• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya

3.3 Tahapan Studi 3.2.1 Persiapan

Tahapan persiapan meliputi penyusunan proposal penelitian, pelaksanaan kolokium yaitu mempresentasikan proposal penelitian dan mendapatkan masukan. Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan mengurus perizinan di lokasi penelitian dan dilakukan pencarian informasi umum mengenai lokasi penelitian, serta mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan.

3.2.2 Pengumpulan data

Data yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah data lanskap Keraton Surakarta dan data lanskap Kota Surakarta. Data Keraton Surakarta mencakup data primer dan sekunder yaitu data mengenai aspek kesejarahan, konsep ruang, desain/ragam hias dan ornamen pada elemen lanskap. Data yang diperlukan pada Kota Surakarta terdiri dari aspek kesejarahan, penggunaan lahan, struktur kota, elemen-elemen pembentuk kota, aspek legal dan juga pendapat/pandangan masyarakat Kota Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta. Data yang dibutuhkan pada penelitian akan dijabarkan pada Tabel 1. Pengumpulan data dilakukan dengan cara berikut :

a. Observasi : observasi merupakan pengamatan pada tapak guna mengetahui kondisi eksisting pada tapak. Observasi dilakukan dengan mengamati lanskap Keraton Surakarta dan lanskap Kota Surakarta yang meliputi lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas umum dan lanskap jalan.

b. Wawancara : wawancara dengan narasumber guna mengetahui informasi mengenai hal terkait. Tahapan wawancara juga diperlukan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kondisi sosial budaya yang ada pada masyarakat sekitar yang tidak dapat dilihat secara langsung melalui tahapan observasi.

Wawancara dilakukan dengan berbagai narasumber, yaitu : 1. GPH Puger, Kepala Sasana Pustaka Keraton Surakarta

2. Mufti Raharjo, Kepala Bidang Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya (BCB) Dinas Tata Ruang Kota Surakarta

3. Endah Sita Resmi, Kepala Bidang Perencanaan Tata Ruang Dinas Tata Ruang Kota Surakarta

4. Keksi Sundari, kepala Bidang Sarana Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta

c. Kuisioner : Kuisioner digunakan sebagai media wawancara kepada masyarakat kota Surakarta. Kuisioner disebar kepada masyarakat kota guna mengetahui pandangan maupun pendapat masyarakat Kota Surakarta terhadap Keraton Surakarta dan keinginan masyarakat dalam penataan kota. Kuisioner disebar pada masyarakat yang bermukim di sekitar keraton dan masyarakat yang bermukim di berbagai kecamatan di Kota Surakarta, sehingga diharapkan dapat mewakili pendapat dari masyarakat Kota Surakarta.

d. Studi pustaka : Studi pustaka dilakukan guna mengetahui kondisi sosial budaya, maupun kesejarahan yang sudah tidak dapat dilihat karena bentukan fisik sudah hilang tergerus oleh perkembangan zaman. Studi pustaka juga dilakukan terhadap konsep dan sejarah perkembangan kota, dokumen-dokumen maupun peta dan juga kebijakan-kebijakan pemerintah.

Tabel 1. Data yang dibutuhkan pada penelitian

Jenis Data Bentuk Data Sumber Data

1 Lanskap

Keraton Surakarta

Sejarah Keraton Surakarta Arsip keraton,

observasi, studi pustaka dan wawancara Konsep dan filosofi Tata Ruang dan Lanskap

Keraton

Jenis, tata letak dan makna elemen-elemen keraton (hardscape dan softscape )

2 Lanskap

Kota Surakarta

Kondisi Umum BMG, observasi

lapang , kuisioner dan studi pustaka

Sejarah dan perkembangan kota Penggunaan lahan (landuse)

Struktur kota ( pusat kota hingga pinggir kota) Kondisi Biofisik ( iklim, topografi, hidrologi, vegetasi, satwa, tanah dan sirkulasi)

Elemen fisik : kantor-kantor pemerintahan, kantor swasta, bangunan dan fasilitas umum (pasar, taman, tempat peribadatan, sarana pendidikan) dan bangunan serta fasilitas komersil

Permukiman : Bangunan (arsitektur dan orientasi) dan halaman rumah (elemen hardscape dan softscape)

Tabel 1. Data yang dibutuhkan pada penelitian (Lanjutan)

Jenis Data Bentuk Data Sumber Data

2 Lanskap

Kota Surakarta

Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) BAPPEDA, Dinas Tata

Ruang Kota Surakarta, wawancara dan kuisioner Kebijakan pengembangan dan pembangunan

kota

Kebijakan mengenai pelestarian kota dan kawasan bersejarah

Persepsi masyarakat mengenai Keraton Surakarta

3.2.3 Analisis

Tahapan analisis meliputi tahap identifikasi dan analisis konsep lanskap Keraton Surakarta dan lanskap Kota Surakarta. Tahapan analisis dilakukan dengan metode analisis deskriptif kuantitatif, deskriptif kualitatif dan secara spasial. Analisis dilakukan melalui empat tahap, yaitu analisis konsep lanskap Keraton Surakarta, analisis perkembangan lanskap Kota Surakarta, analisis sebaran elemen lanskap dan analisis pola sebaran lanskap.

1. Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta

Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta dilakukan secara deskriptif kualitatif. Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta dilakukan guna mengetahui tatanan dan karakter lanskap dari Keraton Surakarta. Konsep lanskap pada Keraton Surakarta yang dikemukakan oleh Setiawan (2000) dalam tesis yang berjudul Konsep Simbolisme dalam Tata Ruang Luar Keraton Surakarta merupakan dasar dalam melakukan identifikasi dan analisis konsep lanskap keraton. Setiawan (2000) menyatakan bahwa ruang luar/lanskap pada Keraton Surakarta terdiri dari sejarah keraton, bangunan keraton, pandangan hidup dan adat istiadat, serta konsep tata ruang keraton. Identifikasi pada lanskap keraton juga dilakukan dengan cara observasi langsung dan juga wawancara dnegan pihak-pihak terkait. Hasil deskripsi lanskap Keraton Surakarta digunakan untuk mengidentifikasi pengaruh/kesamaan pada lanskap Kota Surakarta.

2. Analisis Perkembangan Kota Surakarta

Analisis perkembangan lanskap kota Surakarta dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif dan spasial. Analisis dilakukan dengan menelusuri sejarah Kota Surakarta melalui periode pemerintahan sejak Keraton Surakarta hingga saat

ini. Analisis juga dilakukan dengan mengacu pada peta maupun sketsa denah lanskap kota dari berbagai periode pemerintahan. Analisis dilakukan guna mengetahui arah perkembangan kota serta karakteristik lanskap yang terbentuk pada Kota Surakarta.

3. Analisis pengaruh konsep lanskap Keraton Surakarta

Analisis pengaruh konsep lanskap keraton pada lanskap Kota Surakarta dilakukan dengan cara deskriptif kuantitatif, yaitu pemberian skor nilai pada lanskap kota. Menurut Lynch (1960) elemen penting dari suatu kota terdiri dari paths, nodes, district, landmarks dan edges. Sedangkan menurut Freeman (1974) suatu kota harus menyediakan berbagai fasilitas untuk seluruh warga. Sehingga penilaian jenis pengaruh konsep lanskap keraton terhadap lanskap kota dilakukan dengan penilaian pada empat elemen penting pada kota, yaitu:

a. lanskap permukiman

b. lanskap perkantoran dan perdagangan c. lanskap fasilitas umum

d. lanskap jalan.

Analisis skoring pada masing-masing elemen lanskap dilakukan dengan observasi/pengamatan langsung dan juga melalui penelusuran cagar budaya yang telah ditetapkan pada Surat Keputusan Walikota pada Tahun 1997 serta dengan melakukan identifikasi melalui bantuan dari google maps.

Metode ini dilakukan guna memetakan lanskap Kota Surakarta. Analisis skoring pada elemen-elemen lanskap kota akan dinilai berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang diungkapkan oleh Haris dan Dines (1988) mengenai asosiasi kesejarahan serta kriteria elemen bersejarah seperti pada Undang-Undang No.11 Tahun 2010 dan juga dengan menggunakan karakter lanskap keraton seperti yang diungkapkan oleh Setiawan (2000) seperti konsep tata ruang, arsitektur bangunan keraton, ragam hias dan elemen pendukung lanskap keraton lainnya. Kemudian skor penilaian akan dijumlahkan guna mengetahui apakah elemen-elemen lanskap pada Kota Surakarta masih mengikuti konsep lanskap yang digunakan pada keraton Surakarta. Selanjutnya setelah dihasilkan analisis skoring secara spasial, maka akan dihitung luasan setiap zona guna mengetahui besaran area pada masing-masing zona pengaruh.

Kriteria dalam penilaian terhadap masing-masing elemen disajikan pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4. Kriteria penilaian pada lanskap meliputi :

a. asosiasi kesejarahan b. konsep tata ruang c. jenis elemen

d. posisi/tata letak elemen e. desain elemen

f. ornamen atau ragam hias Keraton Surakarta.

Kriteria penilaian memiliki bobot penilaian yang berbeda-beda. Asosiasi kesejarahan memiliki bobot nilai terbesar, hal ini dikarenakan nilai sejarah merupakan elemen penting yang dapat menunjukan pengaruh dari Keraton Surakarta. Sedangkan kriteria lain memiliki bobot yang lebih rendah, karena pada kriteria-kriteria tersebut dianggap memiliki kepentingan yang sama.

Penilaian terhadap lanskap dihitung berdasarkan metode skoring yang digunakan oleh Slamet (Slamet, 1983 dalam Anggraeni, 2011) yaitu dengan rumus interval sebagai berikut :

g.

Tinggi = SMi + 2IK +1 sampai SMa

Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK) Rendah = SMi sampai SMi +IK

Tabel 2. Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman

Kriteria

Skor

Kuat (3) Sedang (2) Rendah (1) Asosiasi Kesejarahan (40%) Hubungan kesejarahan yang kuat dengan Keraton Surakarta Hubungan kesejarahan yang lemah dengan Keraton Surakarta Tidak memiliki hubungan kesejarahan dengan Keraton Surakarta Tata Ruang (10%) Tata ruang kawasan menyerupai tata ruang di Keraton Surakarta

Tata ruangkawasan sedikit menyerupai tata ruang di Keraton Surakarta

Tata ruangkawasan tidak menyerupai tata ruang di Keraton Surakarta Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) – Skor minimum (SMi)

Tabel 2. Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman (Lanjutan) Kriteria

Skor

Kuat (3) Sedang (2) Rendah (1) Arsitektur Bangunan (20%) Permukiman mengadopsi gaya arsitektur seperti pada Keraton Surakarta Permukiman mengadopsi beberapa gaya arsitektur, namun masih

mencerminkan gaya arsitektur masa lalu

Permukiman tidak dapat menunjukkan gaya arsitektur masa lalu Ornamen Bangunan (15%) Ornamen bangunan memiliki maupun menyerupai detail yang menunjukan ciri khas Keraton

Ornamen bangunan memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas masa lalu

Ornamen bangunan tidak memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas di masa lalu Kesamaan elemen hardscape dan softscape (15%) Elemen lanskap memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas Keraton Surakarta

Elemen lanskap masih memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas masa lalu

Elemen lanskap tidak memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas di masa lalu

Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi Tabel 3. Kriteria Penilaian Lanskap Perkantoran dan Perdagangan dan Lanskap

Fasilitas Umum Kriteria

Skor

Kuat (3) Sedang (2) Rendah (1) Asosiasi

Kesejarahan (40%)

Hubungan kesejarahan yang kuat dengan Keraton Surakarta

Hubungan kesejarahan yang lemah dengan Keraton Surakarta Tidak memiliki hubungan kesejarahan dengan Keraton Surakarta Posisi terhadap Keraton Surakarta (20%)

Terletak pada konsep tata ruang Keraton Surakarta

Terletak pada konsep tata ruang lain

Tidak terletak pada konsep tata ruang Keraton Surakarta Arsitektur Bangunan (20%) Lanskap bangunan mengadopsi gaya arsitektur seperti pada Keraton Surakarta

Lanskap bangunan mengadopsi beberapa gaya arsitektur, namun masih mencerminkan gaya arsitektur tradisional Jawa Lanskap bangunan tidak mengadopsi gaya arsitektur tradisional Jawa Kesamaan jenis elemen lanskap (20%) Elemen lanskap memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas Keraton Surakarta dan banyak tersebar

Elemen lanskap masih memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas masa lalu dan tersebar cukup banyak

Elemen lanskap tidak memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas di masa lalu

Tabel 4. Kriteria Penilaian Lanskap Jalan Kriteria

Skor

Kuat (3) Sedang (2) Rendah (1) Asosiasi

Kesejarahan (40%)

Hubungan kesejarahan yang kuat dengan Keraton Surakarta

Hubungan kesejarahan yang lemah dengan Keraton Surakarta Tidak memiliki hubungan kesejarahan dengan Keraton Surakarta Kesamaan elemen hardscape (30%) Elemen lanskap memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas Keraton Surakarta

Elemen lanskap masih memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas masa lalu

Elemen lanskap tidak memiliki detail yang dapat

menunjukan ciri khas di masa lalu Kesamaan

elemen softscape (30%)

Elemen lanskap memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas Keraton Surakarta

Elemen lanskap masih memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas masa lalu

Elemen lanskap tidak memiliki detail yang dapat

menunjukan ciri khas di masa lalu Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi

4. Analisis pola sebaran lanskap

Analisis spasial dilakukan guna mengetahui pola sebaran lanskap. Analisis dilakukan dengan menggunakan peta hasil analisis jenis pengaruh konsep lanskap keraton terhadap Kota Surakarta. Analisis pola sebaran lanskap dilakukan guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sebaran lanskap tersebut.

3.2.4. Konsep dan Arahan Pengembangan Lanskap

Setelah dilakukan analisis data didapatkan suatu hasil menyeluruh yang merupakan hasil analisis data baik analisis konsep lanskap keraton, analisis perkembangan Kota Surakarta, analisis sebaran jenis pengaruh lanskap maupun analisis pola sebaran lanskap. Pada tahap sintesis didapatkan formulasi mengenai pengaruh konsep lanskap keraton terhadap lanskap Kota Surakarta dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga didapatkan kebutuhan pengembangan yang dapat digunakan untuk pengembangan Kota Surakarta.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keraton Surakarta Hadiningrat

4.1.1 Lokasi Keraton Surakarta Hadiningrat

Keraton Surakarta terletak pada Kelurahan Baluwerti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Keraton Surakarta terletak pada pusat kota Surakarta dengan batas utara adalah Jalan Slamet Riyadi yang merupakan jalan utama Kota Surakarta, sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Veteran, sebelah timur dan barat berbatasan dengan Jalan Supit Urang. Keraton Surakarta memiliki aksesibilitas yang baik karena letaknya berada pada pusat kota dan juga berdekatan dengan kawasan perekonomian kota. Kawasan Keraton Surakarta memiliki luas wilayah ±55 ha yang meliputi Alun-alun Utara, lingkungan dalam tembok Baluwarti (keraton dan perumahan Baluwarti) sampai dengan Alun-alun Selatan.

4.1.2 Sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat

Keraton Surakarta merupakan bangunan bersejarah yang merupakan rintisan Kerajaan Mataram. Keraton Surakarta sering juga disebut dengan Keraton Mataram Surakarta (Nitinagoro, 2011). Keraton Mataram mengalami perpindahan ibukota kerajaan sebanyak lima perpindahan sebelum akhirnya berdiri Keraton Mataram Surakarta. Pada tahun 1742 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Cina di Kartasura dan berhasil menduduki Keraton Kartasura yang pada saat itu dipimpin oleh Ingkang Sinuhun Susuhanan Paku Buwono II. Pemberontakaan ini dinamai dengan Geger Pecinan. Peristiwa Geger Pecinan merupakan awal mula hancurnya Keraton Mataram Kartasura. Dengan melihat kondisi Keraton Mataram Kartasura yang telah hancur maka Susuhan Paku Buwono II memberi perintah untuk dilakukan pemindahan keraton. Terdapat tiga tempat untuk dijadikan keraton baru sebagai ganti Keraton Mataram Kartasura, yaitu Kadipolo, Sonosewu dan Desa/Dusun Sala. Desa Sala terpilih menjadi tempat untuk dibangun keraton baru.

Desa Sala merupakan sebuah desa yang dikuasai oleh Ki Gede (Ageng) Sala. Dari Ki Gede Sala ini akan diketahui asal usul dari keberadaan Desa Sala. Nama Sala diambil dari nama pemimpin desa pada masa itu, yaitu seorang abdi dalem Kerajaan Pajang yang bernama Kiai Sala Sepuh. Pembangunan keraton baru dimulai dengan desain bangunan tidak berbeda jauh dengan Keraton Kartasura. Keraton baru ini dikenal dengan nama Keraton Nagari Surakarta dan selesai dibangun pada tahun 1667 Jawa atau 1745 Masehi, walaupun keraton masih berpagar bambu belum memiliki pagar dengan tembok seperti saat ini. Perpindahan keraton dari Keraton Kartasura menuju Keraton Surakarta tercatat dilakukan pada Rabu Pahing bulan Muharram (Sura) tahun Eje 1667 Jawa tahun 1745 Masehi atau 17 Februari 1745 Masehi.

Pada masa pemerintahan Paku Buwono III, Surakarta terbagi menjadi dua bagian. Hal ini disebabkan karena ketidakpuasan kaum bangsawan terhadap campur tangan kompeni, pemberontakan ini diprakarsai oleh Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Pada 13 Pebruari 1755 terjadi Perjanjian Giyanti yang berisi bahwa Pangeran Mangkubumi berkedudukan di Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwana, dengan nama keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah dilakukan Perjanjian Giyanti, masalah semakin rumit sehingga dilakukan Perjanjian Salatiga 17 Maret 1755. Perjanjian ini menghasilkan kesepakatan yaitu Raden Mas Said mendapatkan daerah kekuasaan Keraton Surakarta dan mendapatkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegaran dengan wilayah kekuasaan bernama Mangkunegaran dan ditambah dengan tanah lungguh atau tanah yang dijadikan tempat didirikan Pura Mangkunegaran. Dengan kedua perjanjian itu maka wilayah Keraton Surakarta menjadi berkurang.

Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono XII, Negara Indonesia dinyatakan merdeka sehingga seluruh pemerintahan di wilayah Indonesia dipimpin oleh seorang presiden. Raja dan Keraton Surakarta sekarang tidak memiliki kekuasaan secara de facto tertanggal sejak 15 Juli 1946 dikeluarkan PP Nomor 16/SD 1946 yang berisi penetapan pemerintah yang mengatur mengenai pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta (Maruti, 2003).

4.1.3 Lanskap Keraton Surakarta Hadiningrat

Keraton Surakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa atau kebudayaan Jawi (Nitinagoro, 2011). Keraton Surakarta memiliki konsep lanskap yang khas dari bangunan lainya. Keraton yang merupakan tempat tinggal raja dan keluarganya memiliki konsep dan filosofi dari setiap elemen pembentuknya. Konsep lanskap dari Keraton Surakarta merupakan hasil pemikiran yang matang dari para pendahulu yang terus terbawa sampai saat ini sehingga menjadi suatu budaya bagi masyarakat Kota Surakarta.

4.1.3.1 Konsep Tata Ruang Keraton Surakarta

Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan bagian dari suatu pewarisan budaya dari Keraton Pajang ke Mataram/Kota Gede kemudian ke Kartasura hingga di Surakarta. Nilai budaya yang diwariskan secara turun menurun dalam kehidupan masyarakat menjadi sumber pandangan, orientasi kehidupan masyarakat Surakarta pada khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya (Setiawan, 2000). Konsep tata ruang pada Keraton Surakarta memiliki konsep simbolisme yang kuat. Konsep ini melekat dari bangunan Gapura Gladag di utara hingga ke Gapura Gading di selatan. Konsep tata ruang di Keraton Surakarta terdiri dari Konsep kosmologi dan filosofi, Konsep Dualisme, Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer dan Konsep Supit Urang.

a. Konsep Kosmologi dan Konsep Filosofi

Penataan lanskap Keraton Surakarta menerapkan konsep kosmologi yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha. Dumadi (2011) menyatakan bahwa masyarakat Jawa merumuskan kehidupan manusia berada pada dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos memiliki pemahaman bahwa alam semesta merupakan sebuah wadah yang tetap besarannya dan memiliki kekuatan besar. Sedangkan konsep mikrokosmos memiliki pemahaman bahwa raja merupakan perwujudan Tuhan di dunia sehingga dalam diri raja terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Dalam konsep mikrokosmos, raja merupakan pusat kehidupan di dunia dan keraton sebagai tempat kediaman raja. Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja, karena raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan

membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan. Sehingga, keraton menjadi pusat dari segala aktifitas masyarakat dan menjadi kiblat dari segala macam aktivitas.

Keraton Surakarta memiliki karakteristik pola kosmologi yang terbagi menjadi empat lapisan yaitu kuthanegara, negara gung, mancanegara, dan pesisiran. Keraton memiliki sistem tata ruang kota menurut kaidah-kaidah masyarakat tradisional yang masih dipengaruhi oleh tingkat kebangsawanan. Tempat tinggal raja dan kedudukannya disebut kuthanegara atau negari atau negara. Kuthanegara dikelilingi oleh tembok guna melindungi raja dari gangguan luar. Tembok ini memiliki nama yaitu tembok baluwarti. Diluar tembok kuthanegara merupakan tempat tinggal bagi para kerabat dekat raja dan juga abdi dalem yang bertutut-turut berada di lingkar luar kerajaan, yaitu negara agung, mancanegara dan pesisir ( Premordia, 2005).

Konsep kewilayahan seperti ini memperlihatkan bahwa masyarakat yang bertempat tinggal dekat dengan keraton adalah masyarakat yang memiliki jabatan penting dan tingkat sosial yang tinggi, atau dikenal dengan istilah bangsawan. Sedangkan yang bertempat tinggal jauh dari keraton dianggap berkedudukan lebih rendah. Konsep wilayah seperti ini menciptakan perkampungan-perkampungan baru yang menjadi tempat tinggal para abdi dalem maupun prajurit-prajurit keraton. Penamaan perkampungan juga diambil dari penghuni pada kampung tersebut, contohnya Kampung Purwaprajan yang dahulu merupakan tempat tinggal RNg Purwaprajan, seorang abdi dalem bupati anom pada zaman Sunan Pakubuwana X (Gunawan, 2010). Dengan terbentuknya permukiman masyarakat maka terlihat adanya pola permukiman yang menyebar pada Kota Surakarta.

Tata ruang bangunan di Keraton Surakarta menganut konsep kosmologi yang tercermin dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading (Gambar 4). Lapisan-lapisan ini berdasarkan pola konsentrik yang pembaginya menyangkut fungsi dan tingkat keselarasannya (Premordia, 2005). Pola kosmologi menjadi panutan dalam mendirikan bangunan di Keraton Surakarta, sehingga terbentuk hirarki dalam susunan bangunan keraton dari utara hingga selatan. Terdapat kepercayaan bahwa pada setiap fase bangunan yang dilewati akan menuju ke arah kesempurnaan.

Gambar 4. Susunan Kosmologi Keraton Surakarta (Sumber : Premordia 2005)

b. Konsep Dualisme

Konsep dualisme memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu memiliki hubungan dan saling melengkapi sehingga didirikan secara berpasangan. Konsep ini terlihat pada bangunan keraton yang sebagian besar berpasangan, seperti pada Alun-alun Lor-Kidul, Setinggil Lor-Kidul, dan bangunan lainnya. Konsep dualisme memiliki pemahaman kesatuan yang tunggal dan melambangkan kehidupan di dunia.

c. Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer

Pembangunan Keraton Surakarta dilakukan dengan mempertimbangkan arah/orientasi dengan menggunakan konsep kiblat papat kalima pancer, yaitu suatu konsep yang memiliki arti hidup menuju empat arah mata angin namun berpusat pada satu kiblat di tengahnya. Konsep kiblat papat kalima pancer dapat dilihat pada Gambar 5. Dimana penentuan arah mata angin yang saling berpapasan yaitu lor-kidul (utara-selatan), kulon-wetan (barat-timur) yang merupakan pemahaman dualisme yaitu kesatuan tunggal yang hakiki (Setiawan, 2000). Keraton Surakarta dikenal sebagai kerajaan Islam, kepercayaan secara spiritual ini memberi pengaruh pada konsep kiblat papat kalima pancer.

Arah lor merupakan kekuatan ilmu spiritual yang berkaitan dengan kepentingan lahiriah atau kepandaian ilmu dalam usaha mencapai cita-cita masa

depan. Arah kidul (selatan) merupakan bersatunya hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan raja dengan rakyat, sedangkan arah wetan-kulon (timur-barat) merupakan asal segala sesuatu. Dapat disimpulkan bahwa arah lor-kidul (utara-selatan) merupakan arah hubungan manusia dengan Tuhan yang dikenal dengan hablu minallah. Sedangkan arah kulon-wetan (timur-barat) merupakan hubungan sosial antara manusia dengan manusia yang dikenal dengan hablu minannas.

Letak Keraton Surakarta yang menganut konsep kiblat papat kalima pancer di analogikan sebagai berikut, Keraton Surakarta sebagai pancer atau pusat kiblat dan dikelilingi oleh Hutan Krendhawahana disebelah utara, Gunung Lawu disebelah timur, Gunung Merapi/Merbabu disebelah Barat dan Pantai Selatan disebelah selatan. Setiawan (2000) menyatakan bahwa arah timur (wetan) merupakan asal mula segala sesuatu. Sehingga bangunan keraton disesuaikan dengan arah menghadap pandhapa besar yaitu Sasana Saweka yang berada di