• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. POKOK-POKOK EKARISTI DAN PERKEMBANGAN IMAN

B. Perkembangan Pribadi dan Iman Kaum Remaja

5. Tahap-tahap Perkembangan Iman

Cremers (1995: 95), mengungkapkan kembali pandangan Fowler mengenai tahap-tahap perkembangan iman. Penandaan batas umur yang diungkapkan oleh Fowler tidak dapat ditafsirkan secara ketat, sebab penandaan umur ini hanya dimaksudkan sebagai tanda umum yang menandakan umur minimal rata-rata. Menurut Cremers (1995: 96), setiap tahap perkembangan iman mencerminkan suatu kesadaran diri yang semakin intens. Berikut adalah tahap-tahap perkembangan iman menurut Fowler yang dikemukakan oleh Cremers: a. Tahap Intuitif-Proyektif (Usia 2-6 tahun)

Pada tahap ini, anak memiliki dorongan atau keinginan diri untuk mengekspresikan dirinya dan ketakutannya akan suatu hukuman. Dalam tahap ini, cara berpikir sangat dipenuhi dengan imajinasi, mereka akan cenderung mengikuti atau meniru semua yang dilakukan oleh orang dewasa baik itu melalui gerak, suara, perkataan, dan juga tindakan. Anak akan lebih mudah untuk meniru orang dewasa yang dijumpainya secara langsung, dan menerapkannya dalam diri mereka karena anak sangat mudah untuk merangsang dan menerima dan mengikutinya (Cremers, 1995: 104-112).

Pada tahap ini, anak memiliki sifat yang egois. Mereka belum ammpu untuk membedakan dan memahami orang lain. Mereka meyakini bahwa diri mereka baik adanya, dan pusat yang utama. Artinya, segala hal yang ada itu diperuntukkan bagi dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan oranglain yang ada disekitarnya (Cremers, 1995:113-117).

b. Tahap Kepercayaan Mistis Harfiah (Usia 6-11 tahun)

Dalam tahap ini anak mulai berpikir secara logis dan mencoba mengatur dunia mereka dengan hal-hal yang baru. Anak mulai mampu berpikir lebih baik serta berusaha untuk belajar mengetahui segala hal yang dilakukannya dalam hidup sehari-hari. Anak juga makin mampu untuk dapat mempertimbangkan perasaan orang lain, serta mampu untuk menilai kepercayaannya sudah sesuai dengan nilai dan norma dalam hidup orang dewasa yang mereka temui. Dalam usia ini anak akan berusaha untuk menyampaikan dunia mereka melalui cerita-cerita pengalaman mereka (Cremers, 1995: 118).

Pada tahap ini anak memandang Tuhan sebagai seorang pribadi, sama seperti orangtua mereka yang memiliki kekuasaan. Akhirnya mereka menggambarkan Tuhan sebagai seorang raja yang berkuasa untuk dapat melakukan banyak hal sesuai dengan keinginan Tuhan sendiri (Cremers, 1995: 130).

c. Tahap Sintesis-Konvensional (Usia 12-21 tahun)

Pada tahap inilah anak mulai memasuki tahap sebagai anak remaja. Anak mulai mampu berpikir dan berusaha menemukan jati diri mereka yang baru. Pada usia ini, remaja ingin menemukan identitas diri mereka yang sesungguhnya. Identitas diri itu dapat dibangun dan ditemukan melalui kesetiakawanan pada teman-teman sebayanya dan juga terhadap oranglain yang memiliki relasi lebih dekat dengan dirinya atau orang istimewa. Pada tahap ini, anak memiliki harapan untuk dapat memiliki hubungan yang lebih dekat lagi dengan Tuhan (Cremers, 1995: 135).

Dalam masa remaja ini anak memiliki hubungan dan relasi yang akrab dengan masyarakat, teman sebaya, dan keluarganya. Relasi ini menunjukkan keinginan untuk saling menerima, mengerti, menilai, dan menghormati masing-masing pribadi itu sebagai bentuk komunikasi yang bersifat mencerminkan diri sehingga relasi yang dekat itu memiliki fungsi untuk menentukan proses pembentukan identitas diri remaja. Namun, anak remaja akan merasa insecure ketika orang lain tidak mampu menerima dirinya, atau mengasingkan dirinya (Cremers, 1995: 138).

d. Tahap Individuatif-Reflektif (Usia 21-35 tahun)

Pada tahap ini seseorang mengalami suatu perubahan yang mendalam dan menyeluruh dalam hidupnya. Orang dewasa sudah mampu memiliki kesadaran yang jelas akan identitas diri yang khas dan otonomi tersendiri, diperjuangkannya kemandirian yang baru, artinya kesadaran diri dan refleksi pribadi semakin

mendalam. Orang dewasa muda semakin mampu melihat perbedaan antara sekian banyak diri yang dipersepsikan oleh orang lain dari luar jati diri asli yang hanya dapat dirasakan oleh dirinya sendiri. Dengan demikian, refleksi diri tidak seluruhnya bergantung pada pandangan orang lain.

Ketika seluruh sistem keyakinan religius yang tidak diucapkan itu diungkapkan secara eksplisit dan dikaji, ia menemukan banyak unsur dari keyakinan, nilai, ajaran, dan mitos dari agamanya yang tidak dapat diterima sesuai dengan akal budinya. Maka orang dewasa muda akan menjauhkan diri, baik sebagian maupun seluruhnya dari aturan tersebut (Cremers, 1995: 165-170).

e. Tahap Konjungtif (35-40 tahun)

Kepercayaan tahap konjungtif muncul setelah usia setengah baya yakni usia 35 tahun sampai selanjutnya. Pada tahap ini, gambaran diri yang disusun oleh orang dewasa biasanya ditinjau kembali secara lebih kritis. Batas-batas diri, kepribadian, dan pandangan hidup yang sebelumnya telah ditetapkan dengan jelas, kini menjadi kabur dan seakan-akan kosong. Hal ini menyebabkan timbulnya kesadaran baru dan pengakuan kritis terhadap berbagai macam ketegangan yang dirasakan oleh pribadi dalam diri dan hidupnnya. Dalam tahap ini, pribadi mencapai suatu tingkat kepolosan kedua yang meresapi rasa tanggap baru terhadap segala arti simbol yang mengandung banyak dimensi (Cremers, 1995: 185-201).

Seorang pribadi yang ada dalam tahap ini mulai menyadari bahwa dialog merupakan jalan untuk mengenal, menghormati pihak lain dan sekaligus

memperkaya imannya sendiri. Ini menunjukkan bahwa seseorang yang ada dalam tahap ini mampu melihat bahwa kenyataan sekitar memiliki keterkaitan satu dengan yang lain sehingga mampu meyakini bahwa Allah sebagai penopang hidup dan sebagai terang dari dalam (Heryatno, 2008: 79).

f. Tahap Yang Mengacu Pada Universalitas (30 tahun ke atas)

Pada tahap ini pribadi melepaskan diri sebagai pusat istimewa. Mereka mengosongkan diri tetapi sekaligus mengalami diri sebagai makhluk yang berakar dalam Tuhan dan daya kesatuan adanya. Dengan demikian, Tuhan dan daya kesatuan inilah yang menjadi inspirasi utama bagi dirinya. Artinya, dalam tahap ini orang tidak lagi hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi semakin menghayati dirinya untuk ikut hadir menjaga dan membawa perubahan di dalam dunia dan mampu mewujudkan Kerajaan Allah (Cremers, 1995:218-219).

Seseorang yang ada dalam tahap ini mampu mewujudkan cintakasih sejati tanpa pamrih dengan mampu mengatasi batas ego dan dapat berfokus pada yang transenden. Oleh karena itu, seseorang dengan rela mengabdikan seluruh hidupnya untuk membantu sesama, terutama mereka yang miskin, menderita, lemah, dan tertindas (Heryatno, 2008:79).

Dokumen terkait