• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta"

Copied!
234
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PENGARUH KONSEP LANSKAP

KERATON SURAKARTA TERHADAP LANSKAP KOTA

SURAKARTA

DANUR FEBYANDARI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2012

(3)

RINGKASAN

DANUR FEBYANDARI. Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta. Dibimbing oleh NURHAYATI HADI SUSILO ARIFIN.

Keraton Surakarta sebagai pusat budaya memberikan pengaruh kepada masyarakat dan Kota Surakarta. Keberadaan Keraton Surakarta pada tahun 1745 merupakan cikal bakal terbentuknya kota, sehingga memiliki pengaruh besar terhadap wajah kota saat itu. Sejak tahun 2005, Kota Surakarta telah menjadi kota pusaka di Indonesia, dengan tujuan untuk mempertahankan kelestarian karakteristik budaya dan peninggalan sejarah di kota tersebut yang dapat menjadi identitas dari Kota Surakarta. Seiring dengan perkembangan kota maka terjadi banyak perubahan pada lanskap kota yang pada awalnya merupakan sebuah kota tradisional menjadi kota modern. Perubahan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, sehingga untuk menjaga dan melestarikan karakteristik kota perlu adanya suatu acuan guna mempertahankan identitas Kota Surakarta.

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis konsep lanskap Keraton Surakarta dan mempelajari sejarah perkembangan Kota Surakarta, (2) memetakan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan lanskap Keraton Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta, dan (3) menghasilkan arahan pengembangan lanskap Kota Surakarta yang beridentitas. Metode yang digunakan pada penelitian ini melalui empat tahap yaitu, (1) tahap persiapan yang meliputi perizinan serta pengadaan alat dan bahan, (2) tahap pengumpulan data, meliputi aspek sejarah, aspek fisik dan aspek sosial, (3) tahap analisis, dilakukan analisis terhadap konsep lanskap Keraton Surakarta, analisis perkembangan Kota Surakarta, analisis sebaran struktur lanskap dan analisis pola sebaran lanskap, dan tahap terakhir adalah (4) tahap sintesis untuk menyusun rekomendasi dalam menciptakan Kota Surakarta menjadi kota yang memiliki identitas budaya yang kuat.

(4)

membuat setiap fase pada bangunan di Keraton Surakarta memiliki makna menuju kesempurnaan dan membentuk suatu hirarki pada bangunan-bangunan di Keraton Surakarta. Keberadaan Keraton Surakarta sejak tahun 1745 memberi pengaruh besar pada perkembangan lanskap Kota Surakarta. Permukiman berkembang kearah barat dan aktivitas masyarakat berpusat pada keraton. Dahulu sebelum adanya Keraton Surakarta, Desa Sala merupakan sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh banyak sungai. Masuknya pengaruh bangsa Belanda membuat perubahan pada lanskap kota. Kota Surakarta yang pada awalnya merupakan kota dengan konsep tradisional berubah menjadi kota modern dengan memiliki corak dan ragam yang dipengaruhi oleh berbagai budaya.

Hasil pemetaan terhadap lanskap Kota Surakarta yang meliputi lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas umum dan lanskap jalan didapatkan pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota tersebar pada luasan sebesar 41% pengaruh kuat, pengaruh sedang 35% dan 23% pengaruh rendah. Memudarnya pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu letak/posisisi Keraton Surakarta, batas alam dan infrastruktur, perkembangan mode dan teknologi serta faktor kependudukan. Hasil analisis persepsi masyarakat didapatkan bahwa kurangnya pengetahuan masyarakat Surakarta terhadap konsep lanskap Keraton Surakarta. Namun, masyarakat memiliki rasa kebanggaan yang tinggi terhadap keraton dan memiliki harapan agar dalam perkembangan kota tetap memperhatikan nilai-nilai budaya tradisional.

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

(6)

STUDI PENGARUH KONSEP LANSKAP

KERATON SURAKARTA TERHADAP LANSKAP KOTA SURAKARTA

DANUR FEBYANDARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta

Nama : Danur Febyandari NRP : A44080062

Menyetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc NIP. 19620121 198601 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun guna mendapatkan gelar Sarjana Pertanian mayor Arsitektur Lanskap di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB. Penelitian ini berjudul “Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta”.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, masukan, perhatian serta kesabaran dari awal penelitian hingga ahir skripsi ini terselesaikan.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada GPH Puger, Bapak Mufti Raharjo, Ibu Keksi Sundari, Dinas Tata Ruang Kota Surakarta, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta, Badan Perencanaan Daerah Kota Surakarta, dan warga Surakarta yang telah memberikan segala bantuan dan informasi yang diberikan selama penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Aris Munandar, M.S selaku dosen pembimbing akademik. Ucapan yang sama juga diberikan kepada teman-teman seperjuangan di Arsitektur Lanskap angkatan 45 yang telah memberi dukungan, semangat, doa, keceriaan dan keluh kesah selama kuliah hingga penulisan tugas akhir. Terima kasih juga kepada seluruh keluarga besar arsitektur lanskap IPB atas bantuan dan dukungan selama ini.

Terakhir ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta, Ayah, Ibu dan Kakak atas segala doa, kasih sayang, dukungan, motivasi dan perhatian. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi Pemerintah Kota Surakarta dalam membentuk Kota Surakarta sebagai kota yang beridentitas budaya dan juga bermanfaat bagi siapapun yang membaca.

Bogor, Oktober 2012

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 19 Februari 1991, sebagai anak kedua dari dua bersaudara, putri dari Bapak Mazdan Minarno dan Ibu Etty Nurhayati.

Pendidikan yang dilewati penulis diawali pada tahun 1994 dan menyelesaikan Taman Kanak-kanak (TK) pada tahun 1996 di TK Permata Jakarta Utara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 004 Batam. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SLTP Negeri 1 Bogor dan pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor dan selama setahun menjalankan Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Pada Tahun 2009 penulis menjalani pendidikan di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian.

(10)

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Manfaat ... 3

1.4. Kerangka Pikir ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Lanskap Budaya ... 5

2.2. Lanskap Kota ... 6

2.3. Lanskap Keraton ... 8

2.4. Kota Surakarta ... 9

BAB III. METODOLOGI ...11

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ...11

3.2. Metode ...12

3.3. Tahapan Studi...13

3.2.1. Persiapan ...13

3.2.2. Pengumpulan Data ...13

3.2.3. Analisis ...15

3.2.4. Konsep dan Arahan Pengembangan Lanskap ...19

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...20

4.1. Keraton Surakarta Hadiningrat ...20

4.1.1. Lokasi Keraton Surakarta Hadiningrat...20

4.1.2. Sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat ...20

4.1.3. Lanskap Keraton Surakarta Hadiningrat ...22

4.1.3.1. Konsep Tata Ruang Keraton Surakarta ...22

4.1.3.2. Arsitektur dan Filosofi Bangunan Keraton Surakarta ...27

4.1.3.3. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Keraton Surakarta ...38

4.1.3.4. Ornamen dan Ragam Hias Keraton Surakarta ...42

4.2. Kota Surakarta ...46

4.2.1. Kondisi Umum Kota Surakarta ...46

(11)

4.2.3 Peraturan Pemerintah Kota Surakarta ...50

4.2.4 Sejarah Perkembangan Lanskap Kota Surakarta ...52

4.3. Persepsi Masyarakat terhadap Keraton Surakarta Hadiningrat ...58

4.4. Analisis Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta ...61

4.4.1. Analisis Jenis Pengaruh ...61

4.4.1.1. Lanskap Pemukiman ...61

4.4.1.2. Lanskap Perkantoran dan Perdagangan ...67

4.4.1.3. Lanskap Fasilitas Umum ...70

4.4.1.4. Lanskap Jalan ...73

4.4.2. Analisis Pola Sebaran Pengaruh...76

4.5. Usulan Pengembangan Lanskap ...79

4.5.1. Konsep Pengembangan Lanskap...79

4.5.2. Arahan Pengembangan Lanskap ...80

4.5.3. Arahan Penataan Lanskap ...81

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ...84

5.1 Simpulan ...84

5.2 Saran ...85

DAFTAR PUSTAKA ...86

(12)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Pikir Penelitian ... ... 4

2. Pela Lokasi Penelitian ... ...11

3. Diagram Tahapan Penelitian ... ...12

4. Diagram Kosmologi Keraton Surakarta ... ...24

5. Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer ...25

6. Sketsa Sumbu Imajiner Lor-Kidul ...26

7. Tata letak bangunan Keraton Surakarta ...27

8. Gapura Gladag ...28

9. Bangsal Bale Bang ...30

10. Kori Kamandhungan ...31

11. Sasana Saweka ...32

12. Sasana Handrawina ...33

13. Kolam Bandhengan ...34

14. Kori Brajanala Kidul ...35

15. Setinggil Kidul ...36

16. Analogi Tata Letak Bangunan Keraton dan Rumah Adat ...37

17. Pohon Beringin Kurung ...40

18. Suasana Setinggil Lor ...41

19. Pohon Sawo Kecil ...41

20. Sulur-suluran ...43

21. Ragam Hias ...44

22. Ukiran Burung ...44

23. Radya Laksana ...45

24. Peta Tata Guna Lahan Kota Surakarta ...49

25. Penulisan Aksara Jawa ...50

26. Peta Sebaran BCB di Surakarta...51

27. Morfologi Kota Surakarta tahun 1500-2000 ...55

28. Tata Letak Gapura Keraton Surakarta...56

29. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pemukiman ...64

(13)

31. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Perkantoran ...68

32. Lanskap Perkantoran di Surakarta ...69

33. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Fasilitas Umum...71

34. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Jalan ...74

35. Lanskap Jalan Slamet Riyadi ...75

36. Tingkat Pengaruh Konsep Lanskap Keraton terhadap Lanskap Kota Surakarta ...77

37. Peta Kota Lama Surakarta ...81

38. Penataan Lanskap alun-alun utara ...82

(14)

DAFTAR TABEL

1. Data yang dibutuhkan pada Penelitian ... ...14

2. Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman ... ...17

3. Kriteria Penilaian Lanskap Perkantoran dan Fasilitas Publik ... ...18

4. Kriteria Penilaian Lanskap Jalan ... ...19

5. Penggunaan Lahan di Surakarta ... ...48

6. Pendapat masyarakat terhadap Lanskap Kota Surakarta ... ...59

7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pemukiman ... ...62

8. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Perkantoran dan Perdagangan ... ...67

9. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Fasilitas publik ... ...70

10. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Jalan ... ...73

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar Kuisioner... 90

2. Perhitungan Interval Penilaian ... 94

3. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman... 95

4. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Kantor Pemerintah ... 98

5. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Kantor Swasta... 99

6. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pertokoan ... 101

7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pasar ... 102

8. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Hotel ... 103

9. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Pendidikan ... 104

10. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Taman Kota ... 106

11. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Transportasi ... 106

12. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Kesehatan ... 107

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan sebuah kawasan bersejarah yang terbentuk akibat kesinambungan kehidupan masyarakat yang berlangsung dari waktu ke waktu. Terbentuknya kawasan keraton dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat Jawa pada zaman itu dan terus turun temurun menjadikan keraton sebagai suatu bentuk lanskap budaya yang dianggap sebagai pusat dan sumber kebudayaan Jawa. Keraton menjadi pandangan hidup bagi masyarakat Jawa, oleh karena itu keberadaan keraton memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan lingkungan disekitarnya. Konsep bangunan dan lanskap keraton menjadi pengaruh besar dalam pembentukan lanskap sekitar keraton hingga lanskap Kota Surakarta. Sehingga tercipta suatu lanskap khas dan menjadi pencerminan budaya masyarakat Jawa. Keberadaan Keraton Surakarta merupakan identitas pembentuk karakter lanskap Kota Surakarta. Perkembangan kota sudah sepantasnya mengikuti konsep yang digunakan keraton agar tercipta suatu lanskap kota yang memiliki identitas dan ciri khas tersendiri.

Kota Surakarta saat ini tebagi menjadi Solo Lama dan Solo Baru. Menurut Hadi (2001), Solo Lama adalah pusat pemerintahan Kerajaan Surakarta dan Solo Baru merupakan perkembangan kota yang lebih modern. Pada saat sekarang ini, ruang Kota Solo selain dibentuk oleh bangunan-bangunan modern seperti kota-kota lainnya di Indonesia, maka secara arsitektural ruang kota-kotanya masih mampu memperlihatkan bangunan-bangunan yang bercirikan era kerajaan (feodal) Jawa dan era kolonial Belanda, bahkan pada beberapa bagian kota masih terdapat bangunan-bangunan dengan arsitektur etnik Cina, Arab dan Indoland/ Campuran (Qomarun dan Budi, 2007).

(17)

perkembangan dan perubahan kota adalah kebijakan penguasa/pemerintah pada setiap periode perkembangan dan ketiga adalah kalangan pengusaha dengan modal yang dimiliki mampu mengubah tatanan dan perkembangan tata ruang kota. Hal ini mengakibatkan pengaruh yang berbeda pada setiap bagian kota dan lunturnya penerapan lanskap keraton pada pembentukan lanskap kota.

Sejak tahun 2005, Kota Surakarta termasuk kedalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Penetapan Surakarta sebagai Kota Pusaka bertujuan agar dapat mempertahankan kelestarian karakteristik budaya dan peninggalan sejarah yang berada di Surakarta. Kota Surakarta memiliki karakter budaya yang sangat kuat dipengaruhi oleh keberadaan Keraton Surakarta. Konsep lanskap yang khas dari Keraton Surakarta dapat digunakan dalam penataan ruang lanskap Kota Surakarta, sehingga menjadi pembentuk identitas yang kuat bagi Kota Surakarta. Pengaruh yang tidak merata dan lunturnya pengaruh Keraton Surakarta perlahan-lahan menghilangkan karakteristik budaya dari Kota Surakarta.

Oleh karena itu dilakukan penelitian guna mengetahui perkembangan lanskap Kota Surakarta dan dilakukan pemetaan terhadap lanskap kota yang memiliki pengaruh Keraton Surakarta. Kemudian dihasilkan suatu arahan pengembangan kota guna membentuk dan menguatkan karkater budaya dari Kota Surakarta. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan manfaat terhadap masyarakat mengenai karkater budaya Kota Surakarta dan menjadi bahan masukan kepada pemerintah Kota Surakarta dalam menata dan merencanakan penataan Kota Surakarta yang beridentitas.

1.2 Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

1. menganalisis konsep lanskap Keraton Surakarta dan keterkaitannya dengan sejarah perkembangan Kota Surakarta

2. memetakan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan lanskap Keraton Surakarta pada lanskap Kota Surakarta

(18)

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat sebagai berikut :

1. memberi informasi tentang karakteristik dan pola sebaran pengaruh lanskap Keraton Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta

2. memberi masukan kepada pemerintah kota guna menciptakan kota yang beridentitas.

1.4 Kerangka Pemikiran

Studi mengenai pengaruh konsep lanskap Keraton Surakarta terhadap Kota Surakarta dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa perkembangan kota yang terjadi dari masa kemasa dipengaruhi oleh banyak faktor. Keraton Surakarta sebagai pembentuk awal dari lanskap kota memberi identitas tersendiri pada kota. Keberadaan Keraton Surakarta dengan konsep ruang, elemen dan ornamen lanskap yang khas memberikan pengaruh pada perkembangan kota. Budaya keraton, termasuk konsep lanskap keraton, turut mempengaruhi bentukan wajah kota. Seiring dengan perkembangan waktu maka dalam perkembangannya, lanskap Kota Surakarta yang terbentuk pada saat ini dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan juga faktor-faktor lainnya.

(19)

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Lanskap Keraton Surakarta

Lanskap Awal Kota Surakarta

Lanskap Kota Surakarta Saat Ini Kebijakan

Pemerintah

Pengaruh Luar

Identifikasi Lanskap Kota Surakarta :

 Jenis Pengaruh : - Konsep Ruang - Jenis Elemen - Tata Letak Elemen

- Ornamen

 Posisi Penerapan Pengaruh Lanskap Keraton Surakarta Perkembangan Kota

 Pemetaan dan deliniasi pengaruh Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta :

- Jenis/ragam pengaruh - Intensitas/pola pengaruh - Visual lanskap Kota

 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya

Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan Rossler, 1995). Lanskap budaya pada beberapa negara di dunia menonjol sebagai model interaksi antara manusia, sistem sosial dan cara manusia mengatur ruang. Lanskap budaya dapat teridentifikasi menjadi komponen teraba dan tidak teraba. Komponen tidak teraba berupa suatu ide dan interaksi yang berdampak pada persepsi dan pembentukan lanskap, seperti keyakinan yang sudah terlebur dengan lanskap terkait. Lanskap budaya merupakan cerminan dari budaya yang membentuk lanskap itu sendiri.

Sedangkan menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001) lanskap budaya merupakan suatu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan dalam bentuk dan pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur lain.

Melnick (1983) menyatakan bahwa terdapat setidaknya tiga belas komponen yang merupakan karakter atau identitas lanskap budaya. Ketiga belas komponen tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu konteks, organisasi, dan elemen.

1. Lanskap budaya dalam kelompok konteks a. sistem organisasi lanskap budaya

b. kategori penggunaan lahan secara umum c. aktivitas khusus dari pengguna lahan. 2. Lanskap budaya dalam kelompok organisasi

a. hubungan bentuk bangun dari elemen mayor alami b. sirkulasi jaringan kerja dan polanya

(21)

d. penataan tapak.

3. Lanskap budaya dalam kelompok elemen

a. hubungan pola vegetasi dengan penggunaan lahan b. tipe bangunan dan fungsinya

c. bahan dan teknik konstruksi d. skala terkecil dari elemen

e. makam atau tempat simbolik lainnya f. pandangan sejarah dan kualitas persepsi.

2.2 Lanskap kota

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kota adalah daerah permukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat, daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar pertanian dan juga dinding (tembok) yang mengelilingi tempat pertahanan. Perencanaan kota di negara berkembang, seperti Indonesia, diawali dengan penataan ulang (revitalisasi) struktur kota, politik arsitektur kolonial menjadi sebuah pijakan karena kota di Indonesia sejak zaman dahulu sudah direncanakan dan dirancang oleh Belanda, termasuk di dalamnya penempatan distrik-distrik gedung pemerintahan, pusat perdagangan dan jasa, struktur jalan serta fasilitas lain (Mulyandari, 2011). Pembangunan gedung-gedung pemerintahan, pasar, permukiman, rel kereta api, jalan raya, pabrik gula dan bangunan-bangunan lain di Indonesia adalah kontribusi daru zaman kolonial Belanda.

(22)

sarana pengangkutan. Nodes atau simpul merupakan pertemuan antara beberapa jalan/lorong yang ada di kota, sehingga membentuk suatu ruang tersendiri.

Nodes merupakan suatu pusat kegiatan fungsional yang menjadi pusat penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidup. Distrik yang terdapat dipusat kota merupakan daerah komersial yang didominasi oleh kegiatan ekonomi dan pada daerah yang berbatasan dengan distrik terdapat banyak tempat yang digunakan sebagai pasar lokal, pertokoan dan sebagian lain digunakan sebagai tempat tinggal. Landmarks merupakan citra suatu kota dimana memberikan suatu kesan terhadap kota tersebut. Edges merupakan suatu masa bangunan yang membentuk dan membatasi suatu ruang di dalam kota.

Menurut Mulyandari (2011) kondisi kota yang ada di Indonesia sangat kompleks yaitu pertumbuhan/perkembangan kota yang tidak merata, masih dipengaruhi oleh pasar, terjadi proses-proses komersial yang cenderung tidak terkontrol, kerusakan lingkungan yang semakin parah, inefisiensi sumber daya, bahkan terjadi ketidakadilan sosial. Sehingga kota di Indonesia dapat dikarakteristikkan sebagai berikut:

a. tumbuh secara tidak terencana (organis) b. cenderung tidak terkendali (sprawl)

c. mengabaikan aspek tata guna lahan, sehingga tata guna lahan tercampur (mixed-uses)

d. dualisme ekonomi : formal – informal e. budaya kota yang khas

f. aturan-aturan pemerintah kota banyak yang tidak terlaksana.

Mulyandari menyatakan lebih lanjut, untuk membentuk suatu kota yang memiliki karakteristik, humanisme dan spiritualisme maka diperlukan kualitas dasar manusia yang menjadi penghuni sebuah kota, yaitu

a. filosof, yang akan merumuskan konsep ideologi, konsep ketatanegaraan dan ilmu-ilmu filsafat lainnya

(23)

c. teknokret, yang akan mempengaruhi perkembangan sistem ekonomi, politik sekaligus melakukan percepatan pertumbuhan kehidupan kearah yang lebih baik dengan ilmu pengetahun dan teknologi

d. pebisnis, yang mempengaruhi proses urbanisasi dengan cepat.

e. ulama, yang memiliki kualitas spiritual untuk menyeimbangkan kemajuan peradaban manusia yang cepat, dengan meningkatkan manusia tentang hubungan manusia-Tuhan-alam.

2.3 Lanskap Keraton

Keraton sering disebut sebagai kebudayaan masyarakat Jawa. Menurut kamus besar bahasa Indonesia istilah keraton memiliki arti sebagai tempat kediaman ratu dan raja, kerajaan, maupun istana raja. Pada Keraton Surakarta istilah kedhaton merujuk kepada kompleks tertutup bagian dalam keraton tempat raja dan putra-putrinya tinggal. Lanskap keraton merupakan lanskap yang terbentuk akibat timbal balik antara masyarakat yang tinggal disekitar keraton dengan alam untuk terus bertahan hidup. Keraton yang dianggap sebagai sumber budaya menjadi panutan bagi penduduk sekitar keraton sehingga konsep lanskap pada keraton diterapkan pada tempat tinggal mereka. Pengaruh keraton yang besar terhadap lanskap sekitar mempengaruhi pembentukan lanskap kota tempat keraton berada.

(24)

Keraton Surakarta memiliki konsep tata ruang yang khas dalam penataan ruang. Terdapat konsep simbolisme dan filosofi yang kuat pada Keraton Surakarta, sehingga terdapat suatu hirarki pada susunan bangunan-bangunan di Keraton Surakarta. Konsep simbolisme dan filosofi Keraton Surakarta juga ditemukan pada tata ruang luar yang terbagi menjadi empat kriteria, yaitu Alun-alun Lor, pelataran pelataran Setinggil Lor, pelataran kedathon dan Alun-alun Kidul (Setiawan, 2000). Alun-alun yang terletak diutara merupakan simbol dari kehidupan di dunia dan alun-alun di selatan mencerminkan kematian.

Lanskap keraton merupakan cerminan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat Jawa. Taman-taman dan penataan ruang bahkan penanaman pepohonan mengikuti kepercayaan yang mereka percaya, seperti penanaman pohon sawo kecik dibelakang halaman Keraton Surakarta yang memiliki filosofi tersendiri. Filosofi sawo kecik identik dengan sarwo becik yang memiliki arti serba baik. Diharapkan yang menanam dan yang mempunyai tanaman ini dirumahnya akan selalu mendapatkan kebaikan (Wukilarit 2010). Penetapan dan peletakan vegetasi pada kawasan keraton juga memiliki makna tersendiri seperti dua pohon beringin (Ficus benjamina) di bagian depan komplek alun-alun Keraton Surakarta yang melambangakan perlindungan dan keadilan.

2.4 Kota Surakarta

Kota Surakarta atau dikenal dengan kota Solo merupakan sebuah kota di Pulau Jawa yang menjadi sangat menarik karena keberadaan Keraton Surakarta. Keraton Surakarta dengan konsep tata ruang yang memiliki ciri khas tersendiri mempengaruhi pembentukan wajah lanskap pada Kota Surakarta. Keberadaan Keraton Surakarta menjadi panutan masyarakat Surakarta dalam berbagai hal, baik dari kepercayaan mengenai filosofi kehidupan hingga paham-paham maupun ajaran yang dianut oleh keraton. Kota Surakarta merupakan sebuah kota yang tumbuh sebagai pusat pemerintahan kerajaan, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota yang mendukung fungsi komersial, industri, jasa dan sektor-sektor lainnya, layaknya sebuah kota modern (Hadi,2001).

(25)

modern dengan tidak menghiraukan kembali konsep-konsep yang digunakan oleh Keraton Surakarta. Hadi (2001) menyatakan bahwa “Solo Lama” adalah pusat pemerintahan Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Dimana pasar-pasar tempat penduduk melakukan transaksi dalam nama-nama Jawa. Pola penyebaran pasar-pasar ini membentuk konfigurasi kota yang cenderung berkembang mengikuti pola grid.

(26)

BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian mengenai pengaruh konsep lanskap Keraton Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta ini dilakukan pada kawasan Keraton Kesunanan Surakarta dan kawasan Kota Surakarta. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Waktu dalam penelitian ini adalah enam bulan, dari bulan Februari 2012 hingga Juli 2012.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Sumber : BAPEDDA Surakarta Indonesia

Pulau Jawa

(27)

3.2.1 Metode

Penelitian dilakukan dengan membagi dua wilayah identifikasi, yaitu pada lanskap Keraton Surakarta dan lanskap Kota Surakarta. Penelitian dilakukan melalui empat tahapan, yaitu persiapan, pengumpulan data, analisis dan sintesis serta penyusunan rekomendasi guna meningkatkan identitas Kota Surakarta. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram Tahapan Studi Persiapan

Pembuatan proposal dan kolokium Perizinan dinas terkait

Pengadaan alat dan bahan penelitian

Pengumpulan Data

Data Lanskap Keraton Surakarta Data Lanskap Kota Surakarta

Analisis

Analisis konsep ruang, elemen dan ornamen lanskap Keraton Surakarta

 Analisis perkembangan lanskap Kota Surakarta

 Pemetaan pengaruh konsep lanskap keraton terhadap lanskap Kota Surakarta

 Analisis pola sebaran lanskap dan faktor yang mempengaruhi penerapan konsep lanskap keraton terhadap perkembangan Kota Surakarta

Sintesis

Formulasi pengaruh konsep lanskap keraton pada lanskap kota dan kebutuhan pengembangan  Rekomendasi guna

pengembangan lanskap kota

(28)

3.3 Tahapan Studi 3.2.1 Persiapan

Tahapan persiapan meliputi penyusunan proposal penelitian, pelaksanaan kolokium yaitu mempresentasikan proposal penelitian dan mendapatkan masukan. Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan mengurus perizinan di lokasi penelitian dan dilakukan pencarian informasi umum mengenai lokasi penelitian, serta mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan.

3.2.2 Pengumpulan data

Data yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah data lanskap Keraton Surakarta dan data lanskap Kota Surakarta. Data Keraton Surakarta mencakup data primer dan sekunder yaitu data mengenai aspek kesejarahan, konsep ruang, desain/ragam hias dan ornamen pada elemen lanskap. Data yang diperlukan pada Kota Surakarta terdiri dari aspek kesejarahan, penggunaan lahan, struktur kota, elemen-elemen pembentuk kota, aspek legal dan juga pendapat/pandangan masyarakat Kota Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta. Data yang dibutuhkan pada penelitian akan dijabarkan pada Tabel 1. Pengumpulan data dilakukan dengan cara berikut :

a. Observasi : observasi merupakan pengamatan pada tapak guna mengetahui kondisi eksisting pada tapak. Observasi dilakukan dengan mengamati lanskap Keraton Surakarta dan lanskap Kota Surakarta yang meliputi lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas umum dan lanskap jalan.

b. Wawancara : wawancara dengan narasumber guna mengetahui informasi mengenai hal terkait. Tahapan wawancara juga diperlukan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kondisi sosial budaya yang ada pada masyarakat sekitar yang tidak dapat dilihat secara langsung melalui tahapan observasi.

Wawancara dilakukan dengan berbagai narasumber, yaitu : 1. GPH Puger, Kepala Sasana Pustaka Keraton Surakarta

(29)

3. Endah Sita Resmi, Kepala Bidang Perencanaan Tata Ruang Dinas Tata Ruang Kota Surakarta

4. Keksi Sundari, kepala Bidang Sarana Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta

c. Kuisioner : Kuisioner digunakan sebagai media wawancara kepada masyarakat kota Surakarta. Kuisioner disebar kepada masyarakat kota guna mengetahui pandangan maupun pendapat masyarakat Kota Surakarta terhadap Keraton Surakarta dan keinginan masyarakat dalam penataan kota. Kuisioner disebar pada masyarakat yang bermukim di sekitar keraton dan masyarakat yang bermukim di berbagai kecamatan di Kota Surakarta, sehingga diharapkan dapat mewakili pendapat dari masyarakat Kota Surakarta.

d. Studi pustaka : Studi pustaka dilakukan guna mengetahui kondisi sosial budaya, maupun kesejarahan yang sudah tidak dapat dilihat karena bentukan fisik sudah hilang tergerus oleh perkembangan zaman. Studi pustaka juga dilakukan terhadap konsep dan sejarah perkembangan kota, dokumen-dokumen maupun peta dan juga kebijakan-kebijakan pemerintah.

Tabel 1. Data yang dibutuhkan pada penelitian

Jenis Data Bentuk Data Sumber Data

1 Lanskap Keraton Surakarta

Sejarah Keraton Surakarta Arsip keraton, observasi, studi pustaka dan wawancara Konsep dan filosofi Tata Ruang dan Lanskap

Keraton

Jenis, tata letak dan makna elemen-elemen keraton (hardscape dan softscape )

2 Lanskap Kota Surakarta

Kondisi Umum BMG, observasi

lapang , kuisioner dan studi pustaka

Sejarah dan perkembangan kota Penggunaan lahan (landuse)

Struktur kota ( pusat kota hingga pinggir kota) Kondisi Biofisik ( iklim, topografi, hidrologi, vegetasi, satwa, tanah dan sirkulasi)

Elemen fisik : kantor-kantor pemerintahan, kantor swasta, bangunan dan fasilitas umum (pasar, taman, tempat peribadatan, sarana pendidikan) dan bangunan serta fasilitas komersil

(30)

Tabel 1. Data yang dibutuhkan pada penelitian (Lanjutan)

Jenis Data Bentuk Data Sumber Data

2 Lanskap Kota Surakarta

Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) BAPPEDA, Dinas Tata Ruang Kota Surakarta, wawancara dan kuisioner Kebijakan pengembangan dan pembangunan

kota

Kebijakan mengenai pelestarian kota dan kawasan bersejarah

Persepsi masyarakat mengenai Keraton Surakarta

3.2.3 Analisis

Tahapan analisis meliputi tahap identifikasi dan analisis konsep lanskap Keraton Surakarta dan lanskap Kota Surakarta. Tahapan analisis dilakukan dengan metode analisis deskriptif kuantitatif, deskriptif kualitatif dan secara spasial. Analisis dilakukan melalui empat tahap, yaitu analisis konsep lanskap Keraton Surakarta, analisis perkembangan lanskap Kota Surakarta, analisis sebaran elemen lanskap dan analisis pola sebaran lanskap.

1. Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta

Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta dilakukan secara deskriptif kualitatif. Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta dilakukan guna mengetahui tatanan dan karakter lanskap dari Keraton Surakarta. Konsep lanskap pada Keraton Surakarta yang dikemukakan oleh Setiawan (2000) dalam tesis yang berjudul Konsep Simbolisme dalam Tata Ruang Luar Keraton Surakarta merupakan dasar dalam melakukan identifikasi dan analisis konsep lanskap keraton. Setiawan (2000) menyatakan bahwa ruang luar/lanskap pada Keraton Surakarta terdiri dari sejarah keraton, bangunan keraton, pandangan hidup dan adat istiadat, serta konsep tata ruang keraton. Identifikasi pada lanskap keraton juga dilakukan dengan cara observasi langsung dan juga wawancara dnegan pihak-pihak terkait. Hasil deskripsi lanskap Keraton Surakarta digunakan untuk mengidentifikasi pengaruh/kesamaan pada lanskap Kota Surakarta.

2. Analisis Perkembangan Kota Surakarta

(31)

ini. Analisis juga dilakukan dengan mengacu pada peta maupun sketsa denah lanskap kota dari berbagai periode pemerintahan. Analisis dilakukan guna mengetahui arah perkembangan kota serta karakteristik lanskap yang terbentuk pada Kota Surakarta.

3. Analisis pengaruh konsep lanskap Keraton Surakarta

Analisis pengaruh konsep lanskap keraton pada lanskap Kota Surakarta dilakukan dengan cara deskriptif kuantitatif, yaitu pemberian skor nilai pada lanskap kota. Menurut Lynch (1960) elemen penting dari suatu kota terdiri dari paths, nodes, district, landmarks dan edges. Sedangkan menurut Freeman (1974) suatu kota harus menyediakan berbagai fasilitas untuk seluruh warga. Sehingga penilaian jenis pengaruh konsep lanskap keraton terhadap lanskap kota dilakukan dengan penilaian pada empat elemen penting pada kota, yaitu:

a. lanskap permukiman

b. lanskap perkantoran dan perdagangan c. lanskap fasilitas umum

d. lanskap jalan.

Analisis skoring pada masing-masing elemen lanskap dilakukan dengan observasi/pengamatan langsung dan juga melalui penelusuran cagar budaya yang telah ditetapkan pada Surat Keputusan Walikota pada Tahun 1997 serta dengan melakukan identifikasi melalui bantuan dari google maps.

(32)

Kriteria dalam penilaian terhadap masing-masing elemen disajikan pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4. Kriteria penilaian pada lanskap meliputi :

a. asosiasi kesejarahan b. konsep tata ruang c. jenis elemen

d. posisi/tata letak elemen e. desain elemen

f. ornamen atau ragam hias Keraton Surakarta.

Kriteria penilaian memiliki bobot penilaian yang berbeda-beda. Asosiasi kesejarahan memiliki bobot nilai terbesar, hal ini dikarenakan nilai sejarah merupakan elemen penting yang dapat menunjukan pengaruh dari Keraton Surakarta. Sedangkan kriteria lain memiliki bobot yang lebih rendah, karena pada kriteria-kriteria tersebut dianggap memiliki kepentingan yang sama.

Penilaian terhadap lanskap dihitung berdasarkan metode skoring yang digunakan oleh Slamet (Slamet, 1983 dalam Anggraeni, 2011) yaitu dengan rumus interval sebagai berikut :

g.

Tinggi = SMi + 2IK +1 sampai SMa

Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK) Rendah = SMi sampai SMi +IK

Tabel 2. Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman

Kriteria Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) – Skor minimum (SMi)

(33)

Tabel 2. Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman (Lanjutan) ciri khas di masa lalu

Kesamaan

Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi Tabel 3. Kriteria Penilaian Lanskap Perkantoran dan Perdagangan dan Lanskap

Fasilitas Umum

(34)

Tabel 4. Kriteria Penilaian Lanskap Jalan Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi

4. Analisis pola sebaran lanskap

Analisis spasial dilakukan guna mengetahui pola sebaran lanskap. Analisis dilakukan dengan menggunakan peta hasil analisis jenis pengaruh konsep lanskap keraton terhadap Kota Surakarta. Analisis pola sebaran lanskap dilakukan guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sebaran lanskap tersebut.

3.2.4. Konsep dan Arahan Pengembangan Lanskap

(35)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keraton Surakarta Hadiningrat

4.1.1 Lokasi Keraton Surakarta Hadiningrat

Keraton Surakarta terletak pada Kelurahan Baluwerti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Keraton Surakarta terletak pada pusat kota Surakarta dengan batas utara adalah Jalan Slamet Riyadi yang merupakan jalan utama Kota Surakarta, sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Veteran, sebelah timur dan barat berbatasan dengan Jalan Supit Urang. Keraton Surakarta memiliki aksesibilitas yang baik karena letaknya berada pada pusat kota dan juga berdekatan dengan kawasan perekonomian kota. Kawasan Keraton Surakarta memiliki luas wilayah ±55 ha yang meliputi Alun-alun Utara, lingkungan dalam tembok Baluwarti (keraton dan perumahan Baluwarti) sampai dengan Alun-alun Selatan.

4.1.2 Sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat

(36)

Desa Sala merupakan sebuah desa yang dikuasai oleh Ki Gede (Ageng) Sala. Dari Ki Gede Sala ini akan diketahui asal usul dari keberadaan Desa Sala. Nama Sala diambil dari nama pemimpin desa pada masa itu, yaitu seorang abdi dalem Kerajaan Pajang yang bernama Kiai Sala Sepuh. Pembangunan keraton baru dimulai dengan desain bangunan tidak berbeda jauh dengan Keraton Kartasura. Keraton baru ini dikenal dengan nama Keraton Nagari Surakarta dan selesai dibangun pada tahun 1667 Jawa atau 1745 Masehi, walaupun keraton masih berpagar bambu belum memiliki pagar dengan tembok seperti saat ini. Perpindahan keraton dari Keraton Kartasura menuju Keraton Surakarta tercatat dilakukan pada Rabu Pahing bulan Muharram (Sura) tahun Eje 1667 Jawa tahun 1745 Masehi atau 17 Februari 1745 Masehi.

Pada masa pemerintahan Paku Buwono III, Surakarta terbagi menjadi dua bagian. Hal ini disebabkan karena ketidakpuasan kaum bangsawan terhadap campur tangan kompeni, pemberontakan ini diprakarsai oleh Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Pada 13 Pebruari 1755 terjadi Perjanjian Giyanti yang berisi bahwa Pangeran Mangkubumi berkedudukan di Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwana, dengan nama keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah dilakukan Perjanjian Giyanti, masalah semakin rumit sehingga dilakukan Perjanjian Salatiga 17 Maret 1755. Perjanjian ini menghasilkan kesepakatan yaitu Raden Mas Said mendapatkan daerah kekuasaan Keraton Surakarta dan mendapatkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegaran dengan wilayah kekuasaan bernama Mangkunegaran dan ditambah dengan tanah lungguh atau tanah yang dijadikan tempat didirikan Pura Mangkunegaran. Dengan kedua perjanjian itu maka wilayah Keraton Surakarta menjadi berkurang.

(37)

4.1.3 Lanskap Keraton Surakarta Hadiningrat

Keraton Surakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa atau kebudayaan Jawi (Nitinagoro, 2011). Keraton Surakarta memiliki konsep lanskap yang khas dari bangunan lainya. Keraton yang merupakan tempat tinggal raja dan keluarganya memiliki konsep dan filosofi dari setiap elemen pembentuknya. Konsep lanskap dari Keraton Surakarta merupakan hasil pemikiran yang matang dari para pendahulu yang terus terbawa sampai saat ini sehingga menjadi suatu budaya bagi masyarakat Kota Surakarta.

4.1.3.1 Konsep Tata Ruang Keraton Surakarta

Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan bagian dari suatu pewarisan budaya dari Keraton Pajang ke Mataram/Kota Gede kemudian ke Kartasura hingga di Surakarta. Nilai budaya yang diwariskan secara turun menurun dalam kehidupan masyarakat menjadi sumber pandangan, orientasi kehidupan masyarakat Surakarta pada khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya (Setiawan, 2000). Konsep tata ruang pada Keraton Surakarta memiliki konsep simbolisme yang kuat. Konsep ini melekat dari bangunan Gapura Gladag di utara hingga ke Gapura Gading di selatan. Konsep tata ruang di Keraton Surakarta terdiri dari Konsep kosmologi dan filosofi, Konsep Dualisme, Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer dan Konsep Supit Urang.

a. Konsep Kosmologi dan Konsep Filosofi

(38)

membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan. Sehingga, keraton menjadi pusat dari segala aktifitas masyarakat dan menjadi kiblat dari segala macam aktivitas.

Keraton Surakarta memiliki karakteristik pola kosmologi yang terbagi menjadi empat lapisan yaitu kuthanegara, negara gung, mancanegara, dan pesisiran. Keraton memiliki sistem tata ruang kota menurut kaidah-kaidah masyarakat tradisional yang masih dipengaruhi oleh tingkat kebangsawanan. Tempat tinggal raja dan kedudukannya disebut kuthanegara atau negari atau negara. Kuthanegara dikelilingi oleh tembok guna melindungi raja dari gangguan luar. Tembok ini memiliki nama yaitu tembok baluwarti. Diluar tembok kuthanegara merupakan tempat tinggal bagi para kerabat dekat raja dan juga abdi dalem yang bertutut-turut berada di lingkar luar kerajaan, yaitu negara agung, mancanegara dan pesisir ( Premordia, 2005).

Konsep kewilayahan seperti ini memperlihatkan bahwa masyarakat yang bertempat tinggal dekat dengan keraton adalah masyarakat yang memiliki jabatan penting dan tingkat sosial yang tinggi, atau dikenal dengan istilah bangsawan. Sedangkan yang bertempat tinggal jauh dari keraton dianggap berkedudukan lebih rendah. Konsep wilayah seperti ini menciptakan perkampungan-perkampungan baru yang menjadi tempat tinggal para abdi dalem maupun prajurit-prajurit keraton. Penamaan perkampungan juga diambil dari penghuni pada kampung tersebut, contohnya Kampung Purwaprajan yang dahulu merupakan tempat tinggal RNg Purwaprajan, seorang abdi dalem bupati anom pada zaman Sunan Pakubuwana X (Gunawan, 2010). Dengan terbentuknya permukiman masyarakat maka terlihat adanya pola permukiman yang menyebar pada Kota Surakarta.

(39)

Gambar 4. Susunan Kosmologi Keraton Surakarta (Sumber : Premordia 2005)

b. Konsep Dualisme

Konsep dualisme memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu memiliki hubungan dan saling melengkapi sehingga didirikan secara berpasangan. Konsep ini terlihat pada bangunan keraton yang sebagian besar berpasangan, seperti pada Alun-alun Lor-Kidul, Setinggil Lor-Kidul, dan bangunan lainnya. Konsep dualisme memiliki pemahaman kesatuan yang tunggal dan melambangkan kehidupan di dunia.

c. Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer

Pembangunan Keraton Surakarta dilakukan dengan mempertimbangkan arah/orientasi dengan menggunakan konsep kiblat papat kalima pancer, yaitu suatu konsep yang memiliki arti hidup menuju empat arah mata angin namun berpusat pada satu kiblat di tengahnya. Konsep kiblat papat kalima pancer dapat dilihat pada Gambar 5. Dimana penentuan arah mata angin yang saling berpapasan yaitu lor-kidul (utara-selatan), kulon-wetan (barat-timur) yang merupakan pemahaman dualisme yaitu kesatuan tunggal yang hakiki (Setiawan, 2000). Keraton Surakarta dikenal sebagai kerajaan Islam, kepercayaan secara spiritual ini memberi pengaruh pada konsep kiblat papat kalima pancer.

(40)

depan. Arah kidul (selatan) merupakan bersatunya hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan raja dengan rakyat, sedangkan arah wetan-kulon (timur-barat) merupakan asal segala sesuatu. Dapat disimpulkan bahwa arah lor-kidul (utara-selatan) merupakan arah hubungan manusia dengan Tuhan yang dikenal dengan hablu minallah. Sedangkan arah kulon-wetan (timur-barat) merupakan hubungan sosial antara manusia dengan manusia yang dikenal dengan hablu minannas.

Letak Keraton Surakarta yang menganut konsep kiblat papat kalima pancer di analogikan sebagai berikut, Keraton Surakarta sebagai pancer atau pusat kiblat dan dikelilingi oleh Hutan Krendhawahana disebelah utara, Gunung Lawu disebelah timur, Gunung Merapi/Merbabu disebelah Barat dan Pantai Selatan disebelah selatan. Setiawan (2000) menyatakan bahwa arah timur (wetan) merupakan asal mula segala sesuatu. Sehingga bangunan keraton disesuaikan dengan arah menghadap pandhapa besar yaitu Sasana Saweka yang berada di timur. Konsep lanskap keraton berpedoman pada keempat mata angin dan terdapat dua poros besar yang saling memotong tegak lurus yang pada umumnya menghasilkan susunan pancer berupa istana sebagai intinya.

(41)

Terdapat sebuah sumbu imajiner yang sejajar dengan garis lor-kidul. Sketsa sumbu imajiner pada Kota Surakarta disajikan pada Gambar 6. Terdapat Tugu yang sekarang ini berada di depan Balaikota Kota Surakarta dan memiliki garis sejajar dengan keraton. Saat raja duduk di Bangsal Sewayana maka pandangannya akan tertuju pada puncak tugu. Tugu ini merupakan simbol dari Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan Maha Pencipta alam beserta segala isinya. Oleh karenanya segala pusat perhatian dan orientasi manusia dalam bertingkah laku dalam kegiatan sehari-hari diarahkan senantiasa untuk mengingat-Nya. Orientasi merupakan suatu hal penting pada masyarakat Jawa, hal ini diduga menjadi dasar dalam menentukan arah apabila akan membuat maupun melakukan sesuatu. Masyarakat percaya dengan mempertimbangkan adanya orientasi maka setiap hal yang akan dilakukan berjalan dengan baik.

Gambar 6. Sketsa Sumbu Imajiner Lor-Kidul (Sumber : Setiawan 2000)

d. Konsep Supit Urang

(42)

mengelilingi bangunan Keraton Surakarta dengan pemahaman agar dapat melindungi dan merangkul semua orang sehingga dapat tercipta suasana yang aman terjaga.

Konsep simbolisme dan konsep lanskap pada Keraton Surakarta merupakan tuntunan perjalanan hidup menuju kearah kesempurnaan yang terwujud dalam wujud fisik bangunan Keraton yang dimulai dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading. Konsep tata ruang tersebut menjadikan susunan bangunan-bangunan Keraton Surakarta memiliki suatu hirarki yang kuat. Berikut terdapat gambar tata letak bangunan-bangunan pada Keraton Surakarta yang disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Tata Letak Bangunan Keraton Surakarta Hadiningrat (Sumber : Premordia,2005)

4.1.3.2 Arsitektur Bangunan dan Filosofi Keraton Surakarta

(43)

Surakarta. Pada gaya bangunan maupun corak yang digunakan keraton terdapat pengaruh dari gaya arsitektur barat yang dibawa oleh Belanda seperti bentuk pilar, arsitektur Cina yang dibawa oleh para pedagang Cina maupun bergaya Arab yang masuk karena keberadaan bangsa Arab di Solo. Namun, gaya arsitektur tradisional Jawa merupakan hal yang menjadi dasar bentuk dan filosofi bangunan di Keraton Surakarta. berikut adalah susunan bangunan yang berada di Keraton secara berurutan dari utara hingga selatan beserta filosofi dari masing-masing bangunan:

1. Gapura Gladag

Gapura Gladag merupakan pintu masuk menuju komplek Keraton Surakarta. Pada bagian depan gapura terdapat sepasang arca penjaga pintu. Gapura Gladag merupakan sepasang gapura yang berbentuk menyerupai tembok setinggi ±4 meter. Pada kedua sisi gapura terdapat arca, yaitu Brahmana Yaksa sebagai kori/ pintu masuk menuju alun-alun utara. Dalam bahasa Jawa, gladag atau nggladag berarti menyeret (Maruti, 2003).

Gladag merupakan tempat dikumpulkan hewan buruan yang diseret dengan gerobak untuk disembelih. Hal ini memiliki arti perlambangan kepada manusia untuk mengutamakan kewajiban, harus bisa mengendalikan nafsu, mengekang hawa nafsu dan menguasai hawa nafsu hewani. Maksudnya adalah manusia tidak boleh memberi kebebasan terhadap nafsu. Gapura Gladag dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Gapura Gladag 2. Gapura dan Bangsal Pamurakan

(44)

terbuka dengan atap menyerupai joglo (Maruti,2003). Gapura dan Bangsal Pamurakan merupakan tempat penyembelihan hewan dan tempat pembagian daging bagi mereka yang berhak mendapatkan bagian dari daging pemotongan tersebut. Dahulu Bangsal Pamurakan juga digunakan sebagai tempat berteduh bagi kendaraan tamu yang ingin menemui raja.

Bangsal Pamurakan saat ini telah direnovasi dan dijadikan sebagai kios kios berjualan cindramata maupun buku bekas. Selain direnovasi juga sudah banyak didirikan kios-kios berjualan yang menyerupai bangunan Bangsal Pamurakan, sehingga sulit untuk melihat bentukan asli dari Bangsal Pamurakan. Hal ini juga disebabkan karena banyak tenda-tenda penjual yang didirikan tidak beraturan.

3. Pagelaran Sasana Sumewa

Dalam bahasa Jawa, sasana berarti tempat. Sasana Sumewa merupakan suatu tempat pemerintahan para patih dalem dan juga bawahannya. Keberadaan Sasana Sumewa merupakan sebuah perlambangan bahwa adanya kekuasaan raja yaitu tata aturan pemerintahan di Keraton Surakarta. Bangunan ini memiliki 48 buah pilar/saka. Jumlah tiang tersebut merupakan sebuah pertanda bahwa Sasana Sumewa didirikan pada saat Sinuhun Pakubuwana X berumur 48 tahun. Pada bagian tengah Sasana Sumewa terdapat sebuah bangsal kecil yang bernama bangsal Pangrawit yang digunakan sebagai tempat duduk raja pada saat dilaksanakan acara-acara keraton.

Di hadapan Sasana Sumewa terdapat sebuah tugu besar. Tugu ini merupakan tugu peringatan 200 tahun keberadaan serta berdirinya Keraton Surakarta (Nitinegoro, 2011). Pada saat ini Sasana Sumewa dijadikan tempat kegiatan yang tidak bersifat resmi bahkan pada saat ini, Sasana Sumewa kerap digunakan sebagai tempat peristirahatan bagi para pengunjung yang mengunjungi Keraton Surakarta.

4. Setinggil Lor/Utara

(45)

utara dan berjejer dari timur sampai barat. Meriam-meriam ini adalah peninggalan Belanda yang diletakkan sebagai simbol pertahanan. Setinggil memiliki beberapa bangunan, yaitu bangsal Sewayana dan didalamnya terdapat bangsal Manguntur Tangkil, yaitu merupakan tempat duduk raja yang digunakan pada saat diadakan acara besar. Pada komplek Setinggil terdapat bangunan dengan gaya arsitektur barat seperti pada bangsal Bale Bang di Gambar 9 yang menampilkan bentuk pilar pengaruh barat.

Gambar 9. Bangsal Bale Bang

Pada Setinggil juga terdapat bangsal atau bale yang digunakan sebagai tempat menyimpan pusaka-pusaka kramat keraton, diantara lain ada Bale Manguneng, Bale Angun-angun dan juga Bangsal Balembang. Pintu keluar Setinggil dikelilingi oleh tembok aling-aling, kemudian terdapat tangga turun dari barat dan timur. Tangga dari barat disebut dengan Kori Mangu, sedangkan dari timur disebut Kori Renteng.

5. Kori Brajanala (Lor/utara)

Kori Brajanala terletak di selatan Setinggil. Kori Brajanala dibangun bersamaan dengan pembangunan tembok keliling Baluwerti atau Cepuri atau benteng yang semula hanya dibangun menggunakan bambu. Kori Brajanala berasal dari kata braja yang artinya senjata tajam dan nala berarti hati. Kori Brajanala memiliki arti dan filsafah, siapa yang ingin memasuki keraton harus memiliki ketajaman hati.

(46)

marta berarti penawar. Bangsal Wisamarta memiliki makna sebelum masuk ke keraton maka hendaknya menghilangkan maksud-maksud yang tidak baik. Pada saat ini Setelah melewati Kori Brajanala terdapat sebuah halaman luas dengan perkerasan aspal menuju Kori Kamandungan. Terdapat dua pintu gerbang sebelah timur dan barat halaman Kamadhungan, di sebelah barat bernama Lawang Gapit Kulon dan di sebelah timur bernama Lawang Gapit Wetan.

6. Kori Kamandhungan

Kamandhungan berasal dari kata Mina dan Andhungan , yang berarti cadangan (Nitinegoro, 2011). Di hadapan kori terdapat bangunan berkanopi yang disebut Bale Rata. Bangunan ini digunakan untuk tempat parkir kendaraan tamu keraton. Pada bagian luar maupun dalam Kori Kamandhungan terdapat bangsal untuk tempat berjaga para abdi dalem keraton. Kori Kamandhungan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Kori Kamandhungan

Pada bagian dalam Kori Kamandhungan terdapat bangunan bernama Smarakata. Bangunan beratap limas ini diperuntukkan sebagai tempat upacara wisuda para sentana maupun acara karawitan. Pada bagian timur terdapat Marchukuda. Terdapat dua buah cermin besar pada pintu masuk Kori Kamandhungan. Keberadaan cermin adalah agar setiap orang yang ingin memasuki Kori Kamandhunagan untuk berkaca dan mawas diri, baik secara lahiriah maupun batiniah.

7. Kori Srimanganti Lor

(47)

bagian timur Srimanganti terdapat menara yang dikenal dengan Panggung Sangga Buwana, menara segi delapan dengan empat lantai. Pada puncak menara terdapat gambar dua orang manusia sedang mengendarai ular. Panggung Sangga Buwana merupakan bangunan tertinggi di Kota Surakarta.

8. Sasana Saweka

Sasana Saweka adalah sebuah pendapa besar berbentuk pangrawit dan dilengkapi sebuah serambi. Sasana Saweka (Gambar 11) terdiri dari pilar-pilar kokoh yang dihiasi oleh ukiran bernuansa emas, merah dan coklat. Sasana Saweka merupakan tempat singgasana Raja untuk duduk di hadapan para abdi dalem berpangkat tinggi. Pada bagian depan Sasana Saweka terdapat sebuah bangunan berbentuk joglo dengan atap limasan jubang, yaitu tanpa serambi maupun sakaguru dan memiliki pilar sejumlah delapan. Bangunan ini bernama Maligi. Maligi digunakan sebagai tempat acara sunatan/khitanan putra raja (Maruti, 2003). Sasana Saweka dikelilingi oleh Paningrat, yaitu serambi yang ketinggiannya lebih rendah. Paningrat dikelilingi oleh tanaman palem kuning dalam pot cina dan juga dikelilingi oleh patung/prasasti bergaya Eropa.

Gambar 11. Sasana Saweka 9. Sasana Parasdya

(48)

10.Sasana Handrawina

Sasana Handrawina dibangun pada masa pemerintahan Sinuhun Kanjeng Paku Buwana V. Sasana Handrawina merupakan bangunan dengan gaya modern yang terbuat dari kayu dan kaca. Bangunan ini merupakan tempat raja menerima tamu agung dan juga tempat untuk berpesta. Sasana Handrawina pernah terbakar dan pada tahun 1997 dilakukan renovasi. Saat ini kondisi Sasana Handrawina sangat terjaga dengan dikelilingi oleh tanaman palem kuning didalam pot dan juga patung-patung bergaya eropa yang merupakan cendramata dari berbagai negara. Sasana Handrawina dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Sasana Handrawina 11.Sasana Wilapa

Sasana Wilapa terdiri dari kata Sasana yang berarti tempat dan Wilapa yang berarti surat. Sasana Wilapa terletak di sebelah barat Sasana Handrawina. Sasana Pustaka merupakan tempat untuk menyimpan arsip-arsip Keraton beserta tulisan-tulisan para pujangga maupun mengenai sejarah keraton. Sasana Pustaka banyak dikunjungi oleh para pelajar maupun mahasiswa yang ingin mempelajari mengenai Keraton Surakarta. Sasana Wilapa merupakan bagian dari organisasi keraton yang bertugas untuk bagian surat resmi Keraton. Sasana Wilapa terletak pada pelataran barat laut dari Kori Srimanganti.

12.Bangsal Pradangga, Bangsal Bujana dan Bangsal Ngajeng

(49)

13.Kedathon

Terdapat bangunan-bangunan inti keraton yang terletak di sebelah barat pelataran. Bangunan inti tidak dapat diakses oleh semua orang. Bangunan ini diutamakan bagi keluarga raja dan orang-orang yang mendapat izin untuk berkunjung. Bangunan inti keraton terdiri dari Dalem Ageng Prabasuyasa, Keputren, Keraton Kulon, Masjid Bandengan, Masjid Pudyasana dan bangunan tempat tinggal lainnya.

Dalem Ageng Prabasuyasa terletak di sebelah barat Sasana Saweka dihubungkan oleh Pringgitan Parasdya. Dalem Ageng Prabasaya merupakan bangunan yang sangat disakralkan oleh keraton, sehingga penjelasan mengenai bangunan ini hanya didapatkan dari tulisan yang ada. Bangunan ini merupakan tempat tinggal raja dan tempat berkumpul keluarga raja. Dalem Ageng Prabasaya memiliki arsitektur bangunan Jawa yang disebut Joglo Limasan Sinom Mangkurat (Maruti, 2003). Terdapat empat buah kamar pada Dalem Ageng Prabasaya yang digunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka milik Keraton Surakarta. Seiring perjalanan waktu, kamar-kamar di Dalem Ageng Prabasaya sudah tidak digunakan sebagai tempat tinggal sehingga berkembang sakralisasi pada seluruh Dalem Ageng Prabasaya.

Keputren merupakan tempat tinggal wanita atau puteri keraton. Keputren terletak di selatan dalem Ageng Prabasaya dan memanjang dari barat ke utara. Di dalam Keputren terdapat sebuah taman yang disebut Taman Kadilengen (Maruti, 2003). Masjid Bandengan dan Masjid Pudyasana merupakan masjid yang berada di pelataran keraton. Masjid Bandengan dibangun ditengah-tengah kolam persegi dengan luas 800m2 (disajikan pada Gambar 13).

(50)

Keraton Kulon merupakan keraton baru yang dibangun oleh Sinuhun Pakubuwana X setelah mendengar ramalan runtuhnya Keraton Surakarta setelah berumur 200 tahun. Keraton Kulon dibangun di sebelah barat gunung. Gunung yang dimaksud adalah timbunan tanah yang tinggi yang menyerupai gunung yang ditanami oleh pepohonan sehingga menyerupai hutan. Keraton Kulon dibangun dengan arsitektur bergaya kolonial dengan pintu gerbang menghadap ke barat. Setelah masa pemerintahan PB X berakhir, bangunan ini tidak ditempati lagi.

14.Kori Srimanganti Kidul

Kori Srimanganti Kidul berada di selatan Sasana Handrawina, yaitu timur Sasana Pustaka. Kori Srimanganti Kidul berpasangan dengan Kori Srimanganti Lor. Kori Srimanganti Kidul berfungsi sebagai pintu masuk menuju keraton dari bagian selatan, namun saat ini sudah jarang digunakan karena saat ini pintu masuk keraton hanya lewat pintu utara.

15.Kori Kamandungan Kidul

Kori Kamandungan Kidul berpasangan dengan Kori Kamandungan Lor dan memiliki fungsi yang sama sebagai pintu masuk menuju keraton, namun dari arah selatan. Pada Kori Kamandungan Kidul tidak terdapat Bale Rata. Saat ini Kori Kamandhungan Kidul telah menjadi bagian dari Sekolah Dasar Kasatriyan. Dengan keberadaan sekolah ini maka tertutup akses menuju keraton dari arah selatan.

16.Kori Brajanala Kidul

Kori Brajanala Kidul berpasangan dengan Kori Brajanala Lor. Kori Brajanala Kidul menghubungkan daerah Baluwarti dengan darah luar Baluwarti. Kori Brajanala Kidul dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Kori Brajanala Kidul tidak ditemukan adanya bangsal seperti di bagian utara.

(51)

17.Setinggil Kidul

Setinggil Kidul memiliki bentuk bangunan yang sangat berbeda dengan Setinggil Lor. Setinggil Kidul hanyalah bangunan Jawa dengan pendapa besar dikelilingi oleh pagar besi yang menghadap Alun-alun Kidul tanpa adanya pagelaran seperti Sasana Sumewa. Setinggil Kidul dikelilingi oleh Jalan Supit Urang Kidul dan terdapat dua buah meriam yang menghiasi (Maruti, 2003). Saat ini kondisi Setinggil Kidul sangat tidak terawat, rumput-rumput sekitar nya sudah tinggi dan banyak sampah yang bertebaran. Pada Setinggil Kidul terdapat dua buah gerbong kereta bekas yang dahulu digunakan oleh pihak keraton. Setinggil Kidul dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Setinggil Kidul 18.Gapura Gading

Gapura Gading merupakan pintu keluar dari keraton bagian selatan. Gapura Gading merupakan sebuah gapura berwarna kuning gading, sesuai namanya, dan terdapat lambang Radya Laksana pada bagian atas gapura (Maruti, 2003). Gapura gading menghubungkan keraton dengan Jalan Veteran.

(52)

tamu. Pringgitan adalah ruang penghubung antara Pendapa dengan Griya Ageng yang merupakan pusat maupun inti dari kegiatan keluarga di rumah. Griya Ageng terbagi menjadi dua, bagian depan memiliki luasan lebih besar dan digunakan untuk ruang berkumpul keluarga, sedangkan bagian belakang terdiri dari tiga ruangan, yaitu Krobongan, Senthong Tengen/kanan dan Senthong Kiwa/kiri (Setiawan, 2000). Selanjutnya, Gendok yang berada di sisi kiri dan kanan Griya Ageng yaitu ruang yang digunakan sebagai kamar anggota keluarga dan Pawon ruang yang letaknya paling belakang yang merupakan sebuah dapur.

Gambar 16. Analogi Tata Letak Bangunan Keraton dan Rumah adat Sumber : Setiawan (2000)

(53)

Masing-masing bangunan memiliki latar belakang sosial yang disesuaikan dengan status sosial pemilik rumah. Ronald (2005) menjelaskan bahwa bentuk bangunan rumah memiliki status sosial tersendiri, seperti rumah tipe Joglo merupakan rumah dengan pemilik berstatus sebagai bangsawan, rumah tipe Limasan dimiliki oleh masyarakat menengah dan bentuk kampung dimiliki oleh masyarakat kebanyakan. Masyarakat Jawa telah lama menggunakan kayu sebagai bahan baku dasar dalam pembuatan rumah.

Arsitektur Jawa di Indonesia sebagian besar diterapkan pada bangunan rumah tinggal dan sebagian lain adalah pada bangunan peribadatan, monumen atau makam leluhur, pasar atau sejenis bangunan yang lekat sekali dengan kebutuhan sehari-hari suku bangsa Jawa. Bagi masyarakat Jawa, rumah atau tempat tinggal bukanlah sekedar tempat untuk berlindung dari segi fisik saja, namun juga merupakan suatu tempat yang dapat mengakomodasi kegiatan spiritual maupun ritual sesuai kepercayaan mereka. Masyarakat Jawa terkenal memiliki kepercayaan tersendiri dalam melakukan kegiatan, begitu juga dalam membangun sebuah rumah. Maka untuk mendirikan sebuah rumah, dilakukan perhitungan dimana akan diletakkan pintu, jendela dan sebagainya, tidak dilupakan diadakannya sesajen agar pembangunan rumah berjalan lancar.

Bangunan tempat tinggal dengan konsep bangunan rumah adat Jawa/ tradisional Jawa hanya dimiliki oleh beberapa kalangan saja. Seiring dengan perkembangan zaman dan adanya proses globalisasi, maka banyak masyarakat yang tidak menggunakan konsep bangunan seperti ini lagi. Hal ini dikarenakan faktor ekonomi dan juga lahan yang tersedia sudah sangat terbatas, karena bangunan dengan konsep rumah adat memerlukan lahan yang cukup luas.

4.1.3.3. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Keraton Surakarta

(54)

1. Alun-alun Lor

Alun-alun Lor merupakan sebuah lahan terbuka dengan hamparan pasir. Saat ini Alun-alun Lor maupun Alun-alun Kidul Keraton Surakarta sudah dipenuhi oleh rumput hijau. Pada zaman dahulu, alun-alun merupakan suatu tempat yang sangat lapang dengan permukaan dihampari oleh pasir. Konon pasir yang menutupi lahan alun-alun merupakan pasir yang berasal dari Pantai Selatan Jawa. Pada siang hari, pasir akan menyerap panas, sehingga akan terpantulkan udara yang panas. Namun, pada malam hari pasir akan membawa udara yang sangat menyejukkan. Keadaaan siang dan malam tersebut melambangkan bahwa di dunia terdapat keadaan yang saling berlawanan yaitu ada hal baik dan juga hal buruk (Nitinagoro, 2011).

Nitinagoro (2011) menyatakan bahwa pada Alun-alun Lor terdapat beberapa pasang pohon beringin kembar. Pohon beringin yang memiliki tajuk yang besar dan rindang memiliki perlambangan sebagai pengayoman, kewibawaan dan kehidupan. Setiap pohon beringin yang ditanam memiliki julukan tersendiri, seperti pohon beringin yang berada pada pelataran Gapura Gladag yang bernama Wok yang artinya wanita dan Jenggot yang artinya pria. Kedua beringin tersebut merupakan simbol peringatan bahwa asal kehidupan diciptakan Allah melalui pria dan wanita (ayah dan ibu). Sehingga, kedua pohon beringin ini merupakan lambang kesuburan. Dua pohon beringin kembar yang berada dibatas ruang Alun-alun Lor bagian selatan, yaitu pohon beringin Gung yang berarti tinggi ditanam di sebelah timur alun-alun dan pohon beringin Binatur yang berarti pendek ditanam di sebelah barat alun-alun. Kedua beringin ini memiliki arti bahwa Keraton Surakarta adalah duwur tan ngungkul-ngungkuli, andap tan keno kinungkulan (tinggi yang tidak berlebihan dan rendah namun tidak boleh ada yang merendahkan).

(55)

dengan pagar besi yang mengurungi kedua beringin tersebut. Pohon beringin kurung dapat dilihat pada Gambar 17. Pohon beringin ini diberi nama beringin Dewandaru atau Tejadaru ditanam disebelah kanan dan beringin Jayadaru ditanam di sebelah timur Alun-alun Lor.

Gambar 17. Pohon Beringin Kurung

Saat ini pohon beringin dari pelataran Gapura Gladag hingga alun-alun masih berdiri tegak dan menjadi ciri khas tersendiri dari Keraton Surakarta. Alun-alun Lor mengalami sedikit perubahan dengan kondisi terdahulu. Saat ini terdapat sebuah jalur pedestrian yang ditanami oleh tanaman palem raja. Pada saat ini kondisi Alun-alun lor Keraton Surakarta cukup memprihatinkan. Alun-alun lor digunakan menjadi lahan parkir bagi kendaraan wisatawan yang mengunjungi keraton sehingga banyak rumput yang rusak dan terdapat beberapa infrastruktur pada alun-alun yang sudah tidak berfungsi kembali, seperti lampu taman maupun perkerasan yang mulai rusak.

2. Pelataran Setinggil Lor

Pelataran Setinggil Lor/utara yang terletak mengelilingi Setinggil Lor merupakan hamparan pasir yang ditumbuhi oleh berbagai pepohonan. Pelataran Setinggil Lor digunakan oleh raja sebagai tempat duduk untuk melihat tugu yang berada di hadapan Balaikota Surakarta. Pelataran Setinggil Lor menggunakan konsep kiblat papat kalima pancer, yang menempatkan Bangsal Saweyana sebagai pancer dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang menghadap kearah pancer.

(56)

banyak terdapat pohon kepel (Stelechocarpus burahol) yang melambangkan kesatuan (Setiawan,2000). Buah pohon kepel sering digunakan sebagai penghilang bau badan. Pada Setinggil Lor juga banyak ditemukan pohon tanjung (Mimusops elengi). Pohon tanjung dipercaya menjadi tempat yang disukai oleh makhluk halus. Suasana di Setinggil Lor dapat dilihat pada Gambar 18.

(a) Deretan Pohon Kepel (b) Hamparan rumput Gambar 18. Suasana di Setinggil Lor

3. Pelataran Kedathon

Pelataran kedathon merupakan sebuah halaman kecil dengan hamparan pasir yang dapat ditemui pada saat melewati Kori Srimanganti dari arah utara. Hamparan pasir ini ditumbuhi oleh tanaman sawo kecik, dapat dilihat pada Gambar 19. Pohon sawo kecik ditanam oleh Susuhan Paku Buwana IX. Terdapat sebanyak 77 buah pohon sawo kecik, hal ini dikarenakan pada saat penanaman Paku Buwana IX sedang berumur 77 tahun 1893 M.

Gambar 19. Pohon Sawo kecik

Gambar

Tabel 2. Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman (Lanjutan)
Tabel 4. Kriteria Penilaian Lanskap Jalan
Gambar 4. Susunan Kosmologi Keraton Surakarta
Gambar 11. Sasana Saweka
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tahap persiapan dalam penelitian ini, meliputi hal-hal sebagai berikut. 1) Identifikasi permasalahan kimia dan pembelajaran kimia yang cukup populer serta dapat diselesaikan

Metode penelitian terdii dari dua tahap yaitu (1) tahap persiapan penelitian yang meliputi kegiatan pengomposan kulit buah kakao (KBK), sterilisasi tanah dan pasir,

Metode yang digunakan pada penelitian ini meliputi serangkaian tahapan, yaitu: tahap studi literatur, persiapan alat dan bahan, analisis sensor, kalibrasi sensor,

Dalam kegiatan pembelajaran terdapat unsur utama maupun unsur pendukung. “ Ada empat unsur utama proses belajar-mengajar, yakni tujuan, bahan, metode dan alat, serta

Pada tahap ini akan dilakukan kegiatan yang meliputi persiapan, pengurusan surat izin tempat pelaksanaan ke desa serta pembelian alat dan bahan.. 8 Mengadakan

Tahapan yang dilakukan meliputi persiapan alat dan bahan, pemotongan batang singkong, pengamatan dan pengambilan data, dan analisis data. Setelah seluruh alat dan

Pada tahap ini akan dilakukan kegiatan yang meliputi persiapan, pengurusan surat izin tempat pelaksanaan ke desa serta pembelian alat dan bahan.. 8 Mengadakan

Tahap perancangan pada penelitian ini terdiri dari beberapa persiapan diantaranya: Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian desain rancang bangun trainer kit