• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Negara dalam Masalah Kabut Asap dalam Hukum Internasional

BAB III Pengaturan Tentang Pencemaran Kabut Asap Dalam Hukum Internasional

PENGATURAN TENTANG PENCEMARAN KABUT ASAP DALAM HUKUM INTERNASIONAL

B. Tanggung Jawab Negara dalam Masalah Kabut Asap dalam Hukum Internasional

Sering tindakan yang diambil oleh suatu negara menimbulkan luka terhadap atau penghinaan atas martabat atau kewibawaan negara lain. Kaidah- kaidah hukum internasional mengenai tanggung jawab negara menyangkut keadaan dimana, dan prinsip-prinsip dengan mana negara yang dirugikan menjadi berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang dideritanya. Tanggung jawab negara telah dinyatakan secara tegas dibatasi pada “pertanggungjawaban negara-negara bagi tindakan-tindakan yang secara internasional tidak sah.64

a. Tindakan yang terdiri atas suatu perbuatan atau kelalaian dipersalahkan kepada negara berdasarkan hukum internasional;

Berdasarkan teori tanggung jawab negara, yang dikatakan bahwa munculnya tanggung jawab negara setidaknya dikarenakan beberapa hal :

b. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional;

63

Rully Syumanda.Negeri Seribu Asap.

http://rullysyumanda.org/component/content/article/3-essay-corner/780-negeri-seribu-asap.html, diakses pada tanggal 24 Januari 2012 21:22

64

c. Setiap tindakan yang tidak sah secara internasional akan melahirkan suatu tanggung jawab negara65

Tindakan yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan dalam negara yang disebabkan karena kelalaian yang dilakukan oleh individu, badan hukum dalam negara yang merugikan negara lainnya berdasarkan hukum internasional. Tindakan tersebut bersifat merugikan negara lainnya sehingga dapat dikatakan sebagai pelanggaran sehingga secara langsung negara tersebut harus bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut. Hal ini terkait dengan adanya prinsip kedaulatan negara dan prinsip saling hormat-menghormati wilayah negara lain.66

a. Pelanggaran berat atas kewajiban internasional yang sangat penting untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.

Tindakan melanggar hukum secara internasional timbul dari pelanggaran suatu negara atas kewajiban internasional yang sangat esensial guna perlindungan terhadap kepentingan yang sangat fundamental bagi masyarakat internasional. Hal tersebut dapat timbul karena beberapa hal :

b. Pelanggaran berat atas kewajiban internasional yang sangat penting untuk menjamin hak menentukan nasib sendiri suatu bangsa.

c. Pelanggaran berat terhadap kewajiban internasional dalam skala luas, yakni perlindungan terhadap ummat manusia seperti kewajiban melarang perbudakan, pembunuhan masal dan apartheid.

65

J.G. Starke, Op., Cit., hlm 112

66

Huala Adolf. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 300.

d. Pelanggaran berat atas kewajiban internasional untuk melindungi lingkungan ummat manusia.67

Pertanggungjawaban negara memang menyentuh banyak aspek, di dalamnya terdapat tindakan yang dipersalahkan menurut Hukum Internasional, pelanggaran terhadap kewajiban internasional, tindakan kekerasan dan agresi terhadap negara lain. Bahwa apa yang harus dipertanggung jawabkan oleh negara merupakan suatu kewajiban hukum yaitu bahwa suatu tingkah laku harus sesuai dengan apa yang diminta oleh hukum harus ditaati dan dilaksanakan.

Pertanggung jawaban negara lebih pada kesalahan yang dilakukan oleh negara yang kemudian menimbulkan dampak kerugian bagi negara lainnya. Sehingga negara yang melakukan kesalahan wajib bertanggung jawab akan kesalahannya tersebut.68Tanggung jawab negara timbul bila ada pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan atas suatu perjanjian maupun hukum kebiasaan internasional.69

Pencemaran kabut asap lintas batas negara akibat kebakaran atau pembakaran hutan merupakan tindakan yang menyentuh kedaulatan suatu negara. Dalam kaitan kasus pencemaran asap lintas batas negara ini, negara yang menjadi sumber pencemaran harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh

67

Chalid Muhammad, Beberapa Pokok Pikiran tentang Kejahatan Terhadap Aset-Aset Alam, Upaya Penanggulangan dan Dampak yang di Timbulkanya, yang dipresentasikan dalam Seminar Sekolah “Penanggulangan Kejahatan Terhadap Kekayaan Alam: Harapan dan Kenyataan” Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), 12 Desember 2006, hlm 22

68

Abu Daud Busro, Ilmu Negara, cet. III, Bumi Aksara:Jakarta, 2005, hlm 34

69

Anonimous, Mencari Legalitas Internasional atas Agresi Amerika ke Irak,

negara lain. Sebagaimana tercantum dalam prinsip Sic utere tuo ut alienum non

laedas (segala aktivitas yang terjadi dalam suatu negara, tidak boleh menimbulkan

kerugian pada negara lain). Prinsip ini juga tersirat dalam Deklarasi Stockholm 1972 yang menyatakan kalau setiap negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya tanpa merugikan negara lain. Oleh karena itu, semua negara yang menjadi bagian dari masyarakat internasional harus mengakui dan menghormati hal tersebut, karena kedaulatan yang dimiliki oleh negara itu bukan tak terbatas. Maksudnya adalah bahwa di dalam kedaulatan itu, terikat di dalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Sehingga jika suatu negara melanggar ketentuan-ketentuan internasional atau melakukan suatu tindakan yang tidak sah secara internasional maka terhadapnya dikenakan tanggung jawab untuk mengganti kerugian (injury).70

Sejauh ini memang belum ada instrumen hukum internasional yang mengatur pertanggungjawaban negara pada umumnya yang dapat diterapkan terhadap persoalan lingkungan internasional, untuk itu International Law

Commision (ILC) telah mencoba membuat rancangan ketentuan-ketentuan tentang

pertanggungjawaban negara, yaitu sebagai mana tertuang dalam I.L.C. Draft

Articles on State Responsibility, di dalam draft ILC ini terdapat 5 (lima) prinsip

yang mengatur kegiatan yang dilakukan diwilayah suatu negara, atau wilayah yang berada dibawah yurisdiksinya, atau kegiatan yang berada dibawah

70

pengawasan negara yang bersangkutan, yang menyebabkan timbulnya ancaman atau akibat lintas batas.71

Prinsip pertama menyatakan bahwa kedaulatan negara untuk melakukan atau mengijinkan dilakukannya kegiatan di wilyahnya “must be compatible with

the protection of the rights emanating from the sovereignty of other state. ("Harus

sesuai dengan perlindungan hak-hak yang berasal dari kedaulatan negara lain”).72

Prinsip ketiga dan keempat tertuang dalam Art 9, yaitu : suatu negara tempat kegiatan yang menyebabkan kerusakan berasal harus melakukan perbaikan

(reparation) terhadap kerusakan yang terjadi, dan perbaikan tersebut harus

Prinsip yang dikembangkan dari Maxim hukum Romawi sic utere tuo ut alineum

non leades ini, dan sebagaimana telah tercermin pada prinsip 21 Deklarasi

Stockhlom 1972 dan prinsip 19 Deklarasi Rio 1992. Dapat dijelaskan sebagai berikut : setiap negara mempunyai kewajiban untuk tidak menggunakan atau mengijinkan digunakannya wilayahnya sedemikian rupa sehingga menyebabkan timbulnya bahaya atau kerugian terhadap lingkungan orang, harta benda dan atau hak-hak negara lain, atau daerah diluar wilayahnya.

Prinsip kedua, yang tertuang dalam Art 7 dan 8, pada pokoknya berisi tentang kewajiban bagi negara untuk saling kerjasama untuk “take appropriate

measures to prevent or minimize the risk of transboundary effects”, (“Mengambil

tindakan yang tepat untuk mencegah atau meminimalkan risiko efek lintas batas").

71

Marsudi Triatmodjo. “Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Lingkungan Internasional”. Mimbar Hukum: vol 19 Nomor 3.hal.176.

72

memenuhi keseimbangan kepentingan-kepentingan (balance of interests) yang telah dirugikan.73

Prinsip kelima adalah prinsip non diskriminasi (non-discrimination) yang mewajibkan negara untuk “treat the effects of an activity that arise in the territory

or under the jurisdiction or control of another state in the same way as effects arising in their own territory.74

Selanjutnya dalan menetapkan adanya pertanggungjawaban negara tersebut dikenal adanya 4 (empat) kriteria yang dapat digunakan sebagai dasar, yaitu : subjective liability, objective fault criteria, strict liablity, dan absolute

leability. Konsep subjective leability atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya

baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu, sedangkan konsep absolute liability atau strict liability atau tanggung jawab objektif (objective responsibility), yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan

(harmful effects of untra-hazardous activities) walaupun kegiatan itu sendiri

adalah kegiatan yang sah menurut hukum, untuk konsep absolute liability tidak ada alasan pemaaf sebagaimana konsep strict liability.

(“ Mengobati efek dari kegiatan yang timbul di wilayah atau di bawah yurisdiksi atau kontrol negara lain dengan cara yang sama sebagai efek yang timbul di wilayah mereka sendiri.”)

75

73

Marsudi Triatmodjo, Ibid, hal.176.

74

Sebagaimana tertuang pada Art 11 dan 15 di dalam ketentuan International Low Commision (ILC) yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara.

75

Marsudi Triatmodjo, Ibid, hal. 177.

Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972 (Convention on International Liability for Damage

caused by Space Objects of 1972) yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching state) mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk

kerugian di permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.76

Intinya, berdasarkan ketentuan hukum internasional pertanggungjawaban negara timbul apabila negara yang bersangkutan merugikan negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Apabila kemudian terbukti adanya pelanggaran tersebut, maka diperlukan adanya upaya pemulihan yang dapat berupa satisfaction, misalnya permohonan maaf secara resmi, ataupun berwujud pecuniary reparation, misalnya dengan pemberian ganti rugi material.77

Goldie menyatakan bahwa istilah 'responsibility' digunakan untuk menunjuk pada kewajiban (duty), atau menunjuk pada standar pemenuhan suatu peran sosial yang ditetapkan oleh sistem hukum tertentu. Sedangkan istilah 'liability' digunakan untuk menunjuk pada konsekuensi dari suatu kesalahan atau kegagalan untuk melaksanakan suatu kewajiban atau untuk memenuhi suatu standar tertentu yang telah ditetapkan.78

1. States Parties shall have the responsibility to ensure that activities in the

Area, whether carried out by States Parties, or state enterprises or natural or

Lebih jelasnya lagi dapat diketahui dari rumusan ketentuan Art. 139 (1 & 2) KHL-1982, sebagai berikut:

76

Vivin Ryuk.Tanggung Jawab Negara (State Responsibility),

Februari 2012.

77

Marsudi Triatmodjo, Op.Cit, hal 172.

78

juridical persons which possess the nationality of States Parties or are effectively controlled by them or their nationals, shall be carried out in conformity with this Part. The same responsibility applies to international organizations for activities in the Area carried out by such organizations

2. Without prejudice to the rules of international law and Annex III, article 22,

damage caused by the failure of a State Party or international organization to carry out its responsibilities under this Part shall entail liability: States Parties or international organization acting together shall bear joint and several liability. A State Party shall not however be liable for damage caused by any failure to comply with this Part by a person whom it has sponsored under article 153, paragraph 2 (b), if the State Party has taken all necessary and appropriate measures to secure effective compliance under article 153, paragraph 4, and Annex III, article 4 paragraph 4.79

(“2. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional lampiran III pasal 22, kerugian yang disebabkan oleh kelalaian suatu negara peserta atau organisasi internasional untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan bab ini akan mengakibatkan kewajiban untuk ganti rugi. Negara-negara peserta atau organisasi-organisasi internasional bertindak (“1. Negara-negara peserta harus bertanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan di kawasan, baik dilakukan oleh negara-negara peserta atau perusahaan-perusahaan atau badan hukum atau orang perorangan yang memiliki kebangsaan negara-negara peserta atau yang dikuasai secera efektif oleh mereka atau oleh warganegara-warganegara mereka, harus dilaksanakan sesuai dengan bab ini. Tanggung jawab yang sama berlaku bagi organisasi- organisasi internasional untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut di kawasan.

79

Termuat dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum laut, yang termuat dalam article 139 responsibility to ensure compliance and liability for damage (tanggung jawab untuk menjamin pentaatan dan kewajiban membayar ganti rugi.

bersama-sama harus memikul secara bersama dan secara tanggung renteng kewajiban untuk ganti rugi, akan tetapi suatu negara peserta tidak berkewajiban menanggung kerugian yang disebabkan oleh kelalaian yang dilakukan oleh seorang yang disponsorinya berdasarkan pada pasal 153 ayat 2 (b), apabila negara peserta tersebut telah mengambil segala tindakan yang perlu dan tepat untuk menjamin ditaatinya secara efektif menurut pasal 153 ayat 4, dan lampiran III, pasal 4 ayat 4.

Dalam konteks perlindungan lingkungan, untuk mengetahui ada tidaknya pertanggungjawaban negara (responsibility) dan atau (liability) dalam suatu peristiwa, Zemanek mengingatkan perlunya dilakukan penelitian terhadap empat aspek dari keadaan faktual yang bersangkutan, yang meliputi: akibat (effect); kegiatan (activity); tempat/ruang lingkup (space); serta sumber dan korban (sources and victims).80

Mengenai ada tidaknya akibat yang ditimbulkan dalam suatu peristiwa, pertama-tama perlu untuk dibedakan mengenai pengertian kerusakan (damage) dan pengertian membahayakan (harm), dalam hukum internasional, yaitu sebagaimana dirumuskan dalam Art. 1 (a) Liability Treaty-1972, pengertian 'kerusakan' didefinisikan sebagai berikut: "the term 'damage' means loss of life,

personal injury or other impairment of health, or loss of or damage to property of States or persons, natural or juridical, or property of international intergovernmental organizations". (“'kerusakan' dapat diartikan sebagai hilangnya

80

nyawa, cedera atau kerusakan lain dari kesehatan, atau kehilangan atau kerusakan harta Negara atau orang, atau badan hukum, atau milik organisasi antar pemerintah internasional"). Dalam hal ini pengertian damage diberi batasan sebagai kerugian pisik dan material.81

81

Ibid, hal.174.

Terhadap kegiatan (activity) ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan sabagai parameter dalam meneliti ada tidaknya pertanggungjawaban negara dalam suatu peristiwa tertentu. Namun, pada pokoknya unsur kegiatan tersebut diteliti untuk mengetahui adanya hubungan kausal dalam peristiwa yang bersangkutan, dimana hubungan kausal tersebut ada apabila suatu kegiatan menimbulkan akibat yang membahayakan (deleterious

effects) atau kerusakan (damages) lingkungan yang bersangkutan, untuk aspek

tempat atau ruang lingkup (space) penting artinya untuk menentukan siapa yang berhak mengajukan klaim terhadap suatu kerusakan atau menurunnya kualitas lingkungan yang terjadi. Bentuk yang paling sederhana mengenai ada tidaknya pertanggungjawaban negara adalah apabila akibat suatu pencemaran itu hanya diderita negara-negara tetanga. Namun, persoalan akan timbul apabila akibat dari pencemaran itu sampai kawasan the commons, seperti laut lepas, antartika ataupun ruang angkasa. Adapun aspek sumber dan korban berkaitan dengan subyek hukum internasional atau pihak yang dapat dibebani hak dan kewajiban internasional, yaitu negara, organisasi internasional dan individu. Dalam praktek, yang dapat mengajukan penyelesaian sengketa oleh Mahmakah Internasional adalah negara, biasanya yang melakukan kegiatan sebagai sumber pencemar dalam suatu kegiatan adalah individu, sehingga dalam hukum internasional

pertanggungjawaban negara tersebut didasarkan pada masalah pengawasan atau pengendalian (control) negara terhadap kegiatan yang dilakukan oleh warga negaranya atau industri yang bersangkutan. Hal tersebut juga berkaitan terhadap masalah korban dari suatu pencemaran.82

Sejarah kebakaran hutan di Indonesia setelah dalam dua dekade terakhir, trasnboundary haze pollution terjadi selama tiga periode yakni tahun 1982-1983, 1997-1998 dan 2005 dan 2006. Bahkan periode 1997-1998 tercatat sebagai kebakaran hutan terbesar diseluruh dunia. Dampak kebakaran hutan tidak hanya dirasakan penduduk beberapa negara tetangga. Protes keraspun dialamatkan kepada Pemerintah Indonesia sebagai pihak yang dianggap paling bertanggungjawab untuk mengatasi masalah tersebut.

Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga (transboundary

pollution) sehingga mereka mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya

masalah ini.

83

Sejak tahun 2006 masalah kebakaran hutan mulai hangat kembali saat terjadi kebakaran hebat pada bulan Juli-November 2006 dikawasan Sumatera dan Kalimantan yang menimbulkan Transboundary Haze Pollution. Negara-negara tetangga yang terkena Transboundary Haze Pollution memberikan reaksi keras

82

Ibid, hal 175.

83

Dinarjati Eka Puspitasari dan Agustina Merdekawati. Pertanggungjawaban Indonesia dalam Penyelesaian Kasus Transboundary Haze Pollution Akibat Kebakaran Hutan Berdasarkan Konsep State Responsibility. Mimbar Hukum:vol 19 Nomor 3.hal. 335-485.

tidak hanya melalui negoisasi perwakilan diplomatiknya. Pertama, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengirim surat kepada Presiden Indonesia Yudhoyono yang berisi kekecewaan negaranya terhadap kiriman asap yang hampir setiap tahun diterima oleh Singapura dari pembakaran hutan yang terjadi diwilayah Indonesia. Kedua, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Dato’ Zainal Abidin Zain menyatakan negara malaysia memberikan peringatan (warning) kepada Pemerintah Indonesia agar tidak mengekspor asap ke Malaysia tahun depan. Kabut asap akibat kebakaran hutan Indonesai telah membuat warga Malaysia kesal dan meminta agar Indonesia serius menangani masalah kabut asap kebakaran hutan Indonesia sehingga tidak terjadi lagi pada tahun 2007. Ketiga desakan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN agar Indonesia segera meratifikasi The Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution 2002.84

Sebagaimana diketahui berdasarkan pada pertemuan Menteri Lingkungan Hidup ASEAN dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13 Oktober 2006, Malaysia dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini. Tetapi Indonesia tidak langsung setuju dengan permintaan Malaysia dan Singapura. Protes Malaysia dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa kabut asap tersebut telah menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat dan pariwisata mereka. Tidak saja dari segi lingkungan hidup dan kesehatan, tetapi juga secara ekonomi. Seorang ahli ekonomi dari Nanyang Technological University Singapura, misalnya, memperkirakan kerugian Singapura akibat asap

84

kita dalam satu bulan terakhir telah mencapai hampir Rp500 miliar. 85Kabut asap mengganggu Bandara Changi Singapura dan aktivitas di pelabuhan karena jarak pandang menjadi sangat dekat.Pernyataan maaf secara resmi terhadap masalah ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Malaysia dan Singapura.86 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang telah meminta maaf kepada PM Singapura Lee Hsien Loong dan PM Malaysia. Pemerintah juga berjanji segera menanggulangi persoalan itu dengan lebih terkoordinasi, dengan rencana pengeluaran dana lebih besar, dan dengan penggunaan metode lebih terintegrasi. Namun, itu semua tidak mampu meyakinkan negara-negara tetangga bahwa kita mampu segera menyelesaikan persoalan yang terus berlangsung setiap tahun tanpa ada solusi permanen dan negara tetangga juga belum merasa puas. Inti ketidakpuasan dari negara-negara ASEAN terutama Malaysia dan Singapura adalah bahwa Indonesia hingga tahun 2007 belum meratifikasi The 1997 ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution (AATHP).87

85

Media Indonesia, Sabtu, 14 Oktober 2006 Menarik Pelajaran Dari Masalah Asap, https://opini.wordpress.com/2006/10/14/menarik-pelajaran-dari-masalah-asap/ diakses pada tanggal 3 Januari 2012

86

Suara Merdeka, Sabtu, 14 Oktober 2006, Gangguan Asap Tanggung Jawab kita. http://www.suaramerdeka.com/harian/0610/14/opi01.htm Diakses pada tanggal 3 Januari 2012

87

Soraya, Octavia Maya (2007), Pertanggungjawaban Negara Indonesia Terhadap Kasus Polusi Asap yang Melintas Batas Negara dalam Kaitannya dengan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Undergraduate thesis, Perpustakaan Fakultas Hukum UNDIP. Diakses pada tanggal 2 januari 2012

Negara ASEAN lain sudah meratifikasi AATHP kecuali Filipina. Sampai dengan bulan Juli 2005, tujuh negara ASEAN telah meratifikasi yakni Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam dan Laos dan Kamboja.

Dalam kasus Transboundary Haze Pollution akibat kebakaran hutan ini dapat dilihat bahwa lahirnya pertanggungjawaban Indonesia adalah sebagai konsekuensi dari kesalahan yakni kesalahan dalam mekanisme pengelolaan hutan di Indonesia atau dari kegagalan pemerintah Indonesia yang berdasarkan standar yang ditetapkan bahwa Indonesia seharusnya melakukan langkah-langkah yang efektif untuk mengetasi kebakaran hutan yang terjdi sehingga tidak sampai terjadi kasus Transboundary Haze Pollution, yang menimbulkan kerugian baik yang dapat dinilai dengan materi ataupun tidak. Oleh karena itu, upaya pemulihan yang menjadi tanggungjawab Indonesia tidak hanya permohonan maaf, melainkan harus diikuti dengan pemulihan yang berwujud pecunairy reparation mislanya dengan pemberian ganti rugi secara material. Dengan demikian wujud pertanggungjawaban Indonesia adalah liability.88

Tuntutan pertanggungjawaban Indonesia dalam kasus Transboundary

Haze Pollution akibat kebakaran hutan dari negara-negara yang dirugikan

memang belum pernah ada sampai tahun 2007. Ketiadaan tuntutan ini bukanlah karena tidak adanya kewajiban untuk bertanggungjawab bagi Indonesia terkait kasus Transboundary Haze Pollution, namun karena beberapa perwakilan kedutaan mereka di Indonesia lebih mendasarkan pada hubungan baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi dalam organisasi ASEAN sendiri memang telah ada komitmen bersama untuk selalu bekerjasama dalam menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi anggotan ASEAN secara damai.

88

Saat ini sebenarnya Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah- langkah penanganan berupa Mekanisme Local Remedy yaitu suatu langkah dalam tingkat nasional yang dilakukan dalam upaya penanganan kabut asap akibat kebakaran hutan dan Mekanisme Diplomatic Channel. Mekanisme Local Remedy meliputi :89

1. Membentuk Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Propinsi Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah melalui penetapan Surat Keputusan Direktur Jendral Perlindungan dan Konservasi Alam No.22/KPT/DJ-IV/2004.

2. Menyiapkan anggaran sebesar Rp.100 Miliar untuk penanganan kebakaran hutan dan kabut asap.

3. Instruksi upaya penanganan lokal oleh Pemerintah Daerah yang di daerahnya terjadi kebakaran hutan dengan memberdayakan seluruh sarana, prasarana dan dana dari aset daerah dan pemberdayaan masyarakat.

4. Menindak tegas para pemegang ijin HPH (Hak Pengelolaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang terbukti melakukan pembakaran hutan secara tidak bertanggungjawab sebagai upaya pembukaan lahan (Land Clearing) secara cermat.

5. Meratifikasi berbagai konvensi internasional yang terkait dengan maslah asap dari kebakaran hutan diantaranya UNFCCC kerangka

89

PBB tentang perubahan iklim secara global dan Protokol Kyoto sebagai pelaksanaannya.

Mekanisme Diplomatik Channel meliput i :

1. Permintaan maaf Presiden RI atas asap kebakaran hutan Indonesia dan berjanji akan mengambil tindakan-tindakan progresif dalam upaya menanggulangi masalah asap kebakaran hutan indonesia.