• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM BUDAYA MASYARAKAT MELAYU

2.8 Seni Teater atau Drama Tradisional

2.8.1 Teater makyong

Makyong merupakan teater tradisonal Melayu yang terdapat di Sumatera Timur, dan juga di Malaysia. Makyong meiliki unsur- unsur didalamnya. Makyong

berangkat dari seni tari rakyat seperti joget, tandak, dan ronggeng Melayu. Beberapa pendapat mengatakan bahwa ronggeng berfungi tidak hanya semata sebagai pelipur lara, melainkan memiliki makna spiritual.

Seperti apa yang dikatakan oleh Mubin Sheppard (1974), kesenian makyong jika di hubungkan dengan namanya adalah bentuk kesenian yang dikaitkan dengan bentuk pemujaan Ma’ Hyang atau the Mother Spirit yang sebetulnya merupakan bentuk pemujaan masyarakat yang berkebudayaan padi dan beras, ini dapat di kaitkan dengan Dewi Sri yang sudah kita kenal sebagai dewi padi. Di samping itu kata Hyang mengingatkan kita pada Sang Hyang yang kita jumpai pada kebudayaan Hindu di Bali dan orang Dayak di Kalimantan Tengah. Dengan demikian dapat di mengerti bahwa di dalam kesenian makyong terdapat nilai spiritual, tapi tak pernah disadari dan dikembangkan untuk kegunaan masa kini.

Persembahan makyong biasanya dibuka dengan lagu menghadap rebab yang diikuti dengan tarian, lakonan dan musik pendukung. Makyong ini banyak di perankan oleh kaum wanita dan ceritanya berasaskan cerita rakyat tradisi denagn watak raja, dewa dan pelawak. Alat musik yang digunakan dalam tetaer ini adalah rebab, gendang dus sisi, dan tetawak.

2.5.1 Teater Menora

Teater menora berasal dari Siam Selatan yang di dalamnya terdapat unsur Budisme. Teater Menora merupakan kebalikan dari dari makyong, pada menora ini semua pemain adalah laki-laki atau diperankan oleh seorang banci yang cantik dengan

rambut panjang yang terurai. Menurut Abdul Samat yang beraasal dari Siam Selatan, bahwa menora merupakan nama pahlawan dalam cerita-cerita Jatataka yang bernama Manchara.

2.5.2 Teater Mendu

Merupakan teater tradisonal Melayu yang oleh sementara pihak menanggap bahwa kesenian ini diilhami oleh Wayang Farsi yang dibawa oleh orang India ke jajahan Inggris di Penang pada tahun 1870-an, yang mulanya memakai bahasa India, kemudian membawa cerita-cerita yang bersasal dari Persia dan Timur Tengah.

Jumlah pemain dalam teater ini sedikitnya sebanyak 44 orang yang utama adalah: Raja Majusi, 3 orang Mentri pendampingnya yaitu Raja Beruk, Raja Laksemanik, Raja Langkadura, yang masing-masing dengan tiga mentri pendampingnya pula. Kemudia ada lagi anak muda (Dewa Mendu), Angkara Dewa, dan Semadu Dewa. Sedangkan pemain wanita dalah Siti Mahadewi dan permaisuri dan banyak lagi. Ketika setiap penggalan cerita akan dimainkan melaului madah yaitu prolog yang mengai cerita yang akan dimainkan yang di pimpin oleh Syekh yang bertindak sebagai sutradara.

Pertunjukan teater Mendu ini dimulai dengan Ladun, semacam tarian melingkar seperti randai, menari keliling sambil bernyanyi bersama-sama. Selesai berladun dan beriwayat, kemudian barulah mereka melakonkan cerita, yang biasanya ceritanya di penggal-penggal dalam beberapa episode.

Alat musik yang dipakai dalam teater ini rebab, dua buah gendang panjang, tetabuhan, gong, breng-breng, dan vokal. Sebelum pertunjukan di mulai ada juga upacara mantra dan tepung tawar untuk mengusir roh dab hantu. Jembalang Tanah. Teater mendu ini berkembang di Sumtera Timur sejak abad ke-20.

2.5.3 Teater Bangsawan

Dari teater Mendu, maka lahirlah opera Melayu yang lebih ke arah modern yang disebut Bangsawan atau Dul Muluk. Nama Dul Muluk itu sendiri yaitu merupakan pimpinan rombongan teater bangsawan yang mula-mula datang ke daerah Stambul pada tahun 1890-an. Sedangkan nama Bangsawan berasal dari kata bangsa dan wan, yang berari ingin mengetengahkan kepahlawanan orang berbangasa. Masa kejayaan teater ini antara tahun 1920-1935.

Dalam teater ini terdapat peran-peran utama antara lain: (1) Sri Panggung Wanita (2) Anak Muda atau Hero, (3) Pelawak (komedian), (4) Jin Afrit yang jahat. Cerita ini dipenuhi dengan tarian dan nyanyian. Terutama pada Sri Panggung wanita dan anak muda haruslah berparas cantik, tampan dan pandai bernyanyi pula. Di samping itu, dalam teater ini harus memiliki layar atau background panggung yang berbeda-beda antara lain: layar pemandangan hutan, interior istana, rumah gubuk, pemandangan taman, scene jalan raya, dan sebagainya. Para pelakon juga akan memakai kostum yang berbeda sesuai dengan watak dan lakon yang diperankan. Cerita-cerita Bangsawan yang sangat terkenal pada masa itu adalah Jula Juli Bintang

Uniknya pada teater ini tidak melibatkan menggunakan skrip atau naskah, para pelakon hanya menuturkan dialog-dialog secara spontanitas dan ada kalanya melakukan impropisasi sesuai dengan jalur cerita yang diarahkan oleh sutradara. Itulah yang mebuat daya tarik utama penonton untuk menonton pementasan tersebut.

Karena teater ini merupakan persembahan gabungan antara drama tradisional dengan modern, begitu pula dengan alat musik yang dipakai antara lain: Gendang ronggeng, biola, akordion, saksofon, drum, untuk mengiringi nyanyian. Teater ini begitu populer dan banyak diminati oleh berbagai kalangan masyarakat.

Di antara teater-teater tradisional Melayu ini, dalam berbagai tempat ceritanya, adakalanya menyisipkan lagu-lagu zapin. Berdasarkan pengaaman berkesenian penulis, teater makyong di Serdang dan Deli menyisipkan lagu zapin Serdang dan Zapin Deli.

2.9 Bahasa

Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang dipakai masyarakat sebagai alat komunikasi. Di dalam komunikasi itu terdapat kaidah, aturan, dan pola-pola yang di bentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Bahasa juga merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia , karena tanpa adanya bahasa, manusia tidak akan dapat berkomunikasi antara sesamanya.

Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dahulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca),

Rumpun bahasa Melayu sangat tersebar luas meliputi berbagai kawasan di Asia Tenggara. Bahasa-bahasa suku bangsa di Indonesia termasuk bahasa Melayu, dalam khanazah kebahasan umumnya disebut dengan bahasa Nusantara. Bahasa Melayu dahulu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antar suku di Nusantara dan dipakai sebagai bahasa perdagangan. Sejarah bahasa Melayu dapat kita lihat dari penemuan naskah-naskah Melayu Kuno.

Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa teruma bahasa Sansakerta, bahasa Persia, dan bahasa-bahasa Eropa. Selanjutnya oleh para Pemuda Indonesia yang pada saat itu tergabung dalam suatu organisasi pemuda, mengangakat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan, yang tertuang dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

Dalam bahasa Melayu, ada beberapa pokok mengenai kajian latar belakang, sistem dan keberadaan linguistik bahasa Melayu yaitu sebagai berikut:

1. Bahasa Melayu merupakan alat untuk mengekspresikan harapan, kehendak, cita- cita dan sebagainya, baik mengenai alam maupun lingkungan sekitar.

2. Bahasa Melayu jika dilihat dari sudut pandang falsafah, diklasifikasikan sebagai bahasa yang memiliki dasar atau akar mitologis (mytological root/descent) yaitu bahasa yang bercirikan bahasa tradisi dan bahasa yang memiliki pesan-pesan moral serta keadaan yang Islami.

3. Di dalam bahasa Melayu terdapat hubungan akrab saling ketergantungan antara bahasa dengan budaya, adat-istiadat dan tradisi Melayu.

4. Bahasa Melayu berfungsi sebagai salah satu penanda utama budaya Melayu (principal marker) melalui bahasa Melayu dimensi konkrit budaya Melayu dapat diekspresikan atau dengan kata lain dapat difungsikan sebagai pengungkap solidaritas dan identitas kelompok.

5. Bahasa Melayu dianggap sebagai suatu sistem arbitrer (terdapat hubungan antara makna dengan bentuk) yang pada perkembangannya memiliki variasi eksternal dan internal. Secara eksternal terdapat variasi ujaran pada fonem tertentu, maupun beda kata untuk makna leksikal yang sama. Contoh : kata alhamdulillah lebih dibudayakan dari pada terima kasih, dan assalamualaikum lebih dianjurkan dari pada mengucapkan selamat pagi/siang/malam.

6. Budaya, adat-istiadat dan tradisi Melayu memprioritaskan untuk seseorang berharkat, bermartabat dan berterima oleh keluarga dan masyarakat sekitarnya. Penekanan tercermin dalam ungkapan sebagai pembina kepribadian seseorang (mode of action) dan bahasa Melayu berperan sebagai media penyampaian pesan- pesan moral berlandaskan ajaran agama dan adat-istiadat yang bernuansa keIslaman.

7. Penggunaan bahasa Melayu memiliki pilihan kata dan ungkapan pemeliharaan tutur kata secara lembut. Sikap berbahasanya selalu berlandaskan dengan memprioritaskan kesopansantunan dan seringkali diiringi gerak kinetik (suatu syarat yang berhubungan atau merupakan hasil gerak tubuh).

8. Bahasa juga memiliki makna yang sama seperti bahasa lainnya, Dalam hal peringkat sinonim, hiponim, polisemi, dan antonym. Contohnya : kata molek, pada

peringkat sinonim sejajar dengan kata seperti cantik, menarik dan syur. Akan tetapi variasi penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya, contoh : “Empuan

tu molek” hanya dapat bervariasi dengan cantik dan menarik. Namun demikian,

berbeda konteksnya dengan kata syur karena dalam konteks “Empuan tu syur” maknanya akan bergeser menjadi membangkitkan selera.

9. Bahasa Melayu juga memiliki pemahaman tersendiri dari sudut penanda beda jenis kelamin (gender marker) dalam istilah kekerabatan. Bagi masyarakat Melayu kata kekerabatan ditentukan kedalam beberapa spesifikasi yaitu :

a. Penanda berdasarkan urutan kelahiran (birth order) seperti (U) lung, (Te) ngah,

Tok Ucu (Bungsu) sehingga terdapat pembentukan seperti Bah Lung, Wak Uteh, Tok Ucu, dan sebagainya.

b. Penanda berdasarkan nama singkatan seseorang contoh: Ban Am (Aban Amin),

Wak Ucup (Wak Yusuf), Tok Zen (Atok Zainal).

c. Penanda berdasarkan bentuk fisik atau warna kulit contoh: Tok Tam (Atok

Hitam), Wak Endek (Wak Pendek), dan sebagainya.

d. Penanda berdasarkan nama tempat, baik tempat kelahiran daerah asal, tempat tinggal sebenarnya dan sebagainya, contoh : Wak Simpang (Wak dari Simpang

Tiga).

10. Bahasa Melayu memiliki untaian kata, ungkapan, petatah-petitih baik secara lisan maupun tulisan yang biasa diungkapkan dalam bentuk pantun untuk menyampaikan pesan moral dan etika bagi seseorang untuk bermanis budi bahasa, indah budi pekerti dan memiliki rasa pengendalian diri.

Contoh:

Jangan suka mematahkan parang,

Tangan luka gagangnya rusak,

Jangan suka menyusahkan orang,

Tuhan murka orang pun muak.

Dari latar belakang bahasa Melayu di atas, maka dapat dilihat ekspresi bahasa tersebut di dalam sistem sosial yang menggambarkan psikologis orang Melayu yang terkait dengan cakupan emosi, estetika, alasan moral, logika dan rasionalisme yang salin terjalin erat (Luckman 2002:111)

Seni zapin karya-karya Zul Alinur, kesemuanya menggunakan bahasa Melayu, dibumbui dengan beberapa diksi yang berasal dari bahasa Arab. Dengan demikian lagu-lagu karya Zul Alinur ini lebih mengekspresikan budaya dan baasa Melayu, khususnya yang berdasar kepada kawasan Melayu Sumatera Utara.

2.10 Upacara-upacara

Masyarakat Melayu memiliki banyak sekali upacara-upacara tradisional yang masih didijalankan sampai sekarang ini. Upacara tradisional Melayu itu meliputi keseluruhan siklus kehidupan orang Melayu itu sendiri yang di mulai sejak dalam kandungan, kelahiran, anak-anak, remaja, dewasa, berumah tangga hingga meninggal dunia. Biasanya dalam menjalankan upacara-upacara tradisional, masyarakat Melayu mengundang sanak saudara, kerabat dekat, jiran tetangga, dengan jamuan makan

bersama. Itu semua di atur oleh adat yang telah di sepakati oleh petuah Melayu terdahulu dan tata nilai luhur, yang kemudian di wariskan secara turun menurun hingga samapi sekarang.

Adapan upacara-upacara tradisional melayu antara lain: a. Pada saat anak lahir,

b. Turun ke sungai, bercukur, dan mengayun, c. Berkhatan atau sunat Rasul,

d. Penabalan putera mahkota (Tengku Besar), e. Upacara Pernikahan,

f. Upacara-upacara untuk melakukan perkerjaan baik berburu, menanam padi, dan mencari ikan, dan lain-lain.

Dalam konteks sejarah Islam, seni zapin paling sering digunakan untuk memeriahkan suasana pesta perkawinan. Upacara pesta perkawinan adat Melayu ini menggunakan beberapa tahapan seperti, merisik, meminang, mebghantar pengantin, hempang batang, hempang kipas, hempang pintu, bersanding, mandi bedimbar, dan lainnya. Zapin biasanya menjadi bahagian dari upacara utama pernikahan adat Melayu. Selain itu zapin juga digunakan untk upacara khitanan, menyambut hari besar Islam, meyambut tetamu, dan lainnya. Dengan demikian zapin menjadi bahagian yang integral dalam adat Melayu.

2.11 Minangkabau

Ibu Zul Alinur, yang bernama Rosmiar, adalah seorang ynag bersuku (etnik) Minangkabau. Bagaimanapun dalam diri Zul Alinur mengalir darah dan jiwa Minangkabau. Selain itu, dalam rangka menapaki dunia kesenian, Zul Alinur awalnya masuk ke dalam sanggar seni Minangkabau di Medan, yaitu Sanggar Tigo Sapilin, yang dipimpin oleh Bapak Abu Bakar Sidik, yang juga sebagai orang Minangkabau, yang lahir dan besar di Kota Medan (selanjutnya lebih rinci lihat di Bab IV bahagian biografi).

Menurut keterangan Zul Alinur sendiri, berbagai konsep budaya Minangkabau diterapkan dalam kehidupannya dan juga diaplikasikan ke dalam seni yang ditekuninya. Termasuk juga dalam seni zapin yang diciptakan atau dikreasikannya. Ia mengamalkan filsafat budaya Minangkabau seperti alam takambang manjadi guru, yang juga dilandasi ajaran Islam bahwa manusia harus selalu membaca (iqra’) sekelilingnya secara mikrokosmos maupun makrokosmos.

Zul Alinur juga belajar bahasa dan budaya Minangkabau, terutama kepada guru awalnya yaitu Hazijar. Dari beliau ini pula Zul Alinur belajar bermusik Minangkabau dan budaya Minangkabau secara umumnya. Zul Alinur juga belajar teori musik dari Uda Hajizar. Oleh karenanya, Zul Alinur dapat menulis ciptaannya dengan menggunakan notasi angka seperti yang diajarkan Hajizar. Dalam menggarap dan menciptakan lagu-lagu zapin, Zul Alinur juga memasukkan unsur-unsur musik

Minangkabau seperti memasukkan alat musik dol dan beberapa gaya musik Minangkabau, seperti gariniak, harmoni, dan pantun-pantunnya.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka alangkah baiknya dideskripsikan latar belakang budaya Minangkabau. Begitu juga interaksi dan hubungan antara budaya Minangkabau dan Melayu, sebagai latar belakang kehidupan Zul Alinur.

Menurut Adam, daerah suku bangsa Minangkabau ditandai dengan masyarakatnya yang menganut adat-istiadat Minangkabau, yang umumnya bermukim di Pulau Sumatera bahagian tengah, meliputi Provinsi Sumatera Barat (tidak termasuk Mentawai), sebahagian hulu sungai Rokan, Kampar, dan Kuantan di Provinsi Riau, Batang Tebo, dan Muara Bungo di Provinsi Jambi serta hulu sungai Merangin dan Muko-muko di Provinsi Bengkulu (Boestanoel Arifin Adam, 1970).

Penghulu mengatakan bahwa daerah Minangkabau terdiri dari: (1) darek, (2) pasisie, dan (3) rantau. Secara tradisonal, masyarakat Minangkabau mempunyai dua wilayah pemerintahan adat. Pembahagian ini disesuaikan dengan kondisi masa Kerajaan Pagaruyung masih berdiri, yaitu luhak dan rantau. Daerah

darek dikenal sebagai luhak nan tigo yang terdiri dari: (1) Luhak Tanah Data, (2)

Luhak Agam, dan (3) Luhak Limo Puluah Koto. Ada keterkaitan erat di antara

luhak dan rantau (Penghulu 1978:12).

Berdasarkan mitologi yang terdapat di dalam tambo Minangkabau, pada mulanya luhak hidup secara berkelompok pada daerah-daerah kecil yang bersifat kesatuan teritorial, bernama nagari. Nagari-nagari inilah yang merupakan daerah

asal penduduk rantau. Setiap nagari sekurang-kurangnya ditempati oleh empat suku (klen) yang terdiri dari Bodi, Chaniago, Koto, dan Piliang.

Orang-orang Minangkabau mempunyai mitos yang menceritakan bahwa mereka berasal dari puncak gunung Merapi, seperti yang dikemukakan Junus:

Umumnya orang Minangkabau mencoba menghubungkan keturunan mereka dengan suatu tempat, yaitu Periangan Padang Panjang. Mereka beranggapan bahwa nenek moyang mereka berpindah dari tempat itu dan kemudian menyebar ke daerah penyeberangan yang ada sekarang. Hal ini mungkin dapat dihubungkan dengan dongeng tentang nenek moyang orang Minangkabau yang berasal dari gunung Merapi ketika gunung itu masih kecil (Umar Junus 1971:241).

Adat istiadat Minangkabau, sebagaimana pula Melayu, terdiri dari empat klasifikasi: (1) adat nan sabana adat, (2) adat nan diadatkan, (3) adat nan taradat, dan (4) adat istiadat. Konsep adat mereka, sebagai landasan tertinggi adalah syariat Islam, seperti konsep: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, syarak

mangato, adat mamakai (Penghulu 1978:105).

Ciri khas budaya Minangkabau adalah sistem sosial kemasyarakatan yang berdasar pada garis keturunan ibu (matrilineal). Inilah yang biasanya dianggap sebagai salah satu unsur yang memberi identitas kepada kebudayaan Minangkabau terutama yang dipopulerkan oleh roman-roman Balai Pustaka, pada awal abad kedua puluh.

Orang Minangkabau sering merantau, yaitu bermigrasi ke rantau. Istilah

rantau boleh diartikan sebagai dataran rendah atau daerah aliran sungai (Mochtar

meninggalkan kampung halaman yang terletak di dataran tinggi. Akan tetapi, kini istilah rantau tidak hanya terbatas kepada daerah rendah atau daerah aliran sungai, melainkan juga sudah berkonotasi dengan daerah luar kampung halaman mereka. Kebiasaan merantau ini sangat besar pengaruh dan peranannya dari segi sosial dan ekonomi masyarakat Minangkabau.

Unsur-unsur pokok yang dikandung kata merantau adalah meninggalkan kampung halaman, dengan kemahuan sendiri, dalam jangka waktu yang lama atau tidak lama, untuk mencari tingkat ekonomi yang lebih baik, menuntut ilmu, atau memperluas pengalaman. Pada saatnya mereka pulang. Merantau adalah bahagian dari budaya Minangkabau. Orang yang merantau bukan meninggalkan susunan sosial, tetapi untuk memperkuatnya. Bermukim di rantau hanya salah satu cara untuk mencari tujuan. Para migran di rantau diharapkan menemukan identitas sendiri, dalam menghadapi pelbagai kebudayaan dan susunan sosial lain. Para perantau dari Minangkabau biasanya lebih menyadari akan pentingnya kerukunan, senasib, dan sepenanggungan, dibanding mereka yang berada di kampung halaman (Mochtar Naim 1984:3).

Migrasi orang Minangkabau ke Sumatera Timur (Sumatera Utara sekarang), baharu mulai pada akhir abad kesembilan belas, ketika perkebunan-perkebunan besar asing mulai dibuka (Mochtar Naim 1984:97). Kebanyakan mereka bukan bekerja sebagai buruh perkebunan, melainkan menjajakan barang dagangannya dari perkebunan yang satu ke perkebunan yang lain, atau menetap di kota-kota di Sumatera Timur untuk berdagang. Sesudah Revolusi Kemerdekaan berakhir, arus

migrasi orang Minangkabau bertambah dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya. Terutama sewaktu berlangsungnya pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) terjadi arus migrasi yang paling besar (Mochtar Naim 1984:97). Dalam konteks ini, ibundanya Zul Alinur merantau ke wilayah Deli pada pertengahan abad kedua puluh dan berjodoh dengan ayahnya seorang Melayu dari Batubara. Kawasan Batubara ini sendiri sejak awal menjadi daerah baru orang-orang Minangkabau sejak zaman Pagarruyung. Bahkan nama-nama kawasan di Batubara juga memperuat adanya hubungan dengan Minangkabau, seperti Kota Lima Puluh, Lima Laras, Luhak, dan lain-lainnya.

Jika kita lihat jenis pekerjaan perantau Minangkabau, yang dominan adalah pedagang eceran sampai grosir, usaha penjahitan, rumah makan Minangkabau/ Melayu, menjajakan sate Padang, industri kerajinan pakaian jadi; yang bersaing dengan orang Tionghoa atau menggantikan kedudukan orang Cina yang sudah naik tingkat ekonominya. Selain pekerjaan-pekerjaan itu, usaha percetakan, usaha penerbitan, tokoh buku, toko alat tulis, dan bidang kewartawanan ditangani oleh orang Minangkabau dalam persentase yang lebih tinggi, terutama sebelum perang kemerdekaan. Pegawai tinggi, guru-guru sekolah, dosen, serta mahasiswa di Sumatera Utara banyak daripada Sumatera Barat. Oleh kerana perkembangan pendidikan di Sumatera Barat mendahului daerah Sumatera Timur di bawah pemerintahan Hindia-Belanda, maka para migran Sumatera Barat diterima di kantor-kantor pemerintah atau usaha-usaha swasta sebagai pegawai, guru, juru tulis, ahli mesin, dan sebagainya.

Dalam pergerakan kebangsaan (nasionalisme), orang Minangkabau memainkan peranan penting di rantau. Hal ini kerana mereka tinggi kesedarannya atas agama Islam dan giat menggabungkan diri ke dalam organisasi sosial dan partai politik yang progresif, terutama di Muhammadiyah dan Masyumi. Kini berubah ke dalam Partai Amanat Nasional atau Partai Matahari Bangsa.

Para perantau Minangkabau di Sumatera Timur berkelompok pula menurut tempat asalnya seperti sekampung, seluhak seperti wilayah Pariaman, Maninjau, Batu Sangkar, Pasaman, dan lain-lain. Bertujuan demi menanggulangi masalah yang bersangkutan dengan kerukunan dan adat mereka.

Orang-orang Minangkabau dan Melayu sejak awalnya juga sadar tentang persamaan-persamaan budaya mereka. Daerah Negeri Sembilan di Semenanjung Malaysia termasuk ke dalam daerah rantau Minangkabau. Bekas Yang di-Pertuan Agong Malaysia, Tuanku Za'farsyah, adalah keturunan Minangkabau. Tidak jarang pula orang Minangkabau menyebutkan dirinya sebagai Melayu Minangkabau. Diperkirakan orang-orang Melayu Deli, Serdang, dan Langkat berasal dari pembauran etnik Minangkabau serta Johor (Ratna 1990:45).

Bukti lain adanya hubungan di antara Minangkabau dengan Melayu Sumatera Utara ini dapat dilihat dari dialek yang dipergunakan oleh masyarakat Melayu di Asahan dan Batubara Sumatera Utara mirip dengan bahasa Minangkabau. Selain itu nama-nama tempat di Batubara dan Asahan ada yang sama dengan nama-nama tempat di Minangkabau, seperti Lima Laras, Pesisir, dan Kota Lima Puluh.

Para seniman dan intelektual tari tradisi dan garapan baru Melayu Sumatera Timur banyak juga yang berasal dari etnik Minangkabau, seperti Dra. Dilinar Adlin, Syainul Irwan, S.H., M.Si.; Yusnizar Heniwaty, SST., M.Hum.; Arifni Netriroza, SST., M.A.; dan lainnya. Bahkan seorang pengusaha Minangkabau di Medan, yang mengelola Hotel Garuda Plaza di Jalan Si Singamangaraja, memasukkan musik ronggeng sebagai salah satu acara hiburannya. Lagu dari Minangkabau yang populer bagi masyarakat Sumatera Utara, yang dipergunakan pada seni ronggeng Melayu adalah lagu Haji Lahore dan Babendi-bendi.

Dengan demikian terjadi hubungan budaya dan darah anara etnik Melayu di Sumatera Utara dengan etnik Minangkabau, terutama mereka yang telah tinggal dan menetap di kawasan ini, dan kemudian menyerap dan menggunakan budaya Melayu Sumatera Utara. Termasuk di antaranya Zul Alinur yang secara keturunan berdarah

Dokumen terkait