• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

2.1 Tata Ruang Kota

Tata ruang adalah wujud dari struktur dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak direncanakan (Harris, 2015), yang mana aspek fisik struktur ruang merupakan kawasan terbangun dengan terletak saling berdekatan besifat meluas dari pusatnya hingga ke wilayah pinggiran atau wilayah geografis yang didominasi oleh struktur, seperti bentuk dan fungsi bangunan, pola jalan, ruang terbuka, tata guna lahan (Budiarto dan Suwandono, 2014). Sedangkan menurut (Foley,1970) mengemukakan bahwa penataan ruang dilandasi oleh suatu paradigma yang meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu: aspek normatif, aspek fungsional dan aspek fisik.

Pada hal ini, kajian berfokus terhadap aspek fisik yang hubungan ketataruangan distribusi bentuk fisik, bangunan, tata guna lahan berdasarkan kualitas dan kesesuaian

bentuk sumber daya alam, jaringan jalan, jaringan utilitas dan lainnya (Sujarto,1992). Demikian pula, terdapatnya bahasan kota dari elemen-elemen fisik antara lain sebagai berikut: tata guna lahan, bentuk dan masa Bangunan, sirkulasi dan ruang parkir, ruang terbuka, pedestrian, tanda-tanda, kegiatan pendukung, preservasi dan konservasi (Shirvani,1985; Weishaguna dan Saodih, 2004). Maka berdasarkan uraian teori-teori tersebut dapat ditemukan benang merah yang memiliki unsur penting aspek fisik dalam tata ruang kota, yaitu: (1) tata guna lahan/ fungsi zona; (2) sistem sirkulasi; (3) massa dan bentuk bangunan; dan (4) ruang terbuka.

2.1.1 Tata guna lahan / fungsi zona

Tata guna lahan dapat dikatakan berupa fungsi lahan yang ditentukan oleh kondisi alam maupun oleh campur tangan manusia, dan secara khusus sering merujuk pada pengelolaan lahan terhadap kebutuhan manusia itu sendiri (FAO, 1999: 6). Hal ini juga dapat dikaitkan dengan penggunaan lahan dimasa lalu, namun penggunaannya lebih ke pada aspek fungsi zona pada ruang kota yang diperlukan saat itu. Lahan dapat pula diartikan sebagai land settlement yaitu tempat atau daerah dimana penduduk berkumpul dan hidup bersama, dimana mereka dapat menggunakan lingkungan setempat untuk mempertahankan, melangsungkan dan mengembangkan hidupnya (Bintarto, 1983). Sedangkan pemanfaatan lahan merupakan segala campur tangan manusia baik itu permanen maupun tidak terhadap suatu kumpulan sumber daya alam dan buatan secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk

mencukupi kebutuhan-kebutuhannya baik kebendaan maupun spiritual atau keduanya (Sutanto, 1986).

Oleh karena itu, pemanfaatan lahan berawal dari suatu kebutuhan penghuninya yang menyesuikan dengan kondisi lingkungan / alam untuk bertahan hidup dan terus berkembang kota. Pemanfaatan lahan ini, erat kaitannnya fisik atau morfologinya, yang menekankan pada bentuk-bentuk yang terlihat dari lingkungan suatu kota, Smailes (1955) dalam Yunus (1994) memperkenalkan ada 3 (tiga) unsur morfologi kota yaitu penggunaan lahan, pola-pola jalan dan tipe atau karakteristik bangunan, yang mana juga Conzen (1962) dalam Yunus (1994) mengatakan unsur-unsur yang sama, yaitu: plan, architectural style and land use.

2.1.2 Sistem sirkulasi

Pola jaringan jalan merupakan salah satu unsur dari morfologi kota (Yunus, 2000). Berdasarkan dari pada itu, adanya berbagai komponen morfologi kota, yang mana pola jalan merupakan komponen yang paling nyata manifestasinya dalam pembentukan periodeisasi pembentukan kotanya (Gambar 2.1). Ada tiga sistem pola jalan yang dikenal, yaitu:

a. Sistem pola jalan tidak teratur. Sistem ini terlihat pada ketidakaturan sistem jalan dari lebar maupun arah jalannya. Demikian pula dengan kondisi rumah satu antara lainnya tidak menunjukkan keteraturan, yang mana terlihat pada pola jalan yang melingkar-lingkar, dengan lebar bervariasi berupa cabang culdesac yang banyak.

b. Sistem pola jalan radial konsentris. Sistem ini memiliki beberapa sifat khusus, yaitu: (1) pola jalan konsentris; (2) pola jalan radial; (3) bagian pusat yang merupakan area kegiatan utama dan sekaligus tempat pertahanan terakhir dari suatu kekuasaan; (4) secara keseluruhan berpola jaringan laba-laba, sistem jaringan yang berkembang antara tahun 1500-1800; (5) keteraturan geometris; dan (6) jalan besar menjadi titik pusat dan membentuk.

c. Sistem pola jalan bersudut siku atau grid. Sistem ini membagi kota menjadi blok-blok empat persegi panjang dengan jalan-jalan yang paralel longitudinal dan transversal membentuk sudut siku-siku, yang jalan-jalan utamanya membentang dari pintu gerbang.

Gambar 2.1 Pola sirkulasi kota Sumber: Branch (1995)

Pada sistem sirkulasi tersebut di atas, juga dapat diimplementasikaan dalam jalur sirkulasi melalui sungai dan jalan setapak yang terdapat di masa kesultanan / sebelum kolonial masuk, yang cenderung memiliki sistem pola sirkulasi yang radial.

2.1.3 Massa dan bentuk bangunan

Suatu bangunan memiliki peran penting dalam membentuk identitas kota.

Keberadaannya yang memilki karakter akan mampu tampil sebagai penanda pada suatu kawasan atau kota, yang biasa dikenal sebagai landmark. Oleh karena itu, dalam penataanya, terdapat unsur keseimbangan, proporsional, harmonis, berskala pada bentuk fisik bangunan yang membentuk ruang luar dengan memperhatikan bangunan sekitarnya. Pengorganisasian bentuk bangunan terdiri dari empat macam, yang salah satunya merupakan sifat-sifat bentuk, (1) posisi, letak dari sebuah bentuk;

(2) orientasi, yang mana arah dari sebuah bentuk; (3) inersiavisual: suatu bentuk yang tergantung pada geometri dan orientasinya relatif terhadap bidang dasar (Parliana,2018). Bangunan yang merupakan suatu ruang privat, harus harmonis dengan ruang umum, dan bangunan-bangunannya harus membentuk ruang yang baik diantara bangunan tersebut. Pada teori, town scape (Gordon Cullen) ini memuat bagaimana menata ruang kota yang terintegrasi, yang artinya bahwa suatu kota harus bisa mencerminkan adanya hubungan suatu kota dengan kegiatan kota. Sehingga, diharapkan mampu mencerminkan suatu karakter arsitektur / bangunan yang berorientasi terhadap kota, dengan kata lain suatu produk arsitektur (bangunan atau artifact) harus merupakan bagian integral dalam sistem ruang atau bentuk kota.

2.1.4 Ruang terbuka

Berupa ruang terbuka hijau dan alami ataupun ruang terbuka terbangun, ruang terbuka dengan kawasan yang tidak terbangun atau yang secara dominan lahannya tidak terbangun pada area perkantoran dan memiliki nilai fungsi untuk taman dan rekreasi, konversi tanah dan sumber-sumber alam, serta tujuan pendidikan dan perlindungan mengenai sejarah (Hamid, 1996). Selain itu, ruang terbuka sangat berpotensi bagi pemenuhan ruang rekrasi kebutuhan public space seperti taman dan alun-alun yang memiliki nilai sosial. Pada hal ini, alun-alun dapat dikatakan menjadi ruang terbuka publik di pusat kota, yang mempunyai ciri : (1) berada di pusat kota;

(2) berupa ruang terbuka yang cukup luas; (3) menjadi pusat kegiatan publik; (4) pilihan utama masyarakat untuk tempat berkumpul, di sekitarnya terdapat bangunan-bangunan publik atau bangunan-bangunan religius, merupakan bagian dari bentukan arsitektur yang ada disekelilingnya (Kostof, 2005); (5) mempunyai signifikansi sejarah, (6) memiliki nilai politik (sebagai tempat bertemu warga dengan penguasa / pemerintah).

Selain itu, adanya pertimbangan dalam ruang terbuka hijau yang memiliki 3 (tiga) aspek utama harus dipertimbangkan dalam ruang terbuka hijau yaitu hubungan antar ruang terbuka hijau dengan lingkungan sekitar. Ruang terbuka hijau harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat, tetap memperhatikan aspek estetika dan fungsional, garis, bentuk, tekstur dan warna, menyesuikan dengan karakter lahan dan karakter pengguna (Amiany, 2018). Pembentukan ruang kota yang bervariasi pada

suatu kota, dapat memiliki ciri khas atau karakter yang berbeda pula. Hal ini berpengaruh dengan terbentuknya sebuah pola yang dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian unplanned city yaitu kota yang dipengaruhi oleh faktor alam dan kehidupan sosial budaya, terjadi secara spontan dengan bentuknya tidak teratur dan tidak geometrik. Sedangkan planned city yaitu kota yang adanya penguasa yang mengatur dan berbentuk grid (Kostof, 2001; Kusumastuti, 2016). Menyebutkan secara garis besar pola bentuk kota seperti berikut:

a. Pola organik

Sistem organisasi kini merupakan orgamisme yang berkembang dari waktu ke waktu tanpa perancanaan dan sesuai dengan nilai- nilai sosial-budaya dalam masyarakatnya. Pola ini tercipta secara spontan serta bentuknya berdasarkan kondisi keadaan topografi yang ada, dengan sifat yang sangat fleksibel dan tidak geografis, biasanya terbentuk secara alami dari urban path / garis linier melengkung oleh peran serta masyarakat dalam menentukan bentuk kotanya. Berbeda dengan pola grid dan pola diagram yang ditentukan oleh penguasa kotanya (Gambar 2.2). Dalam terbentuknya sebuah pola organik ini, tentunya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Adapun pembentukan organic pattern menurut Kostof (2001) meliputi:

1. Pengaruh topografi (the role of topography), pola organik yang selalu mengikuti topografi yang ada. Keadaan topografi yang

beragam akan menyebabkan ketidakteraturan pola kawasan, dan hal inilah yang menjadi salah satu indikator pola kota organik.

2. Pengaruh pembagian lahan (land division), dalam usaha pemanfaatannya seringkali mengikuti keinginan masyarakat sehingga berdampak pada ketidakteraturan pola kawasan yang akhirnya terbentuk pola organik.

3. Pengaruh synoecism, menunjukkan suatu pola organik yang terbentuknya kawasan karena keinginan dan kesepakatan masyarakat setempat, sehingga terbentuknya pusat kegiatan.

4. Pengaruh hukum dan aturan sosial (the law and social order), sebuah kaidah dan aturan. Berupa faktor alam dan faktor partisipasi masyarakat dikombinasikan dan diinteraksikan untuk menghasilkan suatu tata ruang kota yang harmonis antara kehidupan manusia dengan lingkungan alamnya, sehingga menghasilkan bentuk yang khas.

Gambar 2.2 Pola organik Kota Safranbolu, Turki Sumber: Google

b. Pola grid

Pola kota sistem grid dikembangkan oleh Hippodemus, seperti pada kota Miletus. Sistem ini dapat ditemui hampir pada semua kebudayaaan dan merupakan salah satu ciri bentuk kota tua. Pola ini merupakan mekanisme cukup universal dalam mengatur lingkungan, yang terbentuk karena adanya kebutuhan suatu sistem berbentuksegi empat (grid iron) sehingga memberikan suatu bentuk geometri pada ruang perkotaan. Seperti blok- blok permukiman dirancang untuk memungkinkan terbangunnya relasi ruang antar bangunan dan ruang publik (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Pola grid Kota Isfahan Sumber: Google

c. Pola diagram

Sistem diagram ini mencerminkan simbol atau hirarki bentuk sistem sosial dan kekuasaan yang berlaku saat itu (Gambar 2.4). Motivasi dasar penerapan pola diagram pada kota dapat menyimbolkan:

1. Regitimasition, merupakan bentuk sistem kota berbasis pada simbol kekuasaan dan politik, berfungsi untuk mengawasi / mengorganisir

sistem masyarakatnya. Contoh: bentuk kerajaan atau monarki (versailes) dan demokrasi (Washington DC)

2. Holy city, merupakan bentuk sistem kota dibangun berbasis sistem kepercayaan masyarakatnya (Yerusalem). Proses pembentukan holy city terjadi pada masa pra-industri dengan menggunakan agama sebagai acuannya, yaitu tempat asal usul suatu agama dan tempat sang raja menerapkan unsur kekuasaannya dengan gagasan kosmologi. Hal ini berbeda dengan sistem pola grid yang lebih mengutamakan efisiensi dan nilai ekonomis.

Gambar 2.4 Pola diagram Palmanova, Italy Sumber: google

Dokumen terkait