• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB NOTARIS ATAS HILANG ATAU RUSAKNYA MINUTA AKTA YANG DISIMPAN OLEH NOTARIS KARENA BENCANA

A. Tanggung Jawab Notaris Dalam Pelaksanaan Jabatannya

Notaris dalam posisinya sebagai pejabat umum dan sekaligus sebagai profesi bertugas membuat akta otentik. Akta otentik yang dibuatnya tersebut merupakan suatu akta yang memiliki kekuatan pembuktian hukum yang kuat dan sempurna. Dengan demikian, posisinya sebagai pembuat akta yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat perlu diawasi, jangan sampai posisinya tersebut disalahgunakan. Oleh karena itu, untuk memantau kinerja notaris tersebut, pemerintah memerlukan suatu lembaga yang semi independen yang akan memantau kinerjanya, dan pemantauan tersebut dilakukan dengan cara pengawasan. 139

Menurut Sujamto, pengawasan dalam arti sempit adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Sedangkan pengawasan dalam arti luas adalah sebagai pengendalian, pengertiannya lebih forceful daripada pengawasan, yaitu sebagai segala usaha atau kegiatan untuk Agar para notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, demi pengamanan atas kepentingan masyarakat yang dilayaninya, maka diadakan pengawasan terhadap notaris.

139

menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai dengan semestinya.140

Sejak kehadiran institusi Notaris di Indonesia, pengawasan Notaris selalu dilakukan oleh lembaga peradilan dan pemerintah, bahwa tujuan dari pengawasan agar para Notaris ketika menjalankan tugas dan jabatannya memenuhi semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris, demi untuk pengamanan kepentingan masyarakat, karena Notaris diangkat oleh pemerintah, bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri melainkan untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya.141

Meskipun notaris kehidupan pribadinya juga diawasi namun hanya yang bersifat mencolok dan diketahui publik secara luas yang dipandang merusak kepercayaan masyarakat. Misalnya, mabuk-mabukan, pemakai narkoba, penjudi, dan lain sebagainya. Jadi setiap perbuatan baik yang ada di dalam tugas jabatan notaris maupun di luar tugas notaris yang bertentangan dengan keluhuran martabat jabatan notaris termasuk dalam pengawasan.

Tujuan lain dari pengawasan terhadap Notaris, bahwa Notaris dihadirkan untuk melayani kepenntingan masyarakat yang membutuhkan alat bukti berupa akta otentik sesuai permintaan kepada Notaris. Sehingga tanpa adanya masyarakat yang membutuhkan Notaris, maka Notaris tidak ada gunanya.

140

Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1987, Hal. 53 141

Mengingat bahwa notaris menjalankan suatu fungsi sosial yang sangat penting, yaitu meliputi bidang dan peraturan yang lebih luas dari apa yang sebenarnya diuraikan di dalam UUJN, maka diadakannya pengawasan terhadap para notaris adalah sangat beralasan.

Pengawasan yang dilakukan terhadap Notaris pada saat berlakunya Peraturan Jabatan Notaris (PJN) berada pada Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri untuk melakukan pengawasan terhadap profesi Notaris, pengawasan tersebut mencakup pengawasan terhadap jabatan Notaris termasuk di dalamnya prilaku seorang Notaris itu sendiri sebagai pejabat umum. Seiring dengan berjalannya waktu, untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dari Notaris maka dikeluarkanlah suatu peraturan baru yang berlaku bagi Notaris, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Dengan berlakunya UU ini maka kewenangan Pengadilan Negeri sebagai Pengawas Notaris berakhir yang kemudian digantikan oleh Lembaga Pengawas yang baru yang disebut Majelis Pengawas Notaris (MPN).

Sebelum berlaku UUJN, pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris dilakukan oleh badan peradilan yang ada pada waktu itu, sebagaimana pernah diatur dalam Pasal 140 Reglement op de Rechtelijke Organisatie en Het Der Justitie (Stbl. 1847 No. 23), Pasal 96 Reglement Buitengewesten, Pasal 3 Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen-Lembaran Negara 1946 Nomor 135, dan Pasal 50 PJN, kemudian Pengawasan terhadap Notaris dilakukan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagaimana tersebut dalam Pasal 32 dan 54 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan

Umum dan Mahkamah Agung. Kemudian dibuat pula Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Notaris, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Nomor KMA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris, dan terakhir dalam Pasal 54 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.142

Dalam kaitan tersebut di atas, meskipun Notaris diangkat Pemerintah (dahulu oleh Menteri Kehakiman, sekarang oleh Menteri Hukum dan HAM) mengenai pengawasannya dilakukan oleh badan peradilan, hal ini dapat dipahami karena pada waktu itu kekuasaan kehakiman ada Departemen Kehakiman.

Tahun 1999 sampai dengan tahun 2001 dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan dengan amandemen tersebut telah pula merubah Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebagai tindak lanjut dari perubahan tersebut dibuat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

142

militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, ditegaskan bahwa Mahkamah Agung sebagai pelaku salah satu kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.143

Sejak pengalihan kewenangan tersebut, Notaris yang diangkat oleh pemerintah (Menteri) tidak tepat lagi jika pengawasannya dilakukan oleh instansi lain dalam hal ini badan peradilan, karena Menteri sudah tidak mempunyai kewenangan apapun terhadap badan peradilan, kemudian tentang pengawasan terhadap Notaris yang diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dicabut oleh Pasal 91 UUJN.

Setelah berlakunya UUJN badan peradilan tidak lagi melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan terhadap Notaris, tapi pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris, dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris.

Sejak saat itu, yaitu saat diundangkannya UUJN, pada prinsipnya yang berwenang untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris, adalah Menteri yang saat ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM).

143

Ada dua lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap notaris, yaitu Majelis Pengawas Notaris yang dibentuk oleh menteri dan Dewan Kehormatan yang merupakan salah satu dari alat perlengkapan organisasi notaris, dalam hal ini tentunya Ikatan Notaris Indonesia (INI). Kedua lembaga tersebut berwenang untuk mengawasi notaris sampai dengan menjatuhkan sanksi bagi notaris yang dinyatakan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ada perbedaan kewenangan antara kedua lembaga tersebut dikarenakan keduanya terbentuk dari lembaga yang berbeda, namun keduanya tetap tidak dapat dipisahkan dari keberadaan organisasi notaris.

Menurut Pasal 68 UUJN disebutkan bahwa Majelis Pengawas terdiri dari : 1. Majelis Pengawas Daerah (MPD);

2. Majelis Pengawas Wilayah (MPW); dan 3. Majelis Pengawas Pusat (MPP).

Majelis Pengawas Daerah dibentuk dan berkedudukan di Kabupaten dan kota,144 Majelis Pengawas Wilayah dibentuk dan berkedudukan di ibukota propinsi,145 sedangkan Majelis Pengawas Pusat dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara.146

144

Pasal 69 ayat (1) UUJN

Setiap Majelis Pengawas tersebut, dibentuk dengan kedudukan dan kewenangannya, serta kewajibannya masing-masing. Semua ini ditujukan untuk memudahkan negara dalam mengawasi notaris sehubungan dengan perilaku notaris

145

Pasal 72 ayat (1) UUJN 146

dan pelaksanaan jabatannya. Adapun Majelis Pengawas ini berjumlah 9 (sembilan) orang, yaitu terdiri atas unsur:147

1. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang

2. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang 3. Ahli/akademisi 3 (tiga) orang

Sesuai dengan Pasal 67 ayat (1) dan (2) UUJN, pada dasarnya yang mempunyai wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap notaris adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dalam pelaksanaan pengawasan tersebut dibentuk Majelis Pengawas Notaris. Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap notaris.

Sehubungan dengan adanya unsur pemerintah, organisasi notaris dan ahli/akademisi yang terdapat dalam Majelis Pengawas, Habib Adjie berpendapat sebagai berikut:148

Pengawasan dan pemeriksaan terhadap notaris yang dilakukan oleh Majelis Pengawas, yang di dalamnya ada unsur notaris, dengan demikian setidaknya notaris diawasi dan diperiksa oleh anggota Majelis Pengawas yang memahami dunia notaris. Adanya anggota Majelis Pengawas dari kalangan Notaris merupakan pengawasan internal, artinya dilakukan oleh sesama notaris yang memahami dunia notaris luar dalam. Sedangkan unsur lainnya merupakan unsur eksternal yang mewakili dunia akademik, pemerintah dan masyarakat. Perpaduan keanggotaan Majelis Pengawas diharapkan dapat memberikan sinergi pengawasan dan pemeriksaan yang objektif, sehingga setiap pengawasan dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, dan para 147

Pasal 67 ayat (3) UUJN 148

notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak menyimpang dari UUJN karena diawasi secara internal dan eksternal.

Pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas tidak hanya mengenai pelaksanaan tugas jabatan notaris agar sesuai dengan ketentuan UUJN, tapi juga Kode Etik Notaris dan tindak tanduk atau perilaku notaris yang mencederai keluhuran martabat jabatan notaris. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan notaris dengan mengacu kepada UUJN, mempunyai maksud agar semua ketentuan UUJN yang mengatur pelaksanaan tugas jabatan notaris dipatuhi oleh notaris.

Mengenai pengawasan terhadap tindak tanduk atau perilaku notaris, maka yang menjadi ruang lingkup pengawasan Majelis Pengawas adalah yanng berada diluar pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan notaris, dengan batasan:149 1.Melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama, norma

kesusilaan dan norma adat.

2.Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan notaris, misalnya berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba dan berzina.

Wewenang MPD diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10.Tahun 2004.

Notaris selaku pejabat pembuat akta yang eksistensinya diakui oleh negara mempunyai tanggung jawab, baik kepada masyarakat maupun di muka pengadilan,

149

apalagi kalau berkaitan dengan masalah Minuta Akta. Dalam pasal 66 UUJN dinyatakan bahwa untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang :

1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:

a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris

b. memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.

2. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berita acara penyerahan.

Pengambilan fotokopi minuta akta atau surat-surat, dibuat berita acara penyerahan. Bukti penyerahan dimaksudkan agar pembuktian secara hukum mengenai penyerahan lebih kuat. Sebab kalau tidak ada bukti penyerahan, maka suatu saat akan terjadi penyangkalan mengenai bukti telah terjadi penyerahan tersebut.

Selain itu, berdasarkan Pasal 70 huruf b UUJN dan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menentukan bahwa Majelis Pengawas Daerah berwenang melakukan pemeriksaan terhadap protokol notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu. Majellis atau Tim Pemeriksa dengan tugas seperti ini hanya ada pada Majelis Pengawas Daerah saja, yang mana hal

tersebut langsung dilakukan di kantor notaris yang bersangkutan. Tim pemeriksa ini sifatnya insidentil (untuk pemeriksaan tahunan atau sewaktu-waktu) saja dan dibentuk oleh Majelis Pengawas Daerah jika diperlukan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka Habib Adjie mengatakan bahwa instansi utama yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap notaris adalah Majelis Pengawas dan untuk kepentingan tertentu Majelis Pengawas membentuk tim pemeriksa dan majelis pemeriksa (daerah, wilayah dan pusat). Dengan demikian, terdapat 3 (tiga) institusi dengan tugas melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap notaris dengan kewenangan masing-masing, yaitu:150

1. Majelis Pengawas (daerah, wilayah dan pusat) dengan kewenangan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan notaris dan Kode Etik Notaris dan tindak tanduk atau perilaku kehidupan notaris.

2. Tim pemeriksa dengan kewenangan melakukan pemeriksaan terhadap protokol notaris secara berkali 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu.

3. Majelis Pemeriksa (daerah, wilayah dan pusat) dengan kewenangan untuk memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama notaris.

Dalam Pasal 73 ayat (1) UUJN diatur mengenai wewenang MPW yang berkaitan dengan:

150

a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah

b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;

d. Memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis.;

e. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:

(1) Pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan. (2) Pemberhentian dengan tidak hormat.

f. Membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f.

Dalam Pasal 77 UUJN diatur mengenai wewenang MPP yang berkaitan dengan: a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam

tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;

b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

c. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara.

d. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.

Dewan Kehormatan merupakan salah satu alat perlengkapan organisasi Ikatan Notaris Indonesia dan terdiri dari tiga tingkat yaitu di tingkat pusat, wilayah (propinsi) dan daerah (kota/kabupaten). Anggota Dewan Kehormatan di setiap tingkat tersebut berjumlah 5 (lima) orang yang terpilih dalam rapat anggota berupa kongres di tingkat pusat, Konferensi Wilayah di tingkat propinsi dan Konferensi Daerah di tingkat Kota/Kabupaten. Keberadaan lembaga Dewan Kehormatan diatur dalam Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia, adapun tugas dari Dewan Kehormatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat (3) Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia adalah sebagai berikut:151

Dewan Kehormatan bertugas untuk:

1. Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik

2. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung

3. memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris

Pada dasarnya tugas utama Dewan Kehormatan adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik notaris yang telah ditentukan oleh

151

Ikatan Notaris Indonesia Dalam Kaitannya dengan Keberadaan Majelis Pengawas Notaris dan Dewan Kehormatan Sebagai Lembaga Pengawas Pelaksanaan Jabatan dan Kode Etik

Notaris,

organisasi meliputi kewajiban, larangan dan pengecualian yang harus dilakukan oleh para anggota organisasi. Dewan kehormatan dalam melaksanakan tugasnya tersebut dapat melakukan pemeriksaan terhadap anggota organisasi yang diduga melakukan pelanggaran atas kode etik dan bila dinyatakan bersalah maka Dewan Kehormatan berhak menjatuhkan sanksi organisasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia (INI) berupa teguran, peringatan, pemberhentian sementara, pemecatan dan pemberhentian dengan tidak hormat dari anggota perkumpulan. Wewenang Dewan Kehormatan tersebut adalah terhadap pelanggaran kode etik organisasi yang dampaknya tidak berkaitan dengan masyarakat secara langsung atau tidak ada orang-orang yang dirugikan dengan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota organisasi, atau dengan kata lain wewenang Dewan Kehormatan bersifat internal organisasi.152

Pengertian jabatan harus berlangsung terus menerus (berkesinambungan) dapat diberlakukan kepada notaris, meskipun seseorang sudah pensiun dari jabatannya sebagai notaris atau dengan berhentinya seseorang sebagai notaris maka berhenti pula kedudukannya sebagai notaris. Sedangkan notaris sebagai jabatan, akan tetap ada dan akta-akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris yang sudah pensiun tersebut akan tetap diakui dan akan disimpan (sebagai suatu kesinambungan) oleh notaris pemegang protokolnya.153

152 Ibid 153

Protokol notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh notaris (Pasal 1 angka 13 UUJN), yang terdiri dari:

Tidak ada perbedaan yang sangat tajam antara jabatan dalam pemerintahan atau suatu organisasi dengan jabatan notaris, yang keduanya dijalankan oleh orang yang disebut dengan pejabat. Yang membedakan antara jabatan dalam pemerintahan atau suatu organisasi dengan jabatan notaris, yaitu mengenai menjaga kesinambungan dari suatu jabatan.

Jabatan-jabatan tersebut akan tetap ada, jika aturan hukum yang mengatur jabatan-jabatan tersebut tidak dicabut atau diganti dengan bentuk lain. Pada jabatan- jabatan dalam pemerintahan atau suatu organisasi, pejabatnya dapat berganti kapan saja dan segala keputusan dan kebijakan yang dibuat sebelumnya tetap mengikat yang menggantikannya. Hal ini sebagai suatu bentuk kesinambungan dari sebuah jabatan, sedangkan dalam jabatan notaris, kesinambungan seperti itu tidak berlaku. Produk dari jabatan notaris berupa akta. Ketika seorang notaris pensiun atau berhenti dari jabatannya sebagai notaris, maka akta notaris tersebut harus dipegang atau disimpan oleh notaris lainnya sebagai pemegang protokol notaris. Notaris pemegang protokol notaris tersebut tidak dapat melakukan tindakan apapun, seperti merubah isi akta, tapi yang dapat dilakukannya yaitu merawat dan mengeluarkan salinan atas permintaan

2. Daftar akta (Repertorium)-Pasal 58 ayat (1) UUJN

3. Buku Daftar untuk surat di bawah tangan yang disahkan dan ditandatangani di hadapan notaris (legalisasi)-Pasal 58 ayat (1)UUJN

4. Buku Daftar untuk surat di bawah tangan yang dibukukan (waarmerking)-Pasal 58 ayat (1) UUJN 5. Buku Daftar Protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga-Pasal 16 ayat (1)

huruf g UUJN

6. Buku Daftar Wasiat-Pasal 16 ayat (1) huruf h UUJN 7. Daftar Klaper untuk para penghadap

8. Daftar Klaper untuk surat di bawah tangan yang disahkan dan ditandatangani di hadapan notaris (legalisasi)-Pasal 59 ayat (1) UUJN

9. Daftar Klaper untuk surat di bawah tangan yang dibukukan (waarmerking)-Pasal 59 ayat (1) UUJN 10. Daftar surat lain yang diwajibkan oleh UUJN-Pasal 58 ayat (1) UUJN

para pihak yang namanya tersebut dalam akta atau para ahli warisnya, sehingga kesinambungannya dalam penyimpanan protokol notaris bukan dalam kesinambungan pelaksanaan jabatan oleh pejabat, tapi kesinambungan jabatan notaris. Dengan demikian, akta notaris mempunyai umur yuridis, yaitu tetap berlaku dan mengikat para pihak yang namanya tercantum dalam akta tersebut, meskipun notaris yang bersangkutan sudah berhenti menjalankan tugas jabatannya sebagai notaris. Mereka yang melaksanakan tugas jabatan notaris dibatasi oleh umur biologis. Umur biologis notaris sendiri yang akan berakhir karena notaris meninggal dunia.

UUJN tidak saja mengatur mengenai notaris, tapi juga mengatur mengenai pejabat sementara notaris, notaris pengganti dan notaris pengganti khusus. Istilah- istilah tersebut berkaitan dengan jabatan notaris dan pertanggungjawabannya.

Menurut Pasal 1 angka 2 UUJN yang dimaksud dengan Pejabat Sementara Notaris adalah seorang yang sementara menjabat sebagai notaris untuk menjalankan jabatan notaris yang meninggal dunia, diberhentikan atau diberhentikan sementara. Substansi pasal ini menimbulkan kerancuan atau tidak logis terhadap notaris sebagai suatu jabatan. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya diberikan wewenang tertentu. Notaris yang meninggal dunia berarti sudah tidak dapat menjalankan kewenangan apapun, sehingga jabatan notaris yang disandangnya tidak dapat digantikan oleh orang lain. Hal ini sama artinya dengan notaris yang diberhentikan atau diberhentikan sementara dari jabatannya. Pemberhentian yang tetap atau yang sementara merupakan bentuk hukuman terhadap notaris. Hukuman melahirkan akibat bahwa jabatan itu tidak mempunyai kewenangan lagi. Jika ada notaris yang

meninggal dunia dan diberhentikan dengan tetap tidak perlu ada pejabat sementara notaris, karena notaris yang meninggal dunia dan diberhentikan dengan tetap tidak mempunyai kewenangan lagi artinya jabatan notaris yang disandangnya telah berhenti dan sudah pasti tidak akan kembali atau diangkat lagi sebagai notaris. Jika terjadi seperti ini lebih logis jika protokol154

Menurut Pasal 1 angka 3 UUJN yang dimaksud dengan Notaris Pengganti adalah seseorang yang sementara diangkat sebagai notaris untuk menggantikan notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai notaris.

notaris yang bersangkutan disimpan oleh notaris lain. Sedangkan untuk notaris yang diberhentikan sementara juga untuk sementara waktu tidak mempunyai kewenangan untuk menjalankan tugas jabatan notaris, sehingga suatu hal yang sangat tidak logis orang yang sudah tidak mempunyai kewenangan meskipun untuk sementara waktu, kewenangannya dijalankan oleh orang lain atau dengan mengangkat Pejabat Sementara Notaris.

155

Menurut Pasal 1 angka 4 UUJN, Notaris Pengganti Khusus adalah seorang yang diangkat sebagai notaris khusus untuk membuat akta tertentu sebagaimana

154

Pasal 62 UUJN menetukan penyerahan Protokol Notaris dilakukan dalam hal notaris: a. meninggal dunia

b. telah berakhir masa jabatannya c. minta sendiri

d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun

e. diangkat menjadi pejabat negara f. pindah wilayah jabatan

g. diberhentikan

h. diberhentikan dengan tidak hormat. 155

Notaris Pengganti sifatnya sementara saja, sehingga dapat disebut menjalankan tugas jabatan notaris dari notaris yang sedang cuti, sakit atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatan sebagai notaris

disebutkan dalam surat penetapannya sebagai notaris karena di dalam satu daerah