• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui distribusi pasien tinnitus berdasarkan usia

Untuk mengetahui distribusi pasien tinnitus berdasarkan jenis kelamin

Untuk mengetahui distribusi pasien tinnitus berdasarkan gangguan psikologis 1.4 MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1.4.1 Institusi Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik penderita tinnitus.

1.4.2 Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dalam penulisan karya tulis ilmiah dan juga menambah pengalaman dalam bidang penelitian.

1.4.3 Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan dalam mencegah terjadinya tinnitus.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA

2.1.1 Anatomi Telinga

Telinga merupakan salah satu alat indera yang berfungsi untuk mendengar dan yang paling peka terhadap gelombang suara. Telinga dibagi menjadi 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga manusia mampu mendengar suara dengan frekuensi antara 20-20.000 Hz.

Menurut (Nugroho, 2009) sistem organ pendengaran dibagi 2, yaitu :

a) Sistem organ pendengaran perifer yang terdiri dari struktur yang berada di luar otak dan batang otak yaitu telinga luar, telinga tengah, telinga dalam dan saraf koklearis.

b) Sistem organ pendengaran sentral termasuk yang berada di dalam otak dan batang otak yaitu nukleus koklearis, nukleus olivatorius superior, lemnikus lateralis, kolikulus inferior dan kortek serebri lobus temporalis area Wernicke.

1. Telinga Luar

Telinga luar merupakan bagian telinga yang terdapat di lateral membrane timpani, terdiri dari Pinna, Meatus Acusticus Externus, dan membran timpani.

Pinna disebut juga aurikula atau daun telinga, merupakan tulang rawan fibro- elastik berbentuk pipih dan permukaannya tidak rata. Bagiannya terdiri dari heliks, antiheliks, tragus, antitragus dan konka. Pinna dialiri oleh arteri aurikularis posterior dan arteri temporalis superficialis. Aliran vena menuju ke gabungan vena temporalis superficialis, vena aurikularis posterior dan vena emissary mastoid. Inervasi oleh cabang nervus cranial V, VII, IX dan X (Nugroho, 2009).

Meatus Acusticus Externus (MAE) atau liang telinga merupakan tabung yang berbentuk huruf S yang berfungsi untuk menghubungkan aurikula dengan telinga tengah. MAE juga berfungsi untuk meneruskan gelombang suara sampai ke membrane timpani. MAE dibagi mejadi 2 bagian yaitu pars cartilage yaitu di 1/3 lateral dan pars osseus di 2/3 lateral. Dibagian pars cartilage terdapat folikel rambut, kelenjar pilosebasea dan kelenjar penghasil serumen. Dibagian pars osseus tidak terdapat folikel rambut hanya dijumpai sedikit kelenjar serumen.

MAE dialiri arteri temporalis superficialis, arteri aurikularis posterior dan arteri aurikularis profundus. Aliran vena mengalir ke vena maksilaris, jugularis externa dan plexus venosus pterygoid. Inervasi oleh cabang aurikularis dari N. vagus dan cabang aurikulotemporalis dari N. mandibularis.

Membran timpani bentuknya kerucut, puncaknya disebut “umbo” dan dasarnya berbentuk seperti oval. Membrane timpani dibagi 2 bagian yaitu pars tensa dan pars flasida. Pars tensa ada 3 lapisan, yaitu lapisan skuamosa, lapisan mukosa, dan lapisan fibrosa. Lapisan ini mengandung serabut kolagen yaitu bagian luar arah radial dan bagian dalam sirkuler yang akan mempengaruhi konsistensi dari membrane timpani. Pars flasida ada 2 lapisan yaitu lapisan skuamosa dan lapisan mukosa. Membrane timpani bagian medial disuplai cabang dari arteri aurikularis posterior, bagian lateral dari ramus timpanikus cabang arteri aurikularis profundus. Aliran vena menuju ke vena maksilaris, jugularis externa dan pleksus venosus pterygoid. Inervasi oleh nervus aurikularis cabang N. vagus, cabang timpanikus N. glosofaringeus dan nervus aurikulotemporalis cabang N.

mandibularis.

7

Gambar 2.1 Telinga Luar

2. Telinga Tengah

Telinga tengah merupakan rongga kecil yang berisi udara dibagian petrosa tulang temporal yang dilapisi oleh epitel. Batas dari telinga tengah yaitu membrane timpani.Terdiri dari membran timpani, ossiculae auditiva, dan tuba eustachius. Telinga tengah memiliki 3 tulang pendengaran yaitu maleus, incus, dan stapes yang saling berikatan membentuk artikulasi. Prosesus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus akan melekat pada stapes dan stapes akan melekat pada oval window. Telinga tengah berhubungan dengan nasofaring melalui tuba eustachius (Soepardi dkk, 2006).

Membran timpani dan osikulus akan bergetar jika ada gelombang suara yang masuk dengan frekuensi yang sama. Getaran yang berada di membran timpani akan dipindahkan ke oval window. Getaran yang terjadi pada oval window akan menimbulkan gerakan yang hampir mirip dengan gelombang di cairan telinga dalam dengan frekuensi yang sama seperti gelombang suara yang pertama (Sherwood 2014).

Osikulus terdiri dari ligament dan otot-otot yang menempel pada strukturnya.

Otot tensor timpani di suplai oleh cabang mandibular dari saraf v yaitu saraf

trigeminalis, untuk membatasi gerakan dan meningkatkan tegangan pada gendang telinga sehingga mencegah kerusakan telinga dalam dari suara yang keras.

Tuba eustachius dalam keadaan normal biasanya tertutup, akan tetapi jika sedang menguap, mengunyah, dan menelan tuba eustachius akan terbuka.

Terbukanya tuba eusthacius karena tekanan udara di telinga tengah sama dengan tekanan atmosfer sehingga tekanan di kedua sisi membran timpani sama (Sherwood, 2014).

Aliran darah untuk kavum timpani oleh arteri timpani anterior, arteri stylomastoid, arteri petrosal superficial, arteri timpani inferior. Aliran darah vena bersama dengan aliran arteri dan berjalan ke dalam sinus petrosal superior dan pleksus pterygoideus (Nugroho, 2009).

Gambar 2.2 Telinga Tengah

3. Telinga dalam

Terletak di dalam tulang temporal bagian petrosa, di dalamnya di kelilingi oleh labirin. Labirin terdiri dari 3 bagian yaitu pars superior, pars inferior, dan pars intermedia. Pars superior terdiri dari utrikulus dan saluran semisirkularis, pars inferior terdiri dari sakulus dan koklea, sedangkan pars intermedia terdiri dari duktus dan sakus endolimpatikus. Telinga dalam dialiri oleh arteri auditorius interna cabang dari arteri cerebelaris inferior.

9

Koklea merupakan organ perdengaran yang mirip dengan rumah siput.

Struktur duktus koklea membentuk suatu sistem dengan tiga ruangan yaitu skala vestibule, skala media, dan skala timpani. Skala media merupakan lanjutan dari labirin membranosa ke koklea. Skala vestibuli merupakan saluran yang berada di atas skala media yang berakhir pada jendela oval. Skala timpani meupakan skala yang berakhir pada oval window. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfe dan skala media berisi endolimfe (Hermawan, 2020). Fungsi dari koklea yaitu sebagai organ indera pendengaran dan kanalis semisirkularis sebagai alat keseimbangan.

Gambar 2.3 Telinga Dalam

2.1.2 Fisiologi Pendengaran

Proses pendengaran dimulai dengan dikumpulkannya gelombang suara oleh telinga luar, kemudian gelombang suara itu akan disalurkan ke meatus akustikus eksternus bagian dalam sehingga menggetarkan membran timpani. Ketika membran timpani bergetar maka tulang-tulang pendengaran seperti maleus, inkus, dan stapes ikut bergetar sehingga getaran suara tersebut dapat tersalurkan ke telinga bagian dalam yaitu tingkap oval. Getaran yang disalurkan pada tingkap oval tersebut akan menggerakkan cairan yang ada pada perilimfa dan endolimfa.

Kemudian cairan tersebut akan membuat sel-sel rambut yang ada pada organ corti bergetar. Jika rambut permukaan pada sel rambut berubah akibat gerakan cairan di telinga bagian dalam, maka akan terdapat sinyal-sinyal saraf dan akan berhubungan melalui suatu sinaps kimiawi dengan ujung serat-serat saraf aferen yang membentuk nervus auditorius. Maka gelombang suara tersebut akan diubah menjadi sinyal-sinyal listrik yang dapat diterima oleh otak sehingga terjadi proses pendengaran yang sempurna. (Sherwood, 2010).

2.2 TINNITUS

2.2.1 Definisi Tinnitus

Tinnitus berasal dari bahasa Latin yaitu “tinnire” yang artinya menimbulkan suara atau berdenging. Tinnitus merupakan suatu gangguan pendengaran yaitu terdengarnya bunyi tanpa adanya rangsangan bunyi atau suara dari luar. Adapun keluhan yang dialami bisa berupa bunyi mendenging, menderu, mendesis, bersiul atau berbagai macam jenis suara yang lain (Nugroho et al, 2015)

Tinnitus dibagi menjadi 2 macam, yaitu : 1. Tinnitus subjektif

Tinnitus subjektif ini bersifat non-vibratorik artinya suaranya terjadi karena adanya proses iritatif atau perubahan degenerative pada traktus auditorius yang dimulai dari selsel rambut getar koklea hingga ke pusat saraf pendengaran.

Biasanya suara ini hanya dapat didengar oleh penderita sendiri, dan ini merupakan kasus yang paling sering terjadi.

2. Tinnitus objektif

Tinnitus objektif ini bersifat vibratorik artinya berasal dari vibrasi atau getaran sistem muskuler atau kardiovaskuler di sekitar telinga. Biasanya suara ini dapat didengar oleh si pemeriksa atau dapat juga didengar dengan auskultasi disekitar telinga. Contohnya : suara nafas, suara jantung atau suara dari kontraksi otot-otot disekitar telinga

11

.

Tinnitus dibagi lagi menjadi tinnitus pulsatile dan non-pulsatile. Kemudian tinnitus pulsatile dibagi lagi menjadi 2 yaitu vaskular dan nonvascular. Tinnitus vascular dapat disebabkan oleh arteri dan vena. Pada tinnitus vascular yang disebabkan oleh arteri biasanya terjadi aliran turbulen dari arteri sehingga terjadi penyempitan lumen dan mengganggu aliran laminar yang ada pada pembuluh darah. Aliran turbulen inilah yang bisa di dengar oleh pasien (Lenkeit, 2020).

2.2.2 Epidemiologi Tinnitus

Prevalensi untuk tinnitus sangat bervariasi dan penyebabnya juga sangat banyak. Salah satu penyebabnya itu adalah paparan bising. Penyebab lainnya yaitu kelainan tempomandibular, dimana dibeberapa penelitian menyebutkan bahwa prevalensi orang yang memiliki kelainan tempomandibular lebih tinggi dibandingkan tanpa kelainan tempomandibular yaitu TMD (35,8% sampai 60,7%) sedangkan pasien tanpa TMD (9,7% sampai 26,0%) (Mottaghi et al, 2018).

Prevalensi depresi pada pasien tinnitus yaitu sekitar 33%. Sebuah studi di Korea Selatan melaporkan prevalensi tinnitus 20,7% pada usia diatas 19 tahun.

Sedangkan di Negara lain seperti Jepang hanya berkisar 11,9%, China 14,5%, dan Inggris 18,4% (Kim et al, 2015).

Menurut penelitian Shargorodsky et al, insiden tertinggi tinnitus pada usia 60- 69 tahun. Terjadi peningkatan prevalensi pada usia 65-74 tahun. Rata-rata usia yang terkena yaitu usia 45 tahun, sedangkan usia terendah yaitu 25 tahun dan usia tertinggi 60 tahun. Pasien dengan usia diatas 60 tahun akan meningkatkan risiko kurang pendengaran dan akan mempengaruhi penilian kualitas hidup pasien (Nugroho, 2015). Prevalensi tinnitus sedikit menurun antara usia 65 sampai 75 tahun (Moller, 2016).

2.2.3 Etiologi Tinnitus

Menurut (agustini, 2016) banyak yang menyebabkan terjadinya tinnitus, yaitu : 1. Tinnitus akibat kelainan vaskularisasi

Kelainan vaskular yang dapat menyebabkan tinnitus, yaitu : a) Atherosclerosis

Atherosclerosis merupakan radang pembuluh darah karena adanya penumpukan plak ateromatus. Semakin bertambahnya usia, pembuluh darah besar ke telinga tengah akan kehilangan sebagian elastisitasnya, mengakibatkan aliran darah menjadi semakin sulit dan mengalami turbulensi menyebabkan telinga mudah untuk mendeteksi irama (Kurniawati, 2016).

b) Hipertensi

Tekanan darah yang tinggi menyebabkan gngguan vaskuler pada pembuluh darah koklea. Adanya hambatan vaskularisasi koklea dapat menyebabkan iskemia koklea yang mengakibatkan kehilangan pendengaran tuli sensorineural dan juga tinnitus (Kurniawati, 2016).

c) Malformasi kapiler

AVM terjadi karena kelainan pembuluh darah arteri yang berhubungan langsung ke pembuluh darah vena menyebabkan derasnya aliran dan resistensi rendah yang menimbulkan tinnitus (Kurniawati, 2016).

13

2. Tinnitus akibat Kelainan Neurologis

Paling sering terjadi karena multiple sclerosis. Multiple sclerosis terjadi karena myelin, selubung pelindung saraf otak dan sumsum tulang belakang rusak.

Hal ini menyebabkan kesulitan untuk menyampaikan pesan dari saraf ke seluruh tubuh. Sehingga pada telinga akan menyebabkan terjadinya tinnitus (Kurniawati, 2016).

3. Tinnitus akibat obat-obatan

Obat yang sering menyebabkan tinnitus adalah obat yang bersifat ototoksik artinya adanya gangguan pendengaran akibat efek samping dari obat yang diminum.

Contohnya:

a) Obat analgetik; seperti aspirin

b) Obat antibiotic; seperti golongan aminoglikosida yaitu kloramfenikol, tetrasiklin

c) Obat diuretic seperti; bumatenide, furosemide d) Obat lainnya; seperti kloroquin, quinine.

4. Tinnitus akibat gangguan koklea a) Trauma akibat bising

Biasanya disebabkan pajanan bising yang cukup keras dan jangka waktu yang lama. Jika telinga mendengar bunyi diatas frekuensi 3000 Hz dapat menyebabkan kerusakan pada reseptor pendengaran.

b) Prebikusis

Biasanya terjadi pada lanjut usia yaitu usia diatas 65 tahun. Prebikusis merupakan tuli saraf sensorineural yang mengenai kedua telinga. Biasanya prebikusis berhubungan dengan infeksi, bising, dan gaya hidup.

c) Sindrom Meniere’s

Sindrom meniere’s adalah suatu kelainan vestibular kronis yang melemahkan yang berkaitan dengan komorditas yaitu depresi. Prevalensi sindrom menier’s

dengan depresi hampir 50%. Penyebab sindrom menier’s adalah adanya penambahan cairan endolimfa pada membran labirin. Gejalanya berupa gangguan pendengaran, telinga terasa penuh, vertigo yang berlangsung lama.

5. Penyebab lainnya, seperti : a) Adanya serumen di telinga

b) Adanya benda asing pada saluran telinga luar c) Arthritis pada sendi tempomandibular.

2.2.4 Faktor Risiko Tinnitus

Ada beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya tinnitus menurut (Batt JM et al, 2016), yaitu :

1. Adanya gangguan pendengaran sebelumnya.

Orang yang memiliki gangguan pendengaran sebelumnya memiliki risiko tinggi untuk terkena tinnitus dan peningkatan risiko nya tergantung pada keparahan gangguan pendengaran yang dialami.

2. Hipertensi

Adanya kerusakan mikrosirkulasi pada koklea dan penurunan aliran darah menuju koklea dikarenakan kerusakan autoregulasi aliran darah keseluruh tubuh.

3. Adanya riwayat cedera kepala, gejala depresi, radang sendi, penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid dapat meningkatkan terjadinya tinnitus.

4. Kerusakan vaskular dapat menyebabkan iskemik pada koklea dan dapat menyebabkan tinnitus.

5. Merokok

Merokok dapat mengganggu suplai darah ke sistem pendengaran.

6. Orang dewasa lebih beresiko tinggi 8% sampai 30% daripada anak-anak.

15

7. jenis kelamin laki-laki lebih berisiko tinggi untuk terkena tinnitus dibandingkan perempuan karena perbedaan pola kehidupan dan pekerjaan.

8. Orang dengan paparan bising yang teratur lebih berisiko tinggi untuk terkena tinnitus karena dapat merusak sel-sel rambut koklea.

2.2.5 Patofisiologi Tinnitus

Patofisiologi tinnitus belum diketahui secara pasti. Namun beberapa peneliti telah melakukan penelitian pada hewan dan neuroimaging pada manusia untuk mengamati patofisologi dari tinnitus. Pada penelitian tersebut ditemukan ada 3 bagian yang berkaitan dengan patofisiologi tinnitus yaitu :

1. Jalur auditory pusat

Pada penelitian tersebut ditemukan adanya peningkatan frekuensi pada neuron nukleus inti koklea dorsal. Dari penelitian ini ditemukan hilangnya input dari serabut saraf pendengaran yang berasal dari koklea. Kemudian peningkatan frekuensi ini akan ditransmisikan melalui colliculus inferior ke thalamus pendengaran dan akan di sebarkan ke korteks pendengaran primer.

Para peneliti juga menemukan adanya perubahan dari aktivitas neuron dalam sistem pendengaran pusat karena perubahan input dari koklea. Kurangnya input saraf pendengaran karena rusaknya koklea dapat mengakibatkan penurunan neurotransmitter yaitu glisin dan asam gammaaminobutyric (GABA) sehingga mengubah ekspresi mRNA reseptor dan protein di nukleus inti koklea ventral dan DCN. Hiperaktif inti koklea melalui colliculi inferior ke auditori thalamus dapat menyebabkan hiperpolarisasi neuron MGB, yang menyebabkan disritmia thalamokortikal yaitu adanya peubahan frekuensi rendah dan osilasi gamma di korteks pendengaran (Berthold et al, 2019).

2. Interaksi Antara Struktur Auditori dan Somatosensori

Tinnitus terjadi karena ketidakseimbangan system motorik somatosensori, somatik dan visual dengan interaksi sistem pendengaran (Ralli et all, 2017). Sel- sel fusiform dalam inti koklea mengintegrasi aferen pendengaran dan somatosensori yang bergantung pada waktu stimulus. Integrasi input somatosensori ke sistem pendengaran pusat di tingkat DCN mampu memanipulasi intensitas dan rekuensi tinnitus dengan menggerakkan wajah dan leher. Ini disebut juga sinosensori tinnitus atau somatik tinnitus (Berthold et al, 2019).

3. Interaksi Antara Struktur Auditori dan Somatosensori

Tinnitus terjadi karena ketidakseimbangan system motorik somatosensori, somatik dan visual dengan interaksi sistem pendengaran (Ralli et all, 2017). Sel- sel fusiform dalam inti koklea mengintegrasi aferen pendengaran dan somatosensori yang bergantung pada waktu stimulus. Integrasi input somatosensori ke sistem pendengaran pusat di tingkat DCN mampu memanipulasi intensitas dan rekuensi tinnitus dengan menggerakkan wajah dan leher. Ini disebut juga sinosensori tinnitus atau somatik tinnitus (Berthold et al, 2019).

Tinnitus somatik ini juga berhubungan dengan sendi di tempomandibular (Ralli et al, 2017). Kontraksi pada kepala dan leher merupakan interaksi dari sistem somatosensoriauditori. Suara pada somatosensori akan di transmisikan ke organ pendengaran oleh kontraksi otot seperti kontraksi otot kepala dan leher.

Kontraksi otot tersebut akan mempengaruhi kenyaringan tinnitus (Lee Y et al, 2020).

4. Jaringan Otak Non-auditory

Sistem limbik terdiri dari hippocampus, amygdala, dan hipotalamus yang merupakan tempat pemrosesan emosi (Leaver et al, 2016). Tinnitus juga dikaitkan dengan emosi seperti kecemasan dan stress. Pada daerah hippocampus ditemukan bahwa tinnitus akan berkembang. Rasa tidak nyaman dan nyeri yang dirasakan terletak pada daerah hippocampus dan daerah sekitar hippocampus (Lee Y et al,

17

2020). Amygdala terletak pada ujung hippocampus. Amygdala berfungsi untuk informasi tentang rasa takut, pembelajaran dan ingatan (Yu-Chen et al, 2017).

Thalamus berfungsi untuk mengirimkan informasi sensorik ke korteks serebral ( Lee Y et al, 2020).

Pada penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa adanya perubahan pada area otak yaitu, perubahan struktural dan fungsional pada korteks prefrontal, korteks parietal, korteks cingulate, amygdala, hippocampus, nukleus accumbens, insula, thalamus, dan serebellum. Di daerah otak ini terjadi perubahan konektivitas sehingga otak berupaya untuk mengkompensasi kurangnya informasi pendengaran dari koklea (Berthold et al, 2019).

2.2.6 Diagnosis Tinnitus

Untuk mendiagnosis tinnitus diperlukan beberapa langkah yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Dari anamnesis pemeriksa harus menggali informasi sebanyak-banyaknya untuk menegakkan diagnosis tinnitus. Tujuan dari anamnesis adalah untuk menemukan apa penyebab tinnitus yang diderita pasien (Agustini, 2016}. Hal-hal yang harus ditanyakan, antara lain :

a) Bagaimana sifat bunyi yang didengar ? apakah berdenging, berdesis dll

b) Berapa lama serangan tinnitus ?

Jika serangan terjadi satu menit biasanya gejala fisiologis dan akan hilang sendiri.Jika serangan berlangsung diatas lima menit itu merupakan gejala patologis.

c) Dimana lokasi nya ? apakah telinga kanan atau telinga kiri ?

Jika pasien kesulitan untuk mengidentifikasi lokasi mungkin tejadi gangguan pada saraf pusat.

d) Bagaimana kualitas tinnitus ?

Jika tinnitus bernada tinggi biasanya terjadi kelainan pada daerah basal koklea, saraf pendengaran perifer dan saraf pendengaran sentral. Jika tinnitus bernada rendah dan terdengar suara gemuruh ombak merupakan gejala khas untuk kelainan koklea seperti hidrops endolimfa.

e) Apakah ada gejala penyerta seperti vertigo, gangguan pendengaran dan gangguan neurologis?

f) Apa faktor yang dapat memperburuk atau mengurai gejala tinnitus ? g) Apakah ada mengkonsumsi obat-obatan ?

h) Apakah ada kebiasaan merokok?

i) Apakah ada riwayat infeksi telinga sebeumnya?

j) Apakah ada riwayat cedera kepala, pajanan bising yang lama?

2. Pemeriksaan Fisik

a) Pemeriksaan auskultasi untuk menilai apakah tinnitus subjektif atau tinnitus objektif.

b) Palpasi sendi tempomandibular

c) Timpanometri untuk perforasi membrane timpani

d) Audiometri nada murni untuk mengetahui hilangnya pendengaran e) Otoskopi untuk melihat kelinan pada telinga.

(Lenkeit, 2020) 3. Pemeriksaan Penunjang

a) CT-Scan dan MRI untuk melihat kelainan pada saraf pusat

19

2.2.7 Tatalaksana Tinnitus

Tatalaksana untuk tinnitus sangat banyak. Pengobatan dilakukan tergantung pada penyebab dari tinnitus itu sendiri. Obat-obatan yang digunakan tidak dapat menyembuhkan tinnitus, tetapi dapat mengurangi keparahan tinnitus.

1. Pengobatan dengan medikamentosa a) Lidokain

Lidokain merupakan anastesi lokal pertama yang mampu menekan tinnitus.

Efektif diberikan secara intravena tetapi tidak digunakan dalam pengobatan umum tinnitus.

b) Tocainide

Tocainide merupakan obat yang mirip dengan lidokain tetapi tocainide dapat di minum. Tocainide memiliki efek samping terhadap jantung dan memiliki efek terapi yang rendah.

c) Alprazolam (triazolobenzodiazepine)

Alprazolam merupakan salah satu dari golongan benzodiazepine yang digunakan untuk mengobati kecemasan, depresi, dan serangan panik. Pengobatan menggunakan alprazolam menunjukkan efek yang cukup baik pada tinnitus. Akan tetapi alprazolam ini memiliki efek samping mengantuk dan mual.

d) Anti depresan trisiklik, seperti Nortriptyline dan amitriptyline

Anti depresan ini efektif dalam pengobatan tinnitus yang mengalami depresi yang parah tetapi kurang efektif pada orang yang tinnitus tanpa depresi. Efek samping dari obat ini yaitu mulut kering, penglihatan kabur, sembelit, dan masalah pada jantung. Beberapa penelitian menyebutkan pengobatan dengan amitriptyline 100 mg selama 6 minggu mampu mengurangi keluhan tinnitus dan kenyaringannya dibanding placebo.

Selain pengobatan dengan medikamentosa, beberapa peneliti juga menemukan pengobatan alternatif. Pengobatan alternatif yang ditemukan oleh beberapa peneliti antara lain, pengobatan menggunakan akupunktur, pengobatan menggunakan terapi audiologi, masking, ginggo biloba, pengobatan menggunakan melatonin dan vitamin B, dan juga terapi psikologi seperti CBT, TRT, dan EMDR tidak menyembuhkan tinnitus tetapi dapat mengurangi gejala dari tinnitus.

Pada penelitian Annemarie ditemukan bahwa terapi CBT dan TRT memiliki efek yang baik pada pengobatan tinnitus. Terapi TRT merupakan terapi habituasi yang bertujuan untuk mengubah persepsi tinnitus menjadi sinyal netral. Pasien juga akan diberi konseling untuk menghadapi respon emosional dan fisik yang ditimbulkan tinnitus sehingga pasien akan terbiasa dengan suara denging yang di dengar pada telinga. Sedangkan terapi CBT bertujuan untuk mengubah perilaku kognitif pada pasien tinnitus yaitu mengubah respon emosional ( Annemarie et al, 2020). Dengan EMDR sangat efektif pada tinnitus dengan stress ataupun depresi.

Terapi EMDR merupakan psikoterapi yang dilakukan untuk mengingat kembali pikiran yang rumit pada pasien seperti suara yang didengar. Kemudian dokter akan mengarahkan penderita dengan input sensori bilateral, rangsangan pendengaran, dan gerakan mata sisi ke sisi (American Psychological Association, 2019). Dari penelitian tersebut terbukti bahwa EMDR sangat efektif pada pengobatan tinnis.

Baru-baru ini ditemukan cara pengobatan tinnitus menggunakan aplikasi smartphone. Smartphone ini digunakan untuk mendengar ilmu pengetahuan dan perawatan secara umum. Aplikasi tersebut tersedia pada iOS, Android, dan took Windows Phone. Aplikasi tinnitus dibagi menjadi 2 kategori yaitu penyaringan dan penilaian, intervensi dan rehabilitasi (alat manajemen tinnitus seperti masker dan stimulasi suara). Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa adanya pengaruh yang baik pada penderita tinnitus. Sekitar 23 % dari penderita yang menggunakan aplikasi smartphone tersebut mampu mengatasi masalah tidur dan 21 % mampu menutupi suara tinnitus. Aplikasi yang paling banyak digunakan untuk

Baru-baru ini ditemukan cara pengobatan tinnitus menggunakan aplikasi smartphone. Smartphone ini digunakan untuk mendengar ilmu pengetahuan dan perawatan secara umum. Aplikasi tersebut tersedia pada iOS, Android, dan took Windows Phone. Aplikasi tinnitus dibagi menjadi 2 kategori yaitu penyaringan dan penilaian, intervensi dan rehabilitasi (alat manajemen tinnitus seperti masker dan stimulasi suara). Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa adanya pengaruh yang baik pada penderita tinnitus. Sekitar 23 % dari penderita yang menggunakan aplikasi smartphone tersebut mampu mengatasi masalah tidur dan 21 % mampu menutupi suara tinnitus. Aplikasi yang paling banyak digunakan untuk

Dokumen terkait