• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.4.3 Sistem Sosial Antropogenik Penyu Belimbing .1Pengambilan dan Konsumsi Telur

5.4.3.2 Tangkapan dan Konsumsi Daging

Tangkapan penyu teridentifikasi merupakan pemanfaatan langsung disamping pengambilan telur. Hasil penelitian menunjukkan estimasi tangkapan penyu meningkat terjadi diluar KKLD Abun yaitu kampung Sarray dan Bremi (Gambar 40 dan 41). Kampung Bremi diketahui laju tangkapan sebanyak 10,45 ekor, Sarray sebesar 8,76 ekor, Sausapor sebanyak 2,905 ekor, Waybeam sebanyak 2,34 ekor, Wau_Weyaf sebanyak 1,37 ekor dan terendah Saubeba sebanyak 1,125 ekor. Secara jelas, estimasi penangkapan penyu belimbing pada saat penelitian ditampilkan pada Gambar 45

Gambar 45 menunjukkan tingginya tangkapan oleh masyarakat Sarray dan Bremi dikarenakan kebiasaan menangkap dan mengkonsumsi penyu sebagai makanan. Status pantai dan pesisir utara Manokwari yang bukan kawasan konservasi juga memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk melakukan penangkapan. Kondisi ini semakin kritis mengingat peran pemerintah tidak optimal. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya sosialisasi tentang perlindungan penyu kepada masyarakat. Akibatnya penangkapan terus terjadi seiring dengan permintaan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Gambar 45. Pendugaan jumlah tangkapan penyu belimbing (ekor/KK/kampung/musim) di pesisir KKLD Abun

Penangkapan penyu belimbing terjadi seiring dengan konsumsi daging oleh masyarakat disekitar pesisir utara Papua. Hasil menunjukkan bahwa tingginya konsumsi daging terjadi di kampung Bremi yaitu 16,4 kg, Sarray sebanyak 12,99 kg, Waybeam dan Wau_Weyaf sebanyak 4,2 kg dan 4,12 kg, Sausapor dan Saubeba sebanyak 3,74 kg dan 3,37 kg. Secara jelas konsumsi daging ditampilkan pada Gambar 46.

Gambar 46 menunjukkan laju konsumsi daging oleh masyarakat masih didominasi oleh masyarakat kampung Sarray dan Bremi. Tingginya laju konsumsi daging oleh masyarakat pada kedua kampung ini disebabkan kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun dan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Rendahnya pendapatan ekonomi menyebabkan ketergantungan terhadap semua sumberdaya yang berujung pada peningkatan laju pemanfaatan seiring dengan peningkatan kebutuhan hidup.

Gambar 47 menjelaskan pola pemanfaatan terhadap individu dewasa berdasarkan jumlah tangkapan penyu dan konsumsi daging terhadap populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon. Terlihat bahwa laju tangkapan penyu terbanyak dilakukan oleh masyarakat Bremi dan Saray dengan rata-rata tangkapan 9,05 ekor/musim, dibandingkan dengan Sausapor/Saubeba 2.01 ekor/musim dan Wau_Weyaf/Waybeam sebanyak 2,1 ekor/musim. Kondisi ini sejalan dengan rata-rata konsumsi daging oleh masyarakat Bremi dan Sarray yaitu

14,7 kg/musim diikuti Wau_Weyaf/Waybeam yaitu 7,3 kg/musim dan Sausapor/Saubeba yaitu 3,6 kg/musim. Tingginya laju tangkapan dan konsumsi daging oleh masyarakat lokal mengindikasikan ketergantungan terhadap sumberdaya sangat besar. Ketergantungan terhadap sumberdaya terlihat dari pola pemanfaatan dengan frekuensi tinggi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Rendahnya pendapatan ekonomi dan minimnya pilihan matapencaharian alternatif menyebabkan pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing menjadi pilihan terbaik dalam pemenuhan kebutuhan makan dan ekonomi. Kondisi ini menggambarkan rendahnya taraf ekonomi masyarakat di pesisir Abun. Kondisi diperparah dengan lemahnya peran pemerintah terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan pengawasan perlindungan penyu. Apabila pemerintah mengoptimalkan perbaikan ekonomi masyarakat dengan memberikan matapencaharian alternatif maka akan terjadi pengalihan aktivitas, sehingga masyarakat tidak bergantung kepada penangkapan penyu tetapi lebih terfokus pada alternatif kegiatan yang ditawarkan. Solusi ini semestinya menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam mengelola sumberdaya dimana masyarakat menjadi prioritas utama.

dfdfcv Penangkapan Penyu : 2,905/ekor/KK/Musim Konsumsi telur : 3,75/kg/KK/Musim Penangkapan Penyu : 1,12/ekor/KK/Musim Konsumsi daging : 3,37/kg/KK/Musim Penangkapan Penyu : 2,3/Sarang/KK/Musim Konsumsi telur : 4,2/kg/KK/Musim Penangkapan penyu : 1,37/ekor/KK/Musim Konsumsi daging: 4,12/kg/KK/Musim Penangkapan Penyu : 8,7/ekor/KK/Musim Konsumsi daging: 12,99/kg/KK/Musim Penangkapan Penyu : 10,45/ekor/KK/Musim Konsumsi daging : 16,45/kg/KK/Musim

Gambar 47. Estimasi kerentanan populasi individu dewasa berdasarkan penangkapan dan konsumsi daging penyu belimbing oleh masyarakat di pesisir utara Kabupaten Tambrauw.

1

4

Keseluruhan pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing yang terjadi didalam KKLD Abun maupun diluar KKLD ditampilkan pada Tabel 35 dan Gambar 48.

Tabel 35. Estimasi pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing oleh masyarakat di pesisir utara Kepala Burung

Pengambilan telur (sarang/KK/pant ai/musim) Konsumsi Telur (butir/KK/kam pung/musim) Tangkapan masyarakat (ekor/KK/ka mpung/musi m) Konsumsi daging (kg/KK/kamp ung/musim) Jamurba Medi (Sausapor & Saubeba) 1.26 646.88 0.67 0.59 Wermon (Wau_Weyaf &Waybeam) 1.22 717.38 0.62 0.69 Luar KKLD (Sarray&Bremi ) 1.37 770.33 3.20 7.36

Sumber : Data primer 2012

Hasil menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya Penyu Belimbing masih didominasi oleh masyarakat diluar KKLD Abun. Dominasi pemanfaatan ini berkaitan dengan keleluasaan memanfaatkan tanpa batasan dan larangan. Keleluasaan pemanfaatan berdampak pada peningkatan frekuensi terhadap sumberdaya Penyu Belimbing baik telur maupun individu dewasa. Pemanfaatan sumberdaya penyu juga terjadi dalam KKLD Abun meskipun dengan nilai yang lebih rendah. Rendahnya nilai pemanfaatan ini dikarenakan status pantai Jamursba Medi dan Wermon sebagai kawasan konservasi menyebabkan adanya larangan pemanfaatan meskipun, ada beberapa masyarakat yang tetap memanfaatkan. Ekploitasi sumberdaya Penyu Belimbing secara nyata berdampak pada penurunan populasi di pantai Jamursba Medi dan Wermon yang merupakan penyuplai populasi terbesar di Pasifik Barat. Sebagaimana diketahui, bahwa saat ini jumlah populasi Penyu Belimbing yang tersedia dialam hanya 2.300 penyu betina dewasa. Jumlah ini terbilang sangat rendah dan berpeluang mengalami kepunahan apabila terjadi peningkatan jumlah tangkapan. Oleh sebab itu, perlu adanya pengawasan yang dilakukan secara kontinue untuk meminimalkan laju pemanfaatan dengan pengalihan aktivitas serta pilihan matapencaharian alternatif guna meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat setempat.

Gambar Hasil penangkapan dan kosumsi daging oleh masyarakat di pesisir utara Kabupaten Tambrauw

Pengambilan telur : 1,26 sarang/KK/pantai/musim Konsumsi telur : 646,88 butir/KK/pantai/musim Penangkapan : 0,67 ekor/KK/kampung/musim Konsumsi daging : 0,59 kg/KK/kampung/musim

Pengambilan telur : 1,26 sarang/KK/pantai/musim Konsumsi telur : 717,38 butir/KK/pantai/musim Penangkapan : 0,62 ekor/KK/kampung/musim Konsumsi daging : 0,69 kg/KK/kampung/musim

Pengambilan telur : 1,37 sarang/KK/pantai/musim Konsumsi telur : 770,38 butir/KK/pantai/musim Penangkapan : 3,20 ekor/KK/kampung/musim Konsumsi daging : 7,36 kg/KK/kampung/musim

Gambar 48. Estimasi kerentanan populasi penyu belimbing akibat pemanfaatan penyu belimbing oleh masyarakat di pesisir utara Kabupaten Tambrauw.

1

4

Eksploitas terhadap sumberdaya penyu belimbing menggambarkan keterkaitan ekologi dan sosial secara tidak langsung Keterkaitan tersebut tergambar dari fungsi ekologis penyu belimbing sebagai penyeimbang populasi ubur-ubur laut yang merupakan predator jurvenil ikan (zooplankton) sehingga mempengaruhi sistem ekologis dimana menurunkan produksi perikanan. Penurunan produksi perikanan diketahui akan mempengaruhi ketersediaan stok perikanan dan pola konsumsi manusia terhada sumberdaya ikan. Berdasarkan penjelasan ini terlihat adanya keterkaitan hubungan dan ketergantungan antara sistem ekologi dan sosial, dimana apabila terjadi perubahan pada sistem ekologis maka akan mempengaruhi sistem sosial, dan sebaliknya seperti pada Gambar 49.

Populasi Penyu Belimbing Telur Penyu Belimbing Tukik Penyu Belimbing

Ubur ubur family Scypozoa Ikan Hiu Burung Elang Babi hutan Biawak Anjing -Manusia Masyarakat pesisir utara Papua Masyarakat Kei Maluku Tangkapan sampingan Pemanfaatan langsung Pemanfaatan tak langsung -- -+ -Juvenil ikan (Zooplankton) Produksi perikanan - -+ + + -Alat tangkap tidak selektif

-Gambar 49. Sistem ekologi sosial penyu belimbing di Abun (tulisan berwarna biru : populasi penyu belimbing. Kotak : faktor alami dan bukan kotak : faktor antropogenik)

Gambar 49 menjelaskan populasi penyu belimbing yang terdiri dari telur, tukik dan penyu dewasa. Telur penyu menjadi mangsa bagi beberapa jenis hewan karnivora seperti Babi hutan, Biawak dan Anjing. Tukik menjadi mangsa bagi burung Elang dan ikan Hiu. Sementara penyu dewasa memiliki peran vital karena berfungsi sebagai penyeimbang populasi ubur-ubur. Peran ini memberikan nilai positif terhadap peningkatan produksi perikanan secara alami. Selanjutnya predator utama populasi penyu belimbing adalah manusia melalui dua pola pemanfaatan yaitu pemanfaatan langsung dan tidak langsung. Masyarakat yang melakukan pemanfaatan langsung terindikasi pada masyarakat di KKLD Abun dan Kei Maluku. Sementara pemanfaatan tidak langsung merujuk pada aktivitas perikanan skala besar. Berdasarkan fakta ini diketahui bahwa manusia memberikan tekanan akibat dari eksploitasi yang berdampak pada penurunan populasi baik individu baru maupun individu dewasa dan secara langsung menjadi penyebab terganggunya sistem ekologis dialam.

5.4.3.3Tangkapan Sampingan

Tangkapan sampingan adalah tertangkap atau terjaringnya spesies bukan target dari suatu aktivitas perikanan seperti perikanan udang, tuna dan perikanan lainnya. Hasil wawancara nelayan pada kapal penangkap ikan dengan alat tangkap jaring insang dan jaring dasar dengan ukuran mata jaring 3 - 4 inchi pada kapasitas 4 - 5 GT menyatakan rata-rata jumlah penyu belimbing yang terjaring adalah 2 ekor per tahun, tetapi pada waktu tertentu penyu tidak terjaring sama sekali. Selanjutnya kapal udang dengan ukuran 290 GT yang menggunakan alat tangkap trawl menunjukkan tangkapan sampingan penyu lebih sedikit sekitar 2 ekor/trip. Sedikitnya jumlah penyu belimbing yang tertangkap dengan trawl

dikarena telah terpasang Turtle Teds sehingga beberapa spesies non target tidak terjaring.

Peningkatan jumlah armada perikanan di Sorong memberikan peluang terhadap aktivitas pemanfaatan sekitar perairan Sorong, Rajaampat, perairan Sorong Selatan. Tingginya aktivitas perikanan dipesisir Sorong yang merupakan jalur migrasi Penyu Belimbing selama masa internesting memberikan peluang adanya tangkapan sampingan. Wiadnyana et al. (2006) menyatakan bahwa banyak armada perikanan disekitar lokasi peneluran berpeluang terjadinya tangkapan

sampingan. Sebagai contoh Bali dengan armada perikanan terbanyak setelah Jawa menunjukkan tangkapan sampingan ± 1 ekor penyu, bahkan bisa mencapai 29 ekor/trip/kapal. Hasil ini diperkirakan meningkat seiring dengan peningkatan armada dan aktivitas tangkapan. Lebih lanjut diestimasi dalam satu tahun (asumsi sedikitnya 6 trip) bisa mencapai 4920 - 4980 ekor. Kondisi ini ditakutkan akan terjadi diperairan sekitar pantai peneluran Jamursba Medi mengingat jumlah armada perikanan yang semakin meningkat.

Hasil penelitian menunjukkan kapal yang teridentifikasi dalam kawasan konservasi laut Abun adalah kapal dengan ukuran 3-5 GT , berjumlah 2-4 kapal, dengan alat tangkap yang digunakan adalah jaring benang. Waktu operasi kapal ini tidak menentu dan sangat bergantung kepada kondisi lingkungan laut. Kondisi lingkungan laut KKLD Abun merupakan perairan yang berhadapan dengan samudra Pasifik sehingga selalu bergelombang menyebabkan beberapa perahu nelayan tidak melakukan penangkapan. Rendahnya aktivitas penangkapan dipesisir KKLD Abun menunjukkan rendahnya jumlah Belimbing yang tertangkap didalam KKLD.

Pengaruh dari luar KKLD justru menjadi ancaman penurunan populasi Penyu Belimbing di Jamursba Medi dan Wermon, salah satunya adalah ancaman aktivitas perikanan tuna. Zainudin et al. (2006) menunjukkan hasil observasi periode Mei - Desember 2006 dengan mengikuti operasi kapal rawai tuna yang berpangkalan di Bali, pelabuhan Ratu dan Bitung Sulawesih Utara. Dari observasi tersebut diperoleh sebanyak 10 kapal melakukan 559 kali setting alat tangkap dengan menebar 832.208 pancing. Dari aktivitas tersebut, diketahui 85 penyu tertangkap sebagai tangkapan sampingan, 3 mamalia laut, 2 burung laut dan 507 hiu. Dari tiga armana, kapal rawai tuna yang berpangkalan di Bitung memperoleh hasil tangkapan sampingan penyu terbanyak. Tingginya tangkapan sampingan dari kapal rawai tuna Bitung disebabkan daerah penangkapan tuna berada di Samudra Pasifik berdekatan dengan pantai peneluran (Gambar 49). Selain itu, kapal rawai tuna Bitung yang menggunakan metode setting dangkal diperkirakan menjadi penyebab tingginya tangkapan sampingan karena adanya interaksi dengan daerah renang penyu.

Meningkatnya tangkapan sampingan seiring dengan peningkatan aktivitas perikanan diperairan dunia seperti perikanan pelagik, perikanan udang dan jenis perikanan lainnya. Aktivitas perikanan ini berkontribusi terhadap peningkatan produksi guna memenuhi permintaan pasar internasional. Tingginya permintaan pasar internasional memicu peningkatan aktivitas untuk memperoleh hasil maksimal dengan mengabaikan dampak yang ditimbulkan seperti tingginya tangkapan sampingan. Beberapa contoh disampaikan oleh Lewison et al. (2006), bahwa perikanan rawai saat ini menjadi trend di negara maju dan berkembang untuk meningkatkan produksi perikanan. Lebih lanjut, Lewison et al. (2006), mengidentifikasi pengguna perikanan rawai diseluruh dunia sebanyak 40 negara dengan wilayah tangkapan yang berbeda. Wilayah penangkapan perikanan rawai yaitu di Samudra Pasifik sekitar 52%, samudra Atlantik 37% dan samudra Hindia sekitar 11%. Perairan utama perikanan rawai adalah perairan utara Kolombia tepatnya Central Pasifik, region antara Filipina dan Indonesia, laut Mediterania dan selatan samudra Atlantik. Dalam aktivitas penangkapan diperkirakan 1.4 milyar kail diletakkan di perairan dengan frekuensi pengulangan 3.8 juta kali/hari. Lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap tahunnya, perikanan rawai tuna memasang 1.2 milyar kail, lebih besar dibandingkan untuk memancing ikan cucut yang hanya 200 juta kail di perairan (Lewison et al. 2006). Kondisi ini memungkinkan tingginya jumlah tangkapan spesies target dan spesies bukan target. Spesies bukan target yang tertangkap salah satunya adalah penyu belimbing mengingat perairan tersebut merupakan jalur lintasan ketika melakukan migrasi ke area peneluran maupun ke area makan dan perkawinan. Apabila dihubungkan dengan pola migrasi Penyu belimbing musim boreal summer di Jamursba Medi, maka populasi ini sangat rentan dan berpeluang tertangkap sebagai tangkapan sampingan. Berdasarkan fakta ini maka dapat disimpulkan bahwa tangkapan sampingan diprediksi mempengaruh penurunan individu dewasa.