BAB II KAJIAN PUSTAKA
2. Tahlilan
a. Pengertian Tahlilan
Tahlilan secara etimologis (bahasa) berasal dari sighat masdar
dari kata اليلهت - للّلهي – لّله yang berarti mengucapkan lafadz “Laa ilaaha illa Allah”.
Sedangkan secara terminologis (istilah) telah dikemukakan oleh pakar Agama, diantaranya:
1) Menurut Ahmad Syafi‟i Mufid dalam bukunya yang berjudul
“Tangklungan Abangan dan Tarekat Kebangkitan Agama di
Jawa”, bahwa tahlilan adalah serangkaian bacaan dimulai dengan membaca Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas, Surat An-Nas dan
Surat Al-Falaq (muawazatain), lima ayat pemula Surat Al- Baqarah, bacaan Lailahaillallah, bacaan tasbih (Subhanallah),
tahmid (Alhamdulillah), takbir (Allahu Akbar) dan shalawat (Allahumma Salli „Ala Muhammad) dan ditutup dengan do‟a
2) Menurut KH. Abdul Muchith Muzadi yang dikuti oleh Saifullah al-Aziz dalam bukunya yang berjudul “Kajian Hukum-Hukum
Walimah (Selametan)”, bahwa tahlilan adalah bersama-sama
melakukan do‟a bagi orang (keluarga, teman dsb) yang sudah
meninggal dunia, semoga diterima amalnya dan diampuni dosanya
oleh Allah SWT, yang sebelum do‟a, diucapkan beberapa kalimah thayyibah (kalimah-kalimah yang bagus, yang agung), berwujud
hamdalah, shalawat, tasbih, tahlil dan beberapa ayat suci Al-
Qur‟an (Saifulloh, 2009: 241-242).
3) Menurut Drs. M. Ali Chasan Umar dalam bukunya yang berjudul
“Risalah Merawarat Jenazah, Shalat Jenazah, Talqin dan Tahlil”,
bahwa tahlil yang biasa diamalkan oleh masyarakat Islam pengikut faham Ahlussunnah wal Jama‟ah adalah membaca dzikir kalimat tauhid tersebut, yang dirangkai dengan bacaan ayat-ayat al-Qur‟an (Surah al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas, Permulaan Surah al-Baqarah, Ayat Kursi, akhir Surah al-Baqarah) dan bacaan shalawat Nabi SAW., tasbih, tahmid, takbir serta
istiqhfar, yang urut-urutannya seperti bacaan tahlil dimuka,
diakhiri dengan do‟a (Ali Chasan Umar,1997: 106-107).
4) Menurut H. Munawir Abdul Fattah dalam bukunya yang berjudul
“Tradisi Orang-Orang NU”, bahwa Tahlil berasal dari kata
hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimat La Ilaha
bahwa setiap pertemuan yang didalamnya dibaca kalimat itu secara bersama-sama disebut Majelis Tahlil. Majelis tahlil di masyarakat Indonesia sangat variatif, dapat diselenggarakan kapan dan dimana saja, bisa pagi, siang, sore atau malam. Bisa di masjid, musholla, rumah, atau lapangan (Munawir, 2008: 276).
Jadi penulis dapat menyimpulkan dari beberapa pendapat diatas bahwa tahlilan adalah salah suatu sarana taqorrub illallah
(mendekatkan diri kepada Allah) baik dilakukan sendiri atau bersama- sama untuk melakukan dzikir (mengingat) kepada Allah dengan membaca kalimat thayyibah seperti Laa ilaaha illallah,kemudian membaca sholawat kepada Nabi Muhammad, ayat-ayat Al-Qur‟an dan
do‟a yang diharapkan memiliki pengaruh dalam meningkatkan nilai- nilai, kebiasaan baik di masyarakat dan lain-lain dalam menjalani kehidupan.
b. Sejarah Tahlilan
Tahlil secara lughot(bahasa) yang artinya bacaan “Laa ilaaha illa
Allah”, berlaku sejak pada zaman Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi
tradisi bacaan tahlil sebagimana yang dilakukan kaum muslimin sekarang, itu mulai ada sejak zaman Ulama‟ Muta‟akhirin sekitar abad 11 hijriyah yang mereka lakukan berdasarkan istinbath dari al-Qur‟an dan Hadits Nabi SAW, lalu mereka menyusun rangkaian bacaan tahlil, mengamalkannya secara rutin dan mengajarkannya kepada kaum muslimin.
Ulama‟ berbeda pendapat tentang siapa yang pertama kali
menyusun rangkaian bacaan tahlil dan mentradisikannya. Hal ini pernah dibahas dalam forum Bahtsul Masail oleh para Kiyai Ahli Thariqah. Sebagian mereka berpendapat, bahwa yang pertama menyusun tahlil adalah Sayyid Ja‟far Al-Barzanji dan sebagian lain berpendapat, bahwa yang menyusun tahlil pertama kali adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Haddad.
Pendapat yang paling kuat dari kedua pendapat yang disebut diatas adalah pendapat bahwa orang yang menyusun tahlil pertama kali adalah Imam Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad, karena Imam Al- Haddad yang wafat pada tahun 1132 H lebih dahulu daripada Sayyid
Ja‟far Al-Barzanji yang wafat pada tahun 1177 H (Muhammad Danial Royyan, 2013: 2-3).
Pendapat ini juga diperkuat oleh tulisan Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Alwi Al-Haddad bahwa kebiasaaan Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad sesudah membaca Ratib adalah bacaab
tahlil. Pada hadirin dalam Majlis Imam Al-Haddad itu ikut membaca
tahlil secara bersama-sama (Sayyid Alwi bin Ahmad, 1414: 94). Sedangkan tahlil yang dilakukan oleh kaum muslimin di Indonesia sama atau mendekati dengan tahlil yang dilakukan kaum muslimin di Yaman. Hal ini dikarenakan tahlil yang berlaku di Indonesia ini dahulu disiarkan Wali Songo. Lima orang Wali Songo itu Hababib (keturunan
Hadramaut Yaman, terutama dari kota Tamrin (Muhammad Danial Royyan, 2013: 8).
Dengan demikian tradisi tahlilan ini berkembang di Indonesia melalui akulturasi budaya yang mana dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi berkumpul dengan bermain judi, mabuk-mabukan atau lainnya. Kemudian Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tersebut dikenal dengan tahlilan.
c. Dasar Hukum Tahlilan
Sampai saat ini kegiatan tahlilan yang telah menjadi indentitas dari masyarakat Nahdlotul Ulama‟ (NU) tidak lepas dari adanya sebuah persetujan dan penolakan eksistensinya dengan pendapat masing-masing. Oleh sebab itu, sebagian masyarakat muncul-lah keraguan pada mereka yang terbiasa melakukan kegiatan tersebut. Agar kegiatan tahlilan tidak diragukan lagi maka perlu adanya pengetahuan yang lebih sebagai dasar dari pemikiran dalam melakukan atau untuk melaksanakan kegiatan ini.
Semua rangkaian kalimat yang ada dalam tahlilan diambil dari ayat-ayat al-Qur‟an dan hadist Nabi. Yang menyusun jadi kalimat- kalimat baku tahlil dulunya seorang Ulama‟, tetapi kalimat demi
kalimat yang disusunnya tidak lepas dari anjuran Rasulullah SAW (Munawir, 2018: 277).
Memperbanyak dzikir mengingat Allah maupun tasbih dan shalawat Nabi SAW itu disyariatkan, bahkan suatu keharusan bagi orang-orang yang beriman, berdasarkan firman Allah Ta‟ala:
َع ِّٓهَصُٔ ِْزَّنا ٌَُُ .ًلإِصَأََ ًجَشْكُت ُيُُحِّثَسََ .اًشِٕثَك اًشْكِر َ َّاللَّ اَُشُكْرا اُُىَمآ َهِٔزَّنا أٍََُّأ أَ ْمُكَْٕه :باضحلاا( .اًمِٕحَس َهِٕىِمْؤُمْناِت َناَكََ ِسُُّىنا َّنِإ ِخاَمُهُّظنا َهِم ْمُكَجِشْخُِٕن ًُُرَكِئلاَمََ ١٤ - ١٤ )
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan
menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan
bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. (Qs. Al-Ahzab: 41-43)
Dzikir yang utama adalah “LAA ILAAHA ILLALLAH”,
berdasarkan hadits Nabi SAW:
َمَّهسَ ًٕهع ُاللَّ َّّهص ِاللَّ َلُسس ُدعِمَس :ُلُُقَٔ اَمٍُىَع ُاللَّ ٓضس ُاللَّ ِذثَع ُهتا ِشِتاَج هَع )ْزمشرنا ياَس( .ُاللَّ َّلاإ ًََنإ ٖ ِشْكِّزنا ُمَضفَا :ُلُُقَٔ
Artinya: Dari Jabir bin Abdullah ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Dzikir yang paling utama adalah Laa ilaaha illallah ”. (HR. Turmudzi)
Tentang keutamaan Tasbih disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi SAW, beliau bersabda:
ِناَرَثِٕثَح ِناَضِٕمنا َّهع ِناَرَهِٕقَث ِناَسِّهنا ّهع ِناَرَفِٕفَخ ِناَرَمِهَك ِاللَّ َناَحثُس ِهمحَّشنا ّنا
)ْساخثنا ياَس( .يِذمَحِتََ Artinya: “Ada dua ucapan yang ringan membacanya tetapi berat timbangannya dan keduanya dicintai Tuhan pula adalah:
Subhanallahal „adzim Subhanallahi wabihamdih”. (HR. Bukhari)
Bershalawat atas Nabi SAW juga diperintahkan berdasarkan
firman Allah Ta‟ala:
ًمِٕهْسَذ اُُمِّهَسََ ًَِْٕهَع اُُّهَص اُُىَمآ َهِٔزَّنا أٍََُّأ أَ ِِّٓثَّىنا َّهَع َنُُّهَصُٔ ًَُرَكِئلاَمََ َ َّاللَّ َّنِإ .ا ( :باضحلاا ٦٥ )
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (Qs. Al-Ahzab: 56)
Adapun keutamaan membaca al-Qur‟an sebagaimana sabda Rasululllah SAW:
نا ُجَََلاِذ ِْٓرَّمُأ ِجَداَثِع ُمَضفَا )مٕعو ُتأ ياَس( .ِنآْشُق
Artinya: “Seutama-utamanya ibadah umatku ialah membaca al-
Qur‟an”. (HR. Abu Nu‟aim)
Sedangkan bacaan ayat-ayat al-Qur‟an yang dihadiahkan untuk
mayit menurut pendapat mayoritas ulama‟ boleh dan pahalanya bisa
ُةْهَق سٔ : َلاَق مَّهَسََ ًَِْٕهَع اللَّ َّّهَص اللَّ َلُُسَس َّنَا ًُْىَع اللَّ َِٓضَس ْساَسَٔ ْهِت ْمَقْعَم اَوِذَِّٕس ْهَع ُاللَّ َشَفَغ َّلاِا جَشِخَلاْا َساَّذناََ َاللَّ ُذِْٔشُٔ ٌمُجَس اٌَُؤَشقَٔ َلا ْناْشُقنْا ُياَََس( ْمُكاَذَُْم َّهَع اٌَُؤَشْقِا ًَُن َا ,ِّْواَشْثَّطنَا ,ْحَثَْٕش ِّْتَا ُهْتِا ,َُِِْغَثْنَا ,مِْٕكَحْنَا ,ْذَمْحَا ,ِّئاَسِّىنَا ,ًَْجاَم ُهْتِا ,ْدَُاَد ُُْتَا ,ِّْقٍََْٕثْن ) ْناَثِح ُهْتاََ Artinya: Dari sahabat Ma‟qal bin Yasar r.a. bahwa Rasulallah s.a.w. bersabda : Surat Yasin adalah pokok dari al-Qur‟an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosa-dosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-
orang yang meninggal dunia di antara kalian. (H.R. Abu Dawud,
dll)
Berikut ini adalah Pendapat para ulama‟ tentang sampainya pahala bacaan ayat-ayat Al-Qur‟an kepada mayit dalam buku “Tradisi Amaliyah NU dan Dalil-Dalilnya yang ditulis oleh Ngadurrohman Al- Jawi dan KH. Abdul Manan A. Ghani (2012: 49-53).
1) Pendapat Ulama‟ Madzhab Syafi‟iyah a) Imam Syafi‟i
اًىَسَح َناَك ُيَذْىِع نأْشقنْا اُُْمرَخ ْنِاََ ,نأْشقنْا َهِم ٌئْٕش ُيَذىِع َءاَشقُٔ ْنَا ُّةَحَرْسََُٔ
Artinya : Disunahkan membacakan ayat-ayat al-Qur‟an kepada mayit, dan jika sampai khatam al-Qur‟an maka akan lebih baik.
b) Imam al-Hafidz Jalaludin
Imam as-Suyuthi menjelaskan bahwa, jumhur ulama‟ salaf telah berpendapat dengan pendapat yang mengatakan
“sampainya pahala bacaan terhadap mayit.”
c) Imam Nawawi
Imam Nawawi berkata, “Disunahkan bagi orang yang
ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat al-Qur‟an lalu
setelahnya diiringi berdo‟a untuk mayit.”
d) Imam al-Qurthubi
Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa, dalil
yang dijadikan acuan oleh ulama‟ kita tentang sampainya
pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah S.A.W. pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya sembari bersabda: Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini menjadi kering.
Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat meringankan beban si mayit, lalu bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur‟an dari sanak saudara dan teman-temannya? Tentu saja bacaan-bacaan al-
2) Pendapat Ulama‟ Madzhab Hanafiyah a) Imam Badr al-Aini
Alamah Badr al-Aini berkata dalam kitabnya “Kanzu Daqaiq” : bisa sampai (pahalanya) kepada mayit segala sesuatu
kebaikan, mulai dari shalat, puasa, haji, shadaqah, dzikir, dan lain sebagainya.
b) Imam Az-Zaila‟i
Beliau berkata: bahwa pendapat Ahlussunah wal Jama‟ah
adalah membolehkan seseorang menghadiahkan pahala amal baiknya kepada mayit.
3) Pendapat Ulama‟ Madzhab Malikiyah a) Imam al-Alamah Ibnu al-Haj
Beliau berkata dalam kitabnya “al-madkhal” : jikalau
seseorang membaca al-Qur‟an di rumahnya lalu
menghadiahkan pahalanya kepada ahli kubur maka, pahala tersebut pasti sampai kepada mayit.
b) Abul Walid Ibnu Rusyd
ُيُشْجَا ِدَِّٕمْهِن َمَصَحََ َكِنار َصاَج ِدَِّٕمْهِن ًِِذأَشِق َباَُث َِذٌَْاََ ُمُجَّشنا َأَشق نِاََ
Artinya : Seseorang yang membaca ayat al-Qur‟an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut bisa sampai kepada mayit tersebut.
4) Pendapat Ulama‟ Madzhab Hanbaliyah a) Syekh Taqiyudin Ibnu Taimiyah
Beliau berkata: Barang siapa yang berpendapat bahwa, seseorang tidak mendapat pahala kecuali dengan amalanya sendiri, maka orang tersebut telah menghancurkan dan
menyalahi ijma‟.
b) Syekh Ibnu Qayyim al-Jauzi
Beliau berkata dalam kitabnya “Kitab ar-Ruh” : telah
dituturkan dari kalangan ulama‟ salaf, mereka semua berwasiat
supaya mereka dibacakan ayat-ayat al-Qur‟an, setelah mereka meninggal dunia.
c) Imam al-Khalal
Imam al-Khalal meriwayatkan dari Abu Ali al-Hasan bin al-Haitsam al-Bazar, bahwa saya melihat Imam Ahmad bin Hanbal shalat di kuburan lalu berdoa.
Imam al-Khalal juga meriwayatkan dari Imam as-Syi‟bi bahwa:
َّنِا اُْفهرخِا ُدَِّٕمنْا ُمٍَُن َخاَم ارِا ُساَصوَلاْا ْدواَك : َلاَق ِٓثْعِّشنا ِهع ل َلاَخنا َشَكَرََ نأْشقنْا ُيَذىِع َنَْأَشقَٔ ِيِشْثق
Artinya : Imam Khalal menuturkan riwayat dari Syi‟bi : bahwa
sahabat Anshar ketika di antara mereka meninggal dunia maka
mereka membacakan al-Qur‟an untuk mayit tersebut
Dengan demikian tradisi tahlilan tidak bisa dianggap bid‟ah yang
sesat atau khurafat. Karena dalam historis kegiatan tahlilan di Indonesia khususnya di pulau jawa memang telah menjadi sebuah tradisi yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat islam di Jawa. Kegiatan ini juga sebagai mediasi pekumpulan untuk mempersatukan rasa kekeluargaan di desa masing-masing.
Oleh sebab itu, kegiatan ini boleh dilaksanakan karena selain sebagai perantara untuk mengembangkan persatuan dan kesatuan bangsa, juga sebagai Islam Rahmatalil „Alamin di Indonesia, serta sebagai dimensi untuk hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablu minallah) yang didalam kegiatan ini bisa meberikan ketenangan jiwa, dan sekaligus dimensi hubungan sosial (hablu minannas).
d. Pelaksanaan Tradisi Tahlilan
Tahlil berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimat La Ilaha Illallah. Di masyarakat NU sendiri berkembang pemahaman bahwa setiap pertemuan yang didalamnya dibaca kalimat itu secara bersama-sama disebut Majelis Tahlil. Majelis
tahlil di masyarakat Indonesia sangat variatif, dapat diselenggarakan kapan dan dimana saja, bisa pagi, siang, sore atau malam. Bisa di masjid, musholla, rumah, atau lapangan (Munawir, 2008: 276).
Pernyataan Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Al- Syaukani dalam buku Kajian Hukum-Hukum Walimah (Selamatan) yang ditulis oleh Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz tentang penyelenggaraan
kegiatan membaca al-Qur‟an, shalawat, istighfar, tahlil, dzikir, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia adalah boleh (jaiz). Berikut pernyataan Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani dalam kitabnya Al-Rasaa‟il Al-Salafiyah,
yaitu:
“Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di Masjid, rumah, di atas kubur, untuk membaca Al-
Qur‟an, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah
meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz) jika didalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syariat. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah suatu yang haram (muharramfi nafsih), apalagi jika didalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur‟an atau lainnya. Dan tidak tercela menghadiahkan pahala membaca Al-Qur‟an atau
lainnya kepada yang telah meninggal dunia” (Saifulloh,
2010:247).
Memahami tahlilan adalah serangkaian kegiatan berupa pengiriman doa terhadap orang yang meninggal. Dalam acara ini diikuti oleh keluarga, saudara, dan tetangga terdekat. Mengenai acara ini pengiriman doa dengan rangkaian bacaan tahlil merupakan kelengkapan acara. Hingga selesainya acaranya terdapat tanda terima kasih. Hingga pelaksanaa tahlilan terjadi pada hari-hari tertentu setelah orang meninggal, dengan maksud untuk pengiriman doa. Hal ini diperjelas dalam rangkaian pelaksannnya, sebelum pembacaan tahlil
sebagai puncak, terlebih dahulu dibaca berbagai ayat Al-Qur‟an dan berbagai kalimat thayyibah (seperti hamdalah, takbir, shalawat, tasbih
dan sejenisnya) untuk menambah rasa pendekatan diri kepada Allah sebelum berdoa dan bertawajjuh dengan bacaan tahlil.
Kegiatan ini dapat dilaksanakan khusus kegiatan tahlil, meski banyak kegiatan tahlil ini ditempelkan pada kegiatan inti lainnya. Misalnya, setelah dzibaan disusul dengan tahlil, acara tasmiyah
(memberi nama bayi), khitanan, dan lainnya (Munawir, 2008: 276). Sebelum masuk pada acara inti, yaitu tahlil, biasanya diantarkan kalimat-kalimat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Lalu, bacaan Al-Qur‟an sebagai pengantarnnya. Pada umumya bacaan Al-Qur‟an yang ditemui adalah bacaan surat yasin. Dalam rangkaian-rangkaian doa itu dipimpin oleh imam upcara yang memiliki pengetahuan lebih dalam agama. Imam tersebut disebutnya sebagai modin atau lebe dalam masyarakat Islam Jawa.
Setelah ritual tahlilan selesai, pada umunya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman untuk Jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat buah tangan dalam bentuk makanan matang. Hidangan dan pemberian ini dimaksudkan sebagai shadaqah, yang pahalnya dihadiahkan (ditransfer) kepada orang yang sudah meninggal untuk didoakan tersebut, selain sebagai bentuk ungkapan rasa cinta dan kasih sayang dan silahturahim rohani (Sholikhin, 2010: 154).
Dengan demikian tanda terima kasih atas pengiriman doa yaitu menghidangkan makanan dan minuman. Biasanya yang dihidangkan makanan yang ringan, dan yang dibawa pulang makanan berat. Bentuk
makana yang dibawa pulang ini umumnya dikatakan berkat karena sudah didoakan.