kemudian kasus pelecehan seksual yang dialami oleh seorang artis penyanyi cilik

yaitu Tegar Septian pada November 2014 hingga Januari 2015 (Sumber:

http://republika.co.id, diakses 11 Januari 2015). Selain itu, ada pula kasus bullying

yang marak terjadi di lingkungan sekolah seperti kasus bullying yang terjadi di

Sekolah Seruni Don Bosco, Jakarta pada 24 Juli 2012 (Sumber:

http://www.tempo.co, diakses 11 Januari 2015), lalu kasus tawuran pelajar seperti

kasus tawuran yang terjadi antara SMAN 70 Jakarta Selatan dengan SMAN 6

Jakarta yang mengakibatkan tewasnya seorang siswa kelas X dari SMAN 6 pada

24 September 2012 (Sumber: http://www.kpai.go.id, diakses 11 Januari 2015),

Belum lagi kasus anak-anak kecil yang dijadikan bahan eksploitasi ekonomi oleh

oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan cara disewakan kepada para

pengemis di lampu merah Ibu Kota Jakarta. Kebanyakan dari anak-anak tersebut

adalah anak berusia balita dan mereka diberikan obat tidur dengan dosis tinggi

setiap hari agar tenang pada saat pengemis tersebut menjalankan aksinya di

pinggiran jalan Ibu Kota Jakarta (Sumber: www.m.republika.co.id, di akses pada

11 Januari 2015).

Kasus-kasus di atas merupakan sebagian kecil kasus yang terekspos oleh

media massa dari sekian banyak kasus yang terjadi. Tentunya hal tersebut menjadi

potret buramnya tindak pencegahan kekerasan di lingkungan anak berada

khususnya di Ibukota Negara Indonesia ini. Upaya penanganan Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta terhadap kasus-kasus kekerasan yang menimpa anak pun

(42)

jalanan, anak dengan disabilitas, anak berhadapan hukum serta lainnya karena

minimnya akses informasi terhadap terjadinya pelanggaran yang dialami anak

yang dilaporkan baik oleh masyarakat ataupun oleh orang tua anak. (Sumber:

Wawancara dengan Advokat P2TP2A Provinsi DKI Jakarta, 5 Maret 2014, Pukul

14.00 WIB di Kantor P2TP2A Provinsi DKI Jakarta).

Berdasarkan pada permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dipahami betapa pentingnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai melibatkan

anak secara langsung dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan

evaluasi kebijakan, program dan kegiatan pemenuhan hak anak dan perlindungan

anak dari berbagai perlakuan salah.

Di sisi lain, DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi yang ditetapkan

sebagai pilot project program pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak

berdasarkan Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak RI Nomor 56 Tahun 2010 tentang Penunjukan dan Penetapan Provinsi yang

Mengembangkan Kabupaten/Kota Layak Anak bersama dengan 9 Provinsi

lainnya seperti pada tabel 1.3 berikut.

Tabel 1.3

10 Provinsi Pilot Project Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA)

Nama Provinsi

1. DKI Jakarta 6. Sumatera Utara

2. Banten 7. Bali

3. Jawa Barat 8. Kepulauan Riau

4. Jawa Tengah 9. Kalimantan Timur

5. Jawa Timur 10. Daerah Istimewa Yogyakarta

(43)

Setelah ditetapkan sebagai provinsi yang mengembangkan

Kabupaten/Kota Layak Anak, maka wajib bagi Pemerintah Daerah DKI Jakarta

untuk menerapkan pemenuhan hak-hak anak ke dalam strategi dan intervensi

pembangunan kota/kabupaten yang menjadi wilayah administrasinya. Sebagai

tindak lanjut dari amanah Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Nomor 56 Tahun 2010 tersebut, Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta mengeluarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 394

Tahun 2011 tentang Penetapan Kota Administrasi Jakarta Selatan, Kota

Administrasi Jakarta Pusat, dan Kota Administrasi Jakarta Utara sebagai

Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak dan Keputusan Gubernur Nomor

1192 Tahun 2011 tentang Pembentukan Gugus Tugas Kabupaten/Kota Layak

Anak Tingkat Provinsi DKI Jakarta. Kemudian menyusul dikeluarkannya

Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 736 Tahun 2013 tentang

Penetapan Kota Administrasi Jakarta Timur, Kota Administrasi Jakarta Barat, dan

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sebagai Pengembangan

Kabupaten/Kota Layak Anak.

Dengan ditetapkannya seluruh wilayah kota/kabupaten administratif di

Provinsi DKI Jakarta sebagai pengembangan kota/kabupaten layak anak, maka

salah satu pemenuhan hak anak yang perlu diintergrasikan ke dalam intervensi

pembangunan kota/kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta yaitu hak

anak untuk berpartisipasi aktif secara langsung. Maksudnya adalah anak

merupakan subjek pembangunan yang sesungguhnya dalam upaya pembangunan

(44)

Adams dan Ingham dalam Patilima (2014: 6) bahwa untuk membangun kota yang

ramah terhadap anak haruslah menempatkan anak sebagai subjek pembangunan.

Para pemangku kepentingan harus bisa melihat bahwa anak, seperti halnya orang

dewasa, dapat diajak kerjasama dan mengatasi persoalan-persoalan yang

berhubungan dengan lingkungan kota. Pemerintah dapat berkonsultasi dengan

anak, karena anak mempunyai persepsi, pandangan dan pengalaman mengenai

lingkungan kota tempat mereka tinggal. Dari mereka, pemerintah dan para

pemangku kepentingan di bidang anak dapat menemukan kebutuhan atau aspirasi

mereka untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak dan komitmen

negara lainnya di bidang anak.

Anak dapat membantu pemerintah dalam mendapatkan data mengenai

lingkungan tempat tinggal, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, tempat

bermain, pelayanan transportasi dan pelayanan kesehatan. Anak akan memperoleh

pengalaman yang tak ternilai dari pelibatan mereka. Melalui kegiatan pelibatan ini

anak menjadi berfikir mengenai persoalan yang ada untuk didiskusikan dan

dipecahkan bersama. Mereka juga dapat memberikan kontribusi dalam proses

perencanaan dan pengembangan kota yang mereka harapkan.

Namun meskipun arah kebijakan Gubernur Provinsi DKI Jakarta untuk

menciptakan Provinsi DKI Jakarta menuju Provinsi Layak Anak ada, nyatanya

dalam pelaksanaan pembangunan kota/kabupaten yang layak anak belum

dibarengi dengan kesadaran bahwa anak merupakan sentral dalam pengambilan

keputusan suatu kota layak atau tidak bagi dirinya. Seharusnya anak sebagai

(45)

seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam mewujudkan kota impiannya. Adapun

jika unsur keterlibatan anak itu benar terjadi, tetapi praktiknya masih dikendalikan

penuh oleh orang dewasa dan suara anak tetap tidak didengarkan. (Wawancara

dengan Staf Komisi Nasional Perlindungan Anak, 21 November 2014, Pukul

11.18 WIB di Kesekretariatan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia).

Untuk mengatasi hal tersebut, melalui pelaksanaan Program

Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik yang

terdapat dalam Kebijakan Partisipasi Anak dalam Pembangunan diharapkan dapat

memaksimalkan upaya pengembangan partisipasi anak dalam pengambilan

keputusan di bidang pembangunan yang berhubungan dengan atau mempunyai

dampak terhadap kebutuhan dan kepentingan anak. Beberapa upaya yang dapat

dilakukan oleh Pemerintah dalam memberikan bimbingan pelaksanaan partisipasi

anak dalam pembangunan yaitu melalui kegiatan sosialisasi, advokasi, fasilitasi

dan bimbingan (Sumber: Pasal 28 Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan

No. 3 Tahun 2011 tentang Kebijakan Partisipasi Anak dalam Pembangunan).

Advokasi dimaksudkan agar lembaga di tingkat provinsi dan

kabupaten/kota mendapatkan informasi tentang kebijakan partisipasi anak dalam

pembangunan. Sosialisasi bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang

pentingnya partisipasi anak dalam pembangunan. Fasilitasi dimaksudkan untuk

melaksanakan kebijakan partisipasi anak dalam pembangunan, dan bimbingan

dimaksudkan untuk mengarahkan dan mempersiapkan lembaga provinsi dan

kabupaten/kota agar mempunyai kesiapan dalam melaksanakan kebijakan

(46)

Berdasarkan hasil observasi peneliti, pelaksanaan Program

Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik di

Provinsi DKI Jakarta masih belum berjalan optimal. Hal ini disebabkan oleh:

Pertama, meskipun advokasi dan sosialisasi Kebijakan Partisipasi Anak dalam

Pembangunan diakui telah dilakukan baik kepada kalangan pemerintah maupun

legislatif Provinsi DKI Jakarta, akan tetapi hasilnya masih belum menunjukan

pencapaian positif. Pelibatan anak dalam pengambilan keputusan belum menjadi

mainstream bagi para pemangku kepentingan di Provinsi DKI Jakarta untuk

mewujudkan Kota Layak Anak. Alasannya karena memang paradigma para

pemangku kepentingan terhadap anak masih memandang anak sebagai manusia

setengah dewasa sehingga belum mampu untuk terlibat dalam pengambilan

keputusan terutama di ranah pemerintahan (Wawancara dengan Kepala Asisten

Deputi Partisipasi Anak di Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak RI, 11 Maret 2015, Pukul 09.00 WIB). Disamping itu, budaya

lokal yang berkembang di Indonesia pada umumnya sangat berbeda dengan

budaya yang berkembang di negara-negara demokrasi lainnya yang lebih terbuka

dalam menerima dan memberikan pendapat (termasuk pada usia anak).

Sedangkan di Indonesia, budaya yang sudah tertanam sejak lama adalah budaya

patriarki yaitu sebuah budaya yang memandang seseorang dari segi usia dan jenis

kelamin artinya suara orang yang lebih tua usianya harus selalu didengarkan dan

peluang suara anak laki-laki untuk didengarkan lebih besar dibandingkan dengan

anak perempuan. Dengan demikian, untuk mendengar suara yang lebih termuda

(47)

Perlindungan Anakdi Kesekretariatan Komisi Nasional Perlindungan Anak

Indonesia, Jum’at, 21 November 2014, Pukul 11.00 WIB)

Kedua, tingginya ego sektoral dan kepentingan elit masih menjadi kendala

utama untuk bersama-sama menanggulangi masalah anak. Penyebabnya adalah

belum rampungnya penyusunan Rencana Aksi Daerah Percepatan Pencapaian

Kota/Kabupaten Layak Anak Provinsi DKI Jakarta sehingga pekerjaan di bidang

anak masih dilakukan oleh masing-masing sektor. Ini menjadi salah satu alasan

kurang terkoordinasinya lintas bidang dan lintas sektoral Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta beserta stakeholder lainnya dalam rangka mendorong terwujudnya

Kota Layak Anak termasuk dalam pemenuhan hak partisipasi anak (Wawancara

dengan Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,

BPMPKB Provinsi DKI Jakarta, 4 November 2014, Pukul 09.15 WIB). Di

samping itu, hubungan antara elit eksekutif dan legislatif DKI Jakarta yang tidak

harmonis, apalagi setelah munculnya pemberitaan terkait kasus Dana Angaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2015 juga mempengaruhi kinerja

Pemerintah DKI Jakarta untuk fokus terhadap pembangunan di bidang anak

(Wawancara dengan Kepala Asisten Deputi Partisipasi Anak di Kantor

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 11 Maret

2015, Pukul 09.00 WIB).

Ketiga, para pengemban tugas yaitu dinas-dinas yang berhubungan dengan

pemenuhan hak partisipasi anak belum semuanya menyadari bahwa dinasnya ikut

terlibat dalam penganggaran dan perencanaan program yang mendukung

(48)

Dinas Informasi, Komunikasi dan Kehumasan Provinsi DKI Jakarta sebagai

bagian dari tim pelaksana Gugus Tugas Kota Layak Anak Provinsi DKI Jakarta

menyatakan bahwa dinasnya tidak memiliki program khusus untuk anak atau yang

berhubungan dengan pengembangan Kota Layak Anak baik tahun 2014 maupun

tahun 2015. Alasannya adalah bahwa pemenuhan hak anak menjadi tanggung

jawab Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana

(BPMPKB) Provinsi DKI Jakarta.

Selama ini yang terjadi memang urusan pemenuhan hak anak dan

perlindungan anak diserahkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Badan

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Daerah. Padahal untuk urusan

tertentu yang berkaitan dengan anak juga melibatkan Perangkat Daerah lainnya,

misalkan urusan penyediaan fasilitas taman dengan ruang terbuka diskusi untuk

anak butuh kerja sama dengan Dinas Pertamananan atau penyediaan sarana

informasi dan komunikasi layak anak menjadi wewenang dari Dinas Informasi,

Komunikasi dan Kehumasan. Penyebab hal tersebut dapat terjadi karena

kurangnya pemahaman sektor terkait tentang kebijakan partisipasi anak serta

masih terbatasnya jumlah sumber daya manusia terlatih konvensi hak anak yang

dimiliki oleh dinas terkait. Kegiatan-kegiatan partisipasi anak dalam pengambilan

keputusan juga belum menjadi prioritas dalam program Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) dan Lembaga di Provinsi DKI Jakarta (Wawancara dengan

Kepala Asisten Deputi Partisipasi Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan

(49)

Keempat, fasilitasi pembentukan Forum Anak di DKI Jakarta juga sudah

dilakukan dengan membentuk Forum Anak baik di tingkat Provinsi dan

Kota/Kabupaten Administrasi. Namun, sifat Forum Anak sebagai sebuah wadah

partisipasi anak masih lemah sehingga butuh penguatan kapasitas forum anak.

Berdasarkan hasil observasi peneliti ketika mengikuti Rapat Koordinasi

Pendamping Forum Anak dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan,

dan Keluarga Berencana (BPMPKB) Provinsi DKI Jakarta pada 12 November

2014 diketahui bahwa masalah internal dalam kepengurusan Forum Anak sendiri

belum terselesaikan. Penyebabnya adalah Forum Anak DKI Jakarta belum

memiliki aturan atau tata tertib kepengurusan yang jelas serta belum memiliki

program kerja yang pasti sehingga sifatnya sendiri masih bergantung pada

kegiatan yang diadakan oleh BPMPKB Provinsi DKI Jakarta, jika tidak ada

kegiatan, maka Forum Anak akan vakum. Pada akhirnya hal ini menyebabkan

kurangnya daya tarik bagi anak-anak di tingkat wilayah untuk ikut terlibat dalam

kegiatan yang diadakan oleh Forum Anak DKI Jakarta.

Di samping itu, meskipun kepengurusan Forum Anak telah dibentuk di

tingkat provinsi atau kota/kabupaten, masih banyak juga anak-anak dan

masyarakat yang belum tahu tentang Forum Anak sehingga dukungan dari

masyarakat untuk pelaksanaan partisipasi anak juga dirasakan masih kurang.

(Wawancara awal dengan Kepala Asisten Deputi Partisipasi Anak Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Rabu, 11 Maret 2015,

(50)

Kelima, bimbingan yaitu pengarahan bagi Lembaga/Badan/Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) maupun bagi Forum Anak untuk siap melaksanakan

pelibatan anak dalam proses perencanaan pembangunan. Meskipun Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta sudah mulai melibatkan Forum Anak dalam forum

perencanaan pembangunan atau musrenbang di tingkat Provinsi dan di tingkat

Kota/Kabupaten, akan tetapi pelaksanaan musrenbang yang melibatkan anak

belum dilakukan sesuai dengan arah pelaksanaan musrenbang secara bottom up.

Kendalanya adalah bahwa prosedur operasi baku untuk melibatkan Forum Anak

dalam Musrenbang secara berjenjang mulai dari tingkat RW, Kelurahan,

Kecamatan, Kota/Kabupaten, dan Provinsi belum ada (Wawancara dengan Staf

Bidang Kesejahteraan Rakyat di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah Provinsi DKI Jakarta, 13 Februari 2015, Pukul 09.35 WIB) sehingga

dalam melaksanakan perencanaan pembangunan yang berspektif anak belum

melibatkan penuh unsur pemerintah lokal (Wawancara dengan Kepala Bidang

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Kantor Badan

Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi DKI

Jakarta, 4 November 2014, Pukul 09.15 WIB).

Berdasarkan pada penjelasan di atas dapat dianalisis bahwa masih terdapat

sejumlah kendala dalam pelaksanaan Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak

dalam Perumusan Kebijakan Publik di Provinsi DKI Jakarta. Oleh karena itu,

peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang Implementasi

Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan

(51)

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah yang telah peneliti tulis di

atas, maka peneliti mengidentifikasi bahwa tujuan penerapan Program

Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik di

Provinsi DKI Jakarta belum tercapai. Hal ini disebabkan:

1. Partisipasi Anak dalam pengambilan keputusan belum menjadi

mainstream bagi para pemangku kepentingan terutama stakeholder yang

terlibat dalam pemenuhan hak partisipasi anak.

2. Ego sektoral yang tinggi menyebabkan lemahnya sinergitas antar

stakeholder untuk mulai melibatkan anak dalam pengambilan keputusan

terkait perlindungan anak dan pembangunan Kota Layak Anak di Provinsi

DKI Jakarta.

3. Kesadaran SKPD tentang keterlibatannya dalam pemenuhan hak

partisipasi anak masih rendah.

4. Sosialisasi tentang Forum Anak masih minim serta kapasitas Forum Anak

DKI Jakarta masih lemah,

5. Belum adanya prosedur standar baku pelibatan Forum Anak dalam

Musrenbang

1.3 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi masalah penelitian yang berfokus

pada Implementasi Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan

(52)

1.4 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah dijabarkan oleh peneliti di atas

maka rumusan permasalahan yang hendak diteliti adalah bagaimana Implementasi

Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik

di Provinsi DKI Jakarta?

1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang Implementasi Program

Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik di

Provinsi DKI Jakarta.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Akademis

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah peneliti

tentang implementasi kebijakan publik khususnya tentang Implementasi Program

Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik di

Provinsi DKI Jakarta.

1.6.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan bisa memberikan:

1. Sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu administrasi negara,

khususnya konsentrasi kebijakan publik;

2. Kontribusi pengetahuan untuk penelitian serupa di masa yang akan datang;

(53)

3. Bahan masukan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan, terutama bagi

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta stakeholders lainnya terkait

Implementasi Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam

Gambar

Tabel 1.1 Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak
Gambar 1.1.
Gambar 2.2 Tahapan Kebijakan Publik
Gambar 2.3 Sekuensi Implementasi Kebijakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1) Implementasi (PKS-Anjal) Sebagai Upaya Pemenuhan Hak Dasar Pendidikan Anak Jalanan Di RSBD. 2) Hasil yang ingin dicapai dari

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa terkait sumber daya manusia pelaksana kegiatan Program Pendidikan Anak Usia Dini di Kantor Dinas Pendidikan

Kondisi pemukiman yang kian hari kian padat membuat pemerintah DKI Jakarta membuat program untuk menambah sarana ruang terbuka bagi publik yang aman dan nyaman

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa terkait sumber daya manusia pelaksana kegiatan Program Pendidikan Anak Usia Dini di Kantor Dinas Pendidikan

Rata-rata sisanya adalah dalam bentuk kolaborasi dari pihak ketiga yang punya ide yang sama untuk membangun Jakarta atau punya kontribusi untuk Jakarta apapun bidangnya, selama

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa terkait sumber daya manusia pelaksana kegiatan Program Pendidikan Anak Usia Dini di Kantor Dinas Pendidikan

Hasil/ Temuan menunjukkan bahwa Implementasi Kebijakan Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di DKI Jakarta belum optimal dengan ditemukannya kendala dalam pelaksanaan

Berdasarkan pengujian tersebut, maka pengujian hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 Peubah Implemetasi Program QLUE Memiliki nilai t hitung 1,2301