• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Ruang Lingkup dan Perkembangan Konsep Pemungutan Pajak Dalam Siyasah Syariyyah Maliyah Pada Sejarah Pemerintahan Islam Klasik

Sepanjang Sejarah pemerintahan Islam, Sistem perpajakan diterapkan sejak saat pemerintahan Rasulullah hingga Khulafa al-rasyidin. Kemudian dilanjutkan oleh dinasti atau kerajaan yang memimpin selanjutnya. Namun pada zaman tersebut anggaran negara masih sangat sederhana dan tidak serumit sistem anggaran modern. Prinsip anggaran berimbang yang diterapkan pada masa awal periode Islam merupakan penghasilan yang diterima untuk menentukan biaya yang tersedia untuk dibelanjakan, namun hal tersebut mengharuskan adanya pungutan khusus apabila terjadi keadaan darurat seperti perang atau bencana lainnya. Oleh sebab itu, indikator keberhasilan pembangunan yaitu sejauh mana tercukupinya segala kebutuhan manusia dalam berbagai aspek. Karena Islam sangat menekankan keadilan ekonomi bagi umat secara menyeluruh. Jenis Pajak Dalam Sistem Perpajakan Menurut Islam :

1. Dharibah

Secara etimologi, pajak dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah Dharibah, yang berasal dari kata

ابرض,برضي ,برض

yang artinya mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau membebankan dan lain-lain.1 Dalam al-Quran, akar kata da-ra-ba terdapat dalam beberapa ayat antara lain dalam Surah al-Baqarah ayat 612:

تَبِرُضَو

1Munawwir, A.W. Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, (Yogyakarta: Pon.Pes Al-Munawwir, 1984), h., 356.

2Abd Al-Baqi,M.F. Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfads Al-Qur’an Al Karim, (Kairo: Daar al Hadits, 2008), h., 380.

34

ُةَنَك سِلماَو ُةَّلِّذلا ُمِه يَلَع

yang artinya Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan…

Menurut bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama menggunakan sebutan dharibah untuk membayar harta yang dipungut sebagai kewajiban. Hal ini tampak jelas dalam ungkapan bahwa jizyah dan kharaj dipungut secara dharibah, yakni secara wajib. Bahkan sebagian ulama menyebut kharaj merupakan dharibah.3 Jadi, sebutan dharibah merupakan harta yang dipungut secara wajib oleh negara sebagai pendapatan negara untuk selain jizyah dan kharaj, sekalipun keduanya bisa dikategorikan dharibah.

Dalam Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi, kharaj diterjemahkan dengan kata pajak (pajak tanah), sedangkan jizyah tidak diterjemahkan dengan pajak, melainkan disebut jizyah Namun dalam kitab Shahih Abu Daud, seorang pemungut pajak, padahal yang dimaksud adalah petugas jizyah. Menurut kitab al-Umm karya Imam Syafi’I, jizyah dapat diterjemahkan dengan pajak.

Dari berbagai bentuk penerjemahan ini terlihat bahwa pengertian jizyah, kharaj, dan lain-lain disatukan ke dalam istilah pajak. Padahal seharusnya tidak sama, masing-masing berbeda subjek atau objeknya4.

Dilihat dari realitas makna dharibah merupakan harta yang dipungut secara wajib dari rakyat untuk menambah pemasukan dana negara dan keperluan pembiyaan negara. Dengan demikian, dharibah dapat diartikan dengan pajak. Untuk menghindari kerancuan makna antara pajak menurut syariah dengan pajak (tax) non-Islam, maka dipilihlah padanan kata bahasa Arab yaitu dharibah. Dharibah adalah pajak tambahan dalam Islam yang sifat dan karakteristiknya berbeda dengan pajak (tax) menurut teori ekonomi non-Islam.

3Gusfahmi. Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h., 27.

35 2. Jizyah

Jizyah merupakan bentuk pajak yang dibebankan kepada kalangan Non Muslim sebagai kompensasi atas fasilitas sosial, ekonomi, layanan kesejahteraan, serta jaminan kenyamanann yang mereka terima dari negara Islam. Jizyah diambil dari penduduk non muslim selama mereka tetap pada kepercayaannya.

Secara bahasa al-jizyah

ُةَي زِلجا

diartikan sebagai pajak tanah, sesuatu pajak yang diambil dari kafir dzimmi.5 Istilah jizyah diambil dari kata jaza’ (imbalan). Dalil mengenai jizyah terdapat dalam Firman Allah Surah at-Taubah: 29 :

ُسَرَو للها َمَّرَح اَم َن وُمِّرَُيُ َلََو ِرِخلآا ِم وَ ي لاِب َلََو للهاِب َن وُ نِم ؤُ ي َلَ َن يِذَّلا اوُلِتاَق

و

َلََو ُهُل

َّتََّح َباَتِكلا اوُتوُأ َن يِذَّلا َنِم ِّقَلحا َن يِد َن وُ ن يِدَي

ا اوُط عُ ي

َةَي زِ لج

مُهَو ٍدَي نَع

َن وُرِغاَص

Artinya : “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak beriman kepada hari kemudia, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”

Kemudian, juga terdapat Hadits yang meriwayatkan bahwa kewajiban membayar jizyah diperuntukan bagi kaum non-muslim (Majusi), yang artinya:

5Fairuz Abadi, Al-Qamus al-Muhith, edisi ke-8, (Beirut: Ar-Resalah Publisher,2005), h., 1270.

36

اَهَذَخَأ َِّبَِنلا َّنَأ ُه نَع ُللهاا َيِضَر ٍف وَع ِن ب ِنَ حَْر لا ِد بَع نَع

َ ي

َة َي زِ لجا ِنِ ع

نِم

يراخبلا هاور .ٍرَجَه ِس وَُمَ

“ Hadist dari Abd Rahman Ibn Auf r.a, ia berkats bahwa Sesungguhnya Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam (telah) mengambil jizyah dari orang-orang Majusi penduduk negeri Hajar.” (HR. Bukhari).6

Dengan kepatuhan mereka membayar jizyah, ada dua hak yang mereka miliki, yaitu mereka tidak boleh diserang dan mereka dilindungi. Dengan tidak diserang, mereka akan merasakan aman dan dengan dilindungi, mereka akan mendapatkan penjagaan.7

Selanjutnya, jizyah merupakan alternatif dari kewajiban yang dijalani muslimin, yaitu kewajiban jihad (wajib militer) dan zakat. Jizyah lebih dekat dengan perihal jihad, karena apabila mereka non-muslim lebih mengikuti wajib militer untuk jihad, maka gugurlah kewajibannnya untuk membayar jizyah. Maka, hikmah jizyah ialah merupakan wajud partisipasi warga negara dalam pembiayaan kepentingan nasional, yang hasilnya dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.8

Namun dalam hal ini juga Islam mengatur bentuk pemungutan dan pengelolaan pendapatan negara yang bersumber dari jizyah, diantanya:

Menurut Imam Abu Hanifah, Jizyah tidak boleh dipungut dari orang-orang murtad, orang-orang dahriyyah (peyembah masa), dan kaum paganis (penyembah berhala). Abu Hanifah memungut jizyah dari kaum paganis jika mereka termasuk non-Arab. Akan tetapi apabila mereka termasuk orang Arab, maka tidak dipungut jizyah.9

6Imam Al-Bukhari, Shahih al Bukhari, Juz V, (Mesir: Daar Alamiyah, 2015), h., 878.

7Abu Hasan al-Mawardi. Al-Ahkam ash-Shulthaniyah Wa al-Wilayat al-Diniyah, (Kuwait: Maktabah Daar al-Qutaibah, 1989), h., 181.

8Yusuf Qardhawi, Fiqh Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad

Menurut Al-Quran dan Sunnah, terj. Irfan Maulana Hakim, dkk, (Bandung: Mizan, 2010), h., 776.

9Abu Hasan al-Mawardi. Al-Ahkam ash-Shulthaniyah Wa al-Wilayat al-Diniyah, (Kuwait: Maktabah Daar al-Qutaibah, 1989), h., 183.

37

Jizyah juga tidak boleh dipungut, kecuali kaum laki-laki yang merdeka dan berakal. Jizyah tidak boleh dipungut dari kaum wanita, anak-anak, orang gila, dan budak karena posisi mereka masih dalam tanggungan orang lain.10

Jika wanita hidup sendiri setelah sebelumnya ikut suami atau sanak keluarganya, ia tidak boleh dikenai beban jizyah karena ia hanya ikut sang suami. Jika seorang wanita hidup sendirian di darul harbi (negara kafir) dan ia membayar jizyah untuk bisa tinggal di darul Islam (negara Islam), hukum pembayaran jizyahnya tidak wajib dan status jizyah yang dibayarkan seperti hibah. Dengan kata lain, jika suatu saat, ia tidak mau membayar jizyah tersebut, ia tidak boleh dipaksa untuk membayarnya. Ia pun tetap harus mendapatkan perlindungan meskipun ia tidak memiliki keluarga di tengah-tengah kaumnya.

Jizyah tidak boleh dipungut dari seorang banci yang masih diragukan. Jika kemudian hari keraguannya sudah hilang dan dia terbukti berjenis kelamin laki-laki, wajib dipungut jizyah darinya pada tahun mendatang, dan bukan tahun sebelumnya.11

Berkenaan dengan hak yang menunaikan jizyah, mereka dibebaskan dari wajib militer dan membela Islam, karena hal ini menjadi kewajiban warga negara yang beragama Islam. Adapun sebagian fuqaha berpendapat bahwa, apabila negara Islam tidak dapat memberikan perlindungan kepada mereka, maka jizyah mereka harus dikembalikan lagi. Apabila dari mereka non-muslim ada yang mempunyai tanggungan membayar jizyah kemudian meninggal dunia, maka kewajiban tersebut gugur dan tidak jatuh pada ahli waris.12

10Abu Hasan al-Mawardi. Al-Ahkam ash-Shulthaniyah Wa al-Wilayat al-Diniyah, (Kuwait: Maktabah Daar al-Qutaibah, 1989), h., 183.

11Abu Hasan al-Mawardi. Al-Ahkam ash-Shulthaniyah Wa al-Wilayat al-Diniyat, (Kuwait: Maktabah Daar al-Qutaibah, 1989), h., 184.

12Ali Abdul Halim Mahmud, Karakteristik Umat Terbaik : Telaah Manhaj, Akidah, dan

38

Para Fuqaha berselisih pendapat mengenai ukuran Jizyah. Abu Hanifah mengklasifikasi orang-orang yang dikenai wajib jizyah menjadi tiga kelompok:

a. Kalangan orang kaya. Besar jizyah yang harus dipungut dari mereka adalah 48 dirham.

b. Kalangan orang menengah. Besar jizyah yang harus dipungut dari mereka adalah 24 dirham.

c. Kalangan orang fakir. Besar jizyah yang harus dipungut dari mereka adalah 12 dirham.13

Kebijakan pemerintah tidak sebatas ketentuan jizyah, namun dalam kriteria orang yang dikenakan jizyah pun dapat ditentukan. Dalam kriteria yang dikenakan jizyah, terdapat golongan yang dibebaskan karena disesuaikan dengan kndisi mereka, seperti orang-orang yang tidak mampu berperang, yaitu kaum perempuan, anak-anak, lanjut usia, cacat, lumpuh, tuna netra, fakir, yang tak mampu berusaha, rahib, dan masih banyak lagi.14 Mereka semua ini tidak akan dipaksa untuk membayar jizyah, namun sebaliknya bahkan mereka akan diberi bagian dari Baitul maal.15

Jika anak mereka telah berusia baligh atau orang gila diantara mereka telah sembuh, disempurnakan terlebih dahulu hitungannya hingga setahun. Setelah itu keduanya dikenai kewajiban membayar jizyah. Orang miskin di antara mereka tetap dikenai kewajiban membayar jizyah jika ia telah berkecukupan. Akan tetapi, jika belum berkecukupan, ia diberi penangguhan waktu hingga sanggup membayarnya.

Kewajiban membayar jizyah tidak menjadi gugur lantaran merekaa berusia lanjut atau menderita sakit kronis. Ada ulama yang mengatakan

13Abu Hasan al-Mawardi. Al-Ahkam ash-Shulthaniyah Wa al-wilayat al-Diniyat, (Kuwait: Maktabah Daar al- Qutaibah, 1989), h., 184.

14Ali Abdul Halim Mahmud, Karakteristik Umat Terbaik: Telaah Manhaj, Akidah, dan Harakah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h., 585.

15Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h., 143.

39

bahwa khusus mereka yang berusia lanjut, menderita sakit kronis, dan hidup fakir maka kewajiban membayar jizyah menjadi gugur.16

Mereka tetap wajib membayar jizyah, selagi mereka kafir. Jadi jizyah juga adalah ukukman atas kekafiran mereka. Namun demikian, ketentuan ini hanya berlaku bagi warga negra kafir yang mampu. Bagi yang tidak mampu sepertii mereka yang sudah uzur, cacat, dan mereka yang memiliki kendala dalam ekonomi akan terbebas dari kewajiban ini. Bahkan untuk kasus tertentu, negara harus memenuhi kebutuhan mereka.17

Dengan demikian, umat Islam tidak akan dikenakan beban jizyah, karena penduduk muslim diwajibkan untuk mempertaruhkan jiwanya dalam mempertahankan negara. Apabila dibandingkan dengan jizyah, umat Islam juga membayar seperti pajak (zakat, infaq, shadaqah). Sebenarnya hal ini jauh lebih mahal dari jizyah, dan juga diwajibkan menunaikan zakat sebesar 2,5% dari semua tabungan tahunan yang dimilikinya.18

3. Kharaj

Secara etimologis kharaj adalah sejenis pajak yang dikeluarkan pada tanah yang ditaklukan dengan kekuatan senjata, terlepas dari apakah si pemilik seorang dibawah umur, seorang dewasa, seorang bebas, budak, muslim maupun non-muslim.19

Kharaj pertama kali diperkenalkan setelah terjadinya perang Khaibar, Ketika Rasulullah SAW membolehkan orang-orang Yahudi

16Abu Hasan al-Mawardi. Al-Ahkam ash-Shulthaniyah Wa al-wilayat al-Diniyat, (Kuwait: Maktabah Daar al-Qutaibah, 1989), h., 187.

17Muhammad Fudhail Rahman: “Sumber-sumber Pendapatan dan Pengeluaran Negara Islam”. Al-Iqtishad Journal of Islamic Economics. UIN Syarif Hidayatullah, Vol. 5 No. 2, (Juli 2013), h., 247.

18Maulana Muhammad Ali, Khulafaur Rasyidin: Kisah Empat Khalifah Rasulullah SAW, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2013), h., 60-61.

19M. Abdul Manan. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1993), h., 250.

40

kembali ketanah milik mereka dengan syarat mau membayar separuh dari hasil panennya kepada pemerintah Islam, yang disebut kharaj.20

Dalam pengertian lain, kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan. Misalnya dengan dikeluarkannya pungutan dari hasil tanah pertanian. Dapat dikatakan pula bahwa kharaj adalah hasil bumi yang dikenakan pajak atas tanah yang dimiliki oleh non-muslim.21

Menurut Imam al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam Shulthaniyyah, Kharaj merupakan uang yang dikenakan atas tanah. Ia termasuk hak yang harus ditunaikan. Keterangan tentang kharaj di dalam al-Quran berbeda dengan jizyah karena pengelolaan kharaj diserahkan kepada ijtihad para imam (khalifah). Allah berfirman dalam surah al-Mu’minun: 72

َ يِقِزَّرلا ُر يَخ َوُهَو ٌر يَخ َكِّبَر ُجاَرَجَف اًج رَخ مُهُلَ ئ سَت مَأ

Artinya: “Atau kamu meminta upah kepada mereka?, maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezeki Yang Paling Baik.”

Abu Amr bin al-Ala’ berkata, “perbedaan antara kata al-kharju dengan al-kharaj adalah kalau al-kharju (upah) digunakan kepada orang, sedangkan kata al-kharaj digunakan kepada tanah.”

Cara memungut kharaj terbagi menjadi dua macam:

a. Kharaj menurut perbandingan (muqasimah) adalah kharaj perbandingan ditetapkan porsi hasil seperti setengah atau sepertiga hasil itu. Umum nya dipungut setiap kali panen.

20Muhammad, Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islami, edisi 1, (Jakarta: Salemba Empat, 2004), h., 200.

21Irfan Mahmud Ra’ana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn Khattab, (Yogyakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h., 119.

41

b. Kharaj tetap (wazifah) adalah beban khusus pada tanah sebanyak hasil alam atau utang persatuan lahan. Kharaj tetap menjadi wajib setelah lampau satu tahun.22

Tarif yang dikenakan pada kharaj dapat berubah-ubah disesuaikan dengan kondisi tanah, namun pada zaman sekarang, ini jarang dipungut lagi. 4. Usyr

Usyr secara bahasa berasal dari kata

اًر وُشُعَو-اًر شَع- ُرُش عَ ي- َرَشَع

yang dapat diartikan sebagai

َذَخَأ

(mengambil) dan

َداَز

(menambah). Sedang secara istilah adalah harta perdagangan yang diambil dari kaum zimmah dan kaum harbi yang melewati perbatasan negara khalifah. Dalam konteks perekonomian modern, Usyr merupakan pajak perdagangan atau bea cukai (pajak impor dan ekspor).23 Usyr dibayarkan hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.24 Tingkat bea yang dibebankan kepada pedagang dzimmi adalah 5% dan pedagang harbi 10 persen, dan kepada pedagang muslim 2,5%.25

Diriwayatkan bahwa orang yang pertama kali menetapkan hukum ‘usyr dalam Islam adalah Amirul Muminin Umar Ibn al-Khattab. Pada masa Rasulullah SAW hidup dan khalifah Abu Bakar as-shiddiq ‘usyr belum diterapkan, hal itu terjadi karena belum banyaknya orang yang melewati negara Islam dan ekspansi/penyebaran agama Islam belum terlalu jauh. Alasan ditetapkan hukum ‘usyr adalah jika tidak ditetapkan atas dagangan orang kafir dari dagangan mereka yang diambil modalnya, maka harga

22M. Abdul Mannan, Teori & Praktek Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1993), h., 250 .

23 Ibrahim Hosen, Hubungan Zakat Pajak dan Pajak di Dalam Islam, dalam Zakat dan

Pajak, ed. Wiwoho dkk, (Jakarta: Yayasan Bina Pembangunan,cet 1, 1991), h., 141.

24Muhammad, Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islami, edisi 1, (Jakarta: Salemba Empat, 2002), h., 200.

25Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Pelajar, cet.2, 2002), h., 32.

42

barang dagangan mereka bisa lebih mahal dibandingkan dengan barang kaum muslimin sendiri. Jadi, salah satu penyebab Amirul Mukminin Umar ibn Khattab menetapkan hukum ijtihadnya, ‘usyr harus diterapkan karena orang-orang kafir yang datang ke negara Islam yang tujuannya berdagang kebanyakan diantara mereka melakukan monopoli perdagangan di daerah Islam, apalagi dalam negara Islam terdapat barang yang sama yang dibawa oleh orang kafir Harbi, maka seiring meninggikan harga dengan tanpa ada pemeriksaan atau memaksakan orang lain dengan harga lebih mahal. Maka ditetapkan ‘usyr dengan tujuan agara modal negara bisa kembali sebagai pemasukan Baitul maal. Semasa Pemerintahan Khalifah Umar, Untuk kelancarannya khalifah Umar menunjuk pejabat-pejabat yang disebut asyir dengan batas-batas wewenang yang jelas. Pajak ini hanya dibayar sekali dalam setahun, sekalipun seorang pedangang memasuki wilayah Arab lebih dari sekali dalam setahun.26 Walaupun kadar ‘usyr sudah ditetapkan tarifnya, namum bea impor dan ekspor adalah termasuk aturan siyasah syariyyah yang diserahkan kepada kebijaksanaan pemerintah demi kemaslahatan umat.27

Kerena ‘usyr digolongkan sebagai pendapatan penuh negara, maka usyr digunakan untuk kepentingan umum secara luas yang dapat digunakan untuk kepentingan umat Muslim maupun non-Muslim.

B. Praktik Kebijakan Pengampunan atau Pembebasan Beban Pajak Pada Sejarah Pemerintahan Islam Klasik

1. Pada Masa Kekhalifahan Umar Ibn Khattab

Dengan memperhatikan karakter pemikirannya, Umar bin Khattab tidak memahami ajaran Islam selain persoalan akidah dan ibadah mahdah

26 Irfan Mahmud Ra’ana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn Khattab, (Yogyakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h., 137-138.

43

kecuali sebagai seperangkat sistem yang bertujuan mewujudkan maslahat. Islam yang dipahaminya sebagai ajaran yang bertujuan mengorganisir kehidupan masyarakat manusia dalam bingkai yang berdiri atas keadilan, kebaikan universal, tolong menolong, mengetahui dan memberikan hak orang lain serta menekan agar setiap orang menunaikan kewajibannya.28

Awal mula berkembangnya persoalan pajak yaitu pada masa khalifah Umar bin Khattab. Sebagai kepala pemerintahan dalam kapasitasnya Umar bin Khattab mampu merumuskan strukurt pajak. Pajak yang diimplementasikannya adalah pajak dalam bentuk zakat, jizyah, khums, kharaj, dan usyr. Tiga bentuk yang pertama sudah diimplementasikan sebelumnya, baik pada masa Rasulullah SAW, maupun pada masa khalifah Abu Bakar. Dua pajak berikutnya kharaj dan usyr diperkenalkan oleh Umar bin Khattab dan merupakan bagian dari pemikiran ekonomi Umar bin Khattab.29

Selama mengemban amanah nya sebagai seorang khalifah, Umar berhasil membuktikan bahwa sistem yang ia terapkan mampu merealisasikan kesejahteraan umat dalam mengembangkan perekonomiannya. Kesuksesan nya ini tentu tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan yang ia terapkan sebagai seorang khalifah dan kepala pemerintahan. Karena Umar menyadari bahwa perekonomian merupakan unsur yang sangat vital. Oleh sebab itu beliau berusahan memajukan perekonomian demi kesejahteraan kehidupan umatnya.

Umar bin Khattab selama mengemban amanahnya menjadi seorang khalifah berhasil membuktikan kehebatan sistem ekonomi Islam dan sistem kesejahteraan Islam yang diajarkan Allah dan Nabi saw. Sehingga pada masa pemerintahannya disebut sebagai masa keemasan dalam sejarah Islam, meskipun hanya dalam kurun waktu 10 tahun, namun dalam periode

28Muhammad Muhammad al-Madani, Nazarat fi Fiqhi al-Faruq Umar Ibnu Khattab, (Kairo: Wizaratu al-Auqaf), 2005, h., 14 .

29Yadi Janwari, Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Masa Rasulullah Hingga Masa

44

singkat tersebut negara Islam mengalami kemakmuran yang sangat pesat. Hal yang belum pernah disaksikan oleh bangsa Arab sebelumnya.30

Umar bin Khattab menciptakan ketentuan ekonomi yang sesuai dengan kemaslahatan negara. Keberhasilan yang dicapai di masa pemerintahan Umar bin Khattab, banyak ditentukan oleh berbagai kebijakan dalam mengatur dan menerapkan sistem pemerintahannya. Kualitas pribadi dan seperangkat pendukung menjadi andil yang besar dalam keberlangsungan kepemimpinan Umar bin Khattab. Kebijakan tersebut dapat dikenal dengan kebijakan ekonomi secara umum.

Beberapa hal penting yang perlu diketahui berkaitan tentang kebijakan ekonomi Umar bin Khattab dintaranya yaitu, Umar memberikan keringanan jizyah kepada kaum duafa dan laki-laki yang telah uzur usia yang tidak bekerja dan kalangan non-muslim dan melakukan desentralisasi zakat diseluruh wilayah. Kewajiban kaum minoritas untuk membayar jizyah merupakan konsekuensi logis dan yuridis karena mereka hidup dan dilindungi di wilayah Islam. Jizyah merupakan iuran negara yang diwajibkan atas orang-orang ahli kitab sebagai imbalan bagi usaha membela mereka dan melindungi mereka atau sebagai imbalan bahwa mereka memperoleh apa yang diperoleh orang-orang Islam sendiri, baik dalam kemerdekaan diri, pemeliharaan harta, kehormatan dan agama.31

Implementasi pembayaran jizyah tersebut sangat fleksibel bahkan meringankan kaum minoritas. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ketika wilayah Islam semakin luas, jumlah jizyah diberikan batasan: 1. Orang-orang kaya dikenakan sebesar 48 dirham setiap tahun. 2. Golongan menengah, dikenakan sebesar 24 dirham setiap tahun.

30Karnaen A. Perwataatmaja dan Anis Byarwati, Jejak Rekam Ekonomi Islam, Cet. 1, (Jakarta: Cicero Pablishing, 2008), h., 70.

31A. Jazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu

45

3. Golongan miskin tapi sanggup bekerja, dikenakan sebanyak 12 dirham setiap tahun.32

Selain golongan tersebut, beban jizyah diberikan kebebasan pada golongan lain, diantaranya yaitu kaum perempuan, laki-laki yang belum dewasa, orang tua, orang sakit, orang miskin, para pendeta dan rahib, serta semua laki-laki dewasa yang menjadi tantara.33

Terkait dengan kebijakan pajak, Umar bin Khattab tetap mempertahankan struktur arus keluar masuk devisa yang sudah dikenal sejak zaman Rasulullah dengan berbagai macam penyempurnaan sesuai dengan perkembangan masyarakat pada saat itu. Kebijakan fiskal telah memberikan dampak positif terhadap tingkat investasi dan penawaran sekaligus berpengaruh pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. 2. Pada Masa Kekhalifahan Umar Ibn Abdul Aziz

Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz memprioritaskan pembangunan dalam negri. Menurutnya, memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan pembangunan dalam negara-negara Islam adalah lebih baik daripada menambah perluasan wilayah. Dalam rangka ha ini pula, ia menjaga hubungan baik dengan pihak oposisi dan memberikan hak kebebasan beribadah kepada penganut agama lain.34

Khalifah Umar juga menggunakan strategi pemikiran tersendiri untuk memberikan jaminan kemasyarakatan, jaminan-jaminan ini ditujukan kepada semuanya tanpa pilih kasih, pria, wanita, anak-anak, fakir, jompo, sakit dan juga kaum musafir. Tanpa memandang mereka muslim atau tidak. Baik orang Arab atau bukan. Ia juga mendirikan rumah makan khusus para fakir miskin. Sementara itu, jika terdapata kelebihan harta setelah digunakan memenuhi kebutuhan kaum muslim, pendapatan Baitul Maal

32Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, (Nanggroe Aceh Darussalam: Logos Wacana Ilmu, 2003), h., 68.

33Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, (Nanggroe Aceh Darussalam: Logos Wacana Ilmu, 2003) h., 69.

46

didistribusikan kepada orang-orang zimmi. Tidak hanya itu, kaum zimmi itu juga diberikan pinjaman tanah-tanah pertanian sebagai lahan pencaharian mereka.35

Dalam melakukan berbagai kebijakan, Khalifah Umar Ibn Abdul

Dokumen terkait