• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 TINNITUS

2.2.7 Tatalaksana Tinnitus

Tatalaksana untuk tinnitus sangat banyak. Pengobatan dilakukan tergantung pada penyebab dari tinnitus itu sendiri. Obat-obatan yang digunakan tidak dapat menyembuhkan tinnitus, tetapi dapat mengurangi keparahan tinnitus.

1. Pengobatan dengan medikamentosa a) Lidokain

Lidokain merupakan anastesi lokal pertama yang mampu menekan tinnitus.

Efektif diberikan secara intravena tetapi tidak digunakan dalam pengobatan umum tinnitus.

b) Tocainide

Tocainide merupakan obat yang mirip dengan lidokain tetapi tocainide dapat di minum. Tocainide memiliki efek samping terhadap jantung dan memiliki efek terapi yang rendah.

c) Alprazolam (triazolobenzodiazepine)

Alprazolam merupakan salah satu dari golongan benzodiazepine yang digunakan untuk mengobati kecemasan, depresi, dan serangan panik. Pengobatan menggunakan alprazolam menunjukkan efek yang cukup baik pada tinnitus. Akan tetapi alprazolam ini memiliki efek samping mengantuk dan mual.

d) Anti depresan trisiklik, seperti Nortriptyline dan amitriptyline

Anti depresan ini efektif dalam pengobatan tinnitus yang mengalami depresi yang parah tetapi kurang efektif pada orang yang tinnitus tanpa depresi. Efek samping dari obat ini yaitu mulut kering, penglihatan kabur, sembelit, dan masalah pada jantung. Beberapa penelitian menyebutkan pengobatan dengan amitriptyline 100 mg selama 6 minggu mampu mengurangi keluhan tinnitus dan kenyaringannya dibanding placebo.

Selain pengobatan dengan medikamentosa, beberapa peneliti juga menemukan pengobatan alternatif. Pengobatan alternatif yang ditemukan oleh beberapa peneliti antara lain, pengobatan menggunakan akupunktur, pengobatan menggunakan terapi audiologi, masking, ginggo biloba, pengobatan menggunakan melatonin dan vitamin B, dan juga terapi psikologi seperti CBT, TRT, dan EMDR tidak menyembuhkan tinnitus tetapi dapat mengurangi gejala dari tinnitus.

Pada penelitian Annemarie ditemukan bahwa terapi CBT dan TRT memiliki efek yang baik pada pengobatan tinnitus. Terapi TRT merupakan terapi habituasi yang bertujuan untuk mengubah persepsi tinnitus menjadi sinyal netral. Pasien juga akan diberi konseling untuk menghadapi respon emosional dan fisik yang ditimbulkan tinnitus sehingga pasien akan terbiasa dengan suara denging yang di dengar pada telinga. Sedangkan terapi CBT bertujuan untuk mengubah perilaku kognitif pada pasien tinnitus yaitu mengubah respon emosional ( Annemarie et al, 2020). Dengan EMDR sangat efektif pada tinnitus dengan stress ataupun depresi.

Terapi EMDR merupakan psikoterapi yang dilakukan untuk mengingat kembali pikiran yang rumit pada pasien seperti suara yang didengar. Kemudian dokter akan mengarahkan penderita dengan input sensori bilateral, rangsangan pendengaran, dan gerakan mata sisi ke sisi (American Psychological Association, 2019). Dari penelitian tersebut terbukti bahwa EMDR sangat efektif pada pengobatan tinnis.

Baru-baru ini ditemukan cara pengobatan tinnitus menggunakan aplikasi smartphone. Smartphone ini digunakan untuk mendengar ilmu pengetahuan dan perawatan secara umum. Aplikasi tersebut tersedia pada iOS, Android, dan took Windows Phone. Aplikasi tinnitus dibagi menjadi 2 kategori yaitu penyaringan dan penilaian, intervensi dan rehabilitasi (alat manajemen tinnitus seperti masker dan stimulasi suara). Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa adanya pengaruh yang baik pada penderita tinnitus. Sekitar 23 % dari penderita yang menggunakan aplikasi smartphone tersebut mampu mengatasi masalah tidur dan 21 % mampu menutupi suara tinnitus. Aplikasi yang paling banyak digunakan untuk pengelolaan tinnitus adalah Beltone Tinnitus Calmer, Oticon Tinnitus Sound,

21

Tinnitus Therapy Lite yang dikembangkan oleh produsen alat bantu dengar. Ada 6 komponen utama aplikasi yang diidentifikasi berdasarkan deskripsi di aplikasi apple, google, Amazon yaitu generasi / terapi suara, meditasi dan perhatian, informasi dan pendidikan, hipnosis, latihan relaksasi, dan penilaian (Smith et al, 2020).

2.2.8 Pencegahan

Upaya untuk mencegah dan meminimalkan tinnitus adalah : a) Lindungi pendengaran dari bunyi yang keras

b) Kurangi paparan bising

c) Kurangi merokok dan konsumsi alcohol

Merokok dan alcohol dapat melebarkan pembuluh darah sehingga aliran darah lebih besar terutama pada telinga bagian dalam.

d) Hindari stress

Jika pasien mengalami stress dapat memperburuk tinnitus. Manajemen untuk stres dapat dilakukan dengan relaksasi, biofeedback ataupun olahraga.

2.3 NYERI KEPALA

Nyeri kepala merupakan suatu keluhan yang sering terjadi pada setiap pasien, baik anak-anak maupun dewasa. Nyeri kepala bisa disebabkan karena gangguan pada pola tidur, stress, depresi sampai pada kecemasan. Biasanya nyeri kepala yang dirasakan bersifat tidak membahayakan. Hanya saja nyeri kepala ini disebabkan karena gangguan pada struktur-struktur di daerah kepala dan leher seperti kulit kepala, otot-otot kepala dan leher, mata, telinga, serta saraf-saraf di kepala.

Nyeri kepala dibagi menjadi dua, yaitu nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tidak ada ditemukannya kerusakan struktural maupun metabolik yang mendasari nyeri kepala. Sedangkan nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang disebabkan oleh adanya kerusakan struktural ataupun sistemik. 90% nyeri kepala yang dirasakan termasuk

kedalam kelompok nyeri kepala primer, sisanya termasuk kedalam kelompok nyeri kepala sekunder (Hidayati, 2016).

2.3.1 Klasifikasi Nyeri Kepala a) Nyeri kepala primer

 Migraine

 Tention Type Headache

 Nyeri kepala cluster dan hemicrani paroksismal kronik b) Nyeri kepala sekunder

 Nyeri kepala karena trauma kepala

 Nyeri kepala karena kelainan vaskuler

 Nyeri kepala karena kelainan intracranial nonvaskuler

 Nyeri kepala karena penggunaan suatu zat

 Nyeri kepala karena infeksi

 Nyeri kepala karena kelainan metabolic

 Nyeri kepala karena kelainan saraf

2.3.2 Patofisiologi Nyeri Kepala

Sensasi nyeri kepala terdapat di nosiseptor meningeal dan neuron trigeminal sentral. Sebagian besar pembuluh darah intrakranial mendapatkan inervasi sensoris dari ganglion trigeminal, dan menghasilkan neuropeptida yang akan mengaktivasi nosiseptor-nosiseptor. Neuropeptida yang dihasilkan seperti CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide) yang paling besar dan diikuti oleh SP (substance P), NKA (Neurokinin A), PACAP (Pituitary Adenylate Cyclase Activating Peptide, nitricoxide(NO), molekul prostaglandin E2 (PGEJ2), bradikinin, serotonin (5-HT) dan adenosin triphosphat (ATP). Kemudian rangsangan dibawa menuju cornu dorsalis cervical atas dan modulasi nyeri terletak pada batang otak yaitu di periaquaductal grey matter, locus coeruleus, nucleus raphe magnus dan reticular formation akan mengatur integrasi nyeri,

23

emosi dan respons otonomik.kemudia di thalamus terjadi persepsi nyeri (Jatmiputri, 2017).

2.4 KUALITAS HIDUP

Menurut WHO kualitas hidup adalah persepsi individual terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam konteks budaya, sistem nilai dimana mereka berada dan hubungannya terhadap tujuan hidup, harapan, standar, dan lainnya. Masalah yang berkaitan dengan kualitas hidup sangat luas, termasuk masalah kesehatan fisik, status psikologi, tingkat kebebasan, hubungan sosial dan lingkungan dimana tempat mereka berada (WHO, 2012).

Definisi sehat menurut WHO adalah suatu keadaan dimana tidak hanya terbebas dari penyakit, tetapi keseimbangan antara fungsi fisik, mental, dan sosial.

Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan yaitu fungsi fisik, psikologis (kognitif dan emosional), dan sosial (Delwien, 2018).

Menurut WHOQoL-BREF (World Health Organization Quality of Life Bref version) terdapat empat dimensi mengenai kualitas hidup, yaitu:

1. Kesehatan Fisik

Kesehatan fisik mampu mempengaruhi kemampuan individu dalam melakukan aktivitas. Kesehatan fisik mencakup aktivitas sehari-hari, energi dan kelelahan, sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat. Hal ini berhubungan dengan private self consciousness yaitu individu lain tidak bisa melihat apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain.

2. Psikologis

Dimensi psikologis ini berkaitan dengan keadaan mental seseorang.

Kesejahteraan psikologis terdiri dari bodily image dan appearance, perasaan positif, perasaan negative,, keyakinan pribadi, berpikir, belajr, memori, konsentrasi,dan penampilan. Dimensi psikologis ini jika dihubungkan dengan private self consciousness artinya seseorang merasakan sesuatu apa yang ada dalam dirinya tanpa diketahui oleh orang lain (Delwien, 2018).

3 Hubungan Sosial

Hubungan antara dua individu atau lebih yang dapat mempengaruhi atau memperbaiki tingkah laku individu lain. Manusia merupakan makhluk sosial menyebabkan manusia harus berinteraksi.

4 Lingkungan

Hubungan dengan lingkungan mencakup kebebasan, keamanan, keselamatan fisik, dan lingkungan rumah. Lingkungan ini berkaitan denga sarana dan prasarana yang dapat menunjang kehidupan. Berdasarkan public self consciousness yaitu individu harus memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan disekitarnya.

2.4.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup antara lain : 1. Jenis kelamin

Jenis kelami merupakan salah satu dari faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup. Adanya perbedaan antara kualitas hidup laki-laki dan perempuan, adanya perbedaan aspek kehidupan, dan juga adanya perbedaan peran dalam menjalankan kehidupan.

2. Usia

Usia dapat mempengaruhi kualitas kehidupan individu. Menurut penelitian wagner adanya perbedaan yang menyangkut usia dalam menentukan aspek kehidupan.

3. Pendidikan

Menurut bebrapa penelitian, pendidikan memiliki pengaruh pada kualitas hidup individu. Pada penelitian Noghani et al menemukan ahwa adanya pengaruh positif dari pendidikan terhadap kualitas hidup tetapi tidak terlalu banyak.

4. Pekerjaan

Pada penelitian moons et al menemukan ada pengaruh pekerjaan pada kualitas hidup individu baik laki-laki maupun perempuan.

25

5. Status pernikahan

Pada penelitian moon et al menemukan adanya pengaruh status pernikahan terhadap kualitas hidup individu. Kualitas hidup individu yang telah menikah, yang belum menikah, yang bercerai, dan janda memiliki kualitas hidup yang berbeda. Individu yang telah menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan yang janda.

6. Hubungan dengan orang lain

Menurut penelitian Noghani individu yang memiliki hubungan baik dengan orang lain seperti pertemanan memiliki kualitas hidup yang tinggi.

7. Kesehatan fisik

Individu yang memiliki penyakit akan menyebabkan dirinya stress ataupun stress.sehingga kesehatan fisik mempengaruhi kualitas hidup seseorang.

2.4KERANGKA TEORI

Manifestasi Klinis

 Telinga berdenging

Faktor Risiko

 Usia

 Jenis Kelamin

 Merokok

 Penggunaan Obat Ototoksik

 Kesehatan Mental

 Riwayat Penyakit

Tinnitus Subjektif Tinnitus Objektif TINNITUS

Tinnitus Unilateral

Tinnitus Bilateral

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang

Tatalaksana

27

2.5 KERANGKA KONSEP

Variabel independen Variabel dependen

a) Variabel independen : tinnitus b) Variable dependen : Nyeri kepala

2.6HIPOTESIS

Adanya hubungan antara nyeri kepala dengan kualitas hidup pasien tinnitus

tinnitus Nyeri kepala

 Usia

 Jenis kelamin

 Gangguan psikologis

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 DESAIN PENELITIAN

Desain penelitian ini adalah Systematic Review yaitu metode penelitian untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan interpretasi terhadap semua hasil penelitian yang relevan terkait dengan topik penelitian.

3.2 KRITERIA INKLUSI dan EKSKLUSI

3.2.1 Populasi

Orang dewasa dalam rentang usia 25-60 tahun yang mengalami gejala telinga berdenging.

3.2.3 Outcome

Outcome yang diukur dalam penelusuran ilmiah ini adalah karakteristik tinnitus dapat mempengaruhi usia, jenis kelamin dan gaya hidup seseorang dan dapat di nilai menggunakan Tinnitus Handicap Inventory (THI).

3.2.2 Tipe Studi

Desin penelitian yang diambil dalam penelusuran ilmiah ini adalah desain penelitian eksperimental dengan RCT ataupun Non-RCT.

29

Population Orang dewasa dalam rentang usia 25-60 tahun yang mengalami gejala telinga berdenging.

Outcome Karakteristik tinnitus dapat mempengaruhi usia, jenis kelamin dan gaya hidup seseorang dan dapat di nilai menggunakan Tinnitus Handicap Inventory (THI).

Desain Penelitian Setiap desain penelitian

eksperimental dengan RCT ataupun Non-RCT.

Terbitan Studi Tahun 2015-2020 Table 3.1 Kriteria Studi

3.3 STRATEGI PENCARIAN LITERATUR

Penelusuran artikel publikasi melalui internet dari sumber utama Pubmed, science direct, Wiley online library. Pencarian artikel menggunakan kata kunci : charachteristic, tinnitus, headache, quality of life. Artikel atau jurnal yang sesuai dengan kriteria inklusi diambil dan dilakukan analisis. Penelitian ini menggunakan publikasi terbitan tahun 2015 sampai 2020.

3.4 ANALISIS DATA

Metode penelitian menggunakan metode dengan pendekatan kualitatif

“metasintesis” yaitu untuk mensintesis atau merangkum hasil-hasil penelitian eksperimental dengan RCT ataupun Non-RCT yang berkaitan dengan tinnitus.

Review artikel ini akan di sintesis menggunakan metode naratif dengan mengelompokkan data-data hasil ekstraksi yang sesuai dengan hasil yang diukur untuk menjawab tujuan penelitian.

3.5 DEFINISI OPERASIONAL

1. Variabel dependen a) Tinnitus

Tinnitus merupakan suatu gangguan pendengaran yaitu terdengarnya bunyi tanpa adanya rangsangan bunyi atau suara dari luar.

2. Variabel Independen a) Nyeri kepala

Nyeri pada kepala atau rasa sakit yang menyebar ke seluruh atau sebagian sisi kepala akibat dari gangguan pada struktur-struktur di daerah kepala dan leher seperti kulit kepala, otot-otot kepala dan leher, mata, telinga, serta saraf-saraf di kepala.

 Usia

Lama hidup responden dari lahir sampai saat penelitian

 Jenis Kelamin

Gambaran anatomis untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan, dilihat dari gambaran luar.

 Gangguan psikologis

Suatu kondisi ketika seseorang memiliki cara berpikir, berperilaku, serta emosi yang abnormal.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menelusuri DataBase elektronik seperti Pubmed, Sciencedirect, dan Wiley online library. Proses pemilihan jurnal dilakukan dengan metode identifikasi, skrining, uji kelayakan, dan inklusi.

Berikut ditampilkan skema pencarian jurnal.

xxSumber Data

Pubmed (n=303)

Sumber Data

Science direct (n=1865)

Sumber Data

Wiley online library (n=956)

Total Artikel (n=3124) Total Artikel Duplikasi (n=998)

Artikel Tanpa Duplikasi (n=2126) IDENTIFIKASI

SKRINING

KELAYAKAN

INKLUSI

Catatan masuk eksklusi (n=2100)

Full text (n=26)

Full text masuk inklusi (n=3)

Strategi awal yang digunakan untuk penelusuran jurnal yaitu dengan mengakses DataBase di Pubmed, Science Direct, dan Wiley Online Library dengan memasukkan kata kunci : Characteristic, Tinnitus, headache, quality of life. Setelah ditemukan hasilnya, jurnal disaring sesuai kriteria yang telah ditentukan yaitu : jurnal terbaru tahun 2015-2020.

Hasil identifikasi ditemukan beberapa jurnal diantaranya : Pubmed 303 jurnal, science direct 1865 jurnal, dan wiley Online Library 956 jurnal. Sehingga total jurnal yang didapatkan yaitu 3124 jurnal. Dari 3124 jurnal dilakukan identifikasi untuk melihat duplikasi. Identifikasi tersebut meliputi judul, tahun dan nama pengarang. Apabila didapatkan kesamaan, dapat disimpulkan bahwa jurnal tersebut isinya sama. Setelah dilakukan identifikasi terdapat 998 jurnal yang sama.

Maka total 3124 jurnal dikurangi dengan jurnal duplikasi sebanyak 998 jurnal, sehingga didapatkan hasilnya 2126 jurnal tanpa duplikasi.

Sebanyak 2126 jurnal dilakukan skrining untuk mendapatkan tema yang sesuai dengan kriteria yang dicari. Dari 2126 jurnal terdapat 26 jurnal yang sesuai dan sebanyak 2100 jurnal tidak sesuai dengan yang dicari. Selanjutnya dari 26 jurnal dilakukan analisis kembali untuk memastikan kelayakan dengan inklusi yang sudah ditentukan. Hasil yang didapatkan yaitu terdapat 3 jurnal yang masuk dalam kriteria inklusi. Ada 23 jurnal yang tidak termasuk ke dalam kriteria inklusi karna membahas tatalaksana pada sakit kepala.

Total hasil pencarian yang didapat dari 3 DataBase yaitu Pubmed, Science

Perempuan Laki-laki Total Berthold dkk Hausham,

Table 4.1 Informasi Dasar Tentang Studi Individu

33 dengan tinnitus. Penelitian tersebut dilakukan di Negara Germany dan Polandia.

Berdasarkan hasil dari ke tiga penelitian pada Tabel 4.1, menunjukkan bahwa dari dua peneliti memiliki jenis tinnitus bilateral dan satu peneliti memiliki jenis tinnitus subjektif. Berdasarkan tahun penelitian, dua peneliti melakukan penelitian tahun 2020 dan satu peneliti pada tahun 2017. Dari ketiga penelitian tersebut didapatkan dua peneliti memiliki sampel wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki. Satu peneliti memiliki sampel laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.

Tiga penelitian yang direview menggunakan analisis dan variable yang berbeda untuk menentukan hubungan kondisi tinnitus dengan sakit kepala. Hal ini digambarkan pada table 4.2.

Berdasarkan Table 4.2 menunjukkan bahwa variabel dependen penelitian adalah nyeri kepala dan variabel independen yang digunakan adalah tinnitus.

Hasil penelitian ini menjelaskan 2 dari 3 penelitian menunjukkan adanya hubungan antara nyeri kepala dengan kualitas hidup pasien tinnitus.

4.2 PEMBAHASAN

Penelitian Berthold pada tahun 2017, dilakukan penelitian pada 955 sampel yang terdiri dari 283 perempuan dan 672 laki-laki dengan gejala tinnitus disertai nyeri kepala dan tinnitus tanpa disertai nyeri kepala. Analisis dilakukan dengan mengumpulkan data pasien dan disajikan di Pusat Tinnitus multidisiplin dari Universitas Regensburg antara tahun 2003 sampai tahun 2011. Penelitian tersebut menunjukkan hubungan antara tinnitus dengan nyeri kepala yang berkaitan dengan jenis kelamin (p = 0,452), yang berkaitan dengan usia (p = 0,421), dan yang berkaitan dengan gangguan psikologis (p = 0, 909). Dari kesimpulan penelitian Berthold didapatkan bahwa tinnitus dengan nyeri kepala yang berkaitan dengan jenis kelamin dan gangguan psikologis memiliki hubungan yang bermakna dibandingkan dengan tinnitus tanpa nyeri kepala. Sedangkan tinnitus dengan nyeri kepala atau tanpa nyeri kepala tidak memiliki perbedaan signifikan dengan usia.

Di penelitian Alessandra pada tahun 2020 dengan metode cross-sectional, dilakukan penelitian pada 1981 orang yang terdiri dari 1034 perempuan dan 947 laki-laki. Pada penelitian ini, tinnitus dengan nyeri kepala atau tinnitus tanpa nyeri kepala dibagi menjadi 3 kelompok yaitu; setiap tinnitus, tinnitus sebagai masalah besar, dan tinnitus parah. Subjek dengan nyeri kepala lebih sering melaporkan adanya tinnitus (multivariate OR, 2.61; 95% Cl, 2.19-3.12), tinnitus sebagai masalah besar (OR,5.63;95%CI,4.10-7.72) dan tinnitus berat (OR,4.99;95%CI,3.417.32). Penelitian ini juga mengevaluasi hubungan antara nyeri kepala dan tinnitus yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Pada pria (OR,3,21;95%CI,2,22-4,64) dan pada wanita (OR,2,49;95%CI,2,03–3,06).

Hubungan ini lebih besar pada pria, meskipun tidak berbeda secara signifikan

35

dari wanita. Sedangkan untuk tinnitus sebagai masalah besar pada pria (OR,7,28;95%CI,4,19-12,6) dan pada wanita (OR,5,51;95%CI,3,69-8,22) dan untuk tinnitus berat pada pria (OR,8.14;95%CI,4.22-15.7) dan pada wanita (OR,4.20;95%CI,2.59-6.80).

Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara tinnitus dengan nyeri kepala yang berkaitan dengan jenis kelamin. Yang mana pada setiap tinnitus yang berhubungan dengan jenis kelamin (p < 0.001), tinnitus sebagai masalah besar yang berkaitan dengan jenis kelamin (p = 0,0003), tinnitus parah yang berkaitan dengan jenis kelamin (p = 0,0014). sedangkan tinnitus yang berkaitan dengan usia berdasarkan setiap tinnitus (p < 0,0001), berdasarkan tinnitus sebagai masalah besar (p = 0,5619), tinnitus parah (p=)). Pada subjek dengan tinnitus berat ditemukan perbedaan pada TFI, stress, ukuran kecemasan dan kualitas hidup fisik dan psikologis (p = 0,039 hingga 0,025 setelah koreksi untuk beberapa perbandingan). Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa adanya hubungan yang kuat antara nyeri kepala dan tinnitus dengan peningkatan keparahan.

Penelitian di Polandia pada tahun 2020 dilakukan dengan studi prospektif dengan subjek 286 di Universitas Bydgoszcz dari februari 2019 hingga mei 2020.

Dari 286 subjek tinnitus ditemukan 141 (49,3%) tinnitus mengalami nyeri kepala.

Pada tinnitus tanpa nyeri kepala yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin laki-laki/perempuan [77(53.10%)/68(46.90%)] dan tinnitus dengan nyeri kepala yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin laki-laki/perempuan [42(29.79%)/99(70.21%)] dengan (p < 0,0001). Pada subjek tinnitus dengan atau tanpa nyeri kepala yang dikelompokkan pada usia (p = 0,0363). Kemudian pada tinnitus yang dikelompokkan berdasarkan gaya hidup terdiri dari merokok, depresi, dan gangguan tidur. Tinnitus tanpa nyeri kepala dengan merokok 13(8,97%) dan tinnitus dengan nyeri kepala dengan merokok 11(7,80%) dan didapatkan (p = 0,8320). Tinnitus tanpa nyeri kepala dengan depresi 30(20,69%) dan tinnitus dengan nyeri kepala dan depresi 46(32,62%) dan didapatkan (p = 0,0236%). Kemudian tinnitus tanpa nyeri kepala dengan gangguan tidur 33(22.76%) dan tinnitus dengan nyeri kepala dan gangguan tidur 42(29,79%) dan didapatkan (p = 0,1821). Pada penelitian ini disimpulkan bahwa tinnitus lebih

signifikan pada wanita. Pada kelompok tinnitus yang bukan nyeri kepala, biasanya sebagian besar tinnitus unilateral sedangkan pada kelompok dengan nyeri kepala, biasanya sebagian besar tinnitus bilateral.

BAB V

KESIMPULAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

1. Dari penelitian yang telah dilakukan, ditemukan adanya hubungan antara karakteristik tinnitus dengan kualitas hidup pasien.

2. Dari penelitian tersebut adanya hubungan antara karakteristik pasien tinnitus dengan nyeri kepala

3. Dari hasil penelitian tersebut adanya hubungan signifikan antara nyeri kepala dengan jenis kelamin, usia, dan gaya hidup seperti; stress, depresi, merokok, dan gangguan tidur.

5.2 SARAN

1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan tinnitus dengan nyeri kepala agar data yang dihasilkan dari penelitian meta-sintesis lebih relevan.

2. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut pada kelompok wanita yang menderita tinnitus agar mengurangi bias.

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, D.P. (2016). Mengenali Gejala Tinnitus dan Penatalaksanaannya.

DOAJ. Vol. 6 No.1, 34-40.

Alessandra. L, Edvall. N.K. (2020). Relationship between headaches and tinnitus in a Swedish study. Scientific reports. https://doi.org/10.1038/s41598-020-65395-1

Annemarie Van der Wal, T.L. (2020). Sex Differences in the Response to Different Tinnitus Treatment. doi:10.3389/fnins.2020.00422,14, 1-9.

Ballenger JJ. (1997). Penyakit telinga, hidung, tenggorokan, kepala dan leher.

Alih bahasa: Staf pengajar FKUI-RSCM. 13rd ed. Jakarta: Binarupa

JAMA Otolaryngol Head Neck Surgion, 142(10), 959-965.

Chari DA, limb CJ. (2018). Tinnitus. Klinik Medis Amerika Utara 102 (6): 1081-1093. Doi: 10.1016/j.mcna.2018.06.014. PMID: 30342610.

Delwien Esther Jacob, S.S. (2018). Faktor-aktor yang mempengaruhi kualitas hidup masyarakat karubaga district sub sidtric tolikara provinsi Papua.

JNIK, 1(1): 2621- 6507.

doi: 10.1155/2016/2830157

Henry, J.A, D.K, Schechter M.A. (2005). Tinjauan umum tinnitus: prevalensi, mekanisme, efek, dan manajemen. 48 (5): 1204-1235.

Hermawan, M.F. (2020). Hubungan lama paparan kebisingan mesin terhadap derajat gangguan pendengaran akibat bising pekerja bagian produksi PT.MB.

Hidayati, H. B. (2016). Pendekatan klinis dalam menajemen nyeri kepala. The clinician’s approach to the management of headache. 2(2):89-97.

http://dx.doi.org/10.21776

Janet S. Choi, A.J. (2020). Pevalence of Tinnitus and Associated Factors Among Asian Americans: Results From a National Sample. 130(12), E933-E940.

https://doi.org/10.1002/lary.28535

Jatmiputri. S.S, Belladonna. M. (2017). Pengaruh stress kerja terhadap kejadian nyeri kepala pada pekerja ground handling (Studi kasus di Bandara Ahmad Yani Semarang). 6(2):1244-1252.

http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico

Keate B. (2011). Tinnitus Handicap Inventory (article).

www.tinnitusformula.com/library/tinnitus-handicap-inventory/

39

Kim Hyun-Jong et al., (2015). Analysis of the prevalence and associated risk factors of tinnitus in adults. Plos one. Doi: 10.1371/journal.pone.0127578.

Kurniawati. S.P. (2016). Intensitas kebisingan terhadap gangguan perdengaran dan keluhan tinnitus pada pekerja penggilingan daging di kabupaten jember. Digital Repository Universitas Jember. 1-143.

Lasisi AO & Gureje O. Prevalence of Insomnia and Impact on Quality of Life Among Community Elderly with Tinnitus. Ann Otol Rhinol Laryngol.

2011. 120(4): 226-230. Doi: 10.1177/000348941112000402.

Leaver, A.M, Seydell-Greenwald, A, & Rauschecker, JP. (2016). Interaksi pendengaran limbic pada tinnitus kronis: Tantangan untuk penelitian neuroimaging. 334: 49-57.

Lee. Y, Kim. T, Lee. K. (2020). The Pathophysiology of Tinnitus: Involment of the Somatosensory, Brain, and Limbic Systems. Audiology and speech research. 16(1):11-18. http://doi.org//10.21848/asr.190116.

Lenkeit CP, Al Khalili Y. (2020). Pulsatile tinnitus. Start Pearls.

Luciana Geocze, S. S. (2018). Quality of Life: Tinnitus and psychopathological symptoms. 8(5), 1496-1502

Magdalena. N, Wicinski. M. (2020). The prevalence of different types of headache in patient with subjective tinnitus and its influence on tinnitus parameter: A Prospective Clinical Study. MDPI. 1-13. doi:

Magdalena. N, Wicinski. M. (2020). The prevalence of different types of headache in patient with subjective tinnitus and its influence on tinnitus parameter: A Prospective Clinical Study. MDPI. 1-13. doi:

Dokumen terkait