• Tidak ada hasil yang ditemukan

TATA RUANG KOTA LAMA BANDA ACEH MELALUI PENDEKATAN SEJARAH TESIS OLEH MARISA HAJRINA /AR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TATA RUANG KOTA LAMA BANDA ACEH MELALUI PENDEKATAN SEJARAH TESIS OLEH MARISA HAJRINA /AR"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

OLEH

MARISA HAJRINA 157020010/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

TESIS

Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Teknik Arsitektur

Pada Fakultas TeknikUniversitas Sumatera Utara

Oleh

MARISA HAJRINA 157020010/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Teknik pada Program Studi Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun hasil karya penulisan tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 13 Agustus 2018 Penulis,

(Marisa Hajrina) NIM. 157020010

(4)

Bidang Kekhususan : MANAJEMEN PEMBANGUNAN KOTA Menyetujui:

Komisi Pembimbing

(Dr. Wahyu Utami, ST, MT) Ketua

(Dr. Imam Faisal Pane, ST, MT, IPM) Anggota

Ketua Program Studi,

(Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc, PhD, IPM)

Dekan,

(Ir. Seri Maulina, M.Si, Ph.D)

(5)

Panitia Penguji Tesis

Ketua Komisi Penguji : Dr. Wahyu Utami, ST, MT

Anggota Komisi Penguji : 1. Dr. Imam Faisal Pane, ST, MT, IPM 2. Beny OY. Marpaung, ST, MT, PhD, IPM 3. Hilma Tamiami Fachruddin, ST, M.Sc, PHD 4. Amy Marisa, ST, M.Sc, PhD

(6)

secara bertahap,yang meninggalkan jejak-jejak dalam ruang sebagai cikal bakal terbentuknya sebuah kota. Kota Banda Aceh yang dipengaruhi oleh perjalanan panjang sejarahnya, mulai dari periode pra-Islam hingga menjelang kemerdekaan, seharusnya dapat menjadi acuan dalam perkembangaan kotanya. Namun, pesatnya perkembangan kota di berbagai sektor serta fungsi baru, terkadang tidak mempertimbangkan kawasan lama yang telah ada jauh sebelumnya, sehingga tanpa disadari mulai menghilangkan jejaknya dalam ruang kota sebagai bukti gambaran kehidupan dan perabadan masa lalu.

Merasapentingnya gambaran peradaban masa laludalam perencanaan kota, penelitian ini mengkaji elemen fisik kotayang membentuk kawasannya dengan batasan kajian pada periode kesultanan dan kolonial, dalam tata ruang kota lama Banda Aceh. Data yang dikumpulkan menggunakan metode deskriptif kualitatif, melalui pendekatan sejarah dari peta kuno, pelacakan informasi fisik berdasarkan observasi lapangan dan wawancarainforman dengan menggunakan teknik purposive sampling. Analisis yang dihasilkan berupa deskriptif daritiap aspek fisik dalam tata ruang dan pembentuk identitas kota, yaitu: fungsi zona, sistem sirkulasi, massa dan bentuk bangunan, dan ruang terbuka, dengan deskripsi tiap sub variabel tersebut menunjukkan karakter kawasan.

Hasil penelitian ini adalah temuan tata ruang dan identitas kota lama Banda Aceh dari periode kesultanan yang dipengaruhi oleh (1) kosmologi Hindu-Budha; (2) kosmologi Islam; serta (3)keharmonisan alam yang diterapkan dalam tatanan kota sebagai kota air,hingga periode kolonial yang meneruskan konsep periode sebelumnya dengan terapan rancangan pada sistem sirkulasi yangberpola segitiga sebagai kota benteng.

Kata kunci: tata ruang, kota lama,identitas kota

(7)

leaves traces as the founder of a town. Banda Aceh which has been influenced by its long history, from the pre-Islamic period until the independence period, should be the reference for its development. However, the rapidly development of towns in various sectors and their new functions sometimes do not consider their old areas, without any consciousness, and begin to eliminate their traces in urban areas as the evidence of the description of life and old civilization.

Since considering old civilization in urban planning, this research studied urban physical elements which established its area with the research scope on the kingdom and colonial period in the old layout of Banda Aceh. The research used descriptive qualitative method with historical approach from the old maps, and physical information based on observation and interviews with informants, using purposive sampling technique. The analysis was the description of each physical aspect in the layout and the establishment of urban identity such as zone function, circulation system, building mass and shape, and open space. The description of each sub-variable indicated the area character.

The result of the research showed that the layout and the identities of the old Banda Aceh town from the kingdom period were influenced by 1) Hindu-Buddhism cosmology, 2) Islamic cosmology, and 3) natural harmony applied in urban structure as aquatic town since the colonial period which followed the previous period with the design application in circulation system which had the triangle pattern as a fort town.

Keywords: Layout, Old Town, Urban Identity

(8)

ini. Selanjutnya, rasa takzim serta shalawat semoga selalu terhaturkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh umatnya, yang telah membawa kita umatnya dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang telah kita rasakan sekarang ini. Adapun tesis ini berjudul “Tata Ruang Kota Lama Banda Aceh Melalui Pendekatan Sejarah”sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Teknik dalam bidang kekhususan Manajemen Pembangunan Kota, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Berkenaan dengan telah tersusunnya penelitian tesis ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc, PhD, IPM, selaku Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur, dosen pembimbing tesis Ibu Dr. Wahyu Utami, ST, MT selaku pembimbing I dan Bapak Dr. Imam Faisal Pane, ST, MT, IPM selaku pembimbing II, atas segala bimbingan yang diberikan dengan tulus dan ikhlas,serta seluruh dosen pengajar di Program Studi Magister Teknik Arsitektur bidang kekhususan Manajemen Pembangunan Kota, Universitas Sumatera Utara.

Penghormatan dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada ibunda Hasniah S.Pd, ayahanda Muhammad NazirS.E (Alm), Noliza Hasrina M.Pd, Muhajir Syahputra S.Pd, Azharul Akbar, Gheniyya Syakira,Nurhayati S.Pd, dan seluruh

(9)

Sumatera Utara khususnyaangkatan 2015,teman-teman Strata-I Jurusan Arsitektur Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang angkatan 2006, teman-temanMA dan MTs Ulumul Qur’an Langsa (Apollo) danseluruhkerabat yang tidakdapatdisebutkannamanyasatupersatu, terimakasih atas segala do’a,bantuandanmotivasi yang telah kalian berikan.

Penulis menyadari penelitian tesis inimemiliki kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan membantu penulis dalam penulisan penelitianselanjutnya. Akhir kata, penulis berharap semoga laporan penelitian tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembacadalam rangka menambah wawasan ataupun wacana pengembangan ilmu bagi pihak-pihak yang berkaitan.

Medan, 13 Agustus 2017 Penulis,

( Marisa Hajrina ) NIM. 157020010

(10)

dari 4 (empat) bersaudara, putri dari pasangan Muhammad Nazir, SE (Alm) dan Hasniah, S.Pd. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri No.7 Langsa pada tahun 2000. Pendidikan menengah di MTs Ulumul Qur’an Langsa pada tahun 2003 dan MA Ulumul Qur’an Langsa pada tahun 2006. Selanjutnya melanjutkan pendidikan Strata-I di jurusanArsitektur, FakultasSains dan Teknologi, UniversitasIslam Negeri Maulana Malik Ibrahim malang, lulus pada tahun 2011.

Setelahmenyelesaikanstudi Strata-I, penulisbekerja sebagai junior architect and administration di PT Putra Nisa Pratama Development, Banda Aceh dari tahun 2012 hingga 2014 dan di CV. Mitradina Perkasa, Banda Aceh dari tahun 2014 hingga 2015. Kemudian, melanjutkanstudi magister diProgram Studi Magister TeknikArsitekturbidangkekhususanManajemen Pembangunan Kota, FakultasTeknik, Universitas Sumatera Utara daritahun 2015 hingga 2018.

(11)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.4. Manfaat Penelitian... 3

1.5. Kerangka Berfikir ... 4

1.6. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Tata Ruang Kota... 8

2.1.1 Tata guna lahan ... 9

(12)

2.2. Tata Ruang Kota Islami... 17

2.3. Identitas Kota ... 24

2.4. Penelitian Terdahulu ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3. 1. Jenis Penelitian ... 29

3. 2. Variabel Penelitian ... 29

3. 3. Informan ... 30

3. 4. Metode Pengumpulan Data ... 31

3.4.1 Data primer ... 31

3.4.2 Data sekunder ... 34

3. 5. Metode Analisa Data ... 40

BAB IV KAWASAN PENELITIAN ... 41

4.1 Kawasan Kota Banda Aceh ... 41

4.2 Kawasan Kota Lama Banda Aceh ... 44

4.2.1 Kecamatan Kuta Raja ... 45

4.2.2 Kecamatan Baiturrahman ... 48

4.2.3 Kecamatan Kuta Alam ... 50

(13)

5.1 Tata Ruang Kota Lama Banda Aceh ... 57

5.2 Tata Ruang Kota Lama Banda Aceh Periode Kesultanan... 57

5.2.1 Fungsi zona periode kesultanan ... 60

5.2.2 Sistem sirkulasi periode kesultanan ... 67

5.2.3 Massa dan bentuk bangunan periode kesultanan ... 74

5.2.4 Ruang terbuka periode kesultanan ... 82

5.3 Tata Ruang Kota Lama Banda Aceh Periode Kolonial... 87

5.3.1 Fungsi zona periode kolonial ... 88

5.3.2 Sistem sirkulasi periode kolonial ... 92

5.3.3 Massa dan bentuk bangunan periode kolonial ... 94

5.3.4 Ruang terbuka periode kolonial ... 97

5.4 Identitas Pembentuk Kota Lama Banda Aceh... 54

BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 110

LAMPIRAN ... 114

(14)

1.1 Diagram kerangka pemikiran penelitian ... 5

2.1 Pola sirkulasi kota ... 11

2.2 Pola organik Kota Safranbolu, Turki ... 15

2.3 Pola grid Kota Isfahan ... 16

2.4 Bentuk diagram Palmanova. Italy ... 27

4.1 Peta administrasi batas Kota Banda Aceh ... 42

4.2 Peta satelit Sungai Krueng Aceh yang membelah Kota Banda Aceh ... 43

4.3 Peta letak Krueng Aceh, Krueng Daroy dan Krueng Doi ... 44

4.4 Ilustrasi kawasan kota lama Banda Aceh ... 44

4.5 Ilustrasi zona kota lama Kecamatan Kuta Raja ... 47

4.6 Kondisi Eksisting (kiri) Komplek Makam Tuan Dikandang, (kanan) Makam yang Tersebar dan Tumbuhan Mangrove di Gampong Pande ... 48

4.7 Ilustrasi zona kota lama Kecamatan Baiturrahman ... 50

4.8 Ilustrasi zona kota lama Kecamatan Kuta Alam... 51

4.9 Ilustrasi zona kota lama Kecamatan Meuraxa ... 53

4.10 Kawasan kota lama Banda Aceh periode kesultanan ... 54

4.11 Kawasan kota lama Banda Aceh periode kolonial ... 55

(15)

kesultanan ... 59 5.3 Ilustrasi fungsi zona periode kesultanan berdasarkan naskah Roteiro das cousas

do Achem (1584) ... 61 5.4 Ilustrasi fungsi zona periode kesultanan berdasarkan peta Florence Karya

Vingboons (1642) yang telah direkonstruksi ... 63 5.5 Ilustrasifungsi zona periode kesultanan berdasarkan peta Schets van het

gevechtsterrein van (23 en 24 1874) ... 64 5.6 Ilustrasi sistem sirkulasi utama periode kesultanan berdasarkan Naskah Roteiro

das cousas do Achem (1584) ... 68 5.7 Ilustrasi sirkulasi sekunder periode kesultanan berdasarkan Naskah Roteiro das

cousas do Achem (1584) ... 69 5.8 Ilustrasi sistem sirkulasi periode kesultanan berdasarkan peta Florencekarya

Vingboons (1642) dan Schets van het gevechtsterrein van

(23 en 24 1874) ... 70 5.9 Ilustrasi sirkulasi sekunder periode kesultanan berdasarkan peta Florencekarya

Vingboons (1642) dan Schets van het gevechtsterrein van

(23 en 24 1874) ... 71 5.10 Ilustrasi letak bangunan periode kesultanan berdasarkan peta Florence karya

(16)

(23 n 24 1874) ... 83 5.12 Ruang terbuka periode kesultanan ... 84 5.13 Ilustrasi ruang terbuka Bustanussalatin (taman raja-raja) gambar ulang dari

ragam citra Kota Banda Aceh (2008) ... 84 5.14 Ilustrasi zona kawasan Banda Aceh (Koetaradja) periode kolonial ... 88 5.15 Ilustrasi pembagian fungsi zona periode kolonial berdasarkan peta Town Plan

of Koetaradja (first edition,1944) ... 90 5.16 Ilustrasi sistem sirkulas periode kolonial berdasarkan peta Town Plan of

Koetaradja (first edition,1944) ... 92 5.17 Ilustrasi pola jalan radial dan grid periode kolonial ... 93 5.18 Lini konsentrasi periode kolonial berdasarkan penambahan ilustrasi dari ragam

citra Kota Banda Aceh (2008) ... 94 5.19 Bangunan-bangunan periode kolonial berdasarkan peta Town Plan of

Koetaradja (first edition,1944) ... 95 5.20 Ruang terbuka periode kolonial berdasarkan peta Town Plan of Koetaradja

(first edition,1944) ... 97

(17)

2.1 Rangkuman teori penelitia terdahulu ... 26

3.1 Variabel penelitian ... 30

3.2 Penentuan penguasaan materi informan ... 31

3.3 Wawancara informan ... 33

3.4 Metode pengumpulan data ... 35

3.5 Lembar catatan data ... 40

4.1 Kecamatan Kuta Raja ... 46

4.2 Kecamatan Baiturrahman ... 49

4.3 Kecamatan Kuta Alam ... 50

4.4 Kecamatan Meuraxa ... 52

5.1 Analisa Fungsi Zona Periode Kesultanan ... 61

5.2 Analisa sistem sirkulasi periode kesultanan ... 61

5.3 Bangunan-bangunan periode kesultanan ... 70

5.4 Analisa massa dan bentuk bangunan periode kesultanan ... 75

5.5 Bangunan-bangunan periode kesultanan ... 87

5.6 Kesimpulan ... 90

5.7 Bangunan-bangunanperiodekesultanan ... 95

5.8 Bangunan-bangunanperiodekesultanan ... 97

5.9 Kesimpulan ... 99

(18)

1. Lampiran ... 114

2. Lampiran ... 115

3. Lampiran ... 116

4. Lampiran ... 117

(19)

1.1 Latar Belakang

Terciptanya tata ruang kota merupakan wujud dari struktur dan pola ruang yang membentuk sebuah kawasan atau kota baik itu terencana maupun tidak terencana (Harris, 2015). Berawal dari kawasan kota lama yang tidak terpisahkan dalam pergerakan suatu kota secara bertahap, terdapat penggalan sejarah perkotaan yang meninggalkan jejak-jejak dalam ruang. Sehingga adanya proses tumbuh dan berkembangnya suatu kota yang mempengaruhi pola unplanned city dan planned city (Kostof, 2001; Kusumastuti, 2016), yang mana apapun polanya kawasan kota lama merupakan cikal bakal terbentuknya sebuah kota yang memiliki peran dan fungsi sebagai acuan dasar dalam penataan ruang kota.

Kota tua Banda Aceh dengan perjalan sejarahnya yang panjang, dikenal dengan pengaruh kerajaan Islam (Kerajaan Aceh Darussalam). Kerajaan ini, berdiri diatas puing-puing pengaruh kerajaan Hindu-Budha yang lebih dulu berkembang di kawasan Aceh Besar (berbatasan langsung dengan Kota Banda Aceh). Masa kesultanan Aceh / Tamaddun Islam yang menapaki kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, menetapkan qanun / peraturan Meukuta Alam yang mengatur tata kehidupan bermasyarakat dan tata kehidupan kerajaan (Dispar, 2003). Namun, penyerangan Kolonial Belanda pada tahun 1873-1874 telah menghancurkan jejak gemilang kerajaan Aceh Darussalam yang mengganti namanya

(20)

dengan Kutaraja (Wulandari dan Mufiaty, 2002). Dalam penjabaran tersebut tersirat hal yang menarik untuk diamati dan dicermati terkait bagaimana konsep tata ruang kota Banda Aceh di periode Kesultanan serta apakah ada pengaruhnya dengan masa sebelumnya (pra-Islam), dan seperti apa perubahan tatanan ruang kota Banda Aceh pada Periode Kolonial dari masa sebelumnya (Tamaddun Islam) yang tentunya untuk kepentingan Belanda. Singkatnya, kota Banda Aceh terbentuk oleh siapa yang berkuasa saat itu dan tentunya juga peradaban manusia yang ada di dalamnya.

Dewasa ini pesatnya perkembangan dan pembangunan kota di berbagai sektor serta fungsi baru untuk menunjang beragam aktivitas manusia terkadang tidak mempertimbangkan kawasan dan bangunan lama yang telah ada jauh sebelumnya.

Faktanya, baik objek maupun kawasan yang perlu dilestarikan menjadi rawan untuk hilang dan hancur. Dalam RDTR Kecamatan Koetaradja, 2007-2016, kawasan kota lama di Kecamatan Koetaradja tepatnya Gampong Pande yang merupakan cikal bakal berdirinya Kota Banda Aceh, berubah fungsi sebagai IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja) dan TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Selain itu, kawasan kota lama Banda Aceh di Kecamatan Baiturrahman pada area ruang terbuka hijau Masjid Raya Baiturrahman, digantikan dengan pemberian perkerasan dan payung raksasa yang menutupi wajah bangunan bersejarah (http://www.pikiranmerdeka.co). Kawasan kota lama yang seharusnya memiliki nilai nilai sejarah yang berarti, tanpa disadari telah menghilangkan jejak-jejak kegemilangan Aceh di masa lalu, sehingga generasi baru tidak mengetahui betapa

(21)

Oleh karena itu, berdasarkan dari permasalahan tersebut dan mengingat pentingnya gambaran peradaban masa lalu dalam perencanaan kota, maka peneliti mengidentifikasi perkembangan elemen fisik kota yanng membentuk kawasan kota lama Banda Aceh dari periode Tamaddun Islam / Kesultanan Aceh dan Kolonial Belanda, sebagai langkah partisipasi yang turut melestarikan kawasan bersejarah melalui deskripsi analisis dengan temuan tata ruang dan identitas kota lama Banda Aceh untuk acuan perencanaan pembangunan kota selanjutnya.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan menjadi bahasan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana konsep tata ruang kawasan kota lama Banda Aceh?

2. Apa Identitasyang membentuk kawasan kota lama Banda Aceh?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menemukan konsep tata ruang kota lama Banda Aceh.

2. Menemukan ciri khas atau karakteristik kawasan lama Banda Aceh.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara akademis dan praktis yaitu:

1. Secara akademis, dapat menjadi masukan bagi mereka yang berminat untuk menindak lanjuti hasil penelitian ini dengan mengambil kancah

(22)

penelitian yang berbeda. Selanjutnya diharapkan dapat menjadi referensi bagi penulisan-penulisan serupa nantinya sebagai pelengkap dari penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya terkait dengan tata ruang kota lama Banda Aceh.

2. Secara praktis, dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah dan berbagai pihak khususnya dalam perencanaan perkembangan kota Banda Aceh yang lebih mempertimbangkan lagi nilai sejarah yang mestinya masih terasa dalam ruang Kota.

1.5 Kerangka Berfikir

Dalam penelitian ini, secara diagramatis peneliti menggunakan kerangka berfikir untuk melakukan penelitian yang dimaksud. Maka, dalam hal ini penulis menguraikan dalam beberapa proses tahapan, yaitu dimulai dari proses persiapan, yang mengkaji studi pendahuluan, tahapan mengumpulkan data, dan tahapan analisa data untuk mendapatkan hasil penelitian dan pemaparan kesimpulan serta saran.

Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian bahwa tata ruang kota lama Banda Aceh dapat di telusuri melalui pendekatan sejarah. Agar mendapatkan hasil tersebut, maka dilakukan penelitian deskriptif, yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi dan membuat gambaran deskripsi dari penelitian. Adapun sebagai detil dari prosesnya dapat dilihat pada (Gambar 1.1)

(23)

Gambar 1.1 Diagram kerangka pemikiran penelitian

(24)

1.6 Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini, adanya urutan sistematika pembahasan yang digunakan adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Berisi penjabaran latar belakang yang didasari pentingnya melakukan penelitian terkait, rumusan permasalahan penelitian, landasan teori, tujuan penelitian, kerang berfikir, dan sistematika pembahasan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi kajian teori dan studi banding yang menjadi acuan peneliti dalam menyelesaikan permasalahan penelitian dalam menemukan konsep tata ruang kota lama Banda Aceh.

BAB III METODE PENELITIAN

Berisi uraian tentang tahap-tahap yang menjelaskan metode yang digunakan penelitian ini, terkait yang diperlukan dalam menganalisis tata ruang kota lama Banda Aceh. Termasuk metode untuk menentukan jumlah informan dan spesifikasi pertanyaan dalam pengumpulkan data untuk dianalisis

BAB IV KAWASAN PENELITIAN

Berisi tentang uraian gambaran umum lokasi kawasan kota lama Banda

(25)

lingkup negara, provinsi, kota, kabupaten, kecamatan, hingga lingkup dimana posisi desa yang dirasa perlu diuraikan. Untuk menunjukkan posisi / letak pasti kawasan yang dilakukan penelitian.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Berisi mengenai hasil penelitian yang dianalisa berdasarkan peta kuno, kartografi dan literatur sejarah serta teori terkait tata ruang dan identitas kota, yang sesuai dengan kawasan kota lama Banda Aceh berdasarkan tiap aspek fisik kota yang akhirnya menunjukkan karakter kota, sebagai temuan konsep tata ruang kota lama Banda Aceh.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Berisi kesimpulan akhir dari penelitian terkait temuan konsep tata ruang kota lama Banda Aceh sebagai rujukan berupa dokumen kepada pemerintah dalam perencanaan pembangunan kota selanjutnya dan dapat menjadi masukan bagi yang berminat untuk menindak lanjuti hasil penelitian ini dengan mengambil kancah penelitian yang berbeda. Atau pun diharapkan dapat menjadi referensi bagi penulisan-penulisan serupa nantinya sebagai pelengkap dari penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya terkait dengan tata ruang kota lama Banda Aceh.

(26)

Teori-teori yang dianalisa terkait tentang bahasan tata ruang kota secara umum, yang muncul dengan beberapa variabel untuk mengidentifikasi tata ruang kota lama Banda Aceh berdasarkan pertumbuhan kota dari periode kesultanan dan kolonial.

Adapun kajian pustaka terdiri dari tata ruang kota, aspek fisik kota seperti tata guna lahan, sistem sirkulasi, massa dan bentuk bangunan, dan ruang terbuka, serta identitas kota / kawasan yang nantinya disesuaikan dengan sejarah pertumbuhan Kota Banda Aceh. Berdasarkan hal tersebut teori-teori yang berhubungan adalah sebagai berikut.

2.1 Tata Ruang Kota

Tata ruang adalah wujud dari struktur dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak direncanakan (Harris, 2015), yang mana aspek fisik struktur ruang merupakan kawasan terbangun dengan terletak saling berdekatan besifat meluas dari pusatnya hingga ke wilayah pinggiran atau wilayah geografis yang didominasi oleh struktur, seperti bentuk dan fungsi bangunan, pola jalan, ruang terbuka, tata guna lahan (Budiarto dan Suwandono, 2014). Sedangkan menurut (Foley,1970) mengemukakan bahwa penataan ruang dilandasi oleh suatu paradigma yang meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu: aspek normatif, aspek fungsional dan aspek fisik.

Pada hal ini, kajian berfokus terhadap aspek fisik yang hubungan ketataruangan distribusi bentuk fisik, bangunan, tata guna lahan berdasarkan kualitas dan kesesuaian

(27)

bentuk sumber daya alam, jaringan jalan, jaringan utilitas dan lainnya (Sujarto,1992). Demikian pula, terdapatnya bahasan kota dari elemen-elemen fisik antara lain sebagai berikut: tata guna lahan, bentuk dan masa Bangunan, sirkulasi dan ruang parkir, ruang terbuka, pedestrian, tanda-tanda, kegiatan pendukung, preservasi dan konservasi (Shirvani,1985; Weishaguna dan Saodih, 2004). Maka berdasarkan uraian teori-teori tersebut dapat ditemukan benang merah yang memiliki unsur penting aspek fisik dalam tata ruang kota, yaitu: (1) tata guna lahan/ fungsi zona; (2) sistem sirkulasi; (3) massa dan bentuk bangunan; dan (4) ruang terbuka.

2.1.1 Tata guna lahan / fungsi zona

Tata guna lahan dapat dikatakan berupa fungsi lahan yang ditentukan oleh kondisi alam maupun oleh campur tangan manusia, dan secara khusus sering merujuk pada pengelolaan lahan terhadap kebutuhan manusia itu sendiri (FAO, 1999: 6). Hal ini juga dapat dikaitkan dengan penggunaan lahan dimasa lalu, namun penggunaannya lebih ke pada aspek fungsi zona pada ruang kota yang diperlukan saat itu. Lahan dapat pula diartikan sebagai land settlement yaitu tempat atau daerah dimana penduduk berkumpul dan hidup bersama, dimana mereka dapat menggunakan lingkungan setempat untuk mempertahankan, melangsungkan dan mengembangkan hidupnya (Bintarto, 1983). Sedangkan pemanfaatan lahan merupakan segala campur tangan manusia baik itu permanen maupun tidak terhadap suatu kumpulan sumber daya alam dan buatan secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk

(28)

mencukupi kebutuhan-kebutuhannya baik kebendaan maupun spiritual atau keduanya (Sutanto, 1986).

Oleh karena itu, pemanfaatan lahan berawal dari suatu kebutuhan penghuninya yang menyesuikan dengan kondisi lingkungan / alam untuk bertahan hidup dan terus berkembang kota. Pemanfaatan lahan ini, erat kaitannnya fisik atau morfologinya, yang menekankan pada bentuk-bentuk yang terlihat dari lingkungan suatu kota, Smailes (1955) dalam Yunus (1994) memperkenalkan ada 3 (tiga) unsur morfologi kota yaitu penggunaan lahan, pola-pola jalan dan tipe atau karakteristik bangunan, yang mana juga Conzen (1962) dalam Yunus (1994) mengatakan unsur-unsur yang sama, yaitu: plan, architectural style and land use.

2.1.2 Sistem sirkulasi

Pola jaringan jalan merupakan salah satu unsur dari morfologi kota (Yunus, 2000). Berdasarkan dari pada itu, adanya berbagai komponen morfologi kota, yang mana pola jalan merupakan komponen yang paling nyata manifestasinya dalam pembentukan periodeisasi pembentukan kotanya (Gambar 2.1). Ada tiga sistem pola jalan yang dikenal, yaitu:

a. Sistem pola jalan tidak teratur. Sistem ini terlihat pada ketidakaturan sistem jalan dari lebar maupun arah jalannya. Demikian pula dengan kondisi rumah satu antara lainnya tidak menunjukkan keteraturan, yang mana terlihat pada pola jalan yang melingkar-lingkar, dengan lebar bervariasi berupa cabang culdesac yang banyak.

(29)

b. Sistem pola jalan radial konsentris. Sistem ini memiliki beberapa sifat khusus, yaitu: (1) pola jalan konsentris; (2) pola jalan radial; (3) bagian pusat yang merupakan area kegiatan utama dan sekaligus tempat pertahanan terakhir dari suatu kekuasaan; (4) secara keseluruhan berpola jaringan laba-laba, sistem jaringan yang berkembang antara tahun 1500- 1800; (5) keteraturan geometris; dan (6) jalan besar menjadi titik pusat dan membentuk.

c. Sistem pola jalan bersudut siku atau grid. Sistem ini membagi kota menjadi blok-blok empat persegi panjang dengan jalan-jalan yang paralel longitudinal dan transversal membentuk sudut siku-siku, yang jalan-jalan utamanya membentang dari pintu gerbang.

Gambar 2.1 Pola sirkulasi kota Sumber: Branch (1995)

(30)

Pada sistem sirkulasi tersebut di atas, juga dapat diimplementasikaan dalam jalur sirkulasi melalui sungai dan jalan setapak yang terdapat di masa kesultanan / sebelum kolonial masuk, yang cenderung memiliki sistem pola sirkulasi yang radial.

2.1.3 Massa dan bentuk bangunan

Suatu bangunan memiliki peran penting dalam membentuk identitas kota.

Keberadaannya yang memilki karakter akan mampu tampil sebagai penanda pada suatu kawasan atau kota, yang biasa dikenal sebagai landmark. Oleh karena itu, dalam penataanya, terdapat unsur keseimbangan, proporsional, harmonis, berskala pada bentuk fisik bangunan yang membentuk ruang luar dengan memperhatikan bangunan sekitarnya. Pengorganisasian bentuk bangunan terdiri dari empat macam, yang salah satunya merupakan sifat-sifat bentuk, (1) posisi, letak dari sebuah bentuk;

(2) orientasi, yang mana arah dari sebuah bentuk; (3) inersiavisual: suatu bentuk yang tergantung pada geometri dan orientasinya relatif terhadap bidang dasar (Parliana,2018). Bangunan yang merupakan suatu ruang privat, harus harmonis dengan ruang umum, dan bangunan-bangunannya harus membentuk ruang yang baik diantara bangunan tersebut. Pada teori, town scape (Gordon Cullen) ini memuat bagaimana menata ruang kota yang terintegrasi, yang artinya bahwa suatu kota harus bisa mencerminkan adanya hubungan suatu kota dengan kegiatan kota. Sehingga, diharapkan mampu mencerminkan suatu karakter arsitektur / bangunan yang berorientasi terhadap kota, dengan kata lain suatu produk arsitektur (bangunan atau artifact) harus merupakan bagian integral dalam sistem ruang atau bentuk kota.

(31)

2.1.4 Ruang terbuka

Berupa ruang terbuka hijau dan alami ataupun ruang terbuka terbangun, ruang terbuka dengan kawasan yang tidak terbangun atau yang secara dominan lahannya tidak terbangun pada area perkantoran dan memiliki nilai fungsi untuk taman dan rekreasi, konversi tanah dan sumber-sumber alam, serta tujuan pendidikan dan perlindungan mengenai sejarah (Hamid, 1996). Selain itu, ruang terbuka sangat berpotensi bagi pemenuhan ruang rekrasi kebutuhan public space seperti taman dan alun-alun yang memiliki nilai sosial. Pada hal ini, alun-alun dapat dikatakan menjadi ruang terbuka publik di pusat kota, yang mempunyai ciri : (1) berada di pusat kota;

(2) berupa ruang terbuka yang cukup luas; (3) menjadi pusat kegiatan publik; (4) pilihan utama masyarakat untuk tempat berkumpul, di sekitarnya terdapat bangunan- bangunan publik atau bangunan religius, merupakan bagian dari bentukan arsitektur yang ada disekelilingnya (Kostof, 2005); (5) mempunyai signifikansi sejarah, (6) memiliki nilai politik (sebagai tempat bertemu warga dengan penguasa / pemerintah).

Selain itu, adanya pertimbangan dalam ruang terbuka hijau yang memiliki 3 (tiga) aspek utama harus dipertimbangkan dalam ruang terbuka hijau yaitu hubungan antar ruang terbuka hijau dengan lingkungan sekitar. Ruang terbuka hijau harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat, tetap memperhatikan aspek estetika dan fungsional, garis, bentuk, tekstur dan warna, menyesuikan dengan karakter lahan dan karakter pengguna (Amiany, 2018). Pembentukan ruang kota yang bervariasi pada

(32)

suatu kota, dapat memiliki ciri khas atau karakter yang berbeda pula. Hal ini berpengaruh dengan terbentuknya sebuah pola yang dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian unplanned city yaitu kota yang dipengaruhi oleh faktor alam dan kehidupan sosial budaya, terjadi secara spontan dengan bentuknya tidak teratur dan tidak geometrik. Sedangkan planned city yaitu kota yang adanya penguasa yang mengatur dan berbentuk grid (Kostof, 2001; Kusumastuti, 2016). Menyebutkan secara garis besar pola bentuk kota seperti berikut:

a. Pola organik

Sistem organisasi kini merupakan orgamisme yang berkembang dari waktu ke waktu tanpa perancanaan dan sesuai dengan nilai- nilai sosial- budaya dalam masyarakatnya. Pola ini tercipta secara spontan serta bentuknya berdasarkan kondisi keadaan topografi yang ada, dengan sifat yang sangat fleksibel dan tidak geografis, biasanya terbentuk secara alami dari urban path / garis linier melengkung oleh peran serta masyarakat dalam menentukan bentuk kotanya. Berbeda dengan pola grid dan pola diagram yang ditentukan oleh penguasa kotanya (Gambar 2.2). Dalam terbentuknya sebuah pola organik ini, tentunya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Adapun pembentukan organic pattern menurut Kostof (2001) meliputi:

1. Pengaruh topografi (the role of topography), pola organik yang selalu mengikuti topografi yang ada. Keadaan topografi yang

(33)

beragam akan menyebabkan ketidakteraturan pola kawasan, dan hal inilah yang menjadi salah satu indikator pola kota organik.

2. Pengaruh pembagian lahan (land division), dalam usaha pemanfaatannya seringkali mengikuti keinginan masyarakat sehingga berdampak pada ketidakteraturan pola kawasan yang akhirnya terbentuk pola organik.

3. Pengaruh synoecism, menunjukkan suatu pola organik yang terbentuknya kawasan karena keinginan dan kesepakatan masyarakat setempat, sehingga terbentuknya pusat kegiatan.

4. Pengaruh hukum dan aturan sosial (the law and social order), sebuah kaidah dan aturan. Berupa faktor alam dan faktor partisipasi masyarakat dikombinasikan dan diinteraksikan untuk menghasilkan suatu tata ruang kota yang harmonis antara kehidupan manusia dengan lingkungan alamnya, sehingga menghasilkan bentuk yang khas.

Gambar 2.2 Pola organik Kota Safranbolu, Turki Sumber: Google

(34)

b. Pola grid

Pola kota sistem grid dikembangkan oleh Hippodemus, seperti pada kota Miletus. Sistem ini dapat ditemui hampir pada semua kebudayaaan dan merupakan salah satu ciri bentuk kota tua. Pola ini merupakan mekanisme cukup universal dalam mengatur lingkungan, yang terbentuk karena adanya kebutuhan suatu sistem berbentuksegi empat (grid iron) sehingga memberikan suatu bentuk geometri pada ruang perkotaan. Seperti blok- blok permukiman dirancang untuk memungkinkan terbangunnya relasi ruang antar bangunan dan ruang publik (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Pola grid Kota Isfahan Sumber: Google

c. Pola diagram

Sistem diagram ini mencerminkan simbol atau hirarki bentuk sistem sosial dan kekuasaan yang berlaku saat itu (Gambar 2.4). Motivasi dasar penerapan pola diagram pada kota dapat menyimbolkan:

1. Regitimasition, merupakan bentuk sistem kota berbasis pada simbol kekuasaan dan politik, berfungsi untuk mengawasi / mengorganisir

(35)

sistem masyarakatnya. Contoh: bentuk kerajaan atau monarki (versailes) dan demokrasi (Washington DC)

2. Holy city, merupakan bentuk sistem kota dibangun berbasis sistem kepercayaan masyarakatnya (Yerusalem). Proses pembentukan holy city terjadi pada masa pra-industri dengan menggunakan agama sebagai acuannya, yaitu tempat asal usul suatu agama dan tempat sang raja menerapkan unsur kekuasaannya dengan gagasan kosmologi. Hal ini berbeda dengan sistem pola grid yang lebih mengutamakan efisiensi dan nilai ekonomis.

Gambar 2.4 Pola diagram Palmanova, Italy Sumber: google

2.2 Tata Ruang Kota Islami

Dalam sejarahnya masyarakat Islam mulai membangun peradabannya dan kemudian mewarnai peradaban dunia yang terlihat pada perwujudan kota-kota Islam

(36)

di abad pertengahan. Salah satu ciri khas yang paling menonjol pada kota-kota Islam adalah masjid yang merupakan representasi dari religiusitas dan juga sebagai wadah pusat kegiatan masyarakat. Kota Islami adalah kota yang berlandaskan Al Qur’an dan Sunnah dalam mengarungi kehidupan dunia dan akhirat, yang dipakai untuk mengatur segala aspek kehidupan dari pribadi, keluarga, lingkungan, berbangsa dan bernegara (Priyoto, 2012).

Menurut Eikelman (1981), Hakim (1976) dan Al-Sayyid (1991) melihat kota Islam sebagai bentuk yang khas dan memiliki karakteristik. Bahwa kota Islam memiliki fitur (khas) sebagai berikut: (1) masjid, yang terletak pada jantung kota dan biasanya dikelilingi oleh suq (pasar) sebagai kasus Masjid Zitouna di Tunisia dan masjid pusat di Isfahan, dan posisi perletakan masjid ini juga sebagai tempat shalat Jum’at mingguan, tempat madrasah (sekolah) yang memberikan pendidikan agama khususnya; (2) suqs, yang terletak di luar masjid utama yang menyediakan kegiatan ekonomi di kota; (3) citadel, pada masa sekarang merupakan kantor pemerintahan.

Mewakili istana, benteng (dikelilingi oleh dinding) yang merupakan sebuah distrik sendiri dengan masjid, penjaga, kantor, dan tempat tinggal nya; (4) quarters residential, menurut Eikelman (1981) sebagai kelompok rumah tangga (permukiman);

(5) jaringan jalan, jalan-jalan sempit berliku yang terdiri dari jalan-jalan publik, privat dan semi-privat yang terhubung dengan pusat kota; (6) dinding, tembok kota berada di sekeliling kota yang terdapat beberapa gerbang sebagai sirkulasi keluar masuk

(37)

suatu kota; (7) ruang terbuka, tempat pemakaman untuk kaum Muslim dan yahudi, pasar mingguan yang berada diluar gerbang utama untuk jual beli hewan.

Pendapat yang cenderung sama dalam sudut pandang Antariksa (2004), karakteristik kota Islam, antara lain: mempunyai benteng; mempunyai kompleks kediaman penguasa (istana; bangunan - bangunan pemerintahan; dan bangunan - bangunan pasukan pengawal); mempunyai civic center (masjid Jamik dengan madrasahnya; dan pasar); mempunyai perkampungan untuk penduduk dengan pengelompokkan (etnis; agama; dan ketrampilan); dan di luar benteng terdapat perkampungan untuk komunitas dengan beberapa (pekerjaan tertentu; dan pemakaman). Berdasarkan dari uraian karakteristik kota Islam tersebut, terdapat beberapa diantaranya merupakan unsur penting dalam tata ruang dan pembangunan kota Islam. Berdasarkan penelitian terdahulu kajian studi banding kota kota Islam di era kejayaannya (Priyoto, 2012), sebagai berikut:

a. Kota Damaskus

Sebelum Kota Damaskus menjadi wilayah kekuasaan muslim, kota ini merupakan pusat kota pemerintahan kolonial Romawi. Sejak menjadi wilayah Islam khususnya pada waktu Kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan (602-680 M) pendiri Dinasti Umayyah mengumumkan sistem pemerintahannya sebagai kerajaan, sejarah mencatat bahwa kemajuan umat Islam dalam bidang ilmu dan seni arsitektur Islam telah dimulai semenjak Dinasti ini memegang tampuk kekuasaan. Dinasti Umayyah

(38)

mulai mengembangkan pola arsitektur Arab yang sebelumnya mendominasi bangunan negara (istana, masjid, dan benteng) pada masa Khulafa ar-Rasyidun, di tangan Dinasti Umayyah bercampur dengan corak Romawi (Bizantium). Pada masa tersebut, mulai diperkenalkan tempat pemandian umum (hammam), selain itu, penguasa Dinasti Umayyah juga membangun tempat peristirahatan bagi para pemburu di padang pasir yang dikenal dengan sebutan Karavanserai.

Pada saat Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) mulai memperkenalkan konsep kubah pada arsitektur masjid, dengan konsep kubah Masjid Al-Aqsha, adopsi dari bangunan katedral Kristen Ortodoks pada masa Bizantium. Kota Damaskus memiliki delapan pintu gerbang yang dihiasi dengan menara tinggi, ketika Al Walid menjadi Khalifah, Tembok keliling masjid Agung Damaskus dirombak sehingga terbentuk pola Hypostyle yang berupa sebuah sahn yaitu halaman dalam berbentuk segi empat dikelilingi oleh bagian bangunan beratap yang sisi terpanjang tegak lurus sumbu arah kiblat. Konstruksi, bentuk dan ornament-ornamen bagian depan sangat jelas mendapat pengaruh arsitektur Romawi. Kota Damaskus banyak dialiri saluran air, seperti aliran air dari sungai Euphrat dengan sistem pengairan yang dirancang sedemikian rinci dimana kebanyakan air mancur yang ada di Damaskus merupakan hasil kreasi khusus dari sistem masa itu.

(39)

b. Kota Cordova

Cordova adalah ibu kota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian diambil alih oleh Bani Umayyah. Oleh penguasa muslim, kota ini dibangun dan diperindah dengan jembatan besar dibangun di atas sungai yang mengalir di tengah kota. Taman-taman dibangun untuk menghiasi ibu kota Spanyol. Pohon-pohon dan bunga-bunga diimpor dari Timur. Di seputar ibu kota berdiri istana-istana yang megah yang semakin mempercantik pemandangan, setiap istana dan taman diberi nama tersendiri dan di puncaknya terpancang istana Damsyik. Diantara kebanggaan kota Cordova lainnya adalah masjid Cordova. Menurut ibn al-Dala'i, terdapat 491 masjid di sana. Disamping itu, ciri khusus kota-kota Islam adalah adanya tempat tempat pemandian. Di Cordova saja terdapat sekitar 900 pemandian. Di sekitarnya berdiri perkampungan-perkampungan yang indah. Karena air sungai tak dapat diminum, penguasa Muslim mendirikan saluran air dari pegunungan yang panjangnya 80 Km.

c. Kota Granada

Granada disebut tempat pertahanan terakhir umat Islam di Spanyol. Di sana berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Cordova diambil alih oleh Granada di masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitektur - arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa.

Alhambra, sering juga dijuluki “istana yang hilang” atau “kejayaan yang

(40)

sirna”. Alhambra menyimpan rekaman sejarah kehebatan ilmu pengetahuan, karya sastra, seni dan arsitektur umat Islam. Bahkan Cordova, wilayah dimana Alhambra berdiri disebut sebagai puncak kecemerlangan ilmu pengetahuan Islam, di saat Barat sedang dalam abad kegelapan. Istana Alhambra yang indah dan megah adalah pusat dan puncak ketinggian arsitektur Islam di Spanyol. Istana itu dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya. Kisah tentang kemajuan pembangunan fisik ini masih bisa diperpanjang dengan kota dan istana az-Zahra, istana al-Gazar, menara Girilda dan lain-lain.

d. Kota Baghdad

Baghdad merupakan kota-kota yang tertata rapi, dengan saluran sanitasi pembuang najis di bawah tanah serta jalan-jalan luas yang bersih dan diberi penerangan pada malam hari. Ini kontras dengan kota-kota di Eropa pada masa itu, yang kumuh, kotor dan di malam hari gelap gulita, sehingga rawan kejahatan. Pada 30 Juli 762 M Khalifah al-Mansur mendirikan kota Baghdad. Al-Mansur percaya bahwa Baghdad adalah kota yang akan sempurna untuk menjadi ibu kota Khilafah. Al-Mansur sangat mencintai lokasi itu sehingga berkata, “Kota yang akan kudirikan ini adalah tempat aku tinggal dan para penerusku akan memerintah”.

Modal dasar kota ini adalah lokasinya yang strategis dan memberikan kontrol atas rute perdagangan sepanjang Sungai Tigris ke laut dan dari

(41)

Timur Tengah ke Asia. Tersedianya air sepanjang tahun dan iklimnya yang kering juga membuat kota ini lebih beruntung dari pada ibu kota khilafah sebelumnya yakni Madinah atau Damaskus. Setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki- laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Setiap gerbang memiliki pintu rangkap yang terbuat dari besi tebal, yang memerlukan beberapa lelaki dewasa untuk membukanya.

e. Kota Isfahan

Pada waktu Abbas I Sultan Safawiyah menjadikan Isfahan sebagai ibukota kerajaanya, kota yang terletak diatas sungai Zandah, dan diatasnya membentang tiga buah jembatan yang megah. Kota ini merupakan gabungan dari kota Jayy, tempat berdirinya Syah Rastan dengan Yahudyyah yang didirikan oleh Buchtanashshar atau Yazdajir I.

Sebagai ibukota propinsi dan pusat industri dan perdagangan, kota ini berbentuk bundar, pintunya ada empat dengan menara pengontrol sebanyak 100 buah. Lebar tembok kota sekitar setengah farsakh, (satu farsakh sekitar 8 km atau 3,5 mil). Keindahan Kota Isfahan tercermin dari bangunan-bangunan indah seperti istana, sekolah-sekolah, masjid- masjid,

(42)

menara, pasar dan rumah-rumah dengan ukiran arsitektur yang indah.

Sultan Abbas I membangun Masjid Shah yang merupakan salah satu Masjid indah dan besar di dunia yang memiliki lapangan dan tanaman yang terawat baik dan menawan, dengan pintunya dilapisi perak.

2.3 Identitas Kota

Identitas sebuah kota pada hakikatnya merupakan jejak peradaban yang ditampilkan sepanjang sejarah kota (Arif, 2008), yang berarti adanya unsur-unsur pembantuk yang menjadi ciri khas suatu kota. Hal ini berarti adanya ikatan terhadap suatu tempat / kota yang bagaimana indvidu manusia atau masyarakat menggunakannya dan memberikan makna sebagai tempat tersebut berbeda dari tempat yang lain (Relph, 1976). Terkait dari suatu tempat, maka terdapat pemahaman tentang spirit of the place (genius loci), yang dapat didefenisikan bahwa: a place is a space which has a distinct character (Schulz, 1984).

Mengenai teori place ini, dapat dipahami dari segi seberapa besar kepentingan tempat-tempat perkotaan yag terbuka terhadap sejarah, budaya dan sosialisasinya.

Analisis place digunakan untuk memberi pengertian mengenai ruang kota melalui tanda kehidupan perkotaannya. Menurut Trancik (1986), ruang dapat didefinisikan berdasarkan kategori atau tipologi berdasarkan pada sifat fisik setiap tempat adalah unik, mengambil karakter sekitarnya. Karakter tersebut terdiri dari hal-hal konkret yang memiliki materi substansi, bentuk, tekstur, warna, dan lebih berwujud asosiasi budaya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tempat (place) sebagai sebuah

(43)

ruang yang memiliki makna membentuk suatu sense of place yang berkaitan dengan keunikan dan karakteristiknya.

Berdasarkan penjelasan diatas, identitas kota menurut Lynch (1960), bukan merupakan keserupaan suatu obyek dengan yang lain, tetapi justru mengacu kepada makna individualitas yang mencerminkan perbedaannya dengan obyek lain serta pengenalannya sebagai entitas tersendiri. Selain itu dapat pula dikatakan bahwa identitas adalah suatu kondisi saat seseorang mampu mengenali atau mengingat kembali suatu tempat yang memiliki perbedaan dengan tempat yang lain karena memiliki karakter dan keunikan. Dalam sudut pandang lainnya bahwa identitas dapat muncul melalui artefak kota (Rossi, 1982; A, 2012). Pemahaman yang sama oleh Trancik, bahwa identitas dipengaruhi oleh kejadian dan peristiwa (urban ritual), yang merupakan artefak kota lebih mengarah ke kebertahanan yang memiliki nilai historis atau yang menjadi wadah berlangsungnya urban ritual.

Identitas kota terbentuk oleh elemen-elemen kota yang oleh masyarakat sangat berkesan terhadap mereka dan terdapat beberapa elemen kota seperti jalan, tepian air, kawasan kota, monument kota, pusat keramaian (Shirvani, 1960; A, 2012). Dalam upaya membentuk identitas pada sebuah kawasan, dapat dilakukan dengan pendekatan terhadap elemen-elemen fisik kota, karena melalui elemen fisik inilah sebuah pemahaman akan ditangkap oleh pengamat secara visual untuk kemudian diolah dalam pikiran dan diberi pemaknaan, aspek-aspek fisik tersebut adalah land

(44)

use, ruang luar dan bangunan dalam pengaruh nilai budaya yang mempengaruhi masyarakat atau pandangan kosmologi dari suatu budaya (Ditya, 2012).

2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai Kota Lama Banda Aceh ini dilakukan untuk melihat proses pergerakan Kota Banda Aceh pada kawasan kota lama (Kec Baiturrahman). Oleh karena itu, untuk memperkuat kajian penelitian yang berkaitan tentang tata ruang kota lama sebagai kota sejarah di kota-kota lain yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Adapun hal tersebut dapat di rangkum dan tabelkan sebagai berikut.

Tabel. 2.1 (Lanjutan)

Judul jurnal Pembahasan yang dikaji Hasil penelitian Proses dan Bentuk

“Mewujudnya” Kota Solo Berdasarkan Teori City Shaped

Spiro Kostof

(Kusumastuti, 2016)

Teori Kostof, Bentuk Kota: Pola Organik, Pola Grid dan Pola Diagram.

Berdasarkan teori tersebut dapat menjadi rujukan

dalam mengkaji

pertumbuhan Kota Solo dapat dilihat dari tiga tipe pertumbuhan, yaitu:

a. Kota Sola sebagai Kota Kerajaan (tradsional).

b. Kota Solo sebagai Kota Kolonial.

Setelah mengalami periode- periode sulit dalam sejarah

perkembangan dan

pertumbuhan kota akibat adanya pergantian kekuasaan. Maka kota modern yang terjadi di Kota Solo, berdasarkan Teori Kostof menyerupai The organic model.

Tabel. 2.1 Rangkuman teori penelitian terdahulu

(45)

Tabel. 2.1 (Lanjutan)

Judul jurnal Pembahasan yang dikaji Hasil penelitian c. Kota Solo sebagai Kota

Modern.

Elemen-elemen Pembentuk Kota yang Berpengaruh terhadap Citra Kota, Studi Kasus: Kota Lama Semarang

(Wulanningrum,2014)

a. Zone Soeprapto memiliki landmark berupa struktur, identitas

dan makna;

b. memiliki path yang menonjol diukur dari struktur, identitas dan makna;

c. memiliki distrik yang paling menonjol jika dilihat dari struktur, identitas dan makna.

d. Zone Tantular memiliki citra menonjol dari makna landmark, struktur path dan edges yang paling menonjol jika dilihat dari struktur, identitas dan makna.

e. Zone Tawang, memiliki makna

a. Nilai tertinggi berada di zone 1 yaitu kawasan Soeprapto dimana terdapat landmark utama yaitu

gereja Blenduk yang memiliki bentuk atap yang menonjol,

b. memiliki struktur path identitas berupa adanya jalur yang diapit bangunan khas

c. memiliki struktur yang baik Soeprapto yaitu tata massa bangunan yang khas

d. Terdapat aktivitas

sebagai pusat

perdagangan dan jasa, perkantoran dan peribadatan.

(46)

Tabel. 2.1 (Lanjutan)

Judul jurnal Pembahasan yang dikaji Hasil penelitian denotative landmark

dan path serta memiliki nodes

Kota Lama Semarang Situs Sejarah Yang Terpinggirkan (Sari,2012)

Sejarah dan situs perkembangan kota lama Semarang

a. Tembok tersebut merupakan bagian dari tembok benteng yang berada disebelah barat bastion de Smits

b. Tembok tersebut merupakan bagian dari de Vijfhoek yang dibangun sebelum benteng kota.

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Penelitian tentang tata ruang kota lama Banda Aceh melalui pendekatan sejarah ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang mana informasi-informasi yang diperolah mampu memberi gambaran dari suatu penelitian, dengan tujuan untuk menemukan konsep tata ruang dan identitas yang membentuk kawasan kota lama Banda Aceh, melalui pendekatan sejarah dari peta kuno, sketsa, foto-foto lama, pelacakan informasi fisik berdasarkan observasi lapangan , wawancara dan disesuaikan dengan teori- teori yang dikaji pada bab sebelumnya. Kajian ini dilakukan terhadap elemen pembentuk fisik kota yang akan dibandingkan dengan beberapa data lainnya, yaitu teknik triangulasi dengan sistem crosschek data-data yang berkaitan dengan penelitian (Bachri, 2010).

3.2 Variabel Penelitian

Dalam menentukan variabel penelitian yang akan dianalisis, maka peneliti mengacu pada teori-teori yang berkaitan dengan permasalaham penelitian sebagai landasan penelitian (Tabel 3.1), yang kemudian teori-teori tersebut dikaji dan menghasilkan variabel penelitian sebagai berikut.

(48)

Tabel 3.1 Variabel penelitian

No. Variabel Sub variabel

1. Tata ruang kota Fungsi zona

Pola jalan/ sirkulasi Tata bangunan Ruang terbuka

2. Identitas kota Karakter kawasan

3.3 Informan

Melakukan wawancara, peneliti menentukan informan sebagai pihak yang akan diajukan pertanyaan-pertanyaan (wawancara), dengan ketentuannya menggunakan teknik purposive sampling. Informan yang terpilih melalui teknik purposive sampling, merupakan informan yang dianggap menguasai bidang konsentrasinya sesuai dengan tujuan penelitian (Tabel. 3.2). Oleh karena itu terlebih dahulu, peneliti menentukan kriteria-kriteria informan sebagai berikut:

a. Dr. Ir. Elysa Wulandari, MT; seorang dosen Teknik Arsitektur Unsyiah Banda Aceh, dengan bidang konsentrasi Arsitektur dan Sejarah Perkotaan;

dan Pengembangan Wilayah Pesisir dan Permukiman.

b. M. Ikhwan Uzair, BHsc; kepala bidang Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), dengan bidang konsentrasi kesejarahan dan sosial.

c. Drs. Rusdi Sufi; Kepala Kerkhof Banda Aceh, Dosen Fkip Sejarah, dan seorang sejahrawan.

(49)

d. Irini Dewiwanti, MSc; Kepala BPNB (Balai Pelestarian Nilai Budaya) Aceh, dengan bidang konsentrasi sejahrawan.

Tabel 3.2 Penentuan penguasaan materi informan

Informan Periode kesultanan Periode kolonial

Dr. Ir. Elysa Wulandari, MT 

M. Ikhwan Uzair, BHsc 

Drs. Rusdi Sufi 

Irini Dewiwanti, MSc 

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data berdasarkan sub variabel yang telah ditentukan dalam peneliti, yang mana data tersebut dikualifikasikan pada cara perolehan data yaitu data primer dan data sekunder. Adapaun cara perolehan datanya adalah sebagai berikut.

3.4.1 Data primer

a. Pengamatan langsung

Survey terhadap kondisi ruang kota lama Banda Aceh pada jejak-jejak peninggalan masa lalu pada kawasan kota lama Banda Aceh serta perkembangannya dengan hasil dokumentasi sebagai yang berupa file jpeg. Proses pengamatan yang dilakukan, terkait kondisi fungsi zona dengan didokumentasikan untuk menentukan penzoningan, selanjutnya pengamatan terhadap kondisi sistem jaringan jalan dan sirkulasi melalui jalur sungai yang dulu memiliki peran penting terhadap jalur utama masa

(50)

kesultanan, untuk menentukan hirarkinya. Kemudian, pengamatan pada peninggalan bangunan bersejarah terhadap kondisi fisik Masjid, Gereja, Pondopo Gubernur, Bank Indonesia, SMA Negeri No.1 Banda Aceh, pasar Aceh, tower air dan telpon, kawasan militer (rumah dan kantornya), percetakan, bioskop dan monumen kereta api, untuk menentukan kondisi letak, bentuk, langgam dan perubahan fungsi bangunan. Demikan pula pengamatan pada ruang terbuka terhadap kondisi Makan kuno, Makam kerkhof, Pekarangan Masjid, taman Putroe Phang Gunongan, taman sari, lapangan Blang Padang, untuk mengetahui peran penting suatu ruang terbuka dan perubahan fungsinya. Adapun pengamatan peneliti terakhir pada karakter kota yang dapat terlihat pada aliran krueng Aceh yang melintasi kota, ditambah lagi terusan anak sungai yang dialirkan ke Pondopo Gubernur (inti Istana dulu), sehingga seakan menunjukkan adanya peran dan fungsi penting.

b. Wawancara

Kepada informan yang telah ditentukan oleh peneliti, wawancara yang dilakukan dengan menggunakan catatan urutan pertanyaan sebagai alat untuk memudahkan proses wawancara, namun tidak menutup kemungkinan sewaktu waktu pertanyaan dapat berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi saat peneliti melakukan wawancara. Hal ini karena, pengumpulan data diawali dari wawancara dengan informan awal atau

(51)

kunci yang berhenti sampai pada informan tidak memberikan informasi lagi (ashadi; Anisa; Nur’aini, 2018). Adapun pembagian wawancara informan yang menguasai bidang konsentrasinya sesuai dengan tujuan penelitian terhadap pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Masing- masing informan memberikan / menjelaskan informasi terkait tata ruang kota lama Banda Aceh dari dua pertanyaan yang telah disiapkan (Tabel 3.3).

Tabel 3.3 Wawancara informan

Pertanyaan Informan Peroide

1) Bagaimanakah fungsi zona Kota Banda Aceh periode Kesultanan?

2) Bagaimanakah sistem sirkulasi Kota Banda Banda Aceh periode Kesultanan?

Irini Dewiwanti, MSc

1) Bagaimanakah bentuk bangunan-bangunan di masa Kesultanan?

2) Seperti apakah ruang terbuka di masa Kesultanan?

M. Ikhwan Uzair, BHsc Kesultanan

1) Bagaimanakah fungsi zona Kota Banda Aceh periode Kolonial?

2) Bagaimanakah sistem sirkulasi Kota Banda Banda Aceh periode Kolonial?

Dr. Ir. Elysa Wulandari, MT

1) Bagaimanakah bentuk bangunan-bangunan di masa Kolonial?

2) Seperti apakah ruang terbuka di masa Kolonial?

Drs. Rusdi Sufi Kolonial

(52)

3.4.2 Data sekunder

a. Studi pustaka / literatur

Terkait teori tata ruang kota yang dikaji dan dapat diperolah melalui buku dan jurnal/ tulisan ilmiah yang berkaitan dengan pembentuk fisik kota seperti fungsi zona, pola/ jaringan sirkulasi, massa dan bentuk bangunan, ruang terbuka serta karakter kawasan. Selain itu, studi pustaka sejarah, untuk memperoleh terkait pergerakan Kota Banda Aceh, peta kuno/

sketsa/ kartografi dan foto-foto lama, sebagai acuan penting dalam menjawab permasalahan penelitian. Dalam hal ini peneliti mendapatkan data dengan melakukan kunjungan ke Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) dan Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (BPNB).

b. Peta citra Kota Banda Aceh

Peta yang dibutuhkan adalah peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh (RTRW Kota Banda Aceh) untuk mendapatkan proses pergerakan atau perkembangan pada kawasan penelitian dan seperti apa karakter kawasan saat itu. Dalam hal mendapatkan peta kawasan dan RTRW Kota Banda Aceh, peneliti melakukan kunjungan ke dinas terkait.

Berdasarkan kualifikasi pada metode pengumpulan data primer dan data sekunder yang nantinya sebagai bahan analisa untuk mendapatkan hasil dalam pembahasan penelitian, maka dapatlah di rangkum / disimpulkan yang dapat dilihat

(53)

Tabel 3.4 Lanjutan

No. Sub variabel Jenis data Data yang diperlukan Analisa

1 Fungsi zona Primer a. Kondisi kawasan kota lama b. Wawancara informan

a. Menentukan fungsi zona- zona dengan menggambar ulang peta kawasan kota lama Banda Aceh (penzoningan).

Sekunder a. Peta kuno/sketsa/ kartografi (abad 16,17,19,20),

b. Foto-foto lama,

c. Peta RTRW Kota Banda Aceh, d. Literatur perancangan Kota dan

sejarah Kota Banda Aceh

a. Melihat perkembangan ruang kota dari peta kuno, foto lama dan literatur sejarah abad 16,17, 19 (periode Kesultanan) dan abad 20 (periode Kolonial) dengan menggambar ulang peta serta menentukan zoning.

b. Membandingkan peta lama dengan peta sekarang

2 Sintem sirkulasi Primer a. Kondisi sistem jaringan jalan b. Foto kondisi fisik sirkulasi

melalui air

c. Wawancara informan

a. Menentukan hirarki jalan

b. Menentukan hirarki jalur perairan pada Kota Banda Aceh

Sekunder a. Peta kuno/sketsa/ kartografi (abad 16,17,19,20),

a. Melihat perkembangan pola sirkulasi dari peta kuno, foto lama dan literatur sejarah Tabel 3.4 Metode pengumpulan data

(54)

Tabel 3.4 Lanjutan

No. Sub variabel Jenis data Data yang diperlukan Analisa

b. Foto-foto lama

c. Peta RTRW Kota Banda Aceh, d. Literatur perancangan Kota dan

sejarah Kota Banda Aceh

abad 16,17, 19 (periode Kesultanan) dan pola jalan abad 20 (periode Kolonial) dengan menggambar ulang peta serta menentukan hirarkinya

b. Membandingkannya dengan pola jalan sekarang

3 Massa dan bentuk bangunan

Primer a. Foto kondisi fisik Masjid,

Gereja, Pondopo Gubernur, Bank Indonesia, SMA Negeri No.1 Banda Aceh, Pasar Aceh, Tower air dan telpon, kawasan militer (rumah dan kantornya),

percetakan, bioskop, monumen kereta api.

b. Wawancara informan

a. Menentukan titik letak artefak yang tersebar pada kawasan kota lama Banda Aceh (memetakan).

b. Menunjukkan bentuk dan langgam bangunan c. Perubahan fungsi bangunan

Sekunder a. Peta kuno/sketsa/ kartografi a. Melihat perkembangan dari bentuk, langgam

(55)

Tabel 3.4 Lanjutan

No. Sub variabel Jenis data Data yang diperlukan Analisa

b. Foto-foto lama

c. Peta RTRW Kota Banda Aceh, d. Literatur perancangan Kota dan

sejarah Kota Banda Aceh

literatur sejarah abad 16,17, 19 (periode Kesultanan) dan pola jalan abad 20 (periode Kolonial) dengan menggambar ulang b. Menentukan orientasi bangunan c. Menetapkan pengaruh dari bentuk dan

langgam bangunan 4 Ruang terbuka Primer a. Foto kondisi Makan kuno,

Makam kerkhof, Pekarangan Masjid, Taman Putroe Phang Gunongan, Taman sari, Lapangan Blang Padang.

b. Wawancara informan

a. Berkurangnya ruang terbuka hijau pada pekarangan Masjid akibat dari

perkembangannya

b. Perubahan fungsi lahan terkait ruang terbuka

Sekunder a. Peta kuno/sketsa/ kartografi (abad 16,17,19,20),

b. Foto-foto lama

c. Peta RTRW Kota Banda Aceh, d. Literatur perancangan Kota dan

a. Melihat perkembangan ruang terbuka dari peta kuno, foto lama dan literatur sejarah abad 16,17, 19 (periode Kesultanan) dan pola jalan abad 20 (periode Kolonial) dengan menggambar ulang.

(56)

Tabel 3.4 Lanjutan

No. Sub variabel Jenis data Data yang diperlukan Analisa

sejarah Kota Banda Aceh b. Peran penting ruang terbuka 5 Karakter kota Primer a. Kondisi topografi Kota Banda

Aceh,

b. Wawancara informan

a. Aliran Krueng Aceh yang melintasi Kota Banda Aceh

b. Menunjukkan peran dan fungsi krueng Aceh Sekunder a. Peta kuno/sketsa/ kartografi

(abad 16,17,19,20), b. Foto-foto lama

c. Peta RTRW Kota Banda Aceh, d. Literatur perancangan Kota dan

sejarah Kota Banda Aceh

a. Menentukan ciri khas kotanya berdasarkan temuan konsep tata ruang kota lama Banda Aceh.

(57)

3.5 Metode Analisa Data

Menganalisa data, peneliti menggunakan pendekatan sinkronik-diakronik dengan cara menggambarkannya dalam bentuk 2D dari batasan waktu yang di awali abad ke enam belas, tujuh belas, dan sembilan belas untuk periode kesultanan, hingga abad ke dua puluh untuk periode kolonial. Pendekatan ini, yaitu membandingkan peta-peta kuno, sketsa dan kartografi, Kota Banda Aceh khususnya kawasan kota lamanya berdasarkan periode kesultanan (abad ke 16, masa kejayaan di abad ke 17 dan masa awal kolonial di abad 19), periode Kolonial (abad ke 20, hingga menjelang kemerdekaan RI) dan kondisi peta Kota Banda Aceh sekarang, dengan literatur sejarah Kota Banda Aceh serta hasil wawancara.

Kemudian, peta-peta tersebut di gambar ulang dengan menggunakan struktur kota yang masih ada dan tidak mengalami banyak perubahan berupa aliran sungai, selanjutnya menggabungkannya dengan peta Kota Banda Aceh sekarang, untuk menemukan proses pergerakan/ perkembangan kawasan kota lama. Semua data akan di crosschek dengan teknik triangulasi data dengan menggunakan lembar catatan data (Tabel 3.5), sebelum masuk ke tahap analisa berdasarkan sub variabel dari hasil kajian teori-teori untuk menemukan konsep tata ruang kota lama Banda Aceh dan kawasan pembentuknya.

(58)

Tabel 3.5 Lembar catatan data

No Sumber data

Dokumen Informan I (kesultanan) Informan II (kesultanan) P G/ FS B/J Catatan wawancara S TS Catatan wawancara S TS

1. Fungsi zona    

2. Sistem sirkulasi     

3. Bangunan    

4. Ruang terbuka    

5. Karakter kawasan      

No Sumber data

Dokumen Informan III (kolonial) Informan IV (kolonial)

P G/ FS B/J Catatan wawancara S TS Catatan wawancara S TS

1. Fungsi zona    

2. Sistem sirkulasi     

3. Bangunan    

4. Ruang terbuka     

5. Karakter kawasan      

Keterangan:

P : Peta B / J : Buku / jurnal TS : Tidak sesuai

(59)

BAB IV

KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kawasan Kota Banda Aceh

Kota Banda Aceh merupakan ibukota Provinsi Aceh yang terletak di pintu gerbang masuk wilayah Indonesia bagian Barat. Kota bersejarah yang berada di ujung Utara pulau Sumatera ini telah berumur 811 tahun, berdasarkan Perda Aceh No.5/1988 pada tanggal 22 April 1205 (1 Ramadhan 601 H) telah ditetapkannya sebagai tanggal keberadaan Kota Banda Aceh yang bertepatan dengan didirikannya Kerajaan Aceh Darussalam oleh Sultan Johansyah di Gampong Pande, Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh. Masih dengan perjalanan sejarahnya dalam masa revolusi kemerdekaan (1945-1949 M), Kota Banda Aceh tampil sebagai ibu kota daerah modal Republik Indonesia (Pemerintah Kotamadya TD II, 1988).

Sejalan dengan beriringnya waktu, Kota Banda Aceh mulai membagi wilayahnya pada tahun 1956, UU No. 8 bahwa kota Banda Aceh merupakan kota yang berstatus sebagai daerah otonom dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang terdiri dari 2 kecamatan yaitu: Kuta Alam dan Baiturrahman. Kemudian pada tahun 1983 peraturan pemerintah No. 5, menjadi 4 kecamatan yaitu: Kuta Alam, Baiturrahman, Meuraxa dan Syiah Kuala. Terakhir, pada tahun 2000 peraturan daerah No. 8 Kota Banda Aceh terjadi pemekaran menjadi 9 Kecamatan sampai dengan sekarang yaitu Kuta Alam, Baiturrahman, Meuraxa, Syiah Kuala, Kuta Raja, Jaya Baru, Lueng Bata, Ulee Kareng dan Banda Raya (Gambar 4.1).

(60)

Gambar 4.1 Peta administrasi batas Kota Banda Aceh Sumber: BAPPEDA Aceh

Letak geografis kotanya yang strategis, tersimpan makna dibalik nama sebuah kota “Banda Aceh” berasal dari kata “bandar” yang berarti “pelabuhan” dan “aca”

yang berasal dari bahasa india, berarti “cantik” (Arif, 2008), yakni sebuah kota yang berada pada jalur pelayaran internasional yang menghubungkan Samudera Hindia dan Selat Malaka dengan latar belakangnya gunung atau bukit-bukit yang menghadap ke laut serta aliran sungai-sungai yang melintasi kota, hal ini menunjukkan bahwa kota Banda Aceh ini memiliki bentuk kota yang terencana (Wulandari, dkk; 2017). Jika diamati dari peta satelit, Kota Banda Aceh tampak jelas memiliki lansekap sebagai

Gambar

Tabel 3.5 Lembar catatan data
Gambar 4.1 Peta administrasi batas Kota Banda Aceh  Sumber: BAPPEDA Aceh
Gambar 4.2 Peta satelit sungai Krueng Aceh yang membelah Kota Banda Aceh  Sumber: Google Maps
Gambar 4.3 Peta letak Krueng Aceh, Krueng Daroy dan Krueng Doi  Sumber: Google Maps
+7

Referensi

Dokumen terkait

KEHUTANAN Program Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan produksi Pengembangan hutan tanaman Pengembangan hasil hutan non-kayu Perencanaan

Perusahaan tidak dapat lagi mengabaikan munculnya perusahaan lain yang mempunyai wilayah pemasaran yang lebih luas. Untuk diperlukan perencanaan stategi manajemen

Pada keadaan normal system syaraf akan melakukan peranannya sesuai dengan fungsi yang semestinya, namun jika terjadi kelainan neuromuskuler akan terjadi suatu kelainan yang

Penelitian ini akan meneliti tentang lama rawat ICU pasien pasca operasi.. jantung, khususnya pada operasi jantung kongenital dan

Maraknya kegiatan penangkapan ikan secara ilegal yang terjadi di laut Indonesia semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dilansir Kementerian Kelautan dan

REKAPITULASI REALISASI ANGGARAN BELANJA DAERAH MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH,. Anggaran

Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai Al-Muwakkil terhadap

Faktor lingkungan dan prilaku yang berhubungan dengan kejadian malaria di Kecamatan Panyabungan adalah perilaku tidak menggunakan kelambu pada malam hari, tidak