• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. DASAR-DASAR INKULTURASI MUSIK LITURG

4.1 Perkembangan Tangga Nada Pelog dalam Liturgi

4.1.2 Segi Komposisi

4.1.2.2 Tangga Nada Pelog Diutamakan

Ada beberapa pendapat mengenai penggunaan tangga nada pelog di dalam liturgi. Gamelan Jawa menggunakan tangga nada pentatonis dalam dua bentuk, yaitu slendro dan pelog. Masing-masing tangga nada memiliki sifat khas dan

kegunaannya masing-masing. Teori mengenai tangga nada slendro dan pelog sudah dijelaskan pada bab II.

Mengenai tangga nada slendro, Karl-Edmund Prier berpendapat: Itu musik yang unik, dalam arti tidak ada pegangan-pegangan yang biasa kita pakai dengan do-re-mi itu. Tetapi nada-nada adalah tengah- tengah itu. Sehingga, cara mendengar musik gamelan slendro itu berarti melepaskan pegangan seperti do-re-mi. Dengan demikian terjadilah: kita melepaskan pegangan-pegangan yang selalu kita pakai dengan mengukur-ukur, dan kita mulai melayang-layang. Menurut hemat saya, itu sangat cocok untuk berjumpa dengan Tuhan: dengan melepaskan diri, melepaskan pegangan-pegangan kita. Menemukan Tuhan justru di situ, ketika kita melepaskan pegangan-pegangan kita22.

Tangga nada slendro tidak bisa begitu saja disejajarkan atau diukur dengan menggunakan skala diatonis. Ada perbedaan interval yang menjadikan tangga nada slendro dan diatonis akan mengalami selisih jika disejajarkan. Ukuran- ukuran diatonis yang biasa digunakan tidak dapat secara mutlak digunakan, dan bahkan lebih baik dilepaskan untuk dapat menyanyikan lagu-lagu slendro sebagaimana mestinya. Oleh Karl-Edmund Prier, usaha melepaskan pegangan- pegangan diatonis ini dimaknai sebagai melepaskan diri dan pegangan-pegangan manusiawi untuk dapat mencari-cari dan menemukan Tuhan. Manusia menyembah dan memuliakan Allah, sebagai tanggapan atas karya keselamatan yang ditawarkan-Nya.

Sejalan dengan Karl-Edmund Prier, Siswanto dan Budi Santoso juga berpendapat bahwa tangga nada slendro itu sulit untuk dinyanyikan. Siswanto

22

Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.

juga mendasarkan pendapatnya ini pada perhitungan selisih antara interval

diatonis dan slendro23. Budi Santoso mengungkapkan:

Kebanyakan lagu-lagu slendro di Paroki Ganjuran, digunakan untuk

lagu-lagu Jumat Adi dan sripah(kematian). Memang agak susah, jika

telinganya tidak peka. Memang susah untuk membuat lagu-lagu slendro itu. Lebih baik dan lebih gampang membuat lagu pelog. Sembarang menyanyi pun, kita akan masuk ke dalam tangga nada pelog. Orang menyanyi itu terkadang lebih banyak pelognya daripada slendro. Slendro itu terkadang susah. Interval antara nada yang satu dengan yang lainnya itu agak berbeda, dibandingkan dengan pelog.

Pelog itu gampang24.

Tangga nada slendro sulit dinyanyikan, jika si penyanyi tidak memiliki kepekaan nada. Untuk para pencipta pun, lagu-lagu slendro lebih sulit dibuat. Lebih mudah membuat lagu-lagu bertangga nada pelog.

Menurut Siswanto, tangga nada pelog lebih dekat dengan tangga nada diatonis. Ia mengungkapkan:

Laras pelog itu memang mudah sekali untuk disesuaikan dalam tangga nada diatonis. Tangga nada slendro memiliki interval yang sama. Tangga nada yang mudah dihapal adalah pelog, yang sudah ada mirip-

miripnya dengan diatonis. Diatonis itu hampir sama dengan pelog25.

Sebagaimana tangga nada diatonis, tangga nada pelog memiliki interval besar dan kecil, dengan nada-nada do-mi-fa-sol-si. Menurut Siswanto, kemiripan inilah yang menjadikan tangga nada pelog lebih mudah dinyanyikan daripada tangga nada slendro.

Tangga nada pelog dan slendro digunakan dalam gending Gereja. Ada perbedaan pendapat mengenai proporsi tangga nada mana yang lebih banyak

23

Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran. 24

Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso, pada hari Kamis, 7 Maret 2013, di Ganjuran. 25

digunakan di dalam liturgi. C. Hardjasoebrata sendiri menciptakan gending Gereja dengan seluruhnya menggunakan tangga nada pelog. Buku Kidung Adi terbitan PML juga sebagian besar memuat nyanyian-nyanyian bertangga nada pelog. Karl- Edmund Prier berpendapat mengenai tangga nada pelog yang digunakan di dalam liturgi:

Menyanyikan lagu pelog itu termasuk harus hati-hati, karena intonasinya tidak sembarangan dan diselingi dengan nada kecil-kecil. Itu menuntut suatu konsentrasi. Konsentrasi berarti mesti bernyanyi dengan berhati-hati, dengan hati juga. Tidak hanya hati-hati, tetapi hatinya ikut. Karena tujuannya adalah untuk membawa hati kepada Tuhan dan Tuhan bisa dicari seperti kita mencari nada-nada. Suatu disiplin, harus hati-hati, supaya menjadi betul, dan tidak salah nyanyi. Saya melihatnya dari konstruksi tangga nada pelog yang agak unik itu.

Pergantian interval besar dan kecil ini menuntut perhatian besar26.

Interval besar-kecil yang ada pada tangga nada pelog menuntut suatu kehati- hatian dan hati. Untuk menyanyikannya dibutuhkan konsentrasi. Konsentrasi dalam mencari nada dimaknai sebagai konsentrasi untuk mencari Tuhan.

Paul Widyawan dan Siswanto27 berpendapat bahwa slendro dapat digunakan

di dalam liturgi. Seringnya hanya digunakan satu pangkon atau tangga nada dalam liturgi Gereja, lebih disebabkan alasan praktis gamelan laras apa yang tersedia di gereja tersebut. Paul Widyawan tidak banyak menyentuh slendro, karena ketidak-

tersediaan gamelan slendro di gereja28. Jika gamelan slendro tersedia, ia akan

menggunakannya juga. Demikian pula diungkapkan Siswanto:

Gereja-gereja yang memiliki gamelan slendro itu jarang sekali. Para pencipta lagu memikirkan juga hal ini, bahwa gereja-gereja itu

26

Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.

27

Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran. 28

Wawancara dengan Paul Widyawan, pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.

kebanyakan memiliki gamelan pelog. Yang memiliki slendro itu jarang sekali. Karena hal itu, para pencipta lagu, termasuk saya, banyak

menggunakan yang pelog29.

Mengenai suasana atau perasaan yang ditimbulkan, Budi Santoso

mengatakan bahwa “lagu pelog itu lebih ceria, lebih membawa suasana

kegembiraan. Itu barangkali ada hubungannya juga dengan perayaan Ekaristi yang

adalah pesta”30. Sebaliknya, slendro di Paroki Ganjuran biasa digunakan pada

ibadat Jumat pertama, untuk tlutur yang bernuansa susah dan sedih. Berbeda

dengan Budi Santoso, Paul Widyawan mengatakan kalau slendro lah yang lebih

banyak digunakan dalam hiburan31.

Siswanto memiliki menyampaikan pandangan yang berbeda:

Lagunya itu membutuhkan suasana apa? Jadi, tinggal lagu itu membutuhkan suasana susah atau gembira. Umumnya suasana itu bisa dibuat susah, gembira, dan anggun. Misalnya untuk membuat suasana sedih, nada-nada yang digunakan itu diambil dari tangga nada pelog. Tangga nada itu memiliki nada dasar. Nada dasar mana yang akan diambil? Untuk lagu yang bagaimana? Misalnya, lagu dengan suasana susah itu menggunakan nada-nada yang tidak pokok, yang tidak baku, yang kekuatannya itu tipis. Jika pada tangga nada ini nada yang kuat adalah sol atau do, kedua nada ini digunakan sedikit saja.Yang diolah adalah rasanya. Lagu bisa menimbulkan suasana, kalau sudah digarap. Misalnya, tangga nada pelog barang. Pelog barang itu meriah

sekali,tetapi juga bisa digunakan untuk suasana susah32.

Bagi Siswanto, tangga nada pelog dan slendro dapat diolah menjadi lagu dengan berbagai suasana, seperti senang, sedih, semangat, khidmat, dll. Perasaan atau suasana muncul setelah lagu tersebut diolah dan diperdengarkan.

29

Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran. 30

Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso, pada hari Kamis, 7 Maret 2013, di Ganjuran. 31

Wawancara dengan Paul Widyawan, pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.

32

Ki Hajar Dewantara mendeskripsikan rasa yang timbul dari tangga nada slendro dan pelog berdasarkan pathet-pathetnya. Tangga nada slendro memiliki tiga pathet, yaitu enem, sanga, dan manyura. Slendro pathet enem biasa dimainkan pada sore hari hingga pukul 23.00. Suasana yang ditimbulkan adalah

gembira dan sederhana, seperti kehidupan seorang anak kecil. Kata “enem” dalam

pathet enem adalah lambang dari jiwa muda (enem-muda dalam bahasa Jawa).

Slendro pathet sanga biasa dimainkan pada pukul 23.00 sampai pukul 03.00. Rasa yang ditimbulkan adalah tenteram, gagah, sabar, dan dewasa. Slendro pathet manyura dimainkan antara pukul 03.00 sampai matahari terbit. Rasa yang

ditimbulkan adalah gembira, indah, centil, dan bersemangat seperti orang muda33.

Mengenai tangga nada pelog, Ki Hajar Dewantara juga mendeskripsikan rasa yang timbul dari permainannya. Tangga nada pelog terdiri dari tiga pathet, yaitu gangsal (lima), enem, dan barang. Pelog pathet lima dimainkan pada sore

hari. Rasa yang ditimbulkan adalah nglangut (hanyut, terbawa), sedih, dan penuh

belas kasihan. Pelog pathet enem dimainkan pada tengah malam, seperti slendro

pathet sanga. Rasa yang muncul adalah sabar, tenang, dan tidak terlalu nglangut.

Pelog pathet barang dimainkan pada pagi hari, seperti slendro pathet manyura.

Rasa yang ditimbulkan adalah gembira, hidup, dan bersemangat muda34.

Lagu dengan tangga nada pelog maupun slendro dapat digunakan di dalam liturgi. Keduanya dapat membantu umat untuk mengkontemplasikan misteri iman yang sedang dirayakan. Nada-nada dan bentuk lagu gamelan Jawa sendiri

33

Lihat penjelasan ini dalam Ki Hadjar Dewantara lan M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gending Djawa, 53-54.

34

Lihat penjelasan ini dalam Ki Hadjar Dewantara lan M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gending Djawa, 55-56.

mengandung suatu makna filosofi, teleologis dan teologis seperti yang diungkapkan Karl-Edmund Prier:

Musik gamelan memuat suatu kerinduan akan Yang Agung. Maka, itu tidak kebetulan dipakai di dalam liturgi. Kita berpangkal dari sini, dan melihat ke surga. Kita berpangkal dari sini, tetapi semuanya serba ternganga, serba tidak sempurna, merindukan yang lebih baik, merindukan keselamatan, merindukan hari kiamat juga, dan itu sangat liturgis. Kita mempunyai teleologi. Menuju kepada teleos, kepada tujuan. Menuju ke sana, merindukan itu. Merindukan penyelesaian. Gending Jawa, tersusun dalam gatra. Tiap gatra memiliki empat nada: Nang-ning-nang-NANG, nang-ning-nang-NANG. Progresif, atau terarah. Lain dengan musik barat: SATU-dua-tiga-empat, SATU-dua- tiga-empat. Artinya, dalam musik Barat tekanan yang berat ada di

depan35.

Seperti halnya para penabuh gamelan yang menunggu bunyi gong sebagai penutup suatu musik gamelan, demikian juga manusia merindukan yang lebih baik, merindukan keselamatan, menuju kepada satu-satunya tujuan, yaitu Tuhan.

Dari berbagai macam pendapat yang ada di atas, dapat diambil empat kesimpulan mengapa tangga nada pelog lebih diutamakan di dalam liturgi. Pertama, secara musikal tangga nada pelog lebih mudah dinyanyikan, karena lebih dekat dengan tangga nada diatonis. Tangga nada pelog memiliki interval besar-kecil, serupa dengan interval yang dimiliki tangga nada diatonis. Tangga nada slendro lebih sulit dinyanyikan, karena memiliki interval yang sama.

Dibutuhkan kepekaan untuk menyanyikannya. Kedua, hanya sedikit gereja-gereja

yang memiliki gamelan slendro, dan lebih banyak gereja-gereja yang memiliki gamelan pelog. Para pencipta lagu lebih banyak menciptakan gending Gereja

bertangga nada pelog karena hal ini. Ketiga, tangga nada pelog lebih banyak

35

Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.

digunakan dalam gending-gending bernuansa tenang dan sabar, sedangkan slendro lebih banyak digunakan dalam gending-gending bernuansa gagah dan

bersemangat. Keempat, suasana atau penjiwaan lagu yang diciptakan tergantung

dari bagaimana tangga nada itu diolah.