• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN POLITIK

2.1 Yakuza

2.1.2 Kelompok-Kelompok Yakuza

2.1.2.2 Tekiya

Kelompok kedua dalam yakuza adalah tekiya atau pedagang keliling. Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan asal-usul tekiya. Ada yang percaya bahwa tekiya berasal dari para nomad yang berkeliling menjual barang dagangan di kota-kota kastil dan pusat perdagangan. Ada juga teori lain yang menyebutkan bahwa tekiya berasal dari kata yashi, yaitu istilah yang dulu digunakan untuk menyebut pedagang keliling. Karena yashi berkonotasi dengan bandit atau penjahat, kemungkinan tekiya berasal dari para ronin pelanggar hukum yang berkelana di desa-desa.

Ada juga teori yang mengkaitkan tekiya dengan dewa Shinno, yaitu dewa pelindung yashi. Dewa Shinno adalah dewa pertanian dalam mitologi Cina yang dipercaya menemukan obat-obatan untuk menolong orang miskin dan orang sakit. Teori tersebut menyebutkan bahwa yashi adalah sekelompok pedagang obat keliling. Kata shi berarti obat dan ya berarti pedagang atau pedagang keliling. Seiring waktu, istilah yashi menjadi sebutan umum bagi pedagang keliling yang menjual barang apa saja.

Pada pertengahan tahun 1700-an, tekiya membentuk kelompok-kelompok atas dasar kepentingan bersama sekaligus untuk melindungi diri dari ancaman pemerintahan Tokugawa. Geng- geng tekiya mampu mengendalikan kios-kios pekan raya yang diadakan di kuil Shinto maupun kuil Buddha. Mereka mempunyai reputasi menjual barang-barang bermutu rendah dan suka menipu ketika menjual dagangannya. Hal ini masih bertahan sampai sekarang di kalangan anggota tekiya.

Para tekiya awal mengembangkan banyak teknik yang terbukti mampu mengelabui pembeli. Misalnya berbohong tentang kualitas dan asal- usul produk, pura-pura mabuk dan bertingkah seolah-olah menjual barang dengan harga murah sehingga pembeli percaya kalau si pedagang tidak sadar dengan apa yang ia lakukan, atau menipu pembeli dengan trik-trik kreatif seperti menjal bonsai tanpa akar.

Tekiya dikelola sesuai dengan status feodal. Anggota tekiya terbagi dalam lima tingkatan, yaitu bos besar atau oyabun, bos kecil, perwira, prajurit, dan pemagang. Dalam beberapa hal, tekiya beroperasi secara canggih. Rumah oyabun berfungsi sebagai markas besar sekaligus pusat pelatihan anggota baru. Para anggota baru mengawali karier dengan cara tinggal di rumah bos besar dan mempelajari bisnis. Nantinya, mereka akan bergabung dengan para prajurit dan harus berkeliling manjajakan barang dagangan si bos ke desa-desa. Jika kembali dengan membawa hasil yang baik, mereka akan diterima sebagai anggota penuh.

Tekiya memiliki tiga perintah atau aturan organisasi yaitu tidak boleh menyentuh istri anggota lain, tidak boleh membuka rahasia organisasi kepada polisi, dan wajib menjaga kesetiaan dalam hubungan oyabun-kobun. Bos besar tidak hanya bertugas mengendalikan kobun, tetapi juga mengalokasi kios dan stok barang tertentu. Ia akan mengumpulkan uang sewa dan iuran perlindungan bagi para pemilik kios yang menyewa. Uang sewa dan iuran perlindungan merupakan bentuk pemerasan yang masih berlangsung sampai sekarang. Bos tekiya menuntut pembayaran dari pedagang di pinggir jalan karena mereka sudah diizinkan membuka kios di wilayah kekuasaan tekiya. Mereka yang tidak mau membayar akan kehilangan barang dagangannya, konsumennya diusir, dan beresiko diserang

secara fisik oleh para anggota geng yang ingin mempertahankan monopoli mereka di wilayah tersebut.

Perbedaan pendapat antarbos tekiya mengenai daerah kekuasaan sering mengarah pada perkelahian. Walaupun demikian, kerjasama yang cukup baik dapat tercipta di antara geng tekiya. Tidak seperti bakuto, umumnya tekiya melakukan pekerjaan yang sah secara hukum. Bahkan penguasa feodal memperbesar rentang kekuasaan bos tekiya dengan memberikan pengakuan resmi atas status mereka pada tahun 1735-1740. Demi mengurangi kecurangan diantara para tekiya dan mencegah terjadinya tawuran memperebutkan wilayah kekuasaan, pemerintah Tokugawa menunjuk sejumlah oyabun sebagai rekanan dan memberikan kehormatan berupa nama keluarga dan dua bilah pedang. Hal itu menyimbolkan bahwa status mereka mendekati samurai.

Dengan legitimasi yang diberikan pemerintahan Tokugawa dan diiringi pertumbuhan kota yang sangat pesat hingga satu abad kemudian, geng-geng tekiya turut meluas. Beberapa geng mulai mengorganisasi sendiri pekan raya tambahan. Mereka menyelenggarakan festival me nyerupai sirkus, diiringi berbagai pertunjukan menarik serta kios-kios yang menjual makanan, cinderamata, perlengkapan rumah tangga, dan apapun yang bisa menarik perhatian pembeli.

Meskipun sudah mendapatkan legitimasi, geng- geng tekiya tetap mengembangkan beberapa karakteristik geng kriminal. Contohnya, memasukkan penjahat dan buronan kedalam jaringan mereka yang luas atau perlindungan terhadap bisnis ilegal yang semakin berkembang seiring dengan bertambahnya daerah kekuasaan. Tawuran antargeng bahkan kerap mengubah tempat pertemuan tekiya menjadi kamp bersenjata.

Walaupun pada umumnya tekiya memiliki anggota dari golongan yang sama dengan bakuto, kelompok tekiya awal juga mencari anggota dari orang- orang kelas buangan pada masa Jepang tradisional. Mereka adalah para burakumin atau ‘orang dusun’ yang membentuk kasta terpisah. Defenisi mengenai kelas burakumin tergantung pada situasi. Umumnya kelas burakumin diisi oleh orang-orang yang bekerja dengan bangkai binatang seperti penyamak kulit atau pekerjaan sejenis seperti perawat jenazah. Diskriminasi terhadap kaum burakumin sangat kejam dan berlangsung terus- menerus. Biasanya mereka disebut sebagai eta (sangat kotor) atau hinin (bukan manusia) sehingga baik samurai bahkan rakyat jelata pun diizinkan menyiksa burakumin. Dalam bukunya yang berjudul Peasants, Rebels and Outcasts, sejarawan Mikiso Hane menggambarkan kondisi kehidupan burakumin:

Mereka dibatasi mulai dari tempat tinggal, kualitas rumah, mobilitas keluar-masuk desa, pakaian, gaya rambut, bahkan alas kaki. Di beberapa daerah mereka harus mengenakan tanda pengenal khusus, seperti kerah kuning. Mereka dilarang memasuki kuil Shinto maupun Buddha yang diperuntukkan bagi komunitas non-eta. Pernikahan dengan kelas lain juga sangat dilarang (Hane dalam Kaplan & Alec Dubro, 2011:12)

Di bawah pemerintaha Tokugawa, siapapun yang melanggar hukum atau adat akan diturunkan statusnya menjadi eta atau hinin. Dengan demikian, beberapa anggota tekiya sudah lebih dulu dicap bukan manusia. Pada waktu yang bersamaan, banyak orang yang lahir dari keluarga burakumin bergabung dengan geng tekiya yang menyediakan jalan keluar dari kemiskinan.

Berjualan keliling desa setidaknya memberikan kesempatan bagi kaum burakumin untuk meninggalkan tempat kelahirannya, dimana mereka akan selalu dikenal sebagai orang buangan. Burakumin merupakan kelas yang sangat

berpotensi memunculkan pelaku kriminalitas. Pada masa akhir pemerintahan Tokugawa yaitu sekitar tahun 1867, jumlah burakumin mencapai 400.000 jiwa dari populasi Jepang pada saat itu yang berjumlah 33.000.000 jiwa. Bentuk diskriminasi yang sah secara hukum terhadap burakumin akhirnya resmi dihapuskan pada tahun 1871 melalui keputusan pemerintah. Tetapi, sikap sewenang-wenang terhadap mereka masih saja terjadi sehingga hal itu ter us mendorong sejumlah besar burakumin mesuk ke dalam cengkeraman yakuza.

Dokumen terkait