i
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Pulik
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
OLEH:
HELEN KARTIKA SARI 6661110804
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
v
“Setiap manusia dibekali empat karunia, yaitu kesabaran, suara hati, kebebasan
keinginan, dan imajinasi kreatif. Ia memberi manusia kebebasan, kekuatan
untuk memiliki, merespon dan untuk berubah.” –
Steven Covey
Skripsi ini ku persembahkan untuk:
vi
Allah Bappa Yang Maha Kuasa atas segala anugrah dan kasih-Nya yang begitu
berlimpah dalam kehidupan peneliti sehingga Skripsi yang berjudul
Implementasi Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam
Perumusan Kebijakan Publik di Provinsi DKI Jakarta ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik, Program Studi Ilmu
Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa. Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan, dukungan, serta
bimbingan dari berbagai pihak, maka akan sangat sulit bagi peneliti untuk
menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, dengan setulus hati peneliti
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. DR. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa
2. DR. Agus Sjafari M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
3. Kandung Sapto Nugroho S.Sos., M.Si, Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
4. Mia Dwianna W., M.I.Kom., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan
vii
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
7. Ipah Ema Jumiati S.IP., M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi
Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang terus
mendukung peneliti dalam melakukan penelitian ini.
8. Titi Stiawati S.Sos., M.Si., Pembimbing Skripsi I yang terus
menyemangati dan membimbing peneliti dalam menyusun skripsi ini
9. Listyaningsih S.Sos., M.Si., Pembimbing Skripsi II yang terus
memberikan motivasi dan koreksi positif pada saat penyusunan skripsi ini.
10. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang
telah memberikan banyak ilmu dalam kelas perkuliahan.
11. DR. Dermawan M.Si., Kepala Asisten Deputi Partisipasi Anak, Deputi
Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI atas segala informasi dan data yang sangat berguna
bagi peneliti.
12. Jumadi S.E., M.Si., Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan
viii
Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta yang memberikan data dan
informasi terkait penyelenggaran Musrenbang Provinsi DKI Jakarta yang
melibatkan Forum Anak DKI Jakarta.
14. Prof. DR. Seto Mulyadi, Sekretaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak yang telah meluangkan waktu untuk menerima peneliti
dengan ramah di tengah kesibukan yang begitu padat serta memberikan
segala informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.
15. Wardoyo Djohar, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Provinsi DKI
Jakarta yang telah memberikan informasi penting kepada peneliti terkait
partisipasi anak di DKI Jakarta.
16. Rachel Priyoutomo, Manajer Program ADP Susukan Yayasan Wahana
Visi Indonesia
17. Dahrul Oktavian S.Sos, Staf Seksi Rehabilitai Sosial Dinas Sosial Provinsi
DKI Jakarta
18. Muhammad Thamrin, Staf Kurikulum dan Sumber Daya Belajar Bidang
SD dan PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta
19. Arief Wahyudy, Staf Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Provinsi
DKI Jakarta
20. Rangi Faridha Azis, Analis Perencanaan dan Anggaran Dinas Pertamanan
ix
banyak memberikan informasi kepada peneliti tentang pembangunan
RPTRA di Provinsi DKI Jakarta.
23. M. Andi Jufri S.Kel., Tim Sosial CSR dari PT. Pembangunan Jaya yang
juga bersedia menjadi Informan bagi peneliti terkait pembangunan RPTRA
di Provinsi DKI Jakarta
24. Bidang Data dan Informasi P2TP2A Provinsi DKI Jakarta untuk data
tentang kekerasan anak di Provinsi DKI Jakarta yang sangat berguna
dalam penelitian ini
25. Yashinta Putri, Pelaksana Tugas Ketua Forum Anak Provinsi DKI Jakarta
beserta seluruh keluarga besar Forum Anak DKI Jakarta (FORAJA) yang
sangat ramah, menyenangkan, dan informatif.
26. Fajar Pratama, Fasilitator Forum Anak Provinsi DKI Jakarta
27. Kedua orang tua yang paling ku cintai di dunia ini, Papa ku Frengki
Butar-Butar S.Th., M.Th dan Mama ku Cut Ratna Kumala Sari terimakasih
banyak untuk segalanya.
28. Kakak ku Susan Novita Herlina S.H, serta ketiga adik ku Bripda Daniel,
Jonathan Arief, Veren Chelsea Banda Putri.
29. Untuk teman-teman seperjuangan seluruh Mahasiswa Ilmu Administrasi
x
Afani, Shinta Nurulita dan Zahra Almaira Rahman. Terimakasih untuk
semangat dan dukungannya.
31. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Angkatan
2013 terimakasih untuk kebersamaan dan dukungan dari kalian terhadap
peneliti.
32. Keluarga KKM Kelompok 60 Desa Kampung Baru untuk waktu sebulan
yang penuh makna dan pengalaman.
33. Serta pihak lain yang membantu mendukung penelitian ini yang tidak
dapat peneliti ucapkan satu per satu. Peneliti ucapkan terima kasih.
Seperti kata pepatah ‘tak ada gading yang tak retak’. Peneliti menyadari
bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terluput dari kealpaan peneliti. Oleh
karena itu segala kritik, sanggahan maupun saran yang konstruktif sangat peneliti
butuhkan untuk perbaikan kedepannya.
Peneliti berharap semoga skripsi yang telah peneliti tulis ini dapat
bermanfaat bagi seluruh stakeholder, dosen, mahasiswa maupun pihak lain yang
membacanya. Akhir kata, peneliti ucapkan terima kasih.
Serang, 27 Agusutus 2015
xi
Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik di Provinsi DKI Jakarta. Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Pembimbing I: Titi Stiawati S.Sos., M.Si dan Pembimbing II: Listyaningsih S.Sos., M.Si.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana implementasi Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan di Provinsi DKI Jakarta. Peneliti menggunakan teori implementasi Jones (1996) yang terdiri dari pilar-pilar organisasi, interpretasi, dan aplikasi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil temuan lapangan penelitian menyimpulkan bahwa pelaksanaan Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik di Provinsi DKI Jakarta belum optimal. Pada dimensi organisasi pemerintah, SKPD masih kekurangan sumber daya manusia terlatih konvensi hak anak, data tentang anak belum komprehensif dan terintegrasi dalam satu data base, Rencana Aksi Daerah Pembangunan Kota Layak Anak di Provinsi DKI Jakarta juga belum terbentuk sehingga kinerja di bidang anak masih dilakukan secara parsial. Kemudian pada dimensi organisasi Forum Anak Jakarta masih memiliki kapasitas kepengurusan yang lemah. Pada dimensi interpretasi, pemahaman implementor terhadap program partisipasi anak masih rendah, dukungan dari elit eksekutif bersama legislatif belum maksimal, serta dukungan publik terhadap pelaksanaan partisipasi anak juga masih sangat rendah. Pada dimensi aplikasi, pelibatan Forum Anak Jakarta dalam musrenbang secara struktural sudah dilakukan namun hasilnya belum mengakomodir suara anak, Forum Anak Jakarta juga belum memiliki akses informasi terhadap rencana tindak lanjut hasil usulan mereka, dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap partisipasi anak dalam musrenbang belum dilakukan.
xii
Province. Department of Public Administration. Faculty of Social and Political Science. University of Sultan Ageng Tirtayasa. First Preceptor: Titi Stiawati S.Sos., M.Si and Second Preceptor: Listyaningsih S.Sos., M.Si.
This research aims to analyze how is the implementation of Program of Mainstreaming of Children’s Participation in Public Policy Formulation in DKI Jakarta. Researcher used policy implementation theory by Jones (1996) which consist three pillars: organization, interpretation, and application. This research used qualitative method with descriptive design. The result of this research concluded that the implementation of the Program of Mainstreaming of Children’s Participation in Public Policy Formulation in Jakarta is not fully optimal. In organization dimension, government institution or SKPD in Jakarta is still lacked of trained human resources of convention on children’s right, the data of children still not comprehensive and integrated into one data base, and the regional action plan of child friendly city development in Jakarta is not formed yet so the task force on children protection still working partially. On another side, Jakarta’s Children Forum still have weak management capacity. In interpretation dimension, implementor understanding towards child participation is still low, the support from executive with legislative elite is not maximal, support from public to children’s participation is also still low. In application dimension, involvement of Jakarta’s Children Forum in Musrenbang is done, but the result showed it did not accommodate any of children’s input, Jakarta’s Children Forum also do not have information access to the follow-up plan of their input, and the monitoring and evaluation about children’s participation are not yet done.
xiii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... xi
ABSTRACT ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Identifikasi Masalah ... 32
1.3. Batasan Masalah ... 33
1.4. Rumusan Masalah ... 33
1.5. Tujuan Penelitian ... 33
1.6. Manfaat Penelitian ... 33
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI, DAN ASUMSI DASAR 2.1 Tinjauan Pustaka ... 35
2.1.1 Konsep Kebijakan Publik ... 35
2.1.1.1Pengertian Kebijakan Publik... 36
2.1.1.2Tahap-tahap Kebijakan Publik ... 40
xiv
Kebijakan Publik ... 68
2.2.4.1 Dasar Hukum ... 75
2.2.4.2 Maksud dan Tujuan ... 77
2.2.4.3 Sasaran ... 77
2.2.4.4 Strategi ... 79
2.2.4.5 Mekanisme Partisipasi Anak ... 80
2.2 Penelitian Terdahulu ... 89
2.3 Kerangka Berpikir ... 93
2.4 Asumsi Dasar ... 97
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Pendekatan dan Metode Penelitian ... 98
3.2.Fokus Penelitian ... 99
3.3.Lokasi Penelitian ... 99
3.4.Fenomena yang diamati ... 100
3.4.1. Definisi Konsep ... 100
3.4.2. Definisi Operasional ... 101
3.5.Instrumen Penelitian ... 102
3.6.Informan Penelitian ... 103
3.7.Pedoman Wawancara ... 105
3.8.Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 107
3.9.Jadwal Penelitian ... 111
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1Deskripsi Provinsi DKI Jakarta ... 113
xv
4.5.1 Dimensi Organisasi ... 131 4.5.2 Dimensi Interpretasi... 185 4.5.3 Dimensi Aplikasi/Penerapan ... 224
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 251 5.2 Saran ... 253
DAFTAR PUSTAKA ... xx
xvi
Tabel 1.2 Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin 2013 ... 20
Tabel 1.3 Provinsi Pilot Project Pengembangan Kota Layak Anak ... 23
Tabel 2.1 Matriks Kegiatan Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Peumusan Kebijakan Publik ... 84
Tabel 2.2 Skema Partisipasi dan Penyertaan Anak ... 87
Tabel 3.1 Informan Penelitian ... 104
Tabel 3.2 Pedoman Wawancara Penelitian ... 106
Tabel 3.3 Jadwal Penelitian ... 112
Tabel 4.1 Luas Daerah dan Pembagian Daerah Administratif Provinsi DKI Jakarta Menurut Kabupaten dan Kota Administrasi ... 114
Tabel 4.2 Kecamatan, Kelurahan, Rukun Warga, Rukun Tetangga, dan Kepala Keluarga Menurut Kabupaten/Kota Administrasi Provinsi DKI Jakarta ... 115
Tabel 4.3 Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 ... 121
Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Usia Anak berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 ... 123
Tabel 4.5 Anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 ... 124
Tabel 4.6 Spesifikasi Informan Penelitian ... 128
xvii
Tahun 2014 ... 175
Tabel 4.10 Pilot Project Kelurahan Layak Anak Provinsi DKI Jakarta 2014 ... 179
Tabel 4.11 Usulan Anak dalam Musrenbang tingkat Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2014 ... 238
xviii
Gambar 1.2 Jumlah Klien Anak P2TP2A Provinsi DKI Jakarta ... 21
Gambar 2.1 Kebijakan Publik Ideal ... 40
Gambar 2.2 Tahapan Kebijakan Publik ... 41
Gambar 2.3 Sekuensi Implementasi Kebijakan ... 51
Gambar 2.4 Sekuensi Implementasi Kebijakan ... 52
Gambar 2.5 Partisipasi Anak kepada Negara ... 74
Gambar 2.6 Mekanisme Partisipasi Anak ... 81
Gambar 2.7 Flowchart Pemenuhan Hak Partisipasi Anak ... 82
Gambar 2.8 Partisipasi Anak bersama Orang Dewasa ... 88
Gambar 2.9 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 96
Gambar 4.1 Struktur Organisasi BPMPKB Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 .... 127
Gambar 4.2 Strutur Organisasi Forum Anak Jakarta ... 135
Gambar 4.3 Bahan KIE Partisipasi Anak di Kantor BPMPKB Provinsi DKI Jakarta ... 169
Gambar 4.4 Bahan KIE Partisipasi Anak di Kantor Kecamatan Cakung ... 172
Gambar 4.5 Bahan KIE Partisipasi Anak di Kantor KPMP Jakarta Timur ... 172
Gambar 4.6 Acara Kongres Anak Cilincing Tahun 2015 ... 181
Gambar 4.7 Pendamping Forum Anak di Kecamatan Cilincing ... 181
xix Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian
Lampiran 3 Surat Persetujuan Penelitian
Lampiran 4 Pedoman Umum Wawancara
Lampiran 5 Transkrip dan Koding Data
Lampiran 6 Member Check
Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian
Lampiran 8 Catatan Lapangan
Lampiran 9 Catatan Bimbingan
Lampiran 10 SK Kepala BPMPKB Provinsi DKI Jakarta No. 301/2013 tentang
Pembentukan Forum Anak Daerah Periode 2013-2015 Provinsi
DKI Jakarta
Lampiran 11 Anggaran Pemenuhan Hak Partisipasi Anak Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2014
Lampiran 12 Notulensi Musrenbang Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014
Lampiran 13 Perjanjian Kerja Sama Pemprov DKI Jakarta dengan
PT. Pembangunan Jaya tentang Pembangungan RPTRA di
Provinsi DKI Jakarta
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karakter dan kualitas pembangunan suatu bangsa dan negara sangat
ditentukan oleh modal sumber daya manusia yang dimilikinya. Dalam rangka
menciptakan bangsa yang kuat dan maju, maka dibutuhkan sumber daya manusia
berkualitas handal dan tangguh. Oleh karena itu, pengembangan kualitas sumber
daya manusia harus dipersiapkan sedini mungkin bahkan sejak masa kanak-kanak.
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumber daya manusia
yang cukup besar, menduduki urutan kelima setelah China, India, Uni Eropa, dan
Amerika Serikat (Berdasarkan data populasi penduduk dunia dalam The World
Factbook yang diunggah oleh situs CIA (Central Intelligence Agency), 2014).
Potensi sumber daya manusia tersebut harus dikelola secara tepat dan bijak agar
mampu mendorong masyarakat Indonesia menjadi bibit unggul yang mampu
bersaing dengan masyarakat dunia lainnya.
Mengacu pada Data Susenas Badan Pusat Statistik tahun 2014, jumlah
penduduk Indonesia saat ini mencapai kisaran 254.862.034 jiwa dan 81,8 juta jiwa
diantaranya adalah penduduk usia anak. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 30 %
atau sepertiga penduduk Indonesia terdiri dari anak-anak. Yang dimaksud dengan
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak). Kedudukan anak tersebut sungguh
penting dalam kehidupan manusia dan dalam peradabannya, karena anak persis
berada di bagian salah satu sumber daya manusia yang merupakan penerus dan
cita-cita perjuangan bangsa.
Anak-anak merupakan kelompok penduduk usia muda yang mempunyai
potensi untuk dikembangkan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan
di masa mendatang. Mereka merupakan kelompok yang perlu disiapkan untuk
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Perwujudan anak-anak
sebagai generasi muda yang berkualitas, berimplikasi pada perlunya pembinaan
dan perlindungan terhadap hak-hak yang dimilikinya dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Karena anak yang
tumbuh kembangnya positif merupakan embrio sumber daya manusia yang
berkualitas dan unggul.
Pengembangan kualitas anak Indonesia lewat pemenuhan hak-hak yang
dimilikinya telah diamanahkan dalam Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”. Kemudian disempurnakan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan: “Setiap anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
Hak atas kelangsungan hidup dan perkembangan adalah hak yang paling
mendasar dan melekat pada diri setiap anak dan harus diakui serta dijamin
pemenuhannya oleh negara. Pemenuhan hak kelangsungan hidup dan
perkembangan anak berkaitan dengan pemenuhan hak dasar yaitu kesehatan,
pendidikan, identitas, standar hidup yang layak serta kesempatan untuk
mengembangkan potensi dirinya.
Hak atas perlindungan adalah hak bagi setiap anak untuk mendapatkan
jaminan agar terbebas dari kondisi yang membahayakan dan menimbulkan
kerugian pada proses tumbuh kembangnya baik secara fisik maupun non fisik.
Perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan dari segala bentuk kekerasan,
eksploitasi, pelecehan, maupun diskriminasi.
Hak partisipasi anak adalah hak bagi setiap anak untuk berpartisipasi dan
menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika
menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Hak berpartisipasi ini
dapat diwujudkan dengan memberikan anak kesempatan untuk berkumpul,
berorganisasi, menyatakan pendapat, menyuarakan aspirasi kepada para
pemangku kepentingan (duty bearer) sesuai perkembangan usia dan tingkat
kecerdasannya. Tujuan pemenuhan hak partisipasi anak adalah untuk menunjang
agar pemenuhan hak hidup, hak tumbuh dan berkembang serta hak perlindungan
anak menjadi lebih optimal (Sumber: Joni, 2008: 6).
Secara yuridis formal, Pemerintah Indonesia telah memiliki sejumlah
kebijakan yang lengkap dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak,
serta Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 sebagai revisi atas Undang-Undang No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Meski demikian, realitas
kesejahteraan anak masih jauh dari harapan. Fakta dilapangan menunjukkan
bahwa situasi perlindungan anak belum mencapai tujuan dari kebijakan
perlindungan anak, yaitu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup anak
pada tahap yang paling maksimal agar tumbuh kembangnya lebih optimal.
Penggambaran tentang situasi anak di Indonesia tersebut dapat dilihat pada tabel
Tabel 1.1
Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak Tahun 2011-2014
No Klaster/Bidang Tahun Jumlah
2011 2012 2013 2014
1 Sosial dan Anak dalam Situasi Darurat 92 79 246 87 504
2 Keluarga dan Pengasuhan Alternatif 416 633 931 452 2432
3 Agama dan Budaya 83 204 214 59 560
4 Hak Sipil dan Partisipasi 37 42 75 47 205
5 Kesehatan dan Napza 221 261 438 216 1136
6 Pendidikan 276 522 371 249 1480
7 Pornografi dan Cyber Crime 338 175 247 196 806
8 ABH dan Kekerasan 188 530 420 432 1511
a Kekerasan Fisik 129 110 291 142 669
b Kekerasan Psikis 49 27 127 41 244
c Kekerasan Seksual (Pemerkosaan, Sodomi, Pencabulan, Pedofilia) 329 746 590 621 2286
9 Trafficking dan Eksploitasi 160 173 184 93 610 10 Lain-Lain 10 10 173 78 271
Total 2178 3512 4311 2713 12714
Sumber: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2014
Situasi dan kondisi anak Indonesia saat ini seperti yang telah dirinci pada
tabel 1.1 diatas memberikan gambaran kepada kita bahwa implementasi kebijakan
perlindungan anak di tataran lapangan masih sulit untuk diterapkan. Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2014) memang menyatakan
bahwa isu dan permasalahan anak sangat bersifat kompleks, lintas bidang dan
banyaknya faktor yang saling terkait sebagai penyebab rendahnya kualitas hidup
anak. Sementara disebut isu lintas bidang dan program serta sektoral karena
permasalahannya terdapat di hampir semua sektor, bidang dan program
pembangunan, dan karenanya, penanganan permasalahan tersebut harus
melibatkan seluruh bidang dan program serta sektor pembangunan.
Kompleksnya proses pemenuhan hak anak seperti yang telah disebutkan
diatas nyatanya masih terkendala pada lemahnya sistem koordinasi yang
dilakukan baik lintas bidang, lintas program, maupun lintas sektoral. Hal ini
cukup sesuai dengan hasil kajian UNICEF Indonesia (2012) yang menunjukkan
bahwa hambatan utama dalam upaya mencapai kesejahteraan anak di daerah
terjadi karena beberapa hal seperti: lemahnya koordinasi antar lembaga yang
berhubungan dengan isu kesejahteraan anak dan kurangnya harmonisasi terkait
kebijakan perlindungan anak di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi,
keterbatasan pengetahuan sumber daya manusia dan kapasitas lembaga tentang
hak-hak anak, serta lemahnya tingkat partisipasi anak dalam Musrenbang di
tingkat desa dan kecamatan.
Kelemahan lain yang ditemukan sebagai penyebab kurang efektifnya
perlindungan dan pemenuhan hak anak di Indonesia adalah karena anak itu sendiri
belum dijadikan prioritas yang tinggi dalam kebijakan pembangunan di Indonesia
(Sofian, 2002: vi). Padahal pelibatan anak dalam proses pembangunan dilakukan
untuk mewujudkan kebijakan yang benar-benar dibutuhkan anak, dan sebagai
wujud dari komitmen negara untuk menghormati pandangan anak, serta respon
Anak). Ini terjadi karena pembangunan yang peduli anak, termasuk perlindungan
haknya, masih belum menjadi mainstream pemahaman para pemangku
kepentingan baik di tingkat nasional maupun di daerah.
Pemerintah sendiri belum menetapkan anak sebagai subjek atas
hak-haknya, melainkan sebagai objek yang hanya bisa menerima manfaat dari
kebijakan pemerintah di bidang perlindungan anak. Ini dikarenakan pengambilan
keputusan dan pengembangan kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk anak
belum melibatkan anak secara langsung. Padahal yang dipahami sebagai pihak
yang paling mengerti dan mengetahui kebutuhan anak adalah anak itu sendiri.
Maka untuk mewujudkan pemenuhan hak anak seutuhnya, pemerintah perlu
mendengar dan mempertimbangkan pandangan dan pendapat setiap anak dalam
pengambilan keputusan yang berhubungan dengan atau mempunyai dampak
terhadap kebutuhan dan kepentingan anak seperti yang tertuang dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 khususnya pasal 24, “Negara,
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin anak untuk mempergunakan
haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan
anak”.
Secara khusus, dukungan kebijakan nasional terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak dan pemenuhan hak anak di Indonesia telah diakomodir dalam
sebuah Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2015 (PNBAI 2015) yang
memberikan arahan tentang bagaimana kebijakan dan program pemerintah di
bidang anak hingga tahun 2015. Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2015
dan berkembang, cerdas, ceria, berakhlak mulia, terlindungi dan aktif
berpartisipasi.
Substansi partisipasi anak yang disinggung dalam Program Nasional Bagi
Anak Indonesia 2015 (PNBAI 2015) lewat visi menjadikan anak yang aktif
berpartisipasi selanjutnya diwujudkan melalui misi membangun lingkungan yang
kondusif untuk menghargai pendapat anak dan memberi kesempatan untuk
berpartisipasi sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak. Misi tersebut
turut mendorong seluruh pihak yang berkepentingan untuk selalu melibatkan atau
mendengar aspirasi anak ketika memutuskan segala sesuatu yang berhubungan
dengan kebutuhan anak atau berdampak pada anak-anak. (Sumber: Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2014).
Peluang bagi anak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan atau mempunyai dampak terhadap kepentingan dan
kebutuhan dirinya semakin terbuka lebar sejalan pengelolaan desentralisasi tata
kelola pemerintahan dimana pada pasal 12 ayat (2) poin (b) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa urusan
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merupakan urusan konkuren
wajib non pelayanan dasar antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Penerapan desentralisasi yang semakin ramah anak didukung oleh penggunaan
prinsip-prinsip partisipastif masyarakat (termasuk anak) dalam pengambilan
keputusan khususnya dalam rangka pengembangan kabupaten/kota yang layak
sebuah kebijakan untuk memberikan arahan bagaimana pengembangan partisipasi
anak dilaksanakan baik di tingkat nasional maupun di daerah.
Kebijakan di bidang partisipasi anak tersebut telah disahkan ke dalam
suatu Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia No. 3 Tahun 2011 tentang Kebijakan Partisipasi Anak dalam
Pembangunan dan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut, dibentuk
pula Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia No. 4 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kebijakan
Partisipasi Anak dalam Pembangunan. Kebijakan Partisipasi Anak dalam
Pembangunan ini menjadi landasan bagi pelaksanaan pemenuhan hak partisipasi
anak (PHPA) baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah.
Kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam kebijakan di bidang partisipasi
anak tersebut dalam implementasinya dikembangkan dalam tiga kerangka
program besar sebagai berikut: Program Peningkatan Kesadaran Masyarakat yang
diarahkan kepada upaya penyebarluasan informasi tentang pentingnya partisipasi
anak dalam pengambilan keputusan; Program Penyediaan dan Pengembangan
Ruang Partisipasi Anak yang diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan
kapasitas anak; serta Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam
Perumusan Kebijakan Publik yang diarahkan kepada upaya untuk memasukan
pandangan anak kedalam setiap penyusunan kebijakan publik yang terkait dengan
atau mempunyai dampak terhadap kepentingan dan kebutuhan anak, baik di
Partisipasi anak sendiri pada prinsipnya dapat dimaknai sebagai
keterlibatan seseorang yang belum berusia 18 tahun dalam proses pengambilan
keputusan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya dan
dilaksanakan atas kesadaran dan pemahaman, serta kemauan bersama sehingga
anak dapat menikmati hasil atau mendapatkan manfaat dari keputusan tersebut.
(Sumber: Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2013: 27).
Pelaksanaan partisipasi anak sangat penting mengingat partisipasi anak
merupakan bagian dari proses tumbuh kembang anak. Anak yang aktif, tumbuh
kembang fisik dan mentalnya jauh lebih baik dari pada anak yang pasif. Apabila
tumbuh kembang anak tidak optimal dapat membuat anak-anak rentan terhadap
berbagai bentuk pelecehan, kekerasan dan diskriminasi. Selain itu tumbuh
kembang anak yang tidak optimal juga mengakibatkan anak berada pada posisi
yang lebih rentan terhadap berbagai perubahan sosial yang berdampak negatif
yang mempengaruhi diri mereka, misalkan pengaruh budaya seks bebas atau
penggunaan narkoba. Oleh karena itu, anak-anak perlu diberikan kesempatan yang
lebih luas untuk berpartisipasi secara wajar dan konstruktif.
Pelaksanaan partisipasi anak ini bertujuan menjamin agar anak dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal, baik dari segi fisik, mental maupun
sosial serta memperoleh perlindungan, sehingga anak bisa menjawab tantangan
perkembangan jamannya. Di dalamnya termasuk juga upaya untuk
mengembangkan potensi dan kreatifitas anak bersangkutan baik secara pemikiran
itu dibangun atas kesadaran bahwa pihak yang paling mengetahui masalah,
kebutuhan dan keinginan anak adalah anak itu sendiri. Karena banyak keputusan
orang dewasa selama ini ditujukan untuk anak ternyata tidak sepenuhnya sesuai
dengan kepentingan anak.
Fakta menunjukkan masih sangat sedikit keputusan atau kebijakan publik
yang diambil melalui proses konsultasi atau mendengar dan mempertimbangkan
kebutuhan dan aspirasi anak. Akibatnya banyak sekali kebijakan publik yang pada
akhirnya justru tidak ramah anak. Contoh yang sederhana adalah penentuan acara
dan program stasiun televisi, pembuatan aturan disiplin di sekolah, pembangunan
sarana dan prasarana umum seperti toilet di terminal, di sekolah, di stasiun,
jembatan penyeberangan, angkutan umum dan lain-lain. Hal ini terjadi karena
pemahaman banyak pihak yaitu orang dewasa yang menganggap bahwa cara
berpikir anak masih belum matang, sehingga dianggap belum mampu untuk ikut
serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
Kekeliruan pemahaman tentang kemampuan anak untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan menyebabkan terbatasnya akses anak untuk
menyampaikan aspirasi, ide, dan kreativitasnya kepada para pemangku
kepentingan. Padahal bila anak tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan,
atau kepentingan dan kebutuhan anak tidak dijadikan sebagai pertimbangan dan
pengambilan keputusan, maka anak akan hidup di dalam lingkungan yang tidak
ramah sehingga tumbuh kembang anak akan terganggu baik secara fisik maupun
Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan potensi anak untuk
berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik, maka
perlu dilaksanakan Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan
Kebijakan Publik sebagai salah satu program untuk melaksanakan Kebijakan
Partisipasi Anak dalam Pembangunan.
Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan
Publik ini merupakan program dengan strategi yang dapat dilakukan oleh
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Dunia Usaha,
maupun Masyarakat untuk memberikan akses dan manfaat pembangunan bagi
pemenuhan hak dan perlindungan anak. Program ini bertujuan memfasilitasi suara
anak untuk disampaikan kepada para pemangku kepentingan baik nasional
maupun daerah. Salah satu media yang tepat untuk melibatkan anak dalam
pengambilan keputusan adalah melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang) baik di daerah maupun nasional yang melibatkan seluruh
pemangku kepentingan di dalamnya (Wawancara awal dengan Kepala Asisten
Deputi Partisipasi Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI, 11 Maret 2015, Pukul 09.00 WIB).
Stakeholder utama atau para pemangku kepentingan, yaitu para pihak yang
tugas pokok dan fungsinya berhubungan secara langsung maupun tidak langsung
dengan upaya pemenuhan hak partisipasi anak di bidang pengembangan bakat,
minat dan kemampuan anak antara lain: Kementerian/Lembaga di bidang
perlindungan anak seperti Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
olahraga, kesehatan, kepanduan dan hal lain terkait dengan hak-hak anak;
Kelompok Dunia Usaha; serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Leading
sector pelaksana Kebijakan Partisipasi Anak dalam Pembangunan ini adalah
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Daerah (Sumber: Juknis
Pelaksanaan Partisipasi Anak dalam Pembangunan, 2014).
Sasaran pelaksanaan kebijakan partisipasi anak ini adalah terwujudnya
pelibatan atau keikutsertaan anak dalam proses pengambilan keputusan dalam
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan melalui Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Daerah dengan substansi khusus yang berhubungan
dengan anak, sehingga anak mendapatkan manfaat maksimal dari keputusan
tersebut dalam rangka optimalisasi tumbuh kembang anak.
Keterlibatan anak dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh
individu setiap anak menurut perkembangan usia dan tingkat kecerdasannya.
Namun untuk tujuan efisien dan efektif, Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak (2014) menyarankan agar pelibatan anak dalam
pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif karena manfaat yang diberikan
jauh lebih efektif baik dari proses maupun hasilnya. Proses partisipasi anak secara
kolektif ini dilakukan melalui Forum Anak.
Forum Anak adalah organisasi atau lembaga sosial yang digunakan
sebagai wadah atau pranata partisipasi bagi anak yang belum berusia 18 tahun
dimana anggotanya merupakan perwakilan dari kelompok anak atau kelompok
kegiatan anak yang dikelola oleh anak-anak dan dibina oleh pemerintah (menurut
aspirasi, suara pendapat, dan keinginan kebutuhan anak dalam proses
pembangunan. (Sumber: Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2014: 9).
Seperti yang telah disebutkan di atas, dalam Forum Anak anggotanya
merupakan perwakilan dari kelompok anak atau kelompok kegiatan anak.
Kelompok anak yang dimaksud seperti kelompok anak jalanan, anak punk, anak
berkebutuhan khusus, pekerja anak, anak putus sekolah, anak yang berhadapan
dengan hukum, anak dengan kemampuan berbeda, dan sejenisnya. Sedangkan,
kelompok kegiatan anak yang dimaksud adalah kelompok anak yang terbentuk
berdasarkan kesamaan kepentingan, minat, bakat, dan atau kemampuan, misalnya
OSIS, karang taruna, pencinta alam, remaja masjid, pemuda-pemudi gereja,
sanggar budaya dan kesenian anak, perkumpulan olahraga atau bidang lain.
Forum Anak merupakan media yang baik bagi anak untuk menyalurkan
inspirasi, suara, maupun aspirasinya secara berjenjang mulai dari tingkat
kelurahan hingga tingkat nasional. Karena Forum Anak dibina langsung oleh
pemerintah menurut jenjang wilayahnya sehingga penetapannya disahkan
berdasarkan Surat Keputusan Kepala Wilayah setempat. Forum Anak inilah yang
nantinya akan mewakili suara anak menurut jenjang wilayah administrasinya
untuk disampaikan kepada para pemangku kepentingan di wilayah setempat.
Ada sejumlah kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang umumnya dapat
digunakan untuk melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan terutama
yaitu: usia 13 s/d <18 tahun, dapat berkomunikasi dengan baik, dapat
menyampaikan usulan aspirasi anak dalam Musrenbang, harus didampingi oleh
orang dewasa/fasilitator anak, kesediaan anak, dipilih berdasarkan kesepakatan
Forum Anak/Perwakilan Anak lainnya, serta mendapatkan ijin dari orang tua
(Sumber: Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, 2014: 29).
Namun, pelibatan anak dalam pengambilan keputusan tidak mutlak harus
mengikuti syarat di atas. Konsep dasar partisipasi anak dapat dilakukan oleh
semua anak menurut tingkat usia dan perkembangan kecerdasan anak. Sehingga
tidak menutup kemungkinan untuk anak berusia di bawah 13 tahun dapat terlibat
jika anak tersebut memang sudah dapat menyampaikan gagasannya kepada para
pemangku kepentingan. (Wawancara awal dengan Asisten Deputi Partisipasi
Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Rabu,
11 Maret 2015, Pukul 08.30 WIB).
Hak partisipasi anak ini sudah selayaknya terjadi di semua lingkungan dan
kegiatan yang berkaitan dengan anak – misalnya di lingkungan keluarga atau
tempat pengasuhan dalam menentukan sekolah, di sekolah tempat anak belajar
dalam mengatasi masalah pendidikan yang menimpa mereka, di lingkungan anak
tinggal dalam merencanakan pembangunan yang ramah anak, bahkan di
lingkungan pemerintah dalam menentukan kebijakan program dan anggaran di
bidang pembangunan maupun perlindungan bagi anak.
Salah satu contoh best practice keterlibatan anak dalam pengambilan
dalam mencari cara-cara penyelesaian masalah yang menimpa diri mereka sendiri.
Sekolah Highfield adalah sebuah sekolah dasar (7-11 tahun) di daerah miskin di
Inggris. Sekolah tersebut terkenal dengan kejadian kekerasan, perkelahian, dan
pelecehan paling tinggi serta kehadiran kelas yang rendah. Awal tahun 1990,
Kepala Sekolah yang baru memutuskan untuk melibatkan staf dan murid
mewujudkan sekolah dengan lingkungan aman dan pendidikan efektif. Untuk
mencapai tujuan tersebut, Kepala Sekolah melakukan konsultasi kepada semua
murid, guru dan pegawai lainnya tentang kebutuhan perubahan bagi perwujudan
tujuan tadi. Keputusan yang diambil yaitu: (1) Pembentukan dewan sekolah
dimana murid mempunyai kekuatan. Dewan Sekolah dilibatkan dalam hal
pengembangan kebijakan sekolah dan penerimaan pegawai, (2) Pembuatan kotak
saran yang memungkinkan murid melaporkan kejadian pelecehan terhadap
mereka, (3) Penunjukan “malaikat penjaga” – anak-anak relawan yang bersedia
menjadi teman bagi mereka yang tidak mempunyai teman, yang dilecehkan atau
mereka yang butuh dukungan, (4) Penunjukan mediator anak yang membantu
murid menyelesaikan perselisihan di tempat bermain. Hasilnya adalah sekolah
menjadi semakin popular, murid menjadi lebih berbahagia, mencapai hasil
pendidikan lebih baik, mempunyai keterampilan bernegosiasi, membuat
keputusan secara demokratis dan tanggung jawab sosial. (Sumber: Rahardjo,
2006: 11).
Contoh lainnya adalah praktik partisipasi anak di Kota Queensland,
Australia. Pemerintah Kota Queensland membentuk komisi anak dan remaja pada
fungsi utama yang sesuai dengan Undang-Undang Komisi Anak dan Remaja 2000
yang meliputi: advokasi untuk memberikan perlindungan hak, perhatian, dan
kesejahteraan anak dan remaja yang berusia di bawah 18 tahun; administrasi
negara bersedia mengadvokasi dan memberikan pelayanan untuk anak dan remaja
yang berada di pusat penahanan; menerima, melihat persoalan, dan menyelidiki
keluhan mengenai pembagian pelayanan yang disediakan untuk anak dan remaja;
mengawasi dan mereview hukum, kebijakan, dan praktik yang terkait dengan
pemberian pelayanan untuk anak dan remaja, atau yang berdampak kepada
mereka; dan memimpin dan mengkoordinir penelitian yang terkait dengan
masalah yang berdampak pada anak. Komisi ini secara khusus mengembangkan
sebuah kegiatan untuk anak dengan lembaga non pemerintah, yang bersedia
menjadi penasehat praktik-praktik dan kebijakan yang menjamin kesesuaian
kegiatan dengan anak, mengorganisasikan “Parlemen Remaja”, dan
mempublikasikan cetak biru dari sebuah Persemakmuran Ramah Anak dan
Remaja. (Sumber:http://www.indosiar.com, diakses pada 11 Januari 2015).
Praktik partisipasi anak di dua negara berbeda di atas cukup memberikan
gambaran bahwa pelibatan anak dalam pengambilan keputusan akan sangat
membantu berbagai pihak untuk mengatasi masalah atau kendala seputar isu
perlindungan anak menjadi lebih efektif dan efisien.
Di Indonesia, praktik partisipasi anak juga telah dilaksanakan, misalnya
melalui Kongres Anak Nasional yang diprakarsai oleh Komisi Nasional
Perlindungan Anak dan dimulai sejak tahun 2000, atau melalui pertemuan Forum
Perempuan dan Perlindungan Anak RI sejak tahun 2006 dalam rangka
memfasilitasi anak Indonesia dalam menyuarakan aspirasinya kepada Pemerintah
Indonesia. Semuanya dilaksanakan dengan tujuan agar anak Indonesia menjadi
warga negara yang proaktif terhadap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan
maupun pengendalian pemenuhan hak anak dan perlindungan anak. (Wawancara
awal dengan Staf Komisi Nasional Perlindungan Anak, 21 November 2014, Pukul
11.18 WIB di Kesekretariatan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia).
Pelaksanaan partisipasi anak pun sudah mulai dilakukan di daerah-daerah,
namun dengan hasil yang sangat beragam mengingat karakteristik bangsa
Indonesia yang sangat multi kultural. Salah satunya yaitu di Provinsi DKI Jakarta.
Provinsi DKI Jakarta merupakan lokus penelitian implementasi kebijakan
partisipasi anak yang peneliti anggap tepat mengingat kedudukan Provinsi DKI
Jakarta sebagai Ibukota Pemerintahan Daerah sekaligus sebagai Ibukota Negara
Indonesia berdasarkan penetapan Undang-undang Nomor 29 tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan status dan kedudukan DKI Jakarta yang istimewa tersebut
menghadapkan DKI Jakarta pada tuntutan bahwa DKI Jakarta harus mampu
memiliki posisi sejajar dengan kota-kota besar lainnya di dunia khususnya dalam
hal yang berkaitan dengan pengembangan partisipasi anak. Provinsi DKI Jakarta
juga harus mampu menjadi role model bagi pelaksanaan kebijakan partisipasi
anak di dalam negeri sendiri khususnya bagi daerah-daerah otonom lainnya.
Berdasarkan posisi Provinsi DKI Jakarta sebagai jantung negara Indonesia
kehidupan seperti perekonomian, politik dan pemerintahan, serta pengembangan
sosial dan kebudayaan negara Indonesia. Dengan kekhususan yang dimiliki oleh
Provinsi DKI Jakarta tersebut turut diiringi berbagai permasalahan yang
kompleks, seperti daya tampung dan daya dukung lingkungan yang semakin
terbatas terus berkembang seiring pertumbuhan dan perkembangan kota. Hal ini
diindikasikan dengan peningkatan jumlah penduduk, yang semakin bertambah
dengan segala dampak yang ditimbulkannya terhadap aspek-aspek pemukiman,
penataan wilayah, potensi bencana alam, transportasi, penyediaan fasilitas publik
dan faktor-faktor lainnya.
Perkembangan kependudukan sejak tahun 2010-2014 di DKI Jakarta dapat
dilihat pada gambar 1.1 berikut ini.
Gambar 1.1.
Dengan perkembangan kependudukan yang tinggi seperti pada gambar 1.1
di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat kerawanan sosial yang timbul pun
akan semakin tinggi. Hal ini tentu menyumbangkan dampak negatif bagi
anak-anak yang hidup, tumbuh dan berkembang di wilayah Ibu Kota Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta mencatat pada tahun 2013,
total jumlah penduduk DKI Jakarta berjumlah 9.969.948 jiwa, dengan penduduk
berusia dibawah 18 tahun berjumlah 3.191.018 jiwa (Jakarta dalam Angka Tahun
2014: 80 ). Jumlah anak tersebut dapat di lihat pada tabel 1.2 berikut ini:
Tabel 1.2
Penduduk menurut Kelompok Umur Anak dan Jenis Kelamin, 2013
Kelompok Umur Laki-Laki Jenis Kelamin Perempuan Jumlah
0-4 473.605 455.300 928.905
5-9 417.006 389.497 806.503
10-14 360.805 349.601 710.406
15-19 358.904 386.300 745.204
TOTAL 1.610.320 1.580.698 3.191.018
Sumber: Jakarta dalam Angka 2014.
Berdasarkan data pada tabel 1.2 di atas, dapat diketahui perbandingan
jumlah anak dengan total penduduk DKI Jakarta berkisar 33% atau kurang lebih
sepertiga dari jumlah seluruh penduduk yang tinggal di DKI Jakarta. Sebagai
Ibukota Negara Indonesia, Provinsi DKI Jakarta tergolong daerah yang
mempunyai permasalahan pelik terkait anak. Ketua Komisi Nasional
Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait sebagaimana dikutip dari sebuah kabar
harian menjelaskan bahwa tercatat hingga akhir tahun 2013, Provinsi DKI Jakarta
Indonesia, kemudian disusul oleh Kota Makassar pada posisi kedua, dan Kota Bandung di posisi ketiga, dimana kasus kekerasan terhadap anak di DKI Jakarta menempati posisi paling atas yaitu sebanyak 48% atau mencapai 21 juta dari total kasus pelanggaran hak anak terlapor yang terjadi di seluruh provinsi di Indonesia (Sumber: http://www.regional.kompas.com, diakses pada 11 Januari 2015).
Data dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta pun menunjukkan kasus kekerasan terhadap anak di Ibu Kota terjadi peningkatan selama 4 tahun terakhir sebagaimana yang digambarkan pada gambar 1.2 di bawah ini.
Gambar 1.2
Jumlah Klien Anak P2TP2A Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008-2014
Sumber: P2TP2A Provinsi DKI Jakarta
Tingginya kasus kekerasan anak di Ibu Kota Jakarta seperti pada gambar 1.2 di atas menggambarkan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum optimal melaksanakan amanah Undang-Undang Perlindungan Anak. Fenomena kasus kejahatan terhadap anak di Ibu Kota Jakarta yang kasusnya sempat terungkap ke media massa antara lain: kasus pelecehan seksual yang dialami oleh
342
198
155
251
325
468
553
beberapa murid Taman Kanak-Kanak Jakarta International School (JIS),
kemudian kasus pelecehan seksual yang dialami oleh seorang artis penyanyi cilik
yaitu Tegar Septian pada November 2014 hingga Januari 2015 (Sumber:
http://republika.co.id, diakses 11 Januari 2015). Selain itu, ada pula kasus bullying
yang marak terjadi di lingkungan sekolah seperti kasus bullying yang terjadi di
Sekolah Seruni Don Bosco, Jakarta pada 24 Juli 2012 (Sumber:
http://www.tempo.co, diakses 11 Januari 2015), lalu kasus tawuran pelajar seperti
kasus tawuran yang terjadi antara SMAN 70 Jakarta Selatan dengan SMAN 6
Jakarta yang mengakibatkan tewasnya seorang siswa kelas X dari SMAN 6 pada
24 September 2012 (Sumber: http://www.kpai.go.id, diakses 11 Januari 2015),
Belum lagi kasus anak-anak kecil yang dijadikan bahan eksploitasi ekonomi oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan cara disewakan kepada para
pengemis di lampu merah Ibu Kota Jakarta. Kebanyakan dari anak-anak tersebut
adalah anak berusia balita dan mereka diberikan obat tidur dengan dosis tinggi
setiap hari agar tenang pada saat pengemis tersebut menjalankan aksinya di
pinggiran jalan Ibu Kota Jakarta (Sumber: www.m.republika.co.id, di akses pada
11 Januari 2015).
Kasus-kasus di atas merupakan sebagian kecil kasus yang terekspos oleh
media massa dari sekian banyak kasus yang terjadi. Tentunya hal tersebut menjadi
potret buramnya tindak pencegahan kekerasan di lingkungan anak berada
khususnya di Ibukota Negara Indonesia ini. Upaya penanganan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta terhadap kasus-kasus kekerasan yang menimpa anak pun
jalanan, anak dengan disabilitas, anak berhadapan hukum serta lainnya karena
minimnya akses informasi terhadap terjadinya pelanggaran yang dialami anak
yang dilaporkan baik oleh masyarakat ataupun oleh orang tua anak. (Sumber:
Wawancara dengan Advokat P2TP2A Provinsi DKI Jakarta, 5 Maret 2014, Pukul
14.00 WIB di Kantor P2TP2A Provinsi DKI Jakarta).
Berdasarkan pada permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dipahami betapa pentingnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai melibatkan
anak secara langsung dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan
evaluasi kebijakan, program dan kegiatan pemenuhan hak anak dan perlindungan
anak dari berbagai perlakuan salah.
Di sisi lain, DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi yang ditetapkan
sebagai pilot project program pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak
berdasarkan Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak RI Nomor 56 Tahun 2010 tentang Penunjukan dan Penetapan Provinsi yang
Mengembangkan Kabupaten/Kota Layak Anak bersama dengan 9 Provinsi
lainnya seperti pada tabel 1.3 berikut.
Tabel 1.3
10 Provinsi Pilot Project Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA)
Nama Provinsi
1. DKI Jakarta 6. Sumatera Utara
2. Banten 7. Bali
3. Jawa Barat 8. Kepulauan Riau
4. Jawa Tengah 9. Kalimantan Timur
5. Jawa Timur 10. Daerah Istimewa Yogyakarta
Setelah ditetapkan sebagai provinsi yang mengembangkan
Kabupaten/Kota Layak Anak, maka wajib bagi Pemerintah Daerah DKI Jakarta
untuk menerapkan pemenuhan hak-hak anak ke dalam strategi dan intervensi
pembangunan kota/kabupaten yang menjadi wilayah administrasinya. Sebagai
tindak lanjut dari amanah Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Nomor 56 Tahun 2010 tersebut, Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta mengeluarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 394
Tahun 2011 tentang Penetapan Kota Administrasi Jakarta Selatan, Kota
Administrasi Jakarta Pusat, dan Kota Administrasi Jakarta Utara sebagai
Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak dan Keputusan Gubernur Nomor
1192 Tahun 2011 tentang Pembentukan Gugus Tugas Kabupaten/Kota Layak
Anak Tingkat Provinsi DKI Jakarta. Kemudian menyusul dikeluarkannya
Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 736 Tahun 2013 tentang
Penetapan Kota Administrasi Jakarta Timur, Kota Administrasi Jakarta Barat, dan
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sebagai Pengembangan
Kabupaten/Kota Layak Anak.
Dengan ditetapkannya seluruh wilayah kota/kabupaten administratif di
Provinsi DKI Jakarta sebagai pengembangan kota/kabupaten layak anak, maka
salah satu pemenuhan hak anak yang perlu diintergrasikan ke dalam intervensi
pembangunan kota/kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta yaitu hak
anak untuk berpartisipasi aktif secara langsung. Maksudnya adalah anak
merupakan subjek pembangunan yang sesungguhnya dalam upaya pembangunan
Adams dan Ingham dalam Patilima (2014: 6) bahwa untuk membangun kota yang
ramah terhadap anak haruslah menempatkan anak sebagai subjek pembangunan.
Para pemangku kepentingan harus bisa melihat bahwa anak, seperti halnya orang
dewasa, dapat diajak kerjasama dan mengatasi persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan lingkungan kota. Pemerintah dapat berkonsultasi dengan
anak, karena anak mempunyai persepsi, pandangan dan pengalaman mengenai
lingkungan kota tempat mereka tinggal. Dari mereka, pemerintah dan para
pemangku kepentingan di bidang anak dapat menemukan kebutuhan atau aspirasi
mereka untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak dan komitmen
negara lainnya di bidang anak.
Anak dapat membantu pemerintah dalam mendapatkan data mengenai
lingkungan tempat tinggal, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, tempat
bermain, pelayanan transportasi dan pelayanan kesehatan. Anak akan memperoleh
pengalaman yang tak ternilai dari pelibatan mereka. Melalui kegiatan pelibatan ini
anak menjadi berfikir mengenai persoalan yang ada untuk didiskusikan dan
dipecahkan bersama. Mereka juga dapat memberikan kontribusi dalam proses
perencanaan dan pengembangan kota yang mereka harapkan.
Namun meskipun arah kebijakan Gubernur Provinsi DKI Jakarta untuk
menciptakan Provinsi DKI Jakarta menuju Provinsi Layak Anak ada, nyatanya
dalam pelaksanaan pembangunan kota/kabupaten yang layak anak belum
dibarengi dengan kesadaran bahwa anak merupakan sentral dalam pengambilan
keputusan suatu kota layak atau tidak bagi dirinya. Seharusnya anak sebagai
seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam mewujudkan kota impiannya. Adapun
jika unsur keterlibatan anak itu benar terjadi, tetapi praktiknya masih dikendalikan
penuh oleh orang dewasa dan suara anak tetap tidak didengarkan. (Wawancara
dengan Staf Komisi Nasional Perlindungan Anak, 21 November 2014, Pukul
11.18 WIB di Kesekretariatan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia).
Untuk mengatasi hal tersebut, melalui pelaksanaan Program
Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik yang
terdapat dalam Kebijakan Partisipasi Anak dalam Pembangunan diharapkan dapat
memaksimalkan upaya pengembangan partisipasi anak dalam pengambilan
keputusan di bidang pembangunan yang berhubungan dengan atau mempunyai
dampak terhadap kebutuhan dan kepentingan anak. Beberapa upaya yang dapat
dilakukan oleh Pemerintah dalam memberikan bimbingan pelaksanaan partisipasi
anak dalam pembangunan yaitu melalui kegiatan sosialisasi, advokasi, fasilitasi
dan bimbingan (Sumber: Pasal 28 Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan
No. 3 Tahun 2011 tentang Kebijakan Partisipasi Anak dalam Pembangunan).
Advokasi dimaksudkan agar lembaga di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota mendapatkan informasi tentang kebijakan partisipasi anak dalam
pembangunan. Sosialisasi bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang
pentingnya partisipasi anak dalam pembangunan. Fasilitasi dimaksudkan untuk
melaksanakan kebijakan partisipasi anak dalam pembangunan, dan bimbingan
dimaksudkan untuk mengarahkan dan mempersiapkan lembaga provinsi dan
kabupaten/kota agar mempunyai kesiapan dalam melaksanakan kebijakan
Berdasarkan hasil observasi peneliti, pelaksanaan Program
Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik di
Provinsi DKI Jakarta masih belum berjalan optimal. Hal ini disebabkan oleh:
Pertama, meskipun advokasi dan sosialisasi Kebijakan Partisipasi Anak dalam
Pembangunan diakui telah dilakukan baik kepada kalangan pemerintah maupun
legislatif Provinsi DKI Jakarta, akan tetapi hasilnya masih belum menunjukan
pencapaian positif. Pelibatan anak dalam pengambilan keputusan belum menjadi
mainstream bagi para pemangku kepentingan di Provinsi DKI Jakarta untuk
mewujudkan Kota Layak Anak. Alasannya karena memang paradigma para
pemangku kepentingan terhadap anak masih memandang anak sebagai manusia
setengah dewasa sehingga belum mampu untuk terlibat dalam pengambilan
keputusan terutama di ranah pemerintahan (Wawancara dengan Kepala Asisten
Deputi Partisipasi Anak di Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI, 11 Maret 2015, Pukul 09.00 WIB). Disamping itu, budaya
lokal yang berkembang di Indonesia pada umumnya sangat berbeda dengan
budaya yang berkembang di negara-negara demokrasi lainnya yang lebih terbuka
dalam menerima dan memberikan pendapat (termasuk pada usia anak).
Sedangkan di Indonesia, budaya yang sudah tertanam sejak lama adalah budaya
patriarki yaitu sebuah budaya yang memandang seseorang dari segi usia dan jenis
kelamin artinya suara orang yang lebih tua usianya harus selalu didengarkan dan
peluang suara anak laki-laki untuk didengarkan lebih besar dibandingkan dengan
anak perempuan. Dengan demikian, untuk mendengar suara yang lebih termuda
Perlindungan Anakdi Kesekretariatan Komisi Nasional Perlindungan Anak
Indonesia, Jum’at, 21 November 2014, Pukul 11.00 WIB)
Kedua, tingginya ego sektoral dan kepentingan elit masih menjadi kendala
utama untuk bersama-sama menanggulangi masalah anak. Penyebabnya adalah
belum rampungnya penyusunan Rencana Aksi Daerah Percepatan Pencapaian
Kota/Kabupaten Layak Anak Provinsi DKI Jakarta sehingga pekerjaan di bidang
anak masih dilakukan oleh masing-masing sektor. Ini menjadi salah satu alasan
kurang terkoordinasinya lintas bidang dan lintas sektoral Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta beserta stakeholder lainnya dalam rangka mendorong terwujudnya
Kota Layak Anak termasuk dalam pemenuhan hak partisipasi anak (Wawancara
dengan Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
BPMPKB Provinsi DKI Jakarta, 4 November 2014, Pukul 09.15 WIB). Di
samping itu, hubungan antara elit eksekutif dan legislatif DKI Jakarta yang tidak
harmonis, apalagi setelah munculnya pemberitaan terkait kasus Dana Angaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2015 juga mempengaruhi kinerja
Pemerintah DKI Jakarta untuk fokus terhadap pembangunan di bidang anak
(Wawancara dengan Kepala Asisten Deputi Partisipasi Anak di Kantor
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 11 Maret
2015, Pukul 09.00 WIB).
Ketiga, para pengemban tugas yaitu dinas-dinas yang berhubungan dengan
pemenuhan hak partisipasi anak belum semuanya menyadari bahwa dinasnya ikut
terlibat dalam penganggaran dan perencanaan program yang mendukung
Dinas Informasi, Komunikasi dan Kehumasan Provinsi DKI Jakarta sebagai
bagian dari tim pelaksana Gugus Tugas Kota Layak Anak Provinsi DKI Jakarta
menyatakan bahwa dinasnya tidak memiliki program khusus untuk anak atau yang
berhubungan dengan pengembangan Kota Layak Anak baik tahun 2014 maupun
tahun 2015. Alasannya adalah bahwa pemenuhan hak anak menjadi tanggung
jawab Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana
(BPMPKB) Provinsi DKI Jakarta.
Selama ini yang terjadi memang urusan pemenuhan hak anak dan
perlindungan anak diserahkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Daerah. Padahal untuk urusan
tertentu yang berkaitan dengan anak juga melibatkan Perangkat Daerah lainnya,
misalkan urusan penyediaan fasilitas taman dengan ruang terbuka diskusi untuk
anak butuh kerja sama dengan Dinas Pertamananan atau penyediaan sarana
informasi dan komunikasi layak anak menjadi wewenang dari Dinas Informasi,
Komunikasi dan Kehumasan. Penyebab hal tersebut dapat terjadi karena
kurangnya pemahaman sektor terkait tentang kebijakan partisipasi anak serta
masih terbatasnya jumlah sumber daya manusia terlatih konvensi hak anak yang
dimiliki oleh dinas terkait. Kegiatan-kegiatan partisipasi anak dalam pengambilan
keputusan juga belum menjadi prioritas dalam program Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) dan Lembaga di Provinsi DKI Jakarta (Wawancara dengan
Kepala Asisten Deputi Partisipasi Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan
Keempat, fasilitasi pembentukan Forum Anak di DKI Jakarta juga sudah
dilakukan dengan membentuk Forum Anak baik di tingkat Provinsi dan
Kota/Kabupaten Administrasi. Namun, sifat Forum Anak sebagai sebuah wadah
partisipasi anak masih lemah sehingga butuh penguatan kapasitas forum anak.
Berdasarkan hasil observasi peneliti ketika mengikuti Rapat Koordinasi
Pendamping Forum Anak dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan,
dan Keluarga Berencana (BPMPKB) Provinsi DKI Jakarta pada 12 November
2014 diketahui bahwa masalah internal dalam kepengurusan Forum Anak sendiri
belum terselesaikan. Penyebabnya adalah Forum Anak DKI Jakarta belum
memiliki aturan atau tata tertib kepengurusan yang jelas serta belum memiliki
program kerja yang pasti sehingga sifatnya sendiri masih bergantung pada
kegiatan yang diadakan oleh BPMPKB Provinsi DKI Jakarta, jika tidak ada
kegiatan, maka Forum Anak akan vakum. Pada akhirnya hal ini menyebabkan
kurangnya daya tarik bagi anak-anak di tingkat wilayah untuk ikut terlibat dalam
kegiatan yang diadakan oleh Forum Anak DKI Jakarta.
Di samping itu, meskipun kepengurusan Forum Anak telah dibentuk di
tingkat provinsi atau kota/kabupaten, masih banyak juga anak-anak dan
masyarakat yang belum tahu tentang Forum Anak sehingga dukungan dari
masyarakat untuk pelaksanaan partisipasi anak juga dirasakan masih kurang.
(Wawancara awal dengan Kepala Asisten Deputi Partisipasi Anak Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Rabu, 11 Maret 2015,
Kelima, bimbingan yaitu pengarahan bagi Lembaga/Badan/Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) maupun bagi Forum Anak untuk siap melaksanakan
pelibatan anak dalam proses perencanaan pembangunan. Meskipun Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta sudah mulai melibatkan Forum Anak dalam forum
perencanaan pembangunan atau musrenbang di tingkat Provinsi dan di tingkat
Kota/Kabupaten, akan tetapi pelaksanaan musrenbang yang melibatkan anak
belum dilakukan sesuai dengan arah pelaksanaan musrenbang secara bottom up.
Kendalanya adalah bahwa prosedur operasi baku untuk melibatkan Forum Anak
dalam Musrenbang secara berjenjang mulai dari tingkat RW, Kelurahan,
Kecamatan, Kota/Kabupaten, dan Provinsi belum ada (Wawancara dengan Staf
Bidang Kesejahteraan Rakyat di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Provinsi DKI Jakarta, 13 Februari 2015, Pukul 09.35 WIB) sehingga
dalam melaksanakan perencanaan pembangunan yang berspektif anak belum
melibatkan penuh unsur pemerintah lokal (Wawancara dengan Kepala Bidang
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Kantor Badan
Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi DKI
Jakarta, 4 November 2014, Pukul 09.15 WIB).
Berdasarkan pada penjelasan di atas dapat dianalisis bahwa masih terdapat
sejumlah kendala dalam pelaksanaan Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak
dalam Perumusan Kebijakan Publik di Provinsi DKI Jakarta. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang Implementasi
Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah yang telah peneliti tulis di
atas, maka peneliti mengidentifikasi bahwa tujuan penerapan Program
Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik di
Provinsi DKI Jakarta belum tercapai. Hal ini disebabkan:
1. Partisipasi Anak dalam pengambilan keputusan belum menjadi
mainstream bagi para pemangku kepentingan terutama stakeholder yang
terlibat dalam pemenuhan hak partisipasi anak.
2. Ego sektoral yang tinggi menyebabkan lemahnya sinergitas antar
stakeholder untuk mulai melibatkan anak dalam pengambilan keputusan
terkait perlindungan anak dan pembangunan Kota Layak Anak di Provinsi
DKI Jakarta.
3. Kesadaran SKPD tentang keterlibatannya dalam pemenuhan hak
partisipasi anak masih rendah.
4. Sosialisasi tentang Forum Anak masih minim serta kapasitas Forum Anak
DKI Jakarta masih lemah,
5. Belum adanya prosedur standar baku pelibatan Forum Anak dalam
Musrenbang
1.3 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi masalah penelitian yang berfokus
pada Implementasi Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan
1.4 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dijabarkan oleh peneliti di atas
maka rumusan permasalahan yang hendak diteliti adalah bagaimana Implementasi
Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik
di Provinsi DKI Jakarta?
1.5 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang Implementasi Program
Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik di
Provinsi DKI Jakarta.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Akademis
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah peneliti
tentang implementasi kebijakan publik khususnya tentang Implementasi Program
Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam Perumusan Kebijakan Publik di
Provinsi DKI Jakarta.
1.6.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan:
1. Sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu administrasi negara,
khususnya konsentrasi kebijakan publik;
2. Kontribusi pengetahuan untuk penelitian serupa di masa yang akan datang;
3. Bahan masukan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan, terutama bagi
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta stakeholders lainnya terkait
Implementasi Program Pengarusutamaan Partisipasi Anak dalam