• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Yakuza Dalam Politik Pemerintahan Jepang Setalah Perang Dunia Kedua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Yakuza Dalam Politik Pemerintahan Jepang Setalah Perang Dunia Kedua"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH YAKUZA DALAM POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA

DAINIJI SEKAI TAISENGO NO NIHON SEIJI DE NO YAKUZA NO

EIKYŌ

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh :

FEBRO STAR HAREFA 090708028

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa Ya ng Maha K uasa,

Tuhan Yesus Kristus atas berkat, kasih, dan karunia-Nya yang senantiasa

menyertai penulis sehingga skripsi ini dapat selesai.

Skripsi ini berjudul “PENGARUH YAKUZA DALAM POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG SETALAH PERANG DUNIA KEDUA adalah salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan Program Studi Sastra Jepang-Sarjana

(S1) Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik dari

segi isi dan uraiannya yang disebabkan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman

yang penulis miliki.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan

dukungan dari pihak lain. Maka, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk mengikuti perkuliahan pada Program Studi Sastra

Jepang-Sarjana (S1) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman K usdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra

Jepang Program S1 Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D., selaku Dosen Pembimbing

I yang telah banyak memberikan waktu untuk membimbing dan

(3)

4. Bapak Drs. Eman K usdiyana, M. Hum., selaku Dosen Pembimbing II

yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan demi

penyempurnaan skripsi ini.

5. Bapak Muhammad Pujiono, S.S., M.Hum., selaku Dosen Penasehat

Akademik.

6. Bapak/Ibu Dosen Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara yang telah bersusah payah memberikan ilmu yang dimiliki

kepada penulis selaku mahasiswa Sastra Jepang (S1) selama masa

perkuliahan.

7. Teristimewa kepada bapak, S. Harefa dan mamak, T. Hutahaean atas

segala doa, kasih sayang, dukungan dan pengorbanan yang tidak ternilai

dan tidak akan terlupakan selamanya.

8. Kepada “Ma Bro” Voller Harefa, atas ejekan dan motivasinya yang luar biasa serta dukungan materi yang diberikan sampai selesainya studi ini.

Dan kepada adikku Siti Wasty Harefa, atas dukunga n doa dan semangat

yang diberikan sehingga skripsi ini bisa selesai.

9. Kepada Astry Pebriani Sitepu yang tidak pernah berhenti menyemangati

penulis disaat senang maupun sedih, dan selalu membantu penulis mencari

bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

10.Kepada kawan-kawan dan sahabatku yang luar biasa, David Tino, Peter

Kolbert, Frinsoni, Yopita, Agus Suhery, dan Briyant Richson yang selalu

memberi dukungan dibalik obrolan-obrolan sehat kalian. Meskipun jauh,

dukungan dan doa yang kalian berikan sangat bermanfaat bagi penulis.

(4)

11.Kepada sahabat-sahabatku, Zivo, Johan, Erick, Ella, Juwita, Rohana,

Maria, dan Birdy yang banyak membantu proses pengerjaan skripsi ini,

dan juga selalu memberikan dukungan semangat kepada penulis.

12.Kepada kawan-kawan Sastra Jepang stambuk 2009 yang telah

memberikan semangat, hiburan, serta persahabatan yang luar biasa selama

4 tahun.

Penulis sadar skripsi ini masih jauh dari sempurna. O leh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, penulis

berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi pembaca.

Medan, 21 Oktober 2013

Penulis

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….... i

DAFTAR ISI………...……. iv

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Rumusan Masalah………. 7

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan………. 8

1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……….. 8

1.4.1 Tinjauan Pustaka………. 8

1.4.2 Kerangka Teori….……… 10

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 11

1.5.1 Tujuan Penelitian……….. 11

1.5.2 Manfaat Penelitian……… 11

1.6 Metode Penelitian………... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN POLITIK JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA... 14

2.1 Yakuza………. 14

2.1.1 Awal Munculnya Yakuza………...………….. 14

2.1.2 Kelompok-Kelompok Yakuza……….. 17

2.1.2.1 Bakuto………...………... 17

2.1.2.2 Tekiya………... 22

(6)

2.1.3.1 Yubitsume... 26

2.1.3.2 Irezumi... 27

2.1.4 Giri dan Ninjō Dalam Yakuza... 29

2.1.5 Struktur Organisasi Yakuza... 31

2.1.6 Obyek Bisnis Yakuza... 36

2.2 Politik Jepang Setelah Perang Dunia Kedua... 39

2.2.1 Politik Jepang Pada Masa Pendudukan Sekutu... 39

2.2.2 Politik Jepang Setelah Tahun 1952... 40

BAB III PENGARUH YAKUZA DALAM POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA... 45

3.1 Pengaruh Terhadap Partai... 45

3.2 Pengaruh Terhadap Pemerintahan Pusat... 52

3.3 Pengaruh Terhadap Pemerintahan Daerah... 60

3.4 Pengaruh Terhadap Ketenagakerjaan... 62

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 64

4.1 Kesimpulan... 64

4.2 Saran... 67

(7)

ABSTRAK

PENGARUH YAKUZA DALAM POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA

Yakuza adalah organisasi kejahatan yang pertama sekali muncul pada zaman Edo. Pada awalnya yakuza merupakan sekelompok ronin yang sering mengganggu masyarakat. Ada dua kelompok dalam yakuza yaitu bakuto dan tekiya. Yakuza memiliki struktur organisasi yang tersusun rapi dan memiliki pola identitas yaitu irezumi dan yubitsume. Loyalitas yang tinggi terhadap organisasi yang membedakan yakuza dengan organisasi kejahatan lainnya. Yakuza melakukan berbagai tindak kejahatan dan terlibat dalam bisnis ilegal seperti

narkoba, prostitusi, perjudian, dan lain-lain.

Jepang merupakan negara dengan kehidupan politik yang sangat maju dan

selalu mengalami perkembangan. Setelah perang dunia kedua, politik Jepang

didasarkan atas kebijakan-kebijakan yang buat oleh pasukan sekutu dan

kebijakan-kebijakan yang dibuat setelah masa pendududukan pasukan sekutu

berakhir. Setelah perang, pemerintahan Jepang didominasi oleh tokoh-tokoh

politik konservatif, terutama politikus Parta i Liberal Demokrat (Jiyūminshutō).

Partai ini merupakan partai paling berkuasa sejak tahun 1955 sampai awal tahun

1990. Pada masa kekuasaan partai ini terdapat beberapa kebijakan yang

menimbulkan kontroversi. Salah satu penyebabnya adalah karena pengaruh

yakuza.

(8)

hubungan yang terjadi antara yakuza dengan politik pemerintahan Jepang. Hubungan ini dipengaruhi juga oleh adanya kelompok-kelompok politik sayap

kanan. Kelompok ini merupakan orang-orang dengan pemikiran politik yang

radikal. Yakuza dan kelompok sayap kanan sering bekerjasama dalam mempengaruhi dunia politik Jepang. Banyak orang-orang sayap kanan yang

berhasil masuk ke dunia politik dengan bantuan yakuza.

Yakuza terlibat dalam pembentukan Partai Liberal Demokrat (Jiyūminshutō). Seorang pemimpin dari semua pemimpin yakuza bernama Kodama Yoshio memberikan uang dalam jumlah besar dalam proses

pembentukan Jiyūminshutō. Sejak saat itu Jiyūminshutō menjadi partai paling

berkuasa dan Kodama mampu mengendalikan partai tersebut. Dangan

kemampuan dan koneksinya, Kodama menaikkan politikus-politikus yang

memiliki hubungan dengannya ke posisi penting di pemerintahan. Hal itu

mengakibatkan beberapa kebijakan yang dibuat pemerintah tidak sesuai dan

terkesan dipaksakan. Kodama juga terlibat dalam kasus suap dan korupsi yang

melibatkan politikus penting di pemerintahan.

Yakuza sering digunakan sebagai penjaga keamanan dalam kampanye Jiyūminshutō. Selain itu, yakuza sering direkrut pemerintah untuk membubarkan

aksi unjuk rasa. Perusahaan-perusahaan besar juga sering menggunakan yakuza untuk membubarkan aksi mogok massal para buruh. Hal itu menunjukkan

pengaruh besar yakuza tidak hanya dalam politik, tetapi juga ketenagakerjaan

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka

proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan

bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik juga dapat

diartikan sebagai aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan

untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah

berlaku di tengah masyarakat (

http://www.sarjanaku.com/2012/11/pengertian-politik-menurut-para-ahli.html). Sehingga dapat dikatakan bahwa inti dari politik adalah

kekuasaan, dan politik bersangkut paut dengan negara dan pemerintahan.

Politik bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen

peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat

terlepas dari gejala konflik dan kerja sama (Andrew Heywood dalam Budiardjo,

2008 : 16). Menurut Peter Merkl dalam Budiardjo (2008 : 15-16), politik dalam

bentuk paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan

berkeadilan, sedangkan politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan

kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri. Politik

adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan

mempertahankan kekuasaan. Hal tersebut senada dengan pendapat Harold D.

Laswell dan Abraham Kaplan dalam Budiardjo (2008 : 60) yang mengatakan

(10)

menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak

pertama.

Jepang merupakan negara dengan kehidupan politik yang sangat maju.

Kehidupan politik Jepang telah berlangsung lama sejak zaman Yamato yang

merupakan sistem politik tradisional. Seiring perkembangan zaman, kehidupan

politik Jepang berubah dan semakin berkembang. Pergantian kekuasaan,

pemerintahan, kebijakan negara, pengambilan keputusan, dan proses menuju

negara demokrasi merupakan rangkaian panjang sejarah politik Jepang sampai

sekarang.

Politik Jepang setelah perang dunia kedua didasarkan atas

kebijakan-kebijakan yang diberlakukan antara tahun 1945 dan tahun berakhirnya masa

pendudukan pasukan sekutu tahun 1952, ketika keamanan Jepang-Amerika

dibentuk dan perjanjian perdamaian ditandatangani. Selama masa itu, pendudukan

Amerika melaksanakan banyak perubahan dalam segala bidang dengan

melaksanakan demokratisasi dan penghapusan militerisme dan fasisme.

Gabungan-gabungan industri besar (zaibatsu) dibubarkan dan dilaksanakanlah reformasi sampai tuntas. Undang-Undang Dasar Jepang yang baru merupakan

perlindungan hukum terhadap pembaharuan itu. Partai-partai konservatif sebelum

perang kembali muncul dalam bentuk yang telah diperbaharui dan partai-partai

reformis yang hanya mempunyai kekuatan kecil sebelum perang memperoleh

keuntungan besar dengan adanya kebijakan demokratisasi itu. Sesudah perang,

terbentuk suatu pemerintah koalisi antara partai konservatif dan sosialis yang

(11)

Jepang disamping merupakan sebuah negara dengan kehidupan politik,

perekonomian dan kebudayaan yang sangat maju ternyata memiliki suatu

fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. Fenomena itu berupa sebuah bentuk

kebudayaan dalam hal sistem organisasi sosisal masyarakat Jepang. Yakuza merupakan kelompok sosial masyarakat Jepang yang diidentikkan dengan

organisasi kejahatan yang penuh dengan kekerasan dan kekejaman. Yakuza muncul pertama kali pada zaman Edo, tepatnya pada masa pemerintahan Shogun

Tokugawa. Berawal dari perang saudara yang berlangsung selama berabad-abad

mencapai akhir bersejarah ketika Tokugawa Ieyasu menyatukan Jepang pada 1604.

Tetapi pada saat itu Jepang belum stabil. Perdamaian mengakibatkan sekitar

500.000 samurai menganggur, padahal keahlian mereka adalah di bidang ketentaraan dan seni bela diri.

Akhirnya sebagian samurai berusaha mencari profesi lain untuk melanjutkan hidup seperti berdagang, atau sebagai cendikiawan dan ahli filsafat.

Namun tidak semua yang berhasil dan para samurai yang tidak mempunyai pekerjaan akhirnya memilih jalan lain yaitu mengganggu masyarakat. Masyarakat

menyebut samurai pengganggu ini sebagai hatamoto yakko atau kabukimono, yang berarti samurai pengembara tak bertuan yang suka berpakainan mencolok dan gemar melakukan kekerasan atau kejahatan. Kemudian muncul machi yakko, yaitu sekelompok pemuda kota yang bergabung untuk menghalau serangan para

hatamoto yakko. Kelompok ini berasal dari berbagai golongan, seperti juru tulis, pemilik toko, atau seniman. Mereka cukup handal dalam menggunakan pedang

dan lihai dalam hal berjudi. Mereka dianggap sebagai pahlawan kota oleh

(12)

Setelah kabukimono berhasil dikalahkan, para pahlawan tersebut menjadi tidak memiliki pekerjaan. Inilah awal mulanya kelompok machi yakko menjadi pengganggu bagi masyarakat dan menjadikan mereka dikenal sebagai yakuza. Yakuza tradisional terdiri dari kelompok bakuto atau penjudi, dan tekiya atau pedagang. Anggotanya kebanyakan berasal dari golongan orang miskin, orang

yang tidak memiliki lahan, pelanggar hukum, dan yang dianggap berbeda oleh

kaum mayoritas. Setiap kelompok yakuza tradisional menjaga wilayah kekuasaannya masing- masing tanpa menimbulkan konflik dan sampai sekarang

organisasi ini masih eksis dalam masyarakat Jepang (Kaplan & Alec Dubro,

2011 : 4-16).

Sebagai organisasi kejahatan yang terorganisir, yakuza melakukan berbagai tindak kejahatan dan menguasai bisnis-bisnis ilegal seperti narkoba,

prostitusi, dan bisnis lainnya yang dilakukan secara ilegal. Namun yang mencolok

dari yakuza tidak hanya kejahatan dan bisnis-bisnis ilegalnya. Yakuza juga terlibat dalam kehidupan politik pemerintahan Jepang sejak perang dunia kedua berakhir.

Keterlibatan yakuza dalam politik pemerintahan Jepang sangat erat kaitannya dengan kelompok-kelompok ultranasionalis yang sudah ada di Jepang sejak tahun

1880. Kelompok ultranasionalis di Jepang ada dua yaitu kelompok kanan dan kiri.

Kelompok ultranasionalis kanan atau yang disebut kelompok sayap kanan terdiri

dari sekelompok aktivis pemuja kaisar dan antikomunis. Sedangkan kelompok

ultranasionalis kiri atau kelompok sayap kiri terdiri dari orang-orang yang

memiliki paham komunis dan sosialis. Kedua kelompok ini saling bertentangan

(13)

Yakuza memiliki hubungan yang cukup baik dengan kelompok sayap kanan. Hal itu dikarenakan yakuza dan kelompok sayap kanan memiliki pendapat yang sejalan, yaitu sangat meninggikan kaisar, sama-sama menginginkan Jepang

menjadi kekuatan militer terbesar, dan keduanya sering melakukan tindak

kekerasan untuk mencapai tujuannya. Selain itu, yakuza dan kelompok sayap kanan sangat membenci paham komunis. Hal itu kemudian yang menyebabkan

sering terjadi pertikaian kedua kelompok tersebut dengan kelompok sayap kiri

yang beraliran komunis dan sosialis. Kerjasama dan paham yang sejalan antara

yakuza dengan kelompok sayap kanan menjadikan kedua kelompok tersebut seolah tidak ada bedanya. Masyarakat Jepang menganggap orang-orang yang ada

dalam kelompok sayap kanan merupakan anggota yakuza. Yakuza mulai berpengaruh dalam kehidupan politik pemerintahan Jepang sejak perang dunia

kedua berakhir, yaitu pada saat pasukan Amerika menduduki Jepang yang kalah

dalam perang. Kekalahan Jepang meninggalkan kehancuran di seluruh wilayah.

Bangsa Jepang harus menanggung malu dan perekonomian negara dalam keadaan

kritis. Dalam waktu dua minggu setelah Jepang menyerah kalah, pasukan

Amerika mulai mendarat di Jepang dan mendirikan markas besar negara- negara

sekutu yang bernama SCAP (Supreme Commander for the Allied Powers). Keberadaan pasukan Amerika di Jepang bertujuan untuk membuat ulang Jepang.

Pasukan sekutu kemudian menangkap para penjahat perang, jenderal

militer, dan para politikus radikal sayap kanan. Selama masa pendudukan

Amerika, terjadi banyak perubahan dalam segala bidang dengan melaksanakan

demokratisasi dan penghapusan militerisme. Namun tujuan Amerika bukan hanya

(14)

terhadap komunisme juga merupakan salah satu faktor penyebab pendudukan

Amerika untuk mencegah masuknya pengaruh Uni Soviet di Jepang.

Kekhawatiran tersebut menimbulkan terjadinya penyelewengan kekuasaan oleh

Amerika. Selama masa pendudukan ternyata pasukan Amerika bekerjasama

dengan yakuza untuk menyingkirkan kaum kiri. Dengan alasan memera ngi komunisme, Amerika membantu dan membiayai operasi penyingkiran kelompok

sayap kiri oleh yakuza.

Solidnya organisasi yakuza, disamping karena kombinasi antarklan yang sangat baik juga dipengaruhi oleh sosok kepemimpinan Kodama Yoshio,

godfather dari semua godfather yakuza. Kodama memiliki semua kemampuan untuk membuat yakuza semakin kuat dalam segala bidang. Kerjasama dengan intelijen Amerika, hubungan yang sangat dekat dengan para pemimpin politik

Jepang, dan berhasil mempersatukan kelompok-kelompok yakuza adalah sebagian dari prestasi Kodama. Kodama bahkan memiliki beberapa anak didik yang

kemudian sukses berkarir di dunia politik Jepang. Kasus besar yang sangat

menarik perhatian terhadap yakuza adalah kasus suap perusahaan pembuatan pesawat Amerika, Lockheed Corporation dengan perusahaan penerbangan Jepang,

All N ippon Airways yang juga melibatkan Kodama dan politikus Jepang. Kodama

juga memiliki pengaruh besar dalam Jiyūminshutō (Partai Liberal Demokrat) yang

merupakan partai politik paling berkuasa di Jepang sejak akhir perang dunia

kedua sampai sekarang. Bantuan dana Kodama dalam proses penggabungan

Jiyūtō (Partai Liberal) dan Minshutō (Partai Demokrat) menjadi Jiyūminshutō

(15)

tersebut, diantaranya beberapa pemimpin yakuza yang berhasil memenangkan pemilu, kabinet pemerintahan yang beberapa diantaranya diduduki oleh

orang-orang yakuza, bahkan beberapa perdana menteri Jepang pun terlibat dengan yakuza. Kerjasama dan keterlibatan yakuza dalam politik pemerintahan Jepang merupakan fakta yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik Jepang.

Hal inilah yang menjadi alasan penulisan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Yakuza Dalam Politik Pemerintahan Jepang Setelah Perang Dunia Kedua”.

1.2Rumusan Masalah

Yakuza dianggap mewakili kejahatan terorganisir di Jepang karena yakuza memiliki struktur organisasi yang tersusun dengan rapi untuk mengatur segala

aktivitas anggotanya. Loyalitas yang tinggi dalam organisasi membuat yakuza dapat bertahan sampai sekarang dan mampu menjalankan kegiatan-kegiatan ilegal

dengan rapi. Selain karena faktor kordinasi yang baik antarklan, hubungan yang

terjalin antara yakuza dengan tokoh-tokoh politik dalam pemerintahan Jepang juga sangat berpengaruh terhadap keberadaan yakuza sampai sekarang. Yakuza mengetahui siapa yang berkuasa dan ingin membentuk aliansi dengan pemegang

kekuasaan. Tokoh politik sayap kanan, anggota parlemen, dan petinggi partai

berkuasa di Jepang merupakan target utama yakuza dalam menjalin kerjasama. Meskipun yakuza kebanyakan dikenal sebagai organisasi kejahatan, mafia, atau gangster yang sering membuat kekacauan dan menjalankan bisnis ilegal,

namun keberadaan yakuza sebagai organisasi kejahatan yang mampu masuk ke dalam kehidupan politik Jepang terutama setelah perang dunia kedua merupakan

(16)

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengangkat permasalahan dalam

bentuk pertanyaan yang akan dibahas pada skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana keadaan politik pemerintahan Jepang setelah perang dunia

kedua?

2. Bagaimana pengaruh yakuza dalam politik pemerintahan Jepang setelah perang dunia kedua?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Agar penelitian lebih teratur maka ruang lingkup pembatasan harus

dibatasi. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak terlalu luas dan

berkembang jauh, sehingga masalah yang akan dibahas dapat lebih terarah.

Dalam penulisan skripsi ini, ruang lingkup yang akan diba has difokuskan

pada pengaruh yakuza dalam politik pemerintahan Jepang setelah perang dunia kedua sampai sekarang. Untuk mendukung pembahasan ini, penulis juga akan

menjelaskan mengenai gambaran umum yakuza dan keadaan politik pemerintahan Jepang setelah perang dunia kedua.

1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Politik menurut Budiardjo (2008:15) adalah usaha untuk menentukan

peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk

membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Di dalam

(17)

unsur ini diperlukan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan

konflik yang mungkin timbul dalam proses politik.

Kekuasaan (power) menurut Barbara Goodwin dalam Budiardjo (2008:60) adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang

oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya ia tidak dilibatkan. Dengan

kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan

kehendaknya.

Yakuza merupakan contoh dari suatu kelompok yang mampu mempengaruhi seseorang untuk bertindak dan melakukan sesuatu yang mereka

inginkan. Yakuza merupakan organisasi kejahatan yang mampu berpengaruh dalam kehidupan politik pemerintaan Jepang setelah perang dunia kedua. Yakuza mengetahui siapa yang berkuasa dalam pemerintahan dan ingin membentuk

aliansi dengan pemegang kekuasaan. Sampai saat ini, peran yakuza dalam dunia politik Jepang masih berlanjut, yaitu sebagai penyedia uang dan sebagai penjahat

bayaran (Kaplan & Alec Dubro, 2011 : 34-59).

Zairun (1982:3) mengatakan bahwa organisasi adalah suatu proses

bangunan lembaga yang merupakan hasil proses pembagian dan penyatuan usaha

yang ditujukan ke arah tercapainya suatu tujuan. Sejalan dengan pendapat tersebut,

Winardi (2003 : 11) mengatakan bahwa organisasi merupakan sebuah sistem yang

terdiri dari aneka macam elemen atau subsistem, dan manusia adalah subsistem

terpenting, dan dimana terlihat bahwa masing- masing subsistem saling

berinteraksi dalam upaya mencapai sasaran-sasaran atau tujuan-tujuan organisasi

(18)

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam melakukan dan menyusun sebuah penelitian, dibutuhkan kerangka

teori yang memuat pokok-pokok persoalan, namun tidak menyimpang dan

melebar. Hal ini untuk memberi arah dan acuan sementara terhadap jalannya suatu

penelitian. Dalam mengerjakan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

penelitian historis (Historical Research). Menurut Sumadi Suryabrata (1983 : 16) tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara

sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi,

memverifikasikan, serta mensistesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan

memperoleh kesimpulan kuat. Penulis menggunakan pendekatan ini dikarenakan

pengaruh yakuza dalam politik pemerintahan Jepang merupakan bagian dari perjalanan panjang sejarah yakuza sejak dulu sampai sekarang. Keseluruhan peristiwa di dalamnya sudah terjadi (historis).

Penulis juga menggunakan pendekatan penelitian sosiologis, karena

pembahasan dalam pendekatan ini mencakup golongan sosial yang berperan, jenis

hubungan sosial, konflik berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan dan

status sosial, dan sebagainya (Dudung Abdurrahman, 1999 : 11). Penulis

menggunakan pendekatan ini untuk mengetahui bagaimana hubungan sosial yang

(19)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan

sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui keadaan politik pemerintahan Jepang setelah perang

dunia kedua.

2. Untuk mengetahui pengaruh yakuza dalam politik pemerintahan Jepang

setelah perang dunia kedua.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini yaitu:

1. Dapat menambah wawasan mengenai sejarah dan perkembangan yakuza di Jepang.

2. Dapat menambah wawasan mengenai perkembangan dan keadaan politik

pemerintahan Jepang terutama setelah perang dunia kedua.

3. Dapat memberikan dan menambah informasi sejauh mana pengaruh

yakuza dalam politik pemerintahan Jepang terutama setelah perang dunia kedua.

4. Dapat dijadikan sumber ide dan tambahan informasi bagi peneliti

selanjutnya yang ingin meneliti organisasi yakuza lebih jauh.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah prosedur atau tatacara yang sistematis yang

dilakukan seorang peneliti dalam upaya mencapai tujuan seperti memecahkan

(20)

Dalam mengerjakan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian

deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan peristiwa atau gejala apa adanya.

Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu

memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan,

gejala, atau kelompok tertentu dalam memecahkan masalah penelitian,

mengumpulkan, menyusun, mengklarifikasikan, mengkaji, dan

menginterpretasikan data.

Penelitian ini dilakukan dengan mengamati objek masalah yang terjadi,

kemudian mengumpulkan data berdasarkan fakta- fakta yang ada, kemudian

mengembangkan data yang telah didapat sesuai dengan informasi dan data yang

sesuai dan berhubungan dengan masalah dalam skripsi ini. Data-data yang

berhubungan dan dibutuhkan dalam penelitian ini didapat dan dikumpulkan

melalui metode Penelitian Kepustakaan atau Library Research. Menurut Nasution (1996 : 14), metode kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang

dipilih penulis. Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang

mendukung penulisan skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang

sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang

perlu dicari dan diteliti meliputi : masalah, teori, konsep, kesimpulan serta saran.

Metode kepustakaan merupakan metode yang mengutamakan

pengumpulan data dari beberapa buku atau re ferensi yang berkaitan dengan

pembahasan untuk mencapai tujuan penelitian (Mulyadi dalam Syahwani, 2006 :

(21)

Data dihimpun dari berbagai literatur buku yang berhubungan dengan

masalah penelitian yang terdapat di Perpustakaan Pusat USU, Perpustakaan Sastra

Jepang USU, Perpustakaan FISIP USU, serta jurnal maupun artikel dan berbagai

(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN POLITIK JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA

2.1Yakuza

2.1.1 Awal Munculnya Yakuza

Yakuza pertama sekali muncul pada zaman Edo atau zaman Tokugawa (1603-1868). Zaman Edo ditandai dengan terjadinya perang besar di Jepang yang

melibatkan keluarga Toyotomi dengan keluarga Tokugawa, yaitu perang

Sekigahara. Perang tersebut berawal dari perselisihan daimyo (penguasa wilayah pada zaman feodal) dari kedua keluarga tersebut untuk memperebutkan kekuasaan

dan kedudukan shogun sebagai pengganti Toyotomi Hideyoshi yang meninggal pada tahun 1598. Menurut tradisi, yang berhak mewarisi kedudukan shogun adalah putra dari Toyotomi Hideyoshi, yaitu Toyotomi Hideyori. Namun

kekuatan Tokugawa Ieyasu semakin hari semakin kuat dan hal tersebut membuat

khawatir keluarga daimyo Ishida Mitsunari (1560-1600) yang merupakan pendukung Hideyori Ieyasu. Karena kekhawatiran tersebut, Ishid a Mitsunari

kemudian mengumpulkan pengikutnya untuk menjatuhkan Tokugawa Ieyasu.

Tetapi Tokugawa Ieyasu tidak membiarkan begitu saja, sehingga perselisihan

diantara daimyo-daimyo pendukung keluarga tersebut semakin memanas dan akhirnya terjadilah perang Sekigahara.

Perang Sekigahara berhasil dimenangkan oleh Tokugawa Ieyasu. Ia

(23)

(Tokyo) pada tahun 1603. Meskipun perang sudah berakhir, namun Jepang belum

stabil. Perdamaian mengakibatkan sekitar 500.000 samurai kehilangan tuan dan menganggur, padahal keahlian utama mereka adalah dibidang ketentaraan dan

bela diri. Samurai yang tidak memiliki tuan ini disebut ronin. Kemudian sebagian besar samurai tersebut bergabung dengan kelas pedagang yang sedang berkembang. Sebagian lagi menemukan pekerjaan dalam birokrasi sipil atau

sebagai cendikiawan dan filsuf. Namun tidak semuanya bisa berhasil. Para ronin yang pengangguran ini terpaksa memilih jalan lain untuk meneruskan hidupnya

yaitu sebagai perampok, pengganggu, suka membuat perkelahian di jalan, dan

menebar teror. Para ronin pengangguran tersebut membentuk beberapa kelompok dalam melakukan aksinya dan menamakan dirinya kabuki-mono. Masyarakat menganggap kelompok ini sebagai orang-orang aneh karena perilaku mereka yang

menyimpang dan penampilan yang eksentrik. Kemanapun mereka pergi, kabuki-mono selalu berpakaian aneh dan potongan rambut yang tidak lazim pada zaman itu, serta selalu membawa pedang panjang untuk menakuti lawan mereka.

Kabuki-mono juga dikenal masyarakat sebagai hatamoto-yakko, yaitu ronin pembantu shogun yang menerapkan loyalitas yang tinggi pada tuannya dan bersumpah untuk saling melindungi sesama kelompoknya dalam situasi apapun,

bahkan bila harus melawan orangtua sendiri.

(24)

toko, pemilik penginapan, seniman, buruh, serta samurai pengembara. Kelompok ini dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kota dari gangguan para kabuki-mono yang semakin lama semakin meresahkan masyarakat. Karena tujuannya adalah untuk melindungi kota, masyarakat menerima dan menganggap kelompok

ini sebagai pahlawan.

Seiring waktu berlalu, kabuki-mono berhasil dikalahkan. Namun hal ini kemudian menyebabkan machi-yakko tidak lagi memiliki pekerjaan sebagai pahlawan kota. Justru para machi-yakko ini yang kemudian membuat resah masyarakat dengan kegiatan sehari- hari mereka yaitu berjudi. Sebagian lagi

memilih untuk menjadi pedagang keliling. Namun bukan seperti pedagang pada

umumnya, pedagang ini sering menipu masyarakat bahkan sesama kelompok

pedagang. Kedua kelompok ini yaitu bakuto (penjudi) dan tekiya (pedang keliling) kemudian dikenal sebagai kelompok yakuza tradisional.

Istilah ‘yakuza’ berasal dari sebuah permainan kartu hanafuda (kartu bunga) yang dimainkan oleh kelompok bakuto (penjudi). Dalam permainan kartu ini, para pemain dibagi tiga buah kartu. Jumlah angka yang mereka pegang

berasal dari angka terakhir dari jumlah angka keseluruhan dala m kartu yang

mereka miliki. Apabila dalam permainan seorang pemain mendapatkan total

angka dari kombinasi kartu yang dimiliki berjumlah 20, maka pemain tersebut

dianggap kalah. Angka terakhir merupakan angka penentu, dan angka 0

merupakan angka yang paling buruk. Kombinasi tiga angka terburuk yang

menghasilkan nilai 20 adalah angka 8, 9, dan 3. Ketiga angka tersebut dalam

(25)

bermain kartu dan tidak berguna dalam kelompoknya. Semakin lama istilah ini

semakin meluas dan kemudian digunakan juga oleh kelompok tekiya.

2.1.2 Kelompok-Kelompok Yakuza

Kelompok-kelompok yakuza terdiri dari kelompok bakuto atau penjudi dan tekiya atau pedagang keliling. Kedua kelompok ini telah ada sejak zaman Edo, yaitu sisa-sisa para ronin dan kelompok machi-yakko yang dulunya dianggap pahlawan oleh masyarakat, dan sebagian lagi berasal dari masyarakat golongan

bawah yang merasa terbuang dan tidak dianggap oleh masyarakat pada umumnya.

Tetapi tidak semua anggota yakuza berasal dari masyarakat golongan bawah yang terbuang. Ada juga berasal dari keluarga mampu dan terpandang. Umumnya

mereka memilih bergabung dengan kelompok yakuza karena merasa tertekan dengan tuntutan dalam keluarga, atau para pelajar yang putus sekolah dan yang

dibuang oleh orangtuanya karena faktor ekonomi dan lain-lain.

2.1.2.1 Bakuto

Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang hobi dan sangat mahir dalam

berjudi. Pada masa pemerintahan Tokugawa, bakuto sering direkrut oleh pemerintah dan bos-bos konstruksi lokal. Para bos ini bertanggungjawab terhadap

berbagai pekerjaan irigasi dan konstruksi. Mereka mengeluarkan upah dalam

jumlah yang cukup besar kepada pekerjanya. Namun, dengan taktik yang licik

para bos ini berusaha mendapatkan kembali uang tersebut. Caranya adalah dengan

(26)

keahlian yang dimiliki oleh bakuto, pekerja-pekerja tersebut kalah dan uang gaji mereka kembali ke tangan para bos lokal.

Para penjudi sewaan tersebut akhirnya menarik perhatian pedagang,

seniman, maupun orang-orang yang memiliki status tinggi seperti samurai dan pemain sumo. Ketika tumbuh menjadi kelompok terorganisasi, penjudi-penjudi awal tersebut mendirikan tempat-tempat perjudian di sepanjang jalan utama. Jalan

raya pada masa Jepang feodal merupakan lingkungan yang ramah bagi penjudi.

Guna mencegah terjadinya pemberontakan di provinsi, pemerintah Tokugawa

memerintahkan semua tuan tanah untuk mengunjungi Tokyo setahun sekali,

sementara keluarga mereka harus menetap di Tokyo secara permanen. Dengan

demikian, jalan-jalan utama menjadi jalur perpolitikan negara karena

terus-menerus dilalui oleh bangsawan beserta abdinya dan para kurir.

Tempat-tempat pemberhentian dibangun disepanjang jalan, sehingga para

pengguna jalan bisa beristirahat dimalam hari dan mendapat hiburan, termasuk

berjudi. Rute terkenal pada masa itu adalah Tokaido yang dibangun pada tahun

1603. Rute tersebut menghubungkan Kyoto dan Tokyo. Secara keseluruhan ada

53 tempat peristirahatan disepanjang rute Tokaido. Pada pertengahan abad ke-19,

sebagian besar tempat peristirahatan tersebut menjadi pusat kegiatan geng bakuto. Kelompok bakuto merupakan kelompok yang pertama kali menggunakan istilah “yakuza”, karena kata “yakuza” sendiri berasal dari permainan kartu hanafuda. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemain dianggap kalah apabila mendapat jumlah angka 20 dan 8-9-3 merupakan salah satu kombinasi

(27)

Kombinasi ya-ku-sa kemudian digunakan secara luas di kalangan geng penjudi awal untuk menunjukkan seseorang yang tidak berguna. Semakin lama,

istilah tersebut ditujukan kepada kaum penjudi sendiri karena mereka dianggap

tidak berguna bagi masyarakat. Selama bertahun-tahun, penggunaan istilah

“yakuza” terbatas hanya pada geng bakuto. Namun, memasuki abad ke-20,

sedikit demi sedikit istilah “yakuza” mulai digunakan secara luas oleh masyarakat untuk menyebut kelompok bakuto, tekiya, dan kelompok kejahatan lainnya di Jepang.

Kelompok bakuto awal mengembangkan serangkaian aturan mencakup ketaatan mutlak pada kerahasiaan organisasi, kepatuhan pada sistem oyabun-kobun (atasan-bawahan) dan urutan kedudukan yang menentukan status dan peranan dalam kelompok dan aturan serta tradisi ini berlaku dalam organisasi

yakuza sampai sekarang. Bakuto awal adalah organisasi feodal dengan kendali hampir sepenuhnya dipegang oleh oyabun. Promosi jabatan biasanya didasarkan pada performa anggota selama terjadi tawuran antar geng. Selain itu, keahlian

berjudi dan loyalitas kepada oyabun juga sangat dipertimbangkan. Bagi kobun rendahan, promosi ke atas bisa menjadi pekerjaan berat. Biasanya, ia diberi tugas

untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan remeh seperti menyemir dadu,

membersihkan rumah oyabun, menjadi pesuruh dan menjaga bayi.

Para penjudi akan menghukum keras siapa saja yang melanggar aturan

geng. Sifat pengecut, ketidaktaatan, dan membuka rahasia geng tidak hanya

dianggap sebagai pengkhianatan tetapi juga penghinaan terhadap reputasi dan

kehormatan geng. Ada beberapa bentuk pelanggaran yang dianggap sangat tabu,

(28)

mati, hukuman terberat adalah diusir dari geng. Setelah me ngusir si pelanggar,

oyabun akan memberitahu geng bakuto lain bahwa orang tersebut tidak lagi diterima dalam kelompoknya.

Berdasarkan kesepakatan umum antargeng, si pelanggar tidak akan bisa

bergabung dengan kelompok lawan. Tradisi sejak dulu ini masih berlaku sampai

sekarang. Apabila terjadi pengusiran, geng yang bersangkutan akan mengirim

serangkaian kartu pos kepada ‘keluarga’ dunia hitam. Kartu pos tersebut berisi pemberitahuan resmi perihal pengusiran serta permintaan kepada geng lain supaya

tidak berhubungan dengan si mantan anggota.

Selain pengusiran dari kelompok, ada juga tradisi hukuman yang

dikenalkan oleh bakuto, yaitu yubitsume. Tradisi ini dilakukan dengan cara memotong ruas jari kelingking tangan apabila anggota melakukan kesalahan.

Tradisi ini dikenalkan oleh kelompok bakuto dan kemudian menyebar pada kelompok-kelompok kejahatan lainnya. Selain yubitsume, tradisi irezumi atau tato juga dikenalkan oleh bakuto pada masa feodal. Awalnya tato merupakan bentuk hukuman yang digunakan pemerintah untuk mengasingkan penjahat dari

masyarakat. Namun seiring perkembangan zaman, tato digunakan oleh kelompok

bakuto sebagai ajang unjuk kekuatan, keberanian, ketangguhan, dan kemaskulinan mereka. Layaknya ritual potong jari, tradisi pembuatan tato juga menyebar dari

bakuto ke tekiya dan geng-geng lainnya dalam yakuza.

(29)

memungkinkan para geng berkonsolidasi dan memperluas kekuasaan. Akan tetapi,

geng-geng lain memandang bahwa kerjasama dengan polisi bertentangan dengan

kode perilaku para penjudi, sehingga mereka sering menyerang bakuto yang bertentangan.

Walaupun ada beberapa geng yang bekerjasama dengan pemerintah,

sementara geng yang lain mengadakan pertumpahan darah demi memperebutkan

wilayah kekuasaan, umumnya geng- geng bakuto awal bersedia saling membantu. Salah satu bentuk paling jelas dari kebiasaan itu adalah sistem ‘pengelana’ yang diterapkan oleh bakuto. Penjudi yang sedang berkelana akan mengunjungi setiap bos besar di wilayah yang mereka lalui, tinggal selama beberapa hari di rumah bos

tersebut, dan menerima sedikit uang saku. Mereka akan diperlakukan secara sopan,

setara dengan perlakuan yang diterima tamu undangan. Menurut etika bakuto, meskipun tuan rumah dan tamunya adalah orang asing, mereka tetap memiliki

profesi yang sama, yaitu berjudi.

Ketika Jepang mengalami modernisasi, yakuza turut memperluas aktivitas mereka sesuai dengan pertumbuhan ekonomi. Perjudian masih menjadi pusat

kehidupan geng-geng bakuto, meskipun sistem pengelolaan polisi yang semakin baik memaksa mereka untuk membuka perjudian semakin ke bawah, yaitu

tempat-tempat persembunyian di perkotaan atau rumah-rumah pribadi. Banyak

bos besar bakuto mulai menjalankan bisnis legal sebagai kedok bagi bisnis ilegal mereka dan menyogok polisi. Kebiasaa n lama tersebut bertahan lama hingga

(30)

2.1.2.2 Tekiya

Kelompok kedua dalam yakuza adalah tekiya atau pedagang keliling. Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan asal-usul tekiya. Ada yang percaya bahwa tekiya berasal dari para nomad yang berkeliling menjual barang dagangan di kota-kota kastil dan pusat perdagangan. Ada juga teori lain yang menyebutkan

bahwa tekiya berasal dari kata yashi, yaitu istilah yang dulu digunakan untuk menyebut pedagang keliling. Karena yashi berkonotasi dengan bandit atau penjahat, kemungkinan tekiya berasal dari para ronin pelanggar hukum yang berkelana di desa-desa.

Ada juga teori yang mengkaitkan tekiya dengan dewa Shinno, yaitu dewa pelindung yashi. Dewa Shinno adalah dewa pertanian dalam mitologi Cina yang dipercaya menemukan obat-obatan untuk menolong orang miskin dan orang sakit.

Teori tersebut menyebutkan bahwa yashi adalah sekelompok pedagang obat keliling. Kata shi berarti obat dan ya berarti pedagang atau pedagang keliling. Seiring waktu, istilah yashi menjadi sebutan umum bagi pedagang keliling yang menjual barang apa saja.

Pada pertengahan tahun 1700-an, tekiya membentuk kelompok-kelompok atas dasar kepentingan bersama sekaligus untuk melindungi diri dari ancaman

pemerintahan Tokugawa. Geng- geng tekiya mampu mengendalikan kios-kios pekan raya yang diadakan di kuil Shinto maupun kuil Buddha. Mereka

mempunyai reputasi menjual barang-barang bermutu rendah dan suka menipu

ketika menjual dagangannya. Hal ini masih bertahan sampai sekarang di kalangan

(31)

Para tekiya awal mengembangkan banyak teknik yang terbukti mampu mengelabui pembeli. Misalnya berbohong tentang kualitas dan asal- usul produk,

pura-pura mabuk dan bertingkah seolah-olah menjual barang dengan harga murah

sehingga pembeli percaya kalau si pedagang tidak sadar dengan apa yang ia

lakukan, atau menipu pembeli dengan trik-trik kreatif seperti menjal bonsai tanpa akar.

Tekiya dikelola sesuai dengan status feodal. Anggota tekiya terbagi dalam lima tingkatan, yaitu bos besar atau oyabun, bos kecil, perwira, prajurit, dan pemagang. Dalam beberapa hal, tekiya beroperasi secara canggih. Rumah oyabun berfungsi sebagai markas besar sekaligus pusat pelatihan anggota baru. Para

anggota baru mengawali karier dengan cara tinggal di rumah bos besar dan

mempelajari bisnis. Nantinya, mereka akan bergabung dengan para prajurit dan

harus berkeliling manjajakan barang dagangan si bos ke desa-desa. Jika kembali

dengan membawa hasil yang baik, mereka akan diterima sebagai anggota penuh.

Tekiya memiliki tiga perintah atau aturan organisasi yaitu tidak boleh menyentuh istri anggota lain, tidak boleh membuka rahasia organisasi kepada

polisi, dan wajib menjaga kesetiaan dalam hubungan oyabun-kobun. Bos besar tidak hanya bertugas mengendalikan kobun, tetapi juga mengalokasi kios dan stok barang tertentu. Ia akan mengumpulkan uang sewa dan iuran perlindungan bagi

para pemilik kios yang menyewa. Uang sewa dan iuran perlindungan merupakan

bentuk pemerasan yang masih berlangsung sampai sekarang. Bos tekiya menuntut pembayaran dari pedagang di pinggir jalan karena mereka sudah diizinkan

(32)

secara fisik oleh para anggota geng yang ingin mempertahankan monopoli mereka

di wilayah tersebut.

Perbedaan pendapat antarbos tekiya mengenai daerah kekuasaan sering mengarah pada perkelahian. Walaupun demikian, kerjasama yang cukup baik

dapat tercipta di antara geng tekiya. Tidak seperti bakuto, umumnya tekiya melakukan pekerjaan yang sah secara hukum. Bahkan penguasa feodal

memperbesar rentang kekuasaan bos tekiya dengan memberikan pengakuan resmi atas status mereka pada tahun 1735-1740. Demi mengurangi kecurangan diantara

para tekiya dan mencegah terjadinya tawuran memperebutkan wilayah kekuasaan, pemerintah Tokugawa menunjuk sejumlah oyabun sebagai rekanan dan memberikan kehormatan berupa nama keluarga dan dua bilah pedang. Hal itu

menyimbolkan bahwa status mereka mendekati samurai.

Dengan legitimasi yang diberikan pemerintahan Tokugawa dan diiringi

pertumbuhan kota yang sangat pesat hingga satu abad kemudian, geng-geng

tekiya turut meluas. Beberapa geng mulai mengorganisasi sendiri pekan raya tambahan. Mereka menyelenggarakan festival me nyerupai sirkus, diiringi

berbagai pertunjukan menarik serta kios-kios yang menjual makanan, cinderamata,

perlengkapan rumah tangga, dan apapun yang bisa menarik perhatian pembeli.

Meskipun sudah mendapatkan legitimasi, geng- geng tekiya tetap mengembangkan beberapa karakteristik geng kriminal. Contohnya, memasukkan

penjahat dan buronan kedalam jaringan mereka yang luas atau perlindungan

terhadap bisnis ilegal yang semakin berkembang seiring dengan bertambahnya

daerah kekuasaan. Tawuran antargeng bahkan kerap mengubah tempat pertemuan

(33)

Walaupun pada umumnya tekiya memiliki anggota dari golongan yang sama dengan bakuto, kelompok tekiya awal juga mencari anggota dari orang-orang kelas buangan pada masa Jepang tradisional. Mereka adalah para

burakumin atau ‘orang dusun’ yang membentuk kasta terpisah. Defenisi mengenai kelas burakumin tergantung pada situasi. Umumnya kelas burakumin diisi oleh orang-orang yang bekerja dengan bangkai binatang seperti penyamak kulit atau

pekerjaan sejenis seperti perawat jenazah. Diskriminasi terhadap kaum burakumin sangat kejam dan berlangsung terus- menerus. Biasanya mereka disebut sebagai

eta (sangat kotor) atau hinin (bukan manusia) sehingga baik samurai bahkan rakyat jelata pun diizinkan menyiksa burakumin. Dalam bukunya yang berjudul Peasants, Rebels and Outcasts, sejarawan Mikiso Hane menggambarkan kondisi kehidupan burakumin:

Mereka dibatasi mulai dari tempat tinggal, kualitas rumah, mobilitas keluar-masuk desa, pakaian, gaya rambut, bahkan alas kaki. Di beberapa daerah mereka harus mengenakan tanda pengenal khusus, seperti kerah kuning. Mereka dilarang memasuki kuil Shinto maupun Buddha yang diperuntukkan bagi komunitas non-eta. Pernikahan dengan kelas lain juga sangat dilarang (Hane dalam Kaplan & Alec Dubro, 2011:12)

Di bawah pemerintaha Tokugawa, siapapun yang melanggar hukum atau

adat akan diturunkan statusnya menjadi eta atau hinin. Dengan demikian, beberapa anggota tekiya sudah lebih dulu dicap bukan manusia. Pada waktu yang bersamaan, banyak orang yang lahir dari keluarga burakumin bergabung dengan geng tekiya yang menyediakan jalan keluar dari kemiskinan.

Berjualan keliling desa setidaknya memberikan kesempatan bagi kaum

(34)

berpotensi memunculkan pelaku kriminalitas. Pada masa akhir pemerintahan

Tokugawa yaitu sekitar tahun 1867, jumlah burakumin mencapai 400.000 jiwa dari populasi Jepang pada saat itu yang berjumlah 33.000.000 jiwa. Bentuk

diskriminasi yang sah secara hukum terhadap burakumin akhirnya resmi dihapuskan pada tahun 1871 melalui keputusan pemerintah. Tetapi, sikap

sewenang-wenang terhadap mereka masih saja terjadi sehingga hal itu ter us

mendorong sejumlah besar burakumin mesuk ke dalam cengkeraman yakuza.

2.1.3 Pola Identitas Yakuza

Pada umumnya, setiap organisasi kejahatan pasti menjalankan aktivitasnya

secara diam-diam untuk menyembunyikan identitas. Tetapi yakuza tidak merahasiakan identitas dan keberadaan mereka seperti organisasi kejahatan yang

lain. Yakuza justru terbuka dan menunjukkan kepada masyarakat siapa diri mereka. Beberapa karakteristik yakuza yang terlihat jelas di masyarakat dapat dilihat dari simbolisme pada tubuh yakuza. Simbolisme tubuh yakuza pertama kali dikenalkan oleh kelompok bakuto pada zaman dulu dan tradisi tersebut berlangsung sampai sekarang. Yubitsume atau pemotongan jari dan irezumi atau pembuatan tato adalah simbolisme tubuh yang menunjukkan identitas yakuza di masyarakat.

2.1.3.1 Yubitsume

(35)

Sifat pengecut, ketidaktaatan, dan membuka rahasia geng tidak hanya dianggap

sebagai pengkhianatan tetapi juga penghinaan terhadap reputasi dan kehormatan

geng. Apabila melakukan kesalahan, anggota yakuza dapat dihukum mati atau diusir dari geng, tergantung seberapa besar kesalahan yang dilakukannya. Selain

hukuman mati dan diusir dari geng, yakuza juga memiliki bentuk hukuman lain yang juga menunjukkan identitas mereka kepada masyarakat yaitu yubitsume.

Yubitsume adalah bentuk hukuman bagi pelanggar peraturan dalam organisasi yakuza. Yubitsume merupakan tradisi potong jari yang dikenalkan sejak dulu oleh kelompok bakuto atau penjudi dan berlaku sampai sekarang. Dalam ritual potong jari, ruas teratas jari kelingking dipotong dalam suatu upacara. Pada

awalnya yakuza memberlakukan hukuman potong jari dengan tujuan melemahkan genggaman, artinya pedang yang memiliki peran signifikan bagi yakuza awal tidak dapat lagi digenggam erat. Ritual tersebut, baik dipaksakan atau dilakukan

secara sukarela, berhasil membuat kobun atau anggota yakuza yang suka melanggar aturan menjadi patuh dan tergantung kepada atasannya.

2.1.3.2 Irezumi

Pada zaman feodal, tato digunakan oleh pemerintah sebagai bentuk

hukuman yang digunakan untuk mengasingkan para penjahat dari mas yarakat.

Para penjahat diberi tato berbentuk lingkaran hitam di sekeliling lengan untuk

setiap pelanggaran yang dilakukan, sehingga masyarakat dapat mengenali

penjahat dan menjauhinya. Akan tetapi, tato kemudian mengalami perkembangan

(36)

penjahat, tetapi juga sebagai hasil seni dan menjadi tradisi mulia di Jepang. Tato

Jepang merupakan salah satu yang terbaik di dunia dan telah berusia ratusan tahun.

Seiring waktu, pola desain tato berkembang dan semakin kompleks,

berupa gabungan antara gambar dewa-dewa terkenal, pahlawan rakyat kecil,

binatang, dan bunga yang sangat indah. Pada akhir abad ke-17, desain tato yang

rumit dan membentang di seluruh tubuh menjadi popular di kalangan penjud i dan

pekerja kasar seperti kuli angkut, pembantu di kandang kuda, tukang batu, bahkan

para geisha.

Asal mula tradisi irezumi dalam yakuza dilakukan oleh kelompok bakuto. Mereka membuat tato di seluruh tubuh untuk menunjukkan identitas mereka

dalam masyarakat. Selain sebagai identitas, tato bagi yakuza juga menunjukkan hubungan oyabun-kobun atau hubungan saudara. Anggota yakuza yang memiliki pola dan gambar tato yang sama membuktikan komitmennya dalam kelompok

yakuza. Pembuatan tato bagi anggota yakuza juga dianggap sebagai uji kekuatan. Hal itu dikarenakan pembuatan tato dengan cara tradisional adalah proses yang

sangat menyakitkan. Seniman tato menggunakan alat yang diukuir dari tulang

atau kayu dengan ujung berupa sekelompok jarum kecil. Alat tersebut kemudian

ditusukkan ke kulit dengan rangkaian tusukan yang menyakitkan. Tusukan sang

seniman tato akan terasa menyengat dan menyakitkan bagi anggota yakuza. Proses pembuatan tato tradisional memakan waktu sangat lama. Untuk membuat

tato seluruh badan dapat memakan waktu selama seratus jam. Lamanya proses

pembuatan tato dan rasa sakit yang dirasakan selama pembuatan tato merupakan

bentuk uji kemampuan anggota dalam menunjukkan keberanian dan ketangguhan

(37)

Meskipun zaman sekarang pembuatan tato dap at dilakukan dengan jarum

listrik yang dapat membuat tato lebih cepat dan tidak menyakitkan, masih banyak

anggota yakuza yang lebih memilih menggunakan cara tradisional karena ketangguhan menahan rasa sakit selama proses pembuatan tato sangat dihargai.

Seperti tujuan awal dibuatnya tato oleh pemerintah untuk mengasingkan penjahat

yang tidak berguna, tato yakuza juga merupakan bentuk identitas sebagai kelompok yang diasingkan dari masyarakat.

2.1.4 Giri dan Ninjo Dalam Yakuza

Yakuza pada awalnya berasal dari para ronin, sehingga banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai dari kaum samurai atau pada zaman Tokugawa disebut bushi. Pada masa itu samurai menyusun suatu kode etik yang disebut bushido atau jalan hidup bushi (samurai). Kode etik ini sangat kental dengan unsur kesetiaan dan pengabdian diri yang mutlak kepada tuan. Yakuza menganggap mereka mewarisi nilai- nilai bushido. Kesetiaan kobun kepada oyabun merupakan cerminan bushido yang diakui oleh yakuza. Seperti samurai, yakuza membuktikan kekuatan dan kemampuan mereka dengan ketabahan mereka dalam menahan rasa sakit, lapar

maupun hukuman penjara. Bagi yakuza, kematian adalah takdir yang puitis, tragis, dan terhormat seperti samurai pada zaman dahulu.

(38)

yang kompleks. N ilai- nilai tersebut adalah nilai kesetiaan, terima kasih, dan utang

budi. Sehingga dapat diartikan giri adalah kain sosial yang mengikat Jepang dengan penerapan yang terpusat pada hal-hal tertentu seperti sistem oyabun-kobun. Konsep giri yang terdapat dalam nilai bushido menjadi dasar nilai yakuza dalam mengikat hubungan atasan dan bawahan melalui tugas dan kewajiban.

Makna ninjō sejajar dengan perasaan dan emosi. Di dalam ninjō terkandung unsur kemurahan hati, simpati terhadap kaum lemah dan tidak

berdaya, dan empati terhadap orang lain. Ninjō digunakan sebagai ungkapan penghubung dengan giri dan keduanya tidak bisa dipisahkan. Giri merupakan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat, dan ninjō merupakan nilai sosial yang

bersifat pribadi. Yakuza mengadopsi nilai giri dan ninjō untuk menaikkan kedudukan mereka dalam masyarakat. Seorang oyabun dari kelompok Inagawa-kai, salah satu sindikat atau klan yakuza terbesar mengatakan:

yakuza berupaya menjalani patriotisme dan jalan hidup ksatria. Giri dan ninjō, itulah perbedaan terbesar kami dengan mafia Amerika. Jika memungkinkan, yakuza mencoba mengurus seluruh masyarakat, bahkan jika dibutuhkan satu juta yen untuk menolong satu orang” (Kaplan & Alec Dubro, 2011:18)

Senada dengan pendapat tersebut, seorang bos besar kelompok Sumiyoshi-kai mengatakan:

“pada musim dingin, kami memberikan sisi jalan yang terkena sinar matahari kepada masyarakat karena kami bisa bertahan hidup oleh kerja keras mereka. Pada musim panas, kami berjalan di sisi jalan yang terkena sinar matahari demi memberikan sisi yang sejuk dan teduh kepada mereka. Jika memperhatikan perilaku kami, anda bisa melihat komitmen kami yang kuat terhadap giri dan ninjō” (Kaplan & Alec Dubro, 2011:18)

(39)

sebagai akibat perang yaitu sangokujin. Sangokujin terdiri dari orang-orang Korea, Cina, dan Taiwan yang dibawa ke Jepang untuk mengganti para pekerja Jepang

yang direkrut menjadi tentara. Para sangokujin dipaksa bekerja layaknya budak. Setelah Jepang kalah dalam perang, kemarahan kaum sangokujin kepada orang Jepang memuncak akibat diskriminasi dan eksploitasi selama bertahun-tahun. Ada

sebuah kejadian ketika gerombolan sangokujin berjumlah 300 orang menyerang kantor polisi di Kobe sebagai ajang untuk unjuk gigi. Karena kesulitan melawan

sangokujin, walikota Kobe meminta bantuan kepada Taoka Kazuo, bos besar Yamaguchi-gumi. Taoka bersama anak buah dan sekutunya berhasil menyergap sangokujin di kantor polisi tersebut, menyerang mereka dengan pedang, senjata api dan granat. Sangokujin berhasil dikalahkan dan polisi memiliki utang giri kepada yakuza.

Pertempuran melawan sangokujin tersebut sangat patriotik dan sangat dikenang. Yakuza diposisikan sebagai pahlawan yang terjepit musuh tetapi berhasil menyelamatkan Jepang dari orang asing yang jahat. Layak nya para

samurai yang suka menolong, yakuza juga memposisikan dirinya sebagai samurai.

2.1.5 Struktur Organisasi Yakuza

Yakuza dikenal sebagai organisasi kejahatan yang memiliki ciri khas tersendiri dengan struktur organisasi yang rapi, sehingga hal inila h yang

membedakan yakuza dengan organisasi-organisasi kejahatan lainnya di dunia. Yakuza bukan hanya sekedar kumpulan penjahat dan orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda, tetapi mereka semua tergabung dalam suatu ikatan

(40)

Dalam organisasi yakuza terdapat istilah ikka, yaitu suatu bentuk keluarga yang anggotanya tidak memiliki hubungan darah satu sama lain. Dalam yakuza, kata ikka diganti dengan istilah gumi yang berarti kelompok atau kai yang berarti asosiasi. Kata tersebut diletakkan setelah nama suatu kelompok, misalnya

Yamaguchi-gumi atau Inagawa-kai. Struktur organisasi yakuza berbeda dengan strukur organisasi kejahatan di negara lain. Dalam struktur organisasi yakuza terdapat tiga struktur yang mendasar, yaitu hirarki formal dalam tugas dan

tingkatan, hirarki berdasarkan sistem Ie tradisional Jepang, dan hirarki dalam internal kelompok. Struktur organisasi yakuza memiliki bentuk yang sama dengan sistem keluarga inti Ie di Jepang.

Ie adalah sebuah bentuk keluarga yang mempunyai sistem tersendiri yang berurat berakar pada masyarakat Jepang. O leh karena itu, Ie mempunyai hubungan yang dalam dengan sistem nilai dan struktur masyarakat Jepang. Dan

juga merupakan suatu sistem masyarakat dalam kesejarahan Jepang tersendiri (Ito

dalam Situmorang, 2009:26). Sistem Ie berbentuk patrilineal, yaitu suatu keluarga yang berlangsung terus menerus melalui garis keturunan ayah. Keluarga Ie dipimpin oleh kacho (ayah) sebagai keluarga dan chonan (anak laki- laki pertama) yang akan menjadi kacho generasi berikutnya. Objek dari kesinambungan sistem Ie adalah hubungan darah (hubungan orang tua dengan anak, hubungan abang dengan adik), hubungan tempat tinggal ( rumah dan pekarangan), dan hubungan

ekonomi ( produksi, konsumsi, usaha dan harta). Karena keluarga Ie merupakan kelompok untuk menjalankan kehidupan, maka orang yang bukan hubungan darah

(41)

Yakuza mengadopsi sistem Ie ke dalam hubungan orang tua-anak yang disebut hubungan oyabun-kobun. Oyabun berarti orang yang memiliki status oya, yaitu sebagai orang tua dalam kelompoknya atau sebagai pemimpin dari suatu

organisasi. Dan kobun adalah orang yang memiliki status ko, yaitu sebagai anak dalam kehidupan keluarga atau sebagai bawahan dalam suatu organisasi. Oyabun mengatur, membawahi dan memberikan perlindungan terhadap kobun. Sedangkan kobun selalu tunduk dan setia menjalankan perintah yang diberikan oyabun.

Pada masa yakuza awal, hubungan oyabun-kobun membentuk kekuatan dan hubungan yang erat yang luar biasa, bahkan sampa i menciptakan pengabdian

fanatik kepada bos. Sampai sekarang, sistem oyabun-kobun masih terus menyuburkan kesetiaan, ketaatan, dan kepercayaan diantara para yakuza. Kobun harus bisa bertindak sebagai teppōdama (peluru) dalam sebuah perkelahian dengan geng lain. Mereka harus berdiri paling depan, menghadang senjata dan

pedang musuh, serta mempertaruhkan nyawanya demi melindungi oyabun. Dan adakalanya kobun mengambilalih tanggungjawab dan masuk penjara atas kejahatan yang dilakukan oleh oyabunnya.

Tingkatan dalam organisasi yakuza tradisional dan modern bersifat feodal, yaitu satu pemimpin (oyabun) membawahi semua bawahan (kobun). Tingkatan hirarki dalam organisasi yakuza sangat jelas perbedaan stratanya. Masing- masing tingkatan memiliki kewajiban, status dan hak istimewa yang berbeda-beda.

Urutan tingkat dari yang teratas adalah kumi-chō atau yang disebut dengan oyabun, yaitu pemimpin dari suatu organisasi, wakagashira atau pemimpin muda, saikō kanbu atau eksekutif senior, kanbu atau eksekutif, kumi-in atau prajurit, dan

(42)

hubungan bisnis antarsaudara yang tidak berhubungan langsung dengan ikka, tetapi tetap mendapatkan keuntungan dari kelompok ikka tersebut.

Kumi-chō bertugas sebagai pemimpin dari suatu organisasi dan bertugas memberi arahan dan tugas terhadap bawahan dan sebagai pengambil keputusan

dalam suatu tindakan. Wakagashira bertugas sebagai penasehat oyabun, dan kedudukan wakagashira layaknya orang kepercayaan oyabun. Diantara oyabun dan wakagashira terdapat kōmon yang bertugas sebagai penasehat oyabun juga, sehingga oyabun selalu mendapat nasehat dan masukan dari dua pihak bila menyangkut urusan kelompok. Saikō kanbun dan kanbun masing- masing memiliki anak buah tersendiri untuk bekerjasama dalam melakukan tugas dan

kewajibannya. Kumi-in bertugas sebagai bawahan yang mengurusi segala urusan kelompok seperti mengangkat telepon kantor, supir, bertanggungjawab dalam

penjagaan atau keamanan, dan melayani tamu. Masing- masing dari mereka

kurang lebih sepuluh orang harus berjaga dua puluh empat jam untuk menjaga

kantor pusat organisasi, karena mereka tidak akan tahu apa yang akan terjadi,

apakah adanya serangan dari kelompok lain atau menerima telepon yang penting.

Di luar pekerjaan itu semua, kadang-kadang kumi-in juga diminta untuk bekerja dalam bisnis milik oyabun, dan apabila terjadi perkelahian dengan kelompok yakuza lain, kumi-in harus bisa melawan di barisan paling depan.

(43)

terdapat dalam kelompok terkecil ini tidak lebih dari sepuluh anggota. Organisasi

yakuza yang memiliki kekuatan yang besar umumnya menguasai kelompok yakuza yang lebih lemah untuk berganung dan menguasai kelompok tersebut ke dalam payung kekuasaan. Kelompok kecil yang tergabung tersebut akan menjadi

kobun di dalam organisasi yang menguasainya. Kumi-chō dari kelompok yang lemah akan menjadi kobun dari kumi-chō dari kelompok penguasa atau menjadi kobun dalam badan eksekutif kelompok penguasa.

Dalam kehidupan organisasi yakuza, peranan wanita sama sekali tidak dilibatkan dalam urusan kelompok. Wanita di d unia yakuza hanya sebatas sebagai pelacur, penghibur di bar, dan sebagai nyonya di anggota kelompok (istri oyabun). Istri oyabun sering disebut ane-san (saudara kakak perempuan). Mereka sebagai wanita sangat dipandang rendah dalam pekerjaan yakuza. Namun, bukan berarti wanita sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Salah satu contoh peran wanita

dalam yakuza adalah ketika Taoka Fumiko, istri dari pemimpin kelompok Yamaguchi-gumi generasi ketiga memimpin kelompoknya untuk sementara karena pemimpin yang terpilih pada saat itu masuk penjara.

Dalam penerimaan anggota baru, kelompok yakuza melakukan suatu ritual sebagai tanda terjalinnya suatu hubungan darah antara individu dengan kelompok

yang disebut sakazuki. Sakazuki adalah ritual pertukaran mangkuk sake sebagai tanda terjalinnya hubungan darah. Sakazuki adalah ritual penting di dunia yakuza yang mengekspresikan semangat yakuza dalam penentuan anggota, memperkuat ikatan organisasi, dan kompleksitas hubungan antarposisi dan fungsi dalam

organisasi. Ritual ini tidak hanya sebagai tanda masuknya anggota baru dalam

(44)

ini dilakukan dengan cara formal. Ritual ini dilakukan di ruangan yang beralaskan

tatami (tikar Jepang) dengan para partisipasi ritual yang menggunakan pakaian haori hakama (pakaian luar untuk mempermewah kimono) dan terdapat nakōdo (perantara) untuk membantu pelaksanaan dan sebagai saksi upacara.

Ritual dilaksanakan di depan altar dan suatu persembahan dilakukan

pertama kali untuk ditujukan kepada dewa Shinto yang diletakkan di atas altar

sebelum ritual sakazuki dilakukan. Individu yang akan bergabung dan membentuk suatu jalinan dengan kelompok duduk di tatami dengan nakōdo di dekatnya. Pada saat pertukaran mangkuk sake, jumlah sake yang dituangkan ke dalam mangkuk berbeda-beda sesuai dengan status dan hubungan yang akan dibuat. J ika yang

dihubungkan merupakan antarsaudara maka volume sake yang dituangkan sama banyaknya. Mangkuk sake diisi penuh oleh nakodo dan memberikannya ke masing- masing pihak yang akan dihubungkan. Apabila yang akan dihubungkan

adalah saudara tua dan saudara muda, maka mangkuk sake untuk saudara tua diisi sebanyak enam persepuluh dan mangkuk sake untuk saudara muda diisi sebanyak empat persepuluh. Sedangkan apabila yang dihubungkan merupakan hubungan

oyabun-kobun, maka mangkuk sake yang dibutuhkan hanya satu. Manguk sake tersebut diisi penuh oleh nakōdo, lalu diminum setengahnya oleh oyabun, dan sisanya diberikan kepada kobun yang akan dihubungkan.

2.1.6 Obyek Bisnis Yakuza

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui : (1) Kondisi pendidikan di negara Jepang sebelum terjadinya Perang Dunia II, (2) Kondisi pendidikan di negara Jepang

Mengetahui pandangan dunia pengarang mengenai masalah sosial yang dialami oleh masyarakat Jepang pasca Perang Dunia II dalam novel Saga no Gabai Baachan karya

Meskipun yakuza kebanyakan dikenal sebagai organisasi kejahatan, mafia, atau gangster yang sering membuat kekacauan dan menjalankan bisnis ilegal, namun keberadaan

Komitmen dari Jepang yang termuat dalam Fukuda Doctrine ini menjadi penting dalam melihat Politik Luar Negeri Jepang karena bahkan setelah PM Fukuda tidak lagi

Komitmen dari Jepang yang termuat dalam Fukuda Doctrine ini menjadi penting dalam melihat Politik Luar Negeri Jepang karena bahkan setelah PM Fukuda tidak lagi

Selain itu juga, melakukan kesepakatan dengan beberpa lembaga internasional tersebut memang harus dilakukan oleh Jepang dikarenakan pasca Perang Dunia II pemerintah

Walaupun pada umumnya tekiya memiliki anggota dari golongan yang sama dengan bakuto, kelompok tekiya awal juga mencari anggota dari orang- orang kelas buangan

Dengan adanya penghapusan sistem Ie pasca Perang Dunia II dan fenomena kemajuan ekonomi di Jepang yang berpengaruh kepada perubahan nilai-nilai keluarga dari struktur