• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tambang & Risiko Asimetri Informasi

Dalam dokumen Kompilasi berita Media. oleh HH (Halaman 77-80)

Posted Thu, 19/08/2010 - 12:16 by itaibnu

http://www.batukar.info/komunitas/articles/tambang-risiko-asimetri-informasi Oleh Ferdy HasimanKAMIS, 19 AGUSTUS 2010 | 00:20 WIB

BEBERAPA tahun terakhir, investasi berskala raksasa mulai digelontorkan ke Propinsi NTT. NTT bukan hanya dikenal dengan tambang mangan di Pulau Flores, tetapi kaya akan biji emas, dan biji besi. Tambang emas dan biji besi ini terdapat di Sumba Barat dan Sumba Timur. Bukan hanya itu, di Blok Rote dan Blok Sabu, terdapat potensi minyak dan gas (migas) yang cukup besar untuk dieksplorasi. Tak pelak lagi, raksasa-raksasa nasional dan multinasional pun saling berebut-rebutan mendapat lahan garapan untuk menambang. Raksasa nasional yang familiar dikenal publik, misalnya, PT Merukh Enterprise. Merukh Enterprise adalah anak usaha PT Pukuafu Indah yang memiliki 20 persen saham di PT Newmont Nusa Tenggara (NTT). Sementara perusahaan-perusahaan lokal di Pulau Flores hampir pasti tidak dikenal track-record-nya. Selain pemain lokal, raksasa-raksasa multinasional, seperti Rio Tinto (Listing Bursa Teronto), San Miquel (Philipina) atau Salgacoar Mining (India). Singkatnya, NTT menjadi primadona baru bagi investor tambang pada tahun-tahun belakangan ini. Pertanyannya adalah mengapa perusahaan-perusahaan itu dengan mudah berekspansi ke Propinsi NTT? Paradigma pembangunan Penetrasi raksasa tambang di NTT hampir tak terbendung. Soalnya, pemerintah di NTT telah memilih paradigma ekonomi yang berpihak pada investasi skala raksasa. Paradigma investasi berskala raksasa ini memang sudah mulai diperkenalkan sejak Washington Conssensus (WC) pada tahun 1990-an. Isi WC adalah liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi. Liberalisasi adalah minimalisasi peran negara dalam pasar. Negara-negara atau yang diwakili Pemda NTT wajib membuka diri terhadap investasi. Semua beban dalam bentuk tarif, pajak, royalti, harus ditiadakan. Sementara privatisasi adalah pengalihan perusahaan-perusahaan negara ke tangan pihak swasta. Segala bentuk jaminan sosial mulai dari jaminan kesehatan, pendidikan, jaminan bagi penganggur atau pekerja ditiadakan. Secara ringkas, tiga agenda ini menghendaki agar pemerintah keluar dari pasar. Tiga agenda di atas merupakan pintu masuk bagi berkembangnya investasi asing. Tolak ukur investasi yang dikehendaki dalam WC adalah investasi berskala raksasa, seperti pertambangan. WC percaya investasi berskala raksasa dapat mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di negara-negara berkembang, tak terkecuali di NTT.

Dengan masuknya raksasa-raksasa tambang NTT secara eksplisit telah memaklumatkan paradigma pembangunan yang diadopsi dari WC. Soalnya logika pemerintah mengatakan, NTT adalah daerah yang gersang dan tidak memungkinkan untuk tumbuhnya sektor pertanian, perikanan dan industri mikro-kecil lainnya. Atas dasar itulah tulisan Ignas Ladjang "Kegaduhan Seputar Masalah Tambang" semakin mengokohkan posisi pemerintah lokal mengadopsi pilihan pembangunan NTT berskala raksasa. Sektor mikro-kecil di mata pemerintah terbukti tidak memberi kontribusi apa-apa pada penerimaan daerah. Apalagi dengan otonomi daerah dana APBD untuk pemda semakin mengecil. Mengecilnya dana APBD membuat pemda harus mencari jalan untuk mengatasi defisit anggaran. Maka, satu-satunya jalan paling mudah mendapat dana adalah membuka diri terhadap investasi berskala besar, melalui sektor pertambangan. Lazimnya, sebelum

78 investasi besar itu datang, pemerintah harus memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi agar investasi berjalan aman. Persyaratan itu berupa liberalisasi pasar. Dengan adanya liberalisasi pasar, pemerintah tidak memiliki kewajiban lagi menagih pajak, tarif, upah harus ditekan, izin konsesi harus dipermudah dan sederet aturan lain yang ramah terhadap investor (investor friendly). Semua persyaratan ini saya kira sudah dipenuhi Pemerintah NTT dan itu adalah sebuah pilihan yang sangat berisiko bagi kesejahteraan NTT ke depan.

Mengapa berisiko?

Ekonom J Stiglitz jauh-jauh hari berpesan, penetrasi asing dan investasi berskala raksasa sangat rentan terjadi asimeteri informasi. Asimetri informasi adalah informasi yang tidak sejajar diterima pelaku pasar. Itulah mengapa menjalankan bisnis di negara berkembang seperti Indonesia, apalagi NTT, sangat sulit. Soalnya informasi tidak dapat diterima dengan sempurna, karena umumnya di Indonesia, tak terkecuali di NTT, berkembang praktek bisnis yang tidak jujur. Menurut Stiglitz, asimetri informasi tidak akan terjadi tanpa ada asimetri kekuasaan. Artinya kekuasaan lebih memberi akses mudah kepada investor daripada rakyat miskin. Akses mudah dari pemerintah itu berupa pemberian supervisi dan aturan hukum lainnya. Akibatnya, pemerintah menjadi tidak transparan terhadap warga. Akibat ketidaktranspranan ini, aksi protes warga di NTT merebak. Merebaknya aksis protes ini karena warga tidak pernah mendapat pemahaman sempurna berupa sosialisasi bagaimana baik-buruknya sektor pertambangan.

Memang dalam pemberitaan media, pemerintah telah melakukan MoU dengan investor secara transparan. Namun, dalam MoU itu rakyat tidak pernah dibeberkan secara mendetail informasi seputar sektor pertambangan itu. Akibat asimetri infomasi, aksi protes pun merebak. Protes warga muncul ketika mesin-mesin raksasa menggerus hak ulayat masyarakat adat. Namun, kesadarannya serba terlambat. Keterlambatan kesadaran ini bukan tanpa sengaja karena pemerintah sengaja menyembunyikan data dan informasi lengkap seputar pertambangan pada saat melakukan MoU dengan investor. Melihat realitas di atas, saya kira, masuknya investasi pertambangan di NTT justru merusak tatanan demokrasi pada tingkat lokal. Demokrasi memang kelihatan berjalan namun demokrasi yang mengabdi kepentingan bisnis. Risiko lebih lanjut terjadinya aktivitas pemburu rente dan korupsi di tingkat lokal meluas. Belum lagi jika melihat track record perusahaan yang berkiprah di NTT. Memang untuk perusahaan asing yang berkiprah di NTT sangat mudah dilacak pembukuannya, karena perusahaan-perusahaan itu tercatat di bursa Australia atau bursa Toronto. Namun hampir semua KP lokal di NTT sangat sulit dilacak neraca keuangannya. Karena semua KP adalah perusahaan privat. Lantas bagaimana publik mengakses informasi ke perusahaan-perusahaan itu? Berapa kapasitas produksi, berapa penjualan perusahaan setiap tahun, sehingga publik bisa mengetahui secara pasti berapa yang masuk ke PAD daerah dari sektor tambang. Selain itu publik semakin sulit melacak siapa pemilik KP, apakah raksasa bisnis dari Jakartakah atau pebisnis tingkat lokal. Karena sulit dideteksi, total aset perusahaan itu pun sulit diketahui. Maka, mereka semakin dibebaskan dari pembayaran pajak ke negara. Semuanya ini menjadi informasi yang sangat susah diakses. Asimetri informasi inilah yang memungkinkan pemda memiliki ruang untuk korupsi. Korupsi terjadi ketika akses dan sumber informasi ditutup rapat. Itulah nasib sebuah negara dan daerah yang telah

79 menjalankan resep liberalisasi pasar. Dengan kondisi carut-marut seperti ini, apa yang harus kita lakukan? Tambang bukan solusi Saya kira tambang bukan solusi membangun ekonomi NTT ke depan. Tambang tidak dapat memberdayakan partisipasi warga lokal. Partisipasi warga lokal ini, menurut hemat penulis, menutut pemerintah untuk memahami lebih bijaksana arti demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi dibangun berdasarkan prinsip subsidiaritas dan solidaritas. Subsidiaritas artinya pemerintah memiliki kewajiban membantu masyarakat lemah, jika mereka tidak sanggup memenuhi kebutuhan hidup. Sementara apa yang dapat dikerjakan masyarakat tidak boleh diintervensi pemerintah. Demokrasi ekonomi ini menuntut pemerintah untuk responsif bahwa membangun daerah NTT bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Cara seperti apa? Partisipasi warga akan terealisasi jika pemerintah memiliki kehendak politik menggerakkan ekonomi mikro-kecil. Gerakan ekonomi mikro-kecil harus dibangun mulai dari pembangunan infrastruktur publik agar memudahkan rakyat mengakses ke pasar. Lebih jauh lagi, rakyat harus diupayakan untuk dapat mengakses ke sumber dana (bank) agar dapat mengembangkan usaha. Dengan gerakan seperti itu, pertumbuhan ekspor NTT ke depan bisa meningkat, budaya saving dan income masyarakat pun terus meningkat. Semuanya itu akan berjalan jika ditopang dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Gerakan ekonomi sektor riil ini sudah dikembangkan di negara-negara maju, seperti Jerman. Di Jerman, pemerintahnya sekarang mulai menggerakkan Mittelstand. Mittelstand adalah gerakan pembangunan sektor riil, seperti industri manufaktur dan industri kecil lainnya. Gerakan seperti ini semakin mengokohkan Jerman menjadi negara paling sukses menerapkan Ekonomi Pasar Sosial (EPS). Akhirnya tulisan ini ditujukan kepada publik di NTT, agar lebih cermat dan kritis memahami tulisan Ignas K Lidjang. Tambang bukan sebuah berkah bagi rakyat miskin, tetapi lebih sebagai kutukan. *

Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta & Penekun Masalah Neoliberalisme Sumber: http://pos-kupang.com/read/artikel/51725/editorial/opini/2010/8/19/tambang-risiko-asimetri-informasi

80

Dalam dokumen Kompilasi berita Media. oleh HH (Halaman 77-80)

Dokumen terkait