• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PENDERITA TINNITUS DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN : SYSTEMATIC REVIEW SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PENDERITA TINNITUS DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN : SYSTEMATIC REVIEW SKRIPSI"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PENDERITA TINNITUS DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN :

SYSTEMATIC REVIEW

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

FATIMAH 170100072

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PENDERITA TINNITUS DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN :

SYSTEMATIC REVIEW

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

FATIMAH 170100072

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat dan berkat-NYA penulis mampu menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Serta sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan pada Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini berjudul “Hubungan antara karakteristik penderita tinnitus dengan kualitas hidup pasien : Systematic review” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr.

Aldy Safruddin Rambe, Sp.S (K), yang banyak memberikan dukungan secara psikologis selama proses penyusunan skripsi.

2. Dosen Pembimbing, Dr. dr. Adlin Adnan, Sp. THT-KL (K), yang banyak memberikan arahan, masukan, ilmu, dan motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sedemikian rupa.

3. Ketua Penguji, Dr. dr. Andrina Yunita M. Rambe, Sp. THT-KL (K) dan Anggota Penguji, dr. Irma Sepala Sari Siregar, M.K.T, untuk setiap kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi ini.

4. Dosen Pembimbing Akademik, Dr. dr. Letta Sari Lintang, M.Ked (OG), Sp. OG (K), yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan selama masa perkuliahan 7 semester.

5. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas ilmu yang diberikan dari mulai awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Kedua orang tua, Erwinsyah Nasution dan Masripawani Siregar, serta empat saudara kandung, Rika Hannum Nasution, Ederal Syakti, Mustika Rona , Sartika dan Tante Lisna beserta keluarga yang selalu mendukung, memberikan semangat, kasih sayang, bantuan, dan perhatian yang tidak pernah berhenti sampai penulis menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabat penulis, Putri Novita, Yustika, Nanda, Isriani, Ainun, Aqilah, Rosah, Ela, GnR dan sahabat lainnya yang selalu memberikan dukungan dan motivasi dari awal perkuliahan sampai selesai skripsi ini.

(5)

Penulis telah berusaha keras selama proses penyususnan skripsi ini. Namun, penulis sangat menyadari bahwa masih bnayak kekkurangan dalam tugas akhir skripsi ini. Untuk itu, penulis berharap saran masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan tugas akhir ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Medan, Februari 2021

Penyusun Fatimah

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined.

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR SINGKATAN ...viii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ... 4

1.3 TUJUAN PENELITIAN ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 MANFAAT PENELITIAN... 4

1.4.1 Institusi Kesehatan ... 4

1.4.2 Peneliti ... 4

1.4.3 Masyarakat... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA ... 5

2.1.1 Anatomi Telinga ... 5

2.1.2 Fisiologi Pendengaran ... 9

2.2 TINNITUS ... 10

2.2.1 Definisi Tinnitus ... 10

2.2.2 Epidemiologi Tinnitus ... 11

2.2.3 Etiologi Tinnitus ... 12

2.2.4 Faktor Risiko Tinnitus ... 14

2.2.5 Patofisiologi Tinnitus ... 15

(7)

2.2.6 Diagnosis Tinnitus ... 17

2.2.7 Tatalaksana Tinnitus ... 19

2.2.8 Pencegahan ... 21

2.3 NYERI KEPALA ... 21

2.3.1 Klasifikasi Nyeri Kepala ... 22

2.3.2 Patofisiologi Nyeri Kepala ... 22

2.4 KUALITAS HIDUP... 23

2.4.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup... 24

2.4 KERANGKA TEORI... 26

2.5 KERANGKA KONSEP ... 27

2.6 HIPOTESIS ... 27

BAB III METODE PENELITIAN... 28

3.1 DESAIN PENELITIAN ... 28

3.2 KRITERIA INKLUSI dan EKSKLUSI ... 28

3.2.1 Populasi ... 28

3.2.3 Outcome ... 28

3.2.2 Tipe Studi ... 28

3.3 STRATEGI PENCARIAN LITERATUR ... 29

3.4 ANALISIS DATA ... 29

3.5 DEFINISI OPERASIONAL ... 30

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 HASIL PENELITIAN ... 31

4.1.1 Karakteristik Studi ... 32

4.2 PEMBAHASAN ... 34

BAB V KESIMPULAN SARAN ... 37

5.1 KESIMPULAN ... 37

5.2 SARAN ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

LAMPIRAN ... 41

(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Gambar Telinga luar 7

2.2 Gambar Telinga Tengah 8

2.3 Gambar Telinga Dalam 9

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Kriteria Studi 29

4.1 informasi dasar tentang studi individu 32

4.2 Variabel Peneliti 33

(10)

DAFTAR SINGKATAN

AS : Amerika Serikat

THI : Tinnitus Handicap Inventory MAE : Meatus Acusticus Externus

TMD : Tempomandibular

AVM : Arteri Venosus Malformation DCN : Dorsal cochlea Nuclei WHO : World Health Organization

WHOQoL-BREF : World Health Organization Quality of Life Brefversion)

BDI : Beck Depression Inventory.

MGB : Medial Geniculate Body CBT : Cognitive Behavioral Therapy TRT : Tinnitus Retraining Therapy

EMDR : Eye Movement Desensitization and Reprocessing

(11)

ABSTRAK

Latar Belakang. Tinnitus merupakan gejala yang sering ditemukan pada setiap orang di seluruh dunia. Tinnitus memiliki gejala berupa telinga berdenging. Beberapa penelitian telah menemukan adanya hubungan antara tinnitus dengan kualitas hidup pasien. Tinnitus ini dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, dan gaya hidup seperti; merokok, stress, depresi, dan gangguan pada tidur. Akan tetapi, sejauh ini masih sedikit penelitian meta-sintesis yang menghubungkan antara tinnitus dengan kualitas hidup pasien. Tujuan. Meta-sintesis ini dibuat untuk melihat hubungan antara sakit kepala dengan kualitas hidup pasien tinnitus. Metode.

Meta-sintesis ini menggunakan literature online yang bersumber dari Pubmed, Science Direct, dan Wiley Online Library. Jurnal yang digunakan adalah jurnal mengenai penelitian yang menghubungkan antara tinnitus dengan kualitas hidup pasien dan dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, dan gangguan psikologis. Hasil. Dua studi yang membahas antara tinnitus dengan sakit kepala dalam kelompok jenis kelamin, usia, dan gangguan psikologis yang diikutsertakan dalam meta-sintesis ini dengan total 667 pasien. Pada penelitian ditemukan hubungan yang signifikan antara tinnitus dan jenis kelamin pada laki-laki (p<0,0001). Pada usia (p=0,0363). Pada gangguan psikologis (p=0,8320). Kesimpulan. Adanya hubungan antara sakit kepala dengan kualitas hidup pasien tinnitus.

Kata kunci: karakteristik; tinnitus; sakit kepala, kualitas hidup

(12)

ABSTRACT

Background. Tinnitus is a symptom that is often found in everyone around the world. Tinnitus has symptoms in the form of ringing in the ears. Several studies have found an association between tinnitus and the patient's quality of life. Tinnitus is influenced by gender, age, and lifestyle such as smoking, stress, depression, and sleep disorders. However, as far as the relationship between tinnitus and quality of life of the patient is concerned. Objective. This meta-synthesis was designed to determine the relationship between headache and quality of life for tinnitus patients. Methods. This meta-synthesis uses online literature sourced from Pubmed, Science Direct, and the Wiley Online Library. The journal used is a research journal that links tinnitus with the patient's quality of life and is influenced by gender, age, and psychological disorders. Result. Two studies discussing tinnitus and headache in the group of gender, age, and psychological disorders were included in this meta-synthesis with a total of 667 patients. This study found a significant relationship between tinnitus and male gender (p <0.0001). At age (p = 0.0363). psicological disorders (p = 0.8320). Conclusions. There is a relationship between headaches and the quality of life of tinnitus patients. there is still little research on the meta- synthesis.

Key word : characteristic; tinnitus; headache; quality of life.

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tinnitus merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada masyarakat di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hampir 1/3 dari populasi di dunia pernah mengalami tinnitus. Tinnitus adalah gejala yang ditandai dengan adanya persepsi suara yang berlangsung selama lima menit atau lebih tanpa adanya rangsangan external dalam 12 bulan terakhir (Janet et al, 2020). Biasanya terdengar suara “berdenging” (Nugroho 2015).

Prevalensi tinnitus di seluruh dunia sangat bervariasi, berkisar 5% sampai dengan 43% orang mengalami gejala tinnitus. Prevalensi tinnitus meningkat dengan bertambahnya usia hingga 70 tahun, dimana laki-laki lebih berisiko tinggi dibandingkan perempuan (McCormack et al, 2016; Luciana et al, 2018). Amerika Serikat melaporkan prevalensi terkena tinnitus berkisar 8% sampai 25,3% dari populasi, dengan perkiraan lebih dari 50 juta orang di AS. Sedangkan data internasional di Brasil melaporkan, berkisar 28 juta orang telah menderita tinnitus. Walaupun tinnitus ini lebih berisiko pada dewasa, namun pada studi di Brasil mengamati berkisar 37% bisa terjadi pada anak-anak dan 36,8% pada remaja akibat lingkungan yang bising dan paparan musik yang sangat keras (Luciana et al 2018). Prevalensi tinnitus akan meningkat pada orang yang mengalami gangguan pendengaran sekitar 70%-80%.

Tinnitus bukan merupakan suatu diagnosis penyakit, akan tetapi suatu gejala yang di timbulkan karena suatu penyebab. Penyebab tinnitus sangat banyak, antara lain adalah penyakit menier’s, prebikusis, obat-obatan ototoksik, trauma kepala atau leher, gangguan telinga seperti tuli mendadak, dan gangguan psikologis seperti kecemasan, insomnia, dan depresi. Selain itu penyebab tinnitus yang lain adalah tinnitus idiopatik yaitu tinnitus yang tidak diketahui

(14)

penyebabnya. Walaupun penyebab tinnitus ini sangat banyak, akan tetapi penyebab tinnitus yang paling sering adalah paparan bising. Paparan bising yang cukup lama dapat merusak sel-sel rambut koklea sehingga terjadi tinnitus.

Setiap orang pasti pernah mengalami nyeri kepala. Pada pasien tinnitus sering dikaitkan dengan nyeri kepala, walaupun nyeri kepala merupakan gejala yang sangat umum yang dapat disebabkan oleh beberapa penyebab. Akan tetapi tinnitus yang berhubungan dengan nyeri kepala ini sering mempengaruhi kualitas hidup pasien. Banyak pasien tinnitus yang mengalami nyeri kepala sehingga kualitas tidurnya terganggu dan menyebabkan pasien depresi.

Nyeri kepala merupakan rasa tidak nyaman pada kepala yang dapat dirasakan berulang kali pada penderita selama hidupnya. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan adanya kerusakan otak. Sakit kepala biasanya terjadi akibat tegangnya otot-otot di leher, kulit kepala, dan dahi yang berkaitan dengan adanya rasa cemas, stress ataupun kelelahan (Sherwood, 2001). Prevalensi nyeri kepala tinggi pada anak-anak, remaja, dan pasien tinnitus sekitar 26%-56%.

Pada penelitian Langguth et al, menemukan bahwa tinnitus dengan nyeri kepala lebih sering terjadi pada perempuan komorbid vertigo, keluhan sendi temporomandibular, nyeri leher dan gangguan nyeri lainnya, serta adanya gejala depresi pada pasien (Alessandra et al, 2020). Sedangkan pada penelitian Magdalena et al menyatakan bahwa lebih sering pada usia yang lebih muda, dan pada jenis kelamin perempuan (Magdalena et al, 2020)

Amerika Serikat melaporkan 1% hingga 3% orang dewasa merasa bahwa kualitas hidup mereka sangat dipengaruhi (Chari, 2018). Jika tinnitus ini terjadi terus- menerus dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien, seperti gangguan emosi, gangguan mendengar, gangguan tidur dan gangguan dalam berkonsentrasi (Bhatt et al, 2016). Biasanya orang dengan tinnitus telah mengalami gejala kurang lebih 3 smpai 6 bulan dengan etiologi yang tidak diketahui.

Dibeberapa penelitian menyebutkan bahwa tinnitus ini merupakan suatu gejala yang berbahaya hingga menyebabkan pasien bunuh diri. Menurut Tyler,

(15)

3

tinnitus memiliki dampak yang sangat besar pada kualitas hidup pasien. Dalam penelitian Tyler et al, menemukan ada 4 fungsi yang dapat diganggu oleh tinnitus yaitu; pikiran dan emosi, pendengaran, tidur, dan konsentrasi. Jika salah satu dari ke 4 fungsi tersebut terganggu maka kualitas pasien tinnitus akan terpengaruhi dan mereka memiliki tingkat stress yang tinggi (Tyler et al, 2018). Prevalensi tinnitus dengan gangguan kecemasan berkisar 11,1% dan prevalensi kecemasan akan meningkat pada orang yang mengalami gangguan pendengaran. Sedangkan prevalensi tinnitus dengan gangguan tidur terjadi antara 25% hingga 60% (Lasisi

& Gureje 2011).

Untuk menilai keras nya suara tinnitus sering menggunakan skala analog yaitu skala dari 1 sampai 10. Sedangkan untuk menilai kualitas hidup pasien tinnitus digunakan kuisioner Tinnitus Handicap Inventory (THI), dan Beck Depression Inventory. THI merupakan penilaian sejauh mana kualitas hidup pasien telah dipengaruhi. kuisioner ini dapat mengukur tingkat kecacatan akibat bunyi tinnitus dan dapat mengevaluasi aspek emosional, aspek fungsional, dan aspek yang membahayakan (Moller, 2016).

THI merupakan kuisioner yang dikembangkan oleh Newman dan peneliti lainnya pada tahun 1996 dan menjadi kuisioner standar yang dipakai hingga sekarang. THI ini berisi 25 pertanyaan terdiri dari 11 pertanyaan aspek fungsional, 9 pertanyaan aspek emosional, dan 5 pertanyaan aspek membahayakan (Keate, 2011). BDI merupakan alat ukur yang di rancang oleh Beck, Steer, dan Brown.

BDI digunakan untuk mengukur tingkat depresi pada pasien Tinnitus (Sorayah, 2015)

(16)

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

Bagaimana hubungan antara nyeri kepala dengan kualitas hidup pasien tinnitus?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara nyeri kepala dengan kualitas hidup pasien tinnitus

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui distribusi pasien tinnitus berdasarkan usia

Untuk mengetahui distribusi pasien tinnitus berdasarkan jenis kelamin

Untuk mengetahui distribusi pasien tinnitus berdasarkan gangguan psikologis 1.4 MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1.4.1 Institusi Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik penderita tinnitus.

1.4.2 Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dalam penulisan karya tulis ilmiah dan juga menambah pengalaman dalam bidang penelitian.

1.4.3 Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan dalam mencegah terjadinya tinnitus.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA

2.1.1 Anatomi Telinga

Telinga merupakan salah satu alat indera yang berfungsi untuk mendengar dan yang paling peka terhadap gelombang suara. Telinga dibagi menjadi 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga manusia mampu mendengar suara dengan frekuensi antara 20-20.000 Hz.

Menurut (Nugroho, 2009) sistem organ pendengaran dibagi 2, yaitu :

a) Sistem organ pendengaran perifer yang terdiri dari struktur yang berada di luar otak dan batang otak yaitu telinga luar, telinga tengah, telinga dalam dan saraf koklearis.

b) Sistem organ pendengaran sentral termasuk yang berada di dalam otak dan batang otak yaitu nukleus koklearis, nukleus olivatorius superior, lemnikus lateralis, kolikulus inferior dan kortek serebri lobus temporalis area Wernicke.

1. Telinga Luar

Telinga luar merupakan bagian telinga yang terdapat di lateral membrane timpani, terdiri dari Pinna, Meatus Acusticus Externus, dan membran timpani.

Pinna disebut juga aurikula atau daun telinga, merupakan tulang rawan fibro- elastik berbentuk pipih dan permukaannya tidak rata. Bagiannya terdiri dari heliks, antiheliks, tragus, antitragus dan konka. Pinna dialiri oleh arteri aurikularis posterior dan arteri temporalis superficialis. Aliran vena menuju ke gabungan vena temporalis superficialis, vena aurikularis posterior dan vena emissary mastoid. Inervasi oleh cabang nervus cranial V, VII, IX dan X (Nugroho, 2009).

(18)

Meatus Acusticus Externus (MAE) atau liang telinga merupakan tabung yang berbentuk huruf S yang berfungsi untuk menghubungkan aurikula dengan telinga tengah. MAE juga berfungsi untuk meneruskan gelombang suara sampai ke membrane timpani. MAE dibagi mejadi 2 bagian yaitu pars cartilage yaitu di 1/3 lateral dan pars osseus di 2/3 lateral. Dibagian pars cartilage terdapat folikel rambut, kelenjar pilosebasea dan kelenjar penghasil serumen. Dibagian pars osseus tidak terdapat folikel rambut hanya dijumpai sedikit kelenjar serumen.

MAE dialiri arteri temporalis superficialis, arteri aurikularis posterior dan arteri aurikularis profundus. Aliran vena mengalir ke vena maksilaris, jugularis externa dan plexus venosus pterygoid. Inervasi oleh cabang aurikularis dari N. vagus dan cabang aurikulotemporalis dari N. mandibularis.

Membran timpani bentuknya kerucut, puncaknya disebut “umbo” dan dasarnya berbentuk seperti oval. Membrane timpani dibagi 2 bagian yaitu pars tensa dan pars flasida. Pars tensa ada 3 lapisan, yaitu lapisan skuamosa, lapisan mukosa, dan lapisan fibrosa. Lapisan ini mengandung serabut kolagen yaitu bagian luar arah radial dan bagian dalam sirkuler yang akan mempengaruhi konsistensi dari membrane timpani. Pars flasida ada 2 lapisan yaitu lapisan skuamosa dan lapisan mukosa. Membrane timpani bagian medial disuplai cabang dari arteri aurikularis posterior, bagian lateral dari ramus timpanikus cabang arteri aurikularis profundus. Aliran vena menuju ke vena maksilaris, jugularis externa dan pleksus venosus pterygoid. Inervasi oleh nervus aurikularis cabang N. vagus, cabang timpanikus N. glosofaringeus dan nervus aurikulotemporalis cabang N.

mandibularis.

(19)

7

Gambar 2.1 Telinga Luar

2. Telinga Tengah

Telinga tengah merupakan rongga kecil yang berisi udara dibagian petrosa tulang temporal yang dilapisi oleh epitel. Batas dari telinga tengah yaitu membrane timpani.Terdiri dari membran timpani, ossiculae auditiva, dan tuba eustachius. Telinga tengah memiliki 3 tulang pendengaran yaitu maleus, incus, dan stapes yang saling berikatan membentuk artikulasi. Prosesus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus akan melekat pada stapes dan stapes akan melekat pada oval window. Telinga tengah berhubungan dengan nasofaring melalui tuba eustachius (Soepardi dkk, 2006).

Membran timpani dan osikulus akan bergetar jika ada gelombang suara yang masuk dengan frekuensi yang sama. Getaran yang berada di membran timpani akan dipindahkan ke oval window. Getaran yang terjadi pada oval window akan menimbulkan gerakan yang hampir mirip dengan gelombang di cairan telinga dalam dengan frekuensi yang sama seperti gelombang suara yang pertama (Sherwood 2014).

Osikulus terdiri dari ligament dan otot-otot yang menempel pada strukturnya.

Otot tensor timpani di suplai oleh cabang mandibular dari saraf v yaitu saraf

(20)

trigeminalis, untuk membatasi gerakan dan meningkatkan tegangan pada gendang telinga sehingga mencegah kerusakan telinga dalam dari suara yang keras.

Tuba eustachius dalam keadaan normal biasanya tertutup, akan tetapi jika sedang menguap, mengunyah, dan menelan tuba eustachius akan terbuka.

Terbukanya tuba eusthacius karena tekanan udara di telinga tengah sama dengan tekanan atmosfer sehingga tekanan di kedua sisi membran timpani sama (Sherwood, 2014).

Aliran darah untuk kavum timpani oleh arteri timpani anterior, arteri stylomastoid, arteri petrosal superficial, arteri timpani inferior. Aliran darah vena bersama dengan aliran arteri dan berjalan ke dalam sinus petrosal superior dan pleksus pterygoideus (Nugroho, 2009).

Gambar 2.2 Telinga Tengah

3. Telinga dalam

Terletak di dalam tulang temporal bagian petrosa, di dalamnya di kelilingi oleh labirin. Labirin terdiri dari 3 bagian yaitu pars superior, pars inferior, dan pars intermedia. Pars superior terdiri dari utrikulus dan saluran semisirkularis, pars inferior terdiri dari sakulus dan koklea, sedangkan pars intermedia terdiri dari duktus dan sakus endolimpatikus. Telinga dalam dialiri oleh arteri auditorius interna cabang dari arteri cerebelaris inferior.

(21)

9

Koklea merupakan organ perdengaran yang mirip dengan rumah siput.

Struktur duktus koklea membentuk suatu sistem dengan tiga ruangan yaitu skala vestibule, skala media, dan skala timpani. Skala media merupakan lanjutan dari labirin membranosa ke koklea. Skala vestibuli merupakan saluran yang berada di atas skala media yang berakhir pada jendela oval. Skala timpani meupakan skala yang berakhir pada oval window. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfe dan skala media berisi endolimfe (Hermawan, 2020). Fungsi dari koklea yaitu sebagai organ indera pendengaran dan kanalis semisirkularis sebagai alat keseimbangan.

Gambar 2.3 Telinga Dalam

2.1.2 Fisiologi Pendengaran

Proses pendengaran dimulai dengan dikumpulkannya gelombang suara oleh telinga luar, kemudian gelombang suara itu akan disalurkan ke meatus akustikus eksternus bagian dalam sehingga menggetarkan membran timpani. Ketika membran timpani bergetar maka tulang-tulang pendengaran seperti maleus, inkus, dan stapes ikut bergetar sehingga getaran suara tersebut dapat tersalurkan ke telinga bagian dalam yaitu tingkap oval. Getaran yang disalurkan pada tingkap oval tersebut akan menggerakkan cairan yang ada pada perilimfa dan endolimfa.

(22)

Kemudian cairan tersebut akan membuat sel-sel rambut yang ada pada organ corti bergetar. Jika rambut permukaan pada sel rambut berubah akibat gerakan cairan di telinga bagian dalam, maka akan terdapat sinyal-sinyal saraf dan akan berhubungan melalui suatu sinaps kimiawi dengan ujung serat-serat saraf aferen yang membentuk nervus auditorius. Maka gelombang suara tersebut akan diubah menjadi sinyal-sinyal listrik yang dapat diterima oleh otak sehingga terjadi proses pendengaran yang sempurna. (Sherwood, 2010).

2.2 TINNITUS

2.2.1 Definisi Tinnitus

Tinnitus berasal dari bahasa Latin yaitu “tinnire” yang artinya menimbulkan suara atau berdenging. Tinnitus merupakan suatu gangguan pendengaran yaitu terdengarnya bunyi tanpa adanya rangsangan bunyi atau suara dari luar. Adapun keluhan yang dialami bisa berupa bunyi mendenging, menderu, mendesis, bersiul atau berbagai macam jenis suara yang lain (Nugroho et al, 2015)

Tinnitus dibagi menjadi 2 macam, yaitu : 1. Tinnitus subjektif

Tinnitus subjektif ini bersifat non-vibratorik artinya suaranya terjadi karena adanya proses iritatif atau perubahan degenerative pada traktus auditorius yang dimulai dari selsel rambut getar koklea hingga ke pusat saraf pendengaran.

Biasanya suara ini hanya dapat didengar oleh penderita sendiri, dan ini merupakan kasus yang paling sering terjadi.

2. Tinnitus objektif

Tinnitus objektif ini bersifat vibratorik artinya berasal dari vibrasi atau getaran sistem muskuler atau kardiovaskuler di sekitar telinga. Biasanya suara ini dapat didengar oleh si pemeriksa atau dapat juga didengar dengan auskultasi disekitar telinga. Contohnya : suara nafas, suara jantung atau suara dari kontraksi otot-otot disekitar telinga

(23)

11

.

Tinnitus dibagi lagi menjadi tinnitus pulsatile dan non-pulsatile. Kemudian tinnitus pulsatile dibagi lagi menjadi 2 yaitu vaskular dan nonvascular. Tinnitus vascular dapat disebabkan oleh arteri dan vena. Pada tinnitus vascular yang disebabkan oleh arteri biasanya terjadi aliran turbulen dari arteri sehingga terjadi penyempitan lumen dan mengganggu aliran laminar yang ada pada pembuluh darah. Aliran turbulen inilah yang bisa di dengar oleh pasien (Lenkeit, 2020).

2.2.2 Epidemiologi Tinnitus

Prevalensi untuk tinnitus sangat bervariasi dan penyebabnya juga sangat banyak. Salah satu penyebabnya itu adalah paparan bising. Penyebab lainnya yaitu kelainan tempomandibular, dimana dibeberapa penelitian menyebutkan bahwa prevalensi orang yang memiliki kelainan tempomandibular lebih tinggi dibandingkan tanpa kelainan tempomandibular yaitu TMD (35,8% sampai 60,7%) sedangkan pasien tanpa TMD (9,7% sampai 26,0%) (Mottaghi et al, 2018).

Prevalensi depresi pada pasien tinnitus yaitu sekitar 33%. Sebuah studi di Korea Selatan melaporkan prevalensi tinnitus 20,7% pada usia diatas 19 tahun.

Sedangkan di Negara lain seperti Jepang hanya berkisar 11,9%, China 14,5%, dan Inggris 18,4% (Kim et al, 2015).

Menurut penelitian Shargorodsky et al, insiden tertinggi tinnitus pada usia 60- 69 tahun. Terjadi peningkatan prevalensi pada usia 65-74 tahun. Rata-rata usia yang terkena yaitu usia 45 tahun, sedangkan usia terendah yaitu 25 tahun dan usia tertinggi 60 tahun. Pasien dengan usia diatas 60 tahun akan meningkatkan risiko kurang pendengaran dan akan mempengaruhi penilian kualitas hidup pasien (Nugroho, 2015). Prevalensi tinnitus sedikit menurun antara usia 65 sampai 75 tahun (Moller, 2016).

(24)

2.2.3 Etiologi Tinnitus

Menurut (agustini, 2016) banyak yang menyebabkan terjadinya tinnitus, yaitu : 1. Tinnitus akibat kelainan vaskularisasi

Kelainan vaskular yang dapat menyebabkan tinnitus, yaitu : a) Atherosclerosis

Atherosclerosis merupakan radang pembuluh darah karena adanya penumpukan plak ateromatus. Semakin bertambahnya usia, pembuluh darah besar ke telinga tengah akan kehilangan sebagian elastisitasnya, mengakibatkan aliran darah menjadi semakin sulit dan mengalami turbulensi menyebabkan telinga mudah untuk mendeteksi irama (Kurniawati, 2016).

b) Hipertensi

Tekanan darah yang tinggi menyebabkan gngguan vaskuler pada pembuluh darah koklea. Adanya hambatan vaskularisasi koklea dapat menyebabkan iskemia koklea yang mengakibatkan kehilangan pendengaran tuli sensorineural dan juga tinnitus (Kurniawati, 2016).

c) Malformasi kapiler

AVM terjadi karena kelainan pembuluh darah arteri yang berhubungan langsung ke pembuluh darah vena menyebabkan derasnya aliran dan resistensi rendah yang menimbulkan tinnitus (Kurniawati, 2016).

(25)

13

2. Tinnitus akibat Kelainan Neurologis

Paling sering terjadi karena multiple sclerosis. Multiple sclerosis terjadi karena myelin, selubung pelindung saraf otak dan sumsum tulang belakang rusak.

Hal ini menyebabkan kesulitan untuk menyampaikan pesan dari saraf ke seluruh tubuh. Sehingga pada telinga akan menyebabkan terjadinya tinnitus (Kurniawati, 2016).

3. Tinnitus akibat obat-obatan

Obat yang sering menyebabkan tinnitus adalah obat yang bersifat ototoksik artinya adanya gangguan pendengaran akibat efek samping dari obat yang diminum.

Contohnya:

a) Obat analgetik; seperti aspirin

b) Obat antibiotic; seperti golongan aminoglikosida yaitu kloramfenikol, tetrasiklin

c) Obat diuretic seperti; bumatenide, furosemide d) Obat lainnya; seperti kloroquin, quinine.

4. Tinnitus akibat gangguan koklea a) Trauma akibat bising

Biasanya disebabkan pajanan bising yang cukup keras dan jangka waktu yang lama. Jika telinga mendengar bunyi diatas frekuensi 3000 Hz dapat menyebabkan kerusakan pada reseptor pendengaran.

b) Prebikusis

Biasanya terjadi pada lanjut usia yaitu usia diatas 65 tahun. Prebikusis merupakan tuli saraf sensorineural yang mengenai kedua telinga. Biasanya prebikusis berhubungan dengan infeksi, bising, dan gaya hidup.

c) Sindrom Meniere’s

Sindrom meniere’s adalah suatu kelainan vestibular kronis yang melemahkan yang berkaitan dengan komorditas yaitu depresi. Prevalensi sindrom menier’s

(26)

dengan depresi hampir 50%. Penyebab sindrom menier’s adalah adanya penambahan cairan endolimfa pada membran labirin. Gejalanya berupa gangguan pendengaran, telinga terasa penuh, vertigo yang berlangsung lama.

5. Penyebab lainnya, seperti : a) Adanya serumen di telinga

b) Adanya benda asing pada saluran telinga luar c) Arthritis pada sendi tempomandibular.

2.2.4 Faktor Risiko Tinnitus

Ada beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya tinnitus menurut (Batt JM et al, 2016), yaitu :

1. Adanya gangguan pendengaran sebelumnya.

Orang yang memiliki gangguan pendengaran sebelumnya memiliki risiko tinggi untuk terkena tinnitus dan peningkatan risiko nya tergantung pada keparahan gangguan pendengaran yang dialami.

2. Hipertensi

Adanya kerusakan mikrosirkulasi pada koklea dan penurunan aliran darah menuju koklea dikarenakan kerusakan autoregulasi aliran darah keseluruh tubuh.

3. Adanya riwayat cedera kepala, gejala depresi, radang sendi, penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid dapat meningkatkan terjadinya tinnitus.

4. Kerusakan vaskular dapat menyebabkan iskemik pada koklea dan dapat menyebabkan tinnitus.

5. Merokok

Merokok dapat mengganggu suplai darah ke sistem pendengaran.

6. Orang dewasa lebih beresiko tinggi 8% sampai 30% daripada anak-anak.

(27)

15

7. jenis kelamin laki-laki lebih berisiko tinggi untuk terkena tinnitus dibandingkan perempuan karena perbedaan pola kehidupan dan pekerjaan.

8. Orang dengan paparan bising yang teratur lebih berisiko tinggi untuk terkena tinnitus karena dapat merusak sel-sel rambut koklea.

2.2.5 Patofisiologi Tinnitus

Patofisiologi tinnitus belum diketahui secara pasti. Namun beberapa peneliti telah melakukan penelitian pada hewan dan neuroimaging pada manusia untuk mengamati patofisologi dari tinnitus. Pada penelitian tersebut ditemukan ada 3 bagian yang berkaitan dengan patofisiologi tinnitus yaitu :

1. Jalur auditory pusat

Pada penelitian tersebut ditemukan adanya peningkatan frekuensi pada neuron nukleus inti koklea dorsal. Dari penelitian ini ditemukan hilangnya input dari serabut saraf pendengaran yang berasal dari koklea. Kemudian peningkatan frekuensi ini akan ditransmisikan melalui colliculus inferior ke thalamus pendengaran dan akan di sebarkan ke korteks pendengaran primer.

Para peneliti juga menemukan adanya perubahan dari aktivitas neuron dalam sistem pendengaran pusat karena perubahan input dari koklea. Kurangnya input saraf pendengaran karena rusaknya koklea dapat mengakibatkan penurunan neurotransmitter yaitu glisin dan asam gammaaminobutyric (GABA) sehingga mengubah ekspresi mRNA reseptor dan protein di nukleus inti koklea ventral dan DCN. Hiperaktif inti koklea melalui colliculi inferior ke auditori thalamus dapat menyebabkan hiperpolarisasi neuron MGB, yang menyebabkan disritmia thalamokortikal yaitu adanya peubahan frekuensi rendah dan osilasi gamma di korteks pendengaran (Berthold et al, 2019).

(28)

2. Interaksi Antara Struktur Auditori dan Somatosensori

Tinnitus terjadi karena ketidakseimbangan system motorik somatosensori, somatik dan visual dengan interaksi sistem pendengaran (Ralli et all, 2017). Sel- sel fusiform dalam inti koklea mengintegrasi aferen pendengaran dan somatosensori yang bergantung pada waktu stimulus. Integrasi input somatosensori ke sistem pendengaran pusat di tingkat DCN mampu memanipulasi intensitas dan rekuensi tinnitus dengan menggerakkan wajah dan leher. Ini disebut juga sinosensori tinnitus atau somatik tinnitus (Berthold et al, 2019).

3. Interaksi Antara Struktur Auditori dan Somatosensori

Tinnitus terjadi karena ketidakseimbangan system motorik somatosensori, somatik dan visual dengan interaksi sistem pendengaran (Ralli et all, 2017). Sel- sel fusiform dalam inti koklea mengintegrasi aferen pendengaran dan somatosensori yang bergantung pada waktu stimulus. Integrasi input somatosensori ke sistem pendengaran pusat di tingkat DCN mampu memanipulasi intensitas dan rekuensi tinnitus dengan menggerakkan wajah dan leher. Ini disebut juga sinosensori tinnitus atau somatik tinnitus (Berthold et al, 2019).

Tinnitus somatik ini juga berhubungan dengan sendi di tempomandibular (Ralli et al, 2017). Kontraksi pada kepala dan leher merupakan interaksi dari sistem somatosensoriauditori. Suara pada somatosensori akan di transmisikan ke organ pendengaran oleh kontraksi otot seperti kontraksi otot kepala dan leher.

Kontraksi otot tersebut akan mempengaruhi kenyaringan tinnitus (Lee Y et al, 2020).

4. Jaringan Otak Non-auditory

Sistem limbik terdiri dari hippocampus, amygdala, dan hipotalamus yang merupakan tempat pemrosesan emosi (Leaver et al, 2016). Tinnitus juga dikaitkan dengan emosi seperti kecemasan dan stress. Pada daerah hippocampus ditemukan bahwa tinnitus akan berkembang. Rasa tidak nyaman dan nyeri yang dirasakan terletak pada daerah hippocampus dan daerah sekitar hippocampus (Lee Y et al,

(29)

17

2020). Amygdala terletak pada ujung hippocampus. Amygdala berfungsi untuk informasi tentang rasa takut, pembelajaran dan ingatan (Yu-Chen et al, 2017).

Thalamus berfungsi untuk mengirimkan informasi sensorik ke korteks serebral ( Lee Y et al, 2020).

Pada penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa adanya perubahan pada area otak yaitu, perubahan struktural dan fungsional pada korteks prefrontal, korteks parietal, korteks cingulate, amygdala, hippocampus, nukleus accumbens, insula, thalamus, dan serebellum. Di daerah otak ini terjadi perubahan konektivitas sehingga otak berupaya untuk mengkompensasi kurangnya informasi pendengaran dari koklea (Berthold et al, 2019).

2.2.6 Diagnosis Tinnitus

Untuk mendiagnosis tinnitus diperlukan beberapa langkah yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Dari anamnesis pemeriksa harus menggali informasi sebanyak-banyaknya untuk menegakkan diagnosis tinnitus. Tujuan dari anamnesis adalah untuk menemukan apa penyebab tinnitus yang diderita pasien (Agustini, 2016}. Hal-hal yang harus ditanyakan, antara lain :

a) Bagaimana sifat bunyi yang didengar ? apakah berdenging, berdesis dll

b) Berapa lama serangan tinnitus ?

Jika serangan terjadi satu menit biasanya gejala fisiologis dan akan hilang sendiri.Jika serangan berlangsung diatas lima menit itu merupakan gejala patologis.

c) Dimana lokasi nya ? apakah telinga kanan atau telinga kiri ?

Jika pasien kesulitan untuk mengidentifikasi lokasi mungkin tejadi gangguan pada saraf pusat.

(30)

d) Bagaimana kualitas tinnitus ?

Jika tinnitus bernada tinggi biasanya terjadi kelainan pada daerah basal koklea, saraf pendengaran perifer dan saraf pendengaran sentral. Jika tinnitus bernada rendah dan terdengar suara gemuruh ombak merupakan gejala khas untuk kelainan koklea seperti hidrops endolimfa.

e) Apakah ada gejala penyerta seperti vertigo, gangguan pendengaran dan gangguan neurologis?

f) Apa faktor yang dapat memperburuk atau mengurai gejala tinnitus ? g) Apakah ada mengkonsumsi obat-obatan ?

h) Apakah ada kebiasaan merokok?

i) Apakah ada riwayat infeksi telinga sebeumnya?

j) Apakah ada riwayat cedera kepala, pajanan bising yang lama?

2. Pemeriksaan Fisik

a) Pemeriksaan auskultasi untuk menilai apakah tinnitus subjektif atau tinnitus objektif.

b) Palpasi sendi tempomandibular

c) Timpanometri untuk perforasi membrane timpani

d) Audiometri nada murni untuk mengetahui hilangnya pendengaran e) Otoskopi untuk melihat kelinan pada telinga.

(Lenkeit, 2020) 3. Pemeriksaan Penunjang

a) CT-Scan dan MRI untuk melihat kelainan pada saraf pusat

(31)

19

2.2.7 Tatalaksana Tinnitus

Tatalaksana untuk tinnitus sangat banyak. Pengobatan dilakukan tergantung pada penyebab dari tinnitus itu sendiri. Obat-obatan yang digunakan tidak dapat menyembuhkan tinnitus, tetapi dapat mengurangi keparahan tinnitus.

1. Pengobatan dengan medikamentosa a) Lidokain

Lidokain merupakan anastesi lokal pertama yang mampu menekan tinnitus.

Efektif diberikan secara intravena tetapi tidak digunakan dalam pengobatan umum tinnitus.

b) Tocainide

Tocainide merupakan obat yang mirip dengan lidokain tetapi tocainide dapat di minum. Tocainide memiliki efek samping terhadap jantung dan memiliki efek terapi yang rendah.

c) Alprazolam (triazolobenzodiazepine)

Alprazolam merupakan salah satu dari golongan benzodiazepine yang digunakan untuk mengobati kecemasan, depresi, dan serangan panik. Pengobatan menggunakan alprazolam menunjukkan efek yang cukup baik pada tinnitus. Akan tetapi alprazolam ini memiliki efek samping mengantuk dan mual.

d) Anti depresan trisiklik, seperti Nortriptyline dan amitriptyline

Anti depresan ini efektif dalam pengobatan tinnitus yang mengalami depresi yang parah tetapi kurang efektif pada orang yang tinnitus tanpa depresi. Efek samping dari obat ini yaitu mulut kering, penglihatan kabur, sembelit, dan masalah pada jantung. Beberapa penelitian menyebutkan pengobatan dengan amitriptyline 100 mg selama 6 minggu mampu mengurangi keluhan tinnitus dan kenyaringannya dibanding placebo.

(32)

Selain pengobatan dengan medikamentosa, beberapa peneliti juga menemukan pengobatan alternatif. Pengobatan alternatif yang ditemukan oleh beberapa peneliti antara lain, pengobatan menggunakan akupunktur, pengobatan menggunakan terapi audiologi, masking, ginggo biloba, pengobatan menggunakan melatonin dan vitamin B, dan juga terapi psikologi seperti CBT, TRT, dan EMDR tidak menyembuhkan tinnitus tetapi dapat mengurangi gejala dari tinnitus.

Pada penelitian Annemarie ditemukan bahwa terapi CBT dan TRT memiliki efek yang baik pada pengobatan tinnitus. Terapi TRT merupakan terapi habituasi yang bertujuan untuk mengubah persepsi tinnitus menjadi sinyal netral. Pasien juga akan diberi konseling untuk menghadapi respon emosional dan fisik yang ditimbulkan tinnitus sehingga pasien akan terbiasa dengan suara denging yang di dengar pada telinga. Sedangkan terapi CBT bertujuan untuk mengubah perilaku kognitif pada pasien tinnitus yaitu mengubah respon emosional ( Annemarie et al, 2020). Dengan EMDR sangat efektif pada tinnitus dengan stress ataupun depresi.

Terapi EMDR merupakan psikoterapi yang dilakukan untuk mengingat kembali pikiran yang rumit pada pasien seperti suara yang didengar. Kemudian dokter akan mengarahkan penderita dengan input sensori bilateral, rangsangan pendengaran, dan gerakan mata sisi ke sisi (American Psychological Association, 2019). Dari penelitian tersebut terbukti bahwa EMDR sangat efektif pada pengobatan tinnis.

Baru-baru ini ditemukan cara pengobatan tinnitus menggunakan aplikasi smartphone. Smartphone ini digunakan untuk mendengar ilmu pengetahuan dan perawatan secara umum. Aplikasi tersebut tersedia pada iOS, Android, dan took Windows Phone. Aplikasi tinnitus dibagi menjadi 2 kategori yaitu penyaringan dan penilaian, intervensi dan rehabilitasi (alat manajemen tinnitus seperti masker dan stimulasi suara). Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa adanya pengaruh yang baik pada penderita tinnitus. Sekitar 23 % dari penderita yang menggunakan aplikasi smartphone tersebut mampu mengatasi masalah tidur dan 21 % mampu menutupi suara tinnitus. Aplikasi yang paling banyak digunakan untuk pengelolaan tinnitus adalah Beltone Tinnitus Calmer, Oticon Tinnitus Sound,

(33)

21

Tinnitus Therapy Lite yang dikembangkan oleh produsen alat bantu dengar. Ada 6 komponen utama aplikasi yang diidentifikasi berdasarkan deskripsi di aplikasi apple, google, Amazon yaitu generasi / terapi suara, meditasi dan perhatian, informasi dan pendidikan, hipnosis, latihan relaksasi, dan penilaian (Smith et al, 2020).

2.2.8 Pencegahan

Upaya untuk mencegah dan meminimalkan tinnitus adalah : a) Lindungi pendengaran dari bunyi yang keras

b) Kurangi paparan bising

c) Kurangi merokok dan konsumsi alcohol

Merokok dan alcohol dapat melebarkan pembuluh darah sehingga aliran darah lebih besar terutama pada telinga bagian dalam.

d) Hindari stress

Jika pasien mengalami stress dapat memperburuk tinnitus. Manajemen untuk stres dapat dilakukan dengan relaksasi, biofeedback ataupun olahraga.

2.3 NYERI KEPALA

Nyeri kepala merupakan suatu keluhan yang sering terjadi pada setiap pasien, baik anak-anak maupun dewasa. Nyeri kepala bisa disebabkan karena gangguan pada pola tidur, stress, depresi sampai pada kecemasan. Biasanya nyeri kepala yang dirasakan bersifat tidak membahayakan. Hanya saja nyeri kepala ini disebabkan karena gangguan pada struktur-struktur di daerah kepala dan leher seperti kulit kepala, otot-otot kepala dan leher, mata, telinga, serta saraf-saraf di kepala.

Nyeri kepala dibagi menjadi dua, yaitu nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tidak ada ditemukannya kerusakan struktural maupun metabolik yang mendasari nyeri kepala. Sedangkan nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang disebabkan oleh adanya kerusakan struktural ataupun sistemik. 90% nyeri kepala yang dirasakan termasuk

(34)

kedalam kelompok nyeri kepala primer, sisanya termasuk kedalam kelompok nyeri kepala sekunder (Hidayati, 2016).

2.3.1 Klasifikasi Nyeri Kepala a) Nyeri kepala primer

 Migraine

 Tention Type Headache

 Nyeri kepala cluster dan hemicrani paroksismal kronik b) Nyeri kepala sekunder

 Nyeri kepala karena trauma kepala

 Nyeri kepala karena kelainan vaskuler

 Nyeri kepala karena kelainan intracranial nonvaskuler

 Nyeri kepala karena penggunaan suatu zat

 Nyeri kepala karena infeksi

 Nyeri kepala karena kelainan metabolic

 Nyeri kepala karena kelainan saraf

2.3.2 Patofisiologi Nyeri Kepala

Sensasi nyeri kepala terdapat di nosiseptor meningeal dan neuron trigeminal sentral. Sebagian besar pembuluh darah intrakranial mendapatkan inervasi sensoris dari ganglion trigeminal, dan menghasilkan neuropeptida yang akan mengaktivasi nosiseptor-nosiseptor. Neuropeptida yang dihasilkan seperti CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide) yang paling besar dan diikuti oleh SP (substance P), NKA (Neurokinin A), PACAP (Pituitary Adenylate Cyclase Activating Peptide, nitricoxide(NO), molekul prostaglandin E2 (PGEJ2), bradikinin, serotonin (5-HT) dan adenosin triphosphat (ATP). Kemudian rangsangan dibawa menuju cornu dorsalis cervical atas dan modulasi nyeri terletak pada batang otak yaitu di periaquaductal grey matter, locus coeruleus, nucleus raphe magnus dan reticular formation akan mengatur integrasi nyeri,

(35)

23

emosi dan respons otonomik.kemudia di thalamus terjadi persepsi nyeri (Jatmiputri, 2017).

2.4 KUALITAS HIDUP

Menurut WHO kualitas hidup adalah persepsi individual terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam konteks budaya, sistem nilai dimana mereka berada dan hubungannya terhadap tujuan hidup, harapan, standar, dan lainnya. Masalah yang berkaitan dengan kualitas hidup sangat luas, termasuk masalah kesehatan fisik, status psikologi, tingkat kebebasan, hubungan sosial dan lingkungan dimana tempat mereka berada (WHO, 2012).

Definisi sehat menurut WHO adalah suatu keadaan dimana tidak hanya terbebas dari penyakit, tetapi keseimbangan antara fungsi fisik, mental, dan sosial.

Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan yaitu fungsi fisik, psikologis (kognitif dan emosional), dan sosial (Delwien, 2018).

Menurut WHOQoL-BREF (World Health Organization Quality of Life Bref version) terdapat empat dimensi mengenai kualitas hidup, yaitu:

1. Kesehatan Fisik

Kesehatan fisik mampu mempengaruhi kemampuan individu dalam melakukan aktivitas. Kesehatan fisik mencakup aktivitas sehari-hari, energi dan kelelahan, sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat. Hal ini berhubungan dengan private self consciousness yaitu individu lain tidak bisa melihat apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain.

2. Psikologis

Dimensi psikologis ini berkaitan dengan keadaan mental seseorang.

Kesejahteraan psikologis terdiri dari bodily image dan appearance, perasaan positif, perasaan negative,, keyakinan pribadi, berpikir, belajr, memori, konsentrasi,dan penampilan. Dimensi psikologis ini jika dihubungkan dengan private self consciousness artinya seseorang merasakan sesuatu apa yang ada dalam dirinya tanpa diketahui oleh orang lain (Delwien, 2018).

(36)

3 Hubungan Sosial

Hubungan antara dua individu atau lebih yang dapat mempengaruhi atau memperbaiki tingkah laku individu lain. Manusia merupakan makhluk sosial menyebabkan manusia harus berinteraksi.

4 Lingkungan

Hubungan dengan lingkungan mencakup kebebasan, keamanan, keselamatan fisik, dan lingkungan rumah. Lingkungan ini berkaitan denga sarana dan prasarana yang dapat menunjang kehidupan. Berdasarkan public self consciousness yaitu individu harus memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan disekitarnya.

2.4.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup antara lain : 1. Jenis kelamin

Jenis kelami merupakan salah satu dari faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup. Adanya perbedaan antara kualitas hidup laki-laki dan perempuan, adanya perbedaan aspek kehidupan, dan juga adanya perbedaan peran dalam menjalankan kehidupan.

2. Usia

Usia dapat mempengaruhi kualitas kehidupan individu. Menurut penelitian wagner adanya perbedaan yang menyangkut usia dalam menentukan aspek kehidupan.

3. Pendidikan

Menurut bebrapa penelitian, pendidikan memiliki pengaruh pada kualitas hidup individu. Pada penelitian Noghani et al menemukan ahwa adanya pengaruh positif dari pendidikan terhadap kualitas hidup tetapi tidak terlalu banyak.

4. Pekerjaan

Pada penelitian moons et al menemukan ada pengaruh pekerjaan pada kualitas hidup individu baik laki-laki maupun perempuan.

(37)

25

5. Status pernikahan

Pada penelitian moon et al menemukan adanya pengaruh status pernikahan terhadap kualitas hidup individu. Kualitas hidup individu yang telah menikah, yang belum menikah, yang bercerai, dan janda memiliki kualitas hidup yang berbeda. Individu yang telah menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan yang janda.

6. Hubungan dengan orang lain

Menurut penelitian Noghani individu yang memiliki hubungan baik dengan orang lain seperti pertemanan memiliki kualitas hidup yang tinggi.

7. Kesehatan fisik

Individu yang memiliki penyakit akan menyebabkan dirinya stress ataupun stress.sehingga kesehatan fisik mempengaruhi kualitas hidup seseorang.

(38)

2.4KERANGKA TEORI

Manifestasi Klinis

 Telinga berdenging

Faktor Risiko

 Usia

 Jenis Kelamin

 Merokok

 Penggunaan Obat Ototoksik

 Kesehatan Mental

 Riwayat Penyakit

Tinnitus Subjektif Tinnitus Objektif TINNITUS

Tinnitus Unilateral

Tinnitus Bilateral

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang

Tatalaksana

(39)

27

2.5 KERANGKA KONSEP

Variabel independen Variabel dependen

a) Variabel independen : tinnitus b) Variable dependen : Nyeri kepala

2.6HIPOTESIS

Adanya hubungan antara nyeri kepala dengan kualitas hidup pasien tinnitus

tinnitus Nyeri kepala

 Usia

 Jenis kelamin

 Gangguan psikologis

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 DESAIN PENELITIAN

Desain penelitian ini adalah Systematic Review yaitu metode penelitian untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan interpretasi terhadap semua hasil penelitian yang relevan terkait dengan topik penelitian.

3.2 KRITERIA INKLUSI dan EKSKLUSI

3.2.1 Populasi

Orang dewasa dalam rentang usia 25-60 tahun yang mengalami gejala telinga berdenging.

3.2.3 Outcome

Outcome yang diukur dalam penelusuran ilmiah ini adalah karakteristik tinnitus dapat mempengaruhi usia, jenis kelamin dan gaya hidup seseorang dan dapat di nilai menggunakan Tinnitus Handicap Inventory (THI).

3.2.2 Tipe Studi

Desin penelitian yang diambil dalam penelusuran ilmiah ini adalah desain penelitian eksperimental dengan RCT ataupun Non-RCT.

(41)

29

Population Orang dewasa dalam rentang usia 25-60 tahun yang mengalami gejala telinga berdenging.

Outcome Karakteristik tinnitus dapat mempengaruhi usia, jenis kelamin dan gaya hidup seseorang dan dapat di nilai menggunakan Tinnitus Handicap Inventory (THI).

Desain Penelitian Setiap desain penelitian

eksperimental dengan RCT ataupun Non-RCT.

Terbitan Studi Tahun 2015-2020 Table 3.1 Kriteria Studi

3.3 STRATEGI PENCARIAN LITERATUR

Penelusuran artikel publikasi melalui internet dari sumber utama Pubmed, science direct, Wiley online library. Pencarian artikel menggunakan kata kunci : charachteristic, tinnitus, headache, quality of life. Artikel atau jurnal yang sesuai dengan kriteria inklusi diambil dan dilakukan analisis. Penelitian ini menggunakan publikasi terbitan tahun 2015 sampai 2020.

3.4 ANALISIS DATA

Metode penelitian menggunakan metode dengan pendekatan kualitatif

“metasintesis” yaitu untuk mensintesis atau merangkum hasil-hasil penelitian eksperimental dengan RCT ataupun Non-RCT yang berkaitan dengan tinnitus.

Review artikel ini akan di sintesis menggunakan metode naratif dengan mengelompokkan data-data hasil ekstraksi yang sesuai dengan hasil yang diukur untuk menjawab tujuan penelitian.

(42)

3.5 DEFINISI OPERASIONAL

1. Variabel dependen a) Tinnitus

Tinnitus merupakan suatu gangguan pendengaran yaitu terdengarnya bunyi tanpa adanya rangsangan bunyi atau suara dari luar.

2. Variabel Independen a) Nyeri kepala

Nyeri pada kepala atau rasa sakit yang menyebar ke seluruh atau sebagian sisi kepala akibat dari gangguan pada struktur-struktur di daerah kepala dan leher seperti kulit kepala, otot-otot kepala dan leher, mata, telinga, serta saraf-saraf di kepala.

 Usia

Lama hidup responden dari lahir sampai saat penelitian

 Jenis Kelamin

Gambaran anatomis untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan, dilihat dari gambaran luar.

 Gangguan psikologis

Suatu kondisi ketika seseorang memiliki cara berpikir, berperilaku, serta emosi yang abnormal.

(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menelusuri DataBase elektronik seperti Pubmed, Sciencedirect, dan Wiley online library. Proses pemilihan jurnal dilakukan dengan metode identifikasi, skrining, uji kelayakan, dan inklusi.

Berikut ditampilkan skema pencarian jurnal.

xxSumber Data

Pubmed (n=303)

Sumber Data

Science direct (n=1865)

Sumber Data

Wiley online library (n=956)

Total Artikel (n=3124) Total Artikel Duplikasi (n=998)

Artikel Tanpa Duplikasi (n=2126) IDENTIFIKASI

SKRINING

KELAYAKAN

INKLUSI

Catatan masuk eksklusi (n=2100)

Full text (n=26)

Full text masuk inklusi (n=3)

(44)

Strategi awal yang digunakan untuk penelusuran jurnal yaitu dengan mengakses DataBase di Pubmed, Science Direct, dan Wiley Online Library dengan memasukkan kata kunci : Characteristic, Tinnitus, headache, quality of life. Setelah ditemukan hasilnya, jurnal disaring sesuai kriteria yang telah ditentukan yaitu : jurnal terbaru tahun 2015-2020.

Hasil identifikasi ditemukan beberapa jurnal diantaranya : Pubmed 303 jurnal, science direct 1865 jurnal, dan wiley Online Library 956 jurnal. Sehingga total jurnal yang didapatkan yaitu 3124 jurnal. Dari 3124 jurnal dilakukan identifikasi untuk melihat duplikasi. Identifikasi tersebut meliputi judul, tahun dan nama pengarang. Apabila didapatkan kesamaan, dapat disimpulkan bahwa jurnal tersebut isinya sama. Setelah dilakukan identifikasi terdapat 998 jurnal yang sama.

Maka total 3124 jurnal dikurangi dengan jurnal duplikasi sebanyak 998 jurnal, sehingga didapatkan hasilnya 2126 jurnal tanpa duplikasi.

Sebanyak 2126 jurnal dilakukan skrining untuk mendapatkan tema yang sesuai dengan kriteria yang dicari. Dari 2126 jurnal terdapat 26 jurnal yang sesuai dan sebanyak 2100 jurnal tidak sesuai dengan yang dicari. Selanjutnya dari 26 jurnal dilakukan analisis kembali untuk memastikan kelayakan dengan inklusi yang sudah ditentukan. Hasil yang didapatkan yaitu terdapat 3 jurnal yang masuk dalam kriteria inklusi. Ada 23 jurnal yang tidak termasuk ke dalam kriteria inklusi karna membahas tatalaksana pada sakit kepala.

Total hasil pencarian yang didapat dari 3 DataBase yaitu Pubmed, Science Direct, dan Wiley Online Library yang sesuai dengan kriteria inklusi yaitu sebanyak 3 jurnal.

4.1.1 Karakteristik Studi

Peneliti

Tempat

Penelitian Tahun

Jenis Tinnitus

Jumlah pasien

Perempuan Laki-laki Total Berthold dkk Hausham,

Germany

2017 Tinnitus bilateral

283 672 955

Alessandra dkk

Regensburg, Germany

2020 Tinnitus subyektif

1034 947 1981

Magdalena dkk

Bydgoszcz, Poland

2020 Tinnitus bilateral

167 119 286

Table 4.1 Informasi Dasar Tentang Studi Individu

(45)

33

Peneliti

Variabel Penelitian

Analisis

Kesimpulan

Dependen Independen

Berhubungan

Tidak berhubungan Jenis

Kelamin

Usia Gangguan psikologis Berthold

dkk

Sakit kepala

P/L 75/115

40 Stres, depresi

Chi- Square, ANOVA

Jenis kelamin (+),

gangguan psikologis (+)

Usia (-)

Alessandra dkk

Sakit kepala

P/L 347/179

25- 60

Stres

Chi- square, Uji wilcoxon, Uji Brown- Forsythe

Jenis kelamin (+), usia (+), gangguan psikologis (+)

-

Magdalena dkk

Sakit kepala

P/L 99/42

51 Depresi

Chi- square, ANOVA, Uji T- Student, Uji wilcoxon

Jenis kelamin (+), usia (+), gaangguan psikologis (+)

-

Tabel 4.2 Variabel Penelitian

Tabel 4.1 menunjukkan ada tiga jurnal yang meneliti masalah nyeri kepala dengan tinnitus. Penelitian tersebut dilakukan di Negara Germany dan Polandia.

Berdasarkan hasil dari ke tiga penelitian pada Tabel 4.1, menunjukkan bahwa dari dua peneliti memiliki jenis tinnitus bilateral dan satu peneliti memiliki jenis tinnitus subjektif. Berdasarkan tahun penelitian, dua peneliti melakukan penelitian tahun 2020 dan satu peneliti pada tahun 2017. Dari ketiga penelitian tersebut didapatkan dua peneliti memiliki sampel wanita lebih banyak dibandingkan laki- laki. Satu peneliti memiliki sampel laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.

Tiga penelitian yang direview menggunakan analisis dan variable yang berbeda untuk menentukan hubungan kondisi tinnitus dengan sakit kepala. Hal ini digambarkan pada table 4.2.

(46)

Berdasarkan Table 4.2 menunjukkan bahwa variabel dependen penelitian adalah nyeri kepala dan variabel independen yang digunakan adalah tinnitus.

Hasil penelitian ini menjelaskan 2 dari 3 penelitian menunjukkan adanya hubungan antara nyeri kepala dengan kualitas hidup pasien tinnitus.

4.2 PEMBAHASAN

Penelitian Berthold pada tahun 2017, dilakukan penelitian pada 955 sampel yang terdiri dari 283 perempuan dan 672 laki-laki dengan gejala tinnitus disertai nyeri kepala dan tinnitus tanpa disertai nyeri kepala. Analisis dilakukan dengan mengumpulkan data pasien dan disajikan di Pusat Tinnitus multidisiplin dari Universitas Regensburg antara tahun 2003 sampai tahun 2011. Penelitian tersebut menunjukkan hubungan antara tinnitus dengan nyeri kepala yang berkaitan dengan jenis kelamin (p = 0,452), yang berkaitan dengan usia (p = 0,421), dan yang berkaitan dengan gangguan psikologis (p = 0, 909). Dari kesimpulan penelitian Berthold didapatkan bahwa tinnitus dengan nyeri kepala yang berkaitan dengan jenis kelamin dan gangguan psikologis memiliki hubungan yang bermakna dibandingkan dengan tinnitus tanpa nyeri kepala. Sedangkan tinnitus dengan nyeri kepala atau tanpa nyeri kepala tidak memiliki perbedaan signifikan dengan usia.

Di penelitian Alessandra pada tahun 2020 dengan metode cross-sectional, dilakukan penelitian pada 1981 orang yang terdiri dari 1034 perempuan dan 947 laki-laki. Pada penelitian ini, tinnitus dengan nyeri kepala atau tinnitus tanpa nyeri kepala dibagi menjadi 3 kelompok yaitu; setiap tinnitus, tinnitus sebagai masalah besar, dan tinnitus parah. Subjek dengan nyeri kepala lebih sering melaporkan adanya tinnitus (multivariate OR, 2.61; 95% Cl, 2.19-3.12), tinnitus sebagai masalah besar (OR,5.63;95%CI,4.10-7.72) dan tinnitus berat (OR,4.99;95%CI,3.417.32). Penelitian ini juga mengevaluasi hubungan antara nyeri kepala dan tinnitus yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Pada pria (OR,3,21;95%CI,2,22-4,64) dan pada wanita (OR,2,49;95%CI,2,03–3,06).

Hubungan ini lebih besar pada pria, meskipun tidak berbeda secara signifikan

(47)

35

dari wanita. Sedangkan untuk tinnitus sebagai masalah besar pada pria (OR,7,28;95%CI,4,19-12,6) dan pada wanita (OR,5,51;95%CI,3,69-8,22) dan untuk tinnitus berat pada pria (OR,8.14;95%CI,4.22-15.7) dan pada wanita (OR,4.20;95%CI,2.59-6.80).

Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara tinnitus dengan nyeri kepala yang berkaitan dengan jenis kelamin. Yang mana pada setiap tinnitus yang berhubungan dengan jenis kelamin (p < 0.001), tinnitus sebagai masalah besar yang berkaitan dengan jenis kelamin (p = 0,0003), tinnitus parah yang berkaitan dengan jenis kelamin (p = 0,0014). sedangkan tinnitus yang berkaitan dengan usia berdasarkan setiap tinnitus (p < 0,0001), berdasarkan tinnitus sebagai masalah besar (p = 0,5619), tinnitus parah (p=)). Pada subjek dengan tinnitus berat ditemukan perbedaan pada TFI, stress, ukuran kecemasan dan kualitas hidup fisik dan psikologis (p = 0,039 hingga 0,025 setelah koreksi untuk beberapa perbandingan). Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa adanya hubungan yang kuat antara nyeri kepala dan tinnitus dengan peningkatan keparahan.

Penelitian di Polandia pada tahun 2020 dilakukan dengan studi prospektif dengan subjek 286 di Universitas Bydgoszcz dari februari 2019 hingga mei 2020.

Dari 286 subjek tinnitus ditemukan 141 (49,3%) tinnitus mengalami nyeri kepala.

Pada tinnitus tanpa nyeri kepala yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin laki-laki/perempuan [77(53.10%)/68(46.90%)] dan tinnitus dengan nyeri kepala yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin laki-laki/perempuan [42(29.79%)/99(70.21%)] dengan (p < 0,0001). Pada subjek tinnitus dengan atau tanpa nyeri kepala yang dikelompokkan pada usia (p = 0,0363). Kemudian pada tinnitus yang dikelompokkan berdasarkan gaya hidup terdiri dari merokok, depresi, dan gangguan tidur. Tinnitus tanpa nyeri kepala dengan merokok 13(8,97%) dan tinnitus dengan nyeri kepala dengan merokok 11(7,80%) dan didapatkan (p = 0,8320). Tinnitus tanpa nyeri kepala dengan depresi 30(20,69%) dan tinnitus dengan nyeri kepala dan depresi 46(32,62%) dan didapatkan (p = 0,0236%). Kemudian tinnitus tanpa nyeri kepala dengan gangguan tidur 33(22.76%) dan tinnitus dengan nyeri kepala dan gangguan tidur 42(29,79%) dan didapatkan (p = 0,1821). Pada penelitian ini disimpulkan bahwa tinnitus lebih

(48)

signifikan pada wanita. Pada kelompok tinnitus yang bukan nyeri kepala, biasanya sebagian besar tinnitus unilateral sedangkan pada kelompok dengan nyeri kepala, biasanya sebagian besar tinnitus bilateral.

(49)

BAB V

KESIMPULAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

1. Dari penelitian yang telah dilakukan, ditemukan adanya hubungan antara karakteristik tinnitus dengan kualitas hidup pasien.

2. Dari penelitian tersebut adanya hubungan antara karakteristik pasien tinnitus dengan nyeri kepala

3. Dari hasil penelitian tersebut adanya hubungan signifikan antara nyeri kepala dengan jenis kelamin, usia, dan gaya hidup seperti; stress, depresi, merokok, dan gangguan tidur.

5.2 SARAN

1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan tinnitus dengan nyeri kepala agar data yang dihasilkan dari penelitian meta-sintesis lebih relevan.

2. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut pada kelompok wanita yang menderita tinnitus agar mengurangi bias.

Gambar

Gambar 2.1 Telinga Luar
Gambar 2.2 Telinga Tengah
Gambar 2.3 Telinga Dalam

Referensi

Dokumen terkait

Mengenai usia dan jenis kelamin antara pasien epilepsi dan kontrol tidak berbeda secara signifikan, dalam penelitian ini Chen et al., menegaskan bahwa pasien dengan

jenis kelamin laki-laki memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan perempuan namun dalam penelitian tersebut kelompok pasien dibedakan berdasarkan dengan

Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien skizofrenia paranoid masing-masing skala komponen kesehatan berdasarkan karakteristik sosiodemografik

hubungan antara fungsi sosial dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia di Puskesmas D.I.Y., maka dapat disimpulkan bahwa kategori kualitas hidup pasien Skizofrenia

Hal ini bertujuan mendeskripsikan faktor yang memengaruhi pola hidup pasien setelah operasi CABG meliputi karakteristik responden (usia, jenis kelamin, pendidikan,

Berupa kuesioner data demografi yang mencakup data mengenai Usia Pasien, Jenis kelamin Pasien,Suku Pasien, Agama Pasien, Pendidikan Pasien, Pekerjaan Pasien,

Hal ini bertujuan mendeskripsikan faktor yang memengaruhi pola hidup pasien setelah operasi CABG meliputi karakteristik responden (usia, jenis kelamin, pendidikan,

Pengaruh Karatkeristik Pasien Terhadap Kepatuhan dan Kualitas Hidup Selisih skor pretest dan posttest kepatuhan pasien lebih mengalami peningkatan pada pasien usia < 60 tahun, jenis