PENGARUH YAKUZA DALAM POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA
DAINIJI SEKAI TAISENGO NO NIHON SEIJI DE NO YAKUZA NO
EIKYŌ
Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat
Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh :
FEBRO STAR HAREFA 090708028
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa Ya ng Maha K uasa,
Tuhan Yesus Kristus atas berkat, kasih, dan karunia-Nya yang senantiasa
menyertai penulis sehingga skripsi ini dapat selesai.
Skripsi ini berjudul “PENGARUH YAKUZA DALAM POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG SETALAH PERANG DUNIA KEDUA” adalah salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan Program Studi Sastra Jepang-Sarjana
(S1) Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik dari
segi isi dan uraiannya yang disebabkan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
yang penulis miliki.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan
dukungan dari pihak lain. Maka, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mengikuti perkuliahan pada Program Studi Sastra
Jepang-Sarjana (S1) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Eman K usdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra
Jepang Program S1 Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D., selaku Dosen Pembimbing
I yang telah banyak memberikan waktu untuk membimbing dan
4. Bapak Drs. Eman K usdiyana, M. Hum., selaku Dosen Pembimbing II
yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan demi
penyempurnaan skripsi ini.
5. Bapak Muhammad Pujiono, S.S., M.Hum., selaku Dosen Penasehat
Akademik.
6. Bapak/Ibu Dosen Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara yang telah bersusah payah memberikan ilmu yang dimiliki
kepada penulis selaku mahasiswa Sastra Jepang (S1) selama masa
perkuliahan.
7. Teristimewa kepada bapak, S. Harefa dan mamak, T. Hutahaean atas
segala doa, kasih sayang, dukungan dan pengorbanan yang tidak ternilai
dan tidak akan terlupakan selamanya.
8. Kepada “Ma Bro” Voller Harefa, atas ejekan dan motivasinya yang luar biasa serta dukungan materi yang diberikan sampai selesainya studi ini.
Dan kepada adikku Siti Wasty Harefa, atas dukunga n doa dan semangat
yang diberikan sehingga skripsi ini bisa selesai.
9. Kepada Astry Pebriani Sitepu yang tidak pernah berhenti menyemangati
penulis disaat senang maupun sedih, dan selalu membantu penulis mencari
bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
10.Kepada kawan-kawan dan sahabatku yang luar biasa, David Tino, Peter
Kolbert, Frinsoni, Yopita, Agus Suhery, dan Briyant Richson yang selalu
memberi dukungan dibalik obrolan-obrolan sehat kalian. Meskipun jauh,
dukungan dan doa yang kalian berikan sangat bermanfaat bagi penulis.
11.Kepada sahabat-sahabatku, Zivo, Johan, Erick, Ella, Juwita, Rohana,
Maria, dan Birdy yang banyak membantu proses pengerjaan skripsi ini,
dan juga selalu memberikan dukungan semangat kepada penulis.
12.Kepada kawan-kawan Sastra Jepang stambuk 2009 yang telah
memberikan semangat, hiburan, serta persahabatan yang luar biasa selama
4 tahun.
Penulis sadar skripsi ini masih jauh dari sempurna. O leh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, penulis
berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi pembaca.
Medan, 21 Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……….... i
DAFTAR ISI………...……. iv
BAB I PENDAHULUAN……….. 1
1.1 Latar Belakang……….. 1
1.2 Rumusan Masalah………. 7
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan………. 8
1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……….. 8
1.4.1 Tinjauan Pustaka………. 8
1.4.2 Kerangka Teori….……… 10
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 11
1.5.1 Tujuan Penelitian……….. 11
1.5.2 Manfaat Penelitian……… 11
1.6 Metode Penelitian………... 11
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN POLITIK JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA... 14
2.1 Yakuza………. 14
2.1.1 Awal Munculnya Yakuza………...………….. 14
2.1.2 Kelompok-Kelompok Yakuza……….. 17
2.1.2.1 Bakuto………...………... 17
2.1.2.2 Tekiya………... 22
2.1.3.1 Yubitsume... 26
2.1.3.2 Irezumi... 27
2.1.4 Giri dan Ninjō Dalam Yakuza... 29
2.1.5 Struktur Organisasi Yakuza... 31
2.1.6 Obyek Bisnis Yakuza... 36
2.2 Politik Jepang Setelah Perang Dunia Kedua... 39
2.2.1 Politik Jepang Pada Masa Pendudukan Sekutu... 39
2.2.2 Politik Jepang Setelah Tahun 1952... 40
BAB III PENGARUH YAKUZA DALAM POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA... 45
3.1 Pengaruh Terhadap Partai... 45
3.2 Pengaruh Terhadap Pemerintahan Pusat... 52
3.3 Pengaruh Terhadap Pemerintahan Daerah... 60
3.4 Pengaruh Terhadap Ketenagakerjaan... 62
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 64
4.1 Kesimpulan... 64
4.2 Saran... 67
ABSTRAK
PENGARUH YAKUZA DALAM POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA
Yakuza adalah organisasi kejahatan yang pertama sekali muncul pada zaman Edo. Pada awalnya yakuza merupakan sekelompok ronin yang sering mengganggu masyarakat. Ada dua kelompok dalam yakuza yaitu bakuto dan tekiya. Yakuza memiliki struktur organisasi yang tersusun rapi dan memiliki pola identitas yaitu irezumi dan yubitsume. Loyalitas yang tinggi terhadap organisasi yang membedakan yakuza dengan organisasi kejahatan lainnya. Yakuza melakukan berbagai tindak kejahatan dan terlibat dalam bisnis ilegal seperti
narkoba, prostitusi, perjudian, dan lain-lain.
Jepang merupakan negara dengan kehidupan politik yang sangat maju dan
selalu mengalami perkembangan. Setelah perang dunia kedua, politik Jepang
didasarkan atas kebijakan-kebijakan yang buat oleh pasukan sekutu dan
kebijakan-kebijakan yang dibuat setelah masa pendududukan pasukan sekutu
berakhir. Setelah perang, pemerintahan Jepang didominasi oleh tokoh-tokoh
politik konservatif, terutama politikus Parta i Liberal Demokrat (Jiyūminshutō).
Partai ini merupakan partai paling berkuasa sejak tahun 1955 sampai awal tahun
1990. Pada masa kekuasaan partai ini terdapat beberapa kebijakan yang
menimbulkan kontroversi. Salah satu penyebabnya adalah karena pengaruh
yakuza.
hubungan yang terjadi antara yakuza dengan politik pemerintahan Jepang. Hubungan ini dipengaruhi juga oleh adanya kelompok-kelompok politik sayap
kanan. Kelompok ini merupakan orang-orang dengan pemikiran politik yang
radikal. Yakuza dan kelompok sayap kanan sering bekerjasama dalam mempengaruhi dunia politik Jepang. Banyak orang-orang sayap kanan yang
berhasil masuk ke dunia politik dengan bantuan yakuza.
Yakuza terlibat dalam pembentukan Partai Liberal Demokrat (Jiyūminshutō). Seorang pemimpin dari semua pemimpin yakuza bernama Kodama Yoshio memberikan uang dalam jumlah besar dalam proses
pembentukan Jiyūminshutō. Sejak saat itu Jiyūminshutō menjadi partai paling
berkuasa dan Kodama mampu mengendalikan partai tersebut. Dangan
kemampuan dan koneksinya, Kodama menaikkan politikus-politikus yang
memiliki hubungan dengannya ke posisi penting di pemerintahan. Hal itu
mengakibatkan beberapa kebijakan yang dibuat pemerintah tidak sesuai dan
terkesan dipaksakan. Kodama juga terlibat dalam kasus suap dan korupsi yang
melibatkan politikus penting di pemerintahan.
Yakuza sering digunakan sebagai penjaga keamanan dalam kampanye Jiyūminshutō. Selain itu, yakuza sering direkrut pemerintah untuk membubarkan
aksi unjuk rasa. Perusahaan-perusahaan besar juga sering menggunakan yakuza untuk membubarkan aksi mogok massal para buruh. Hal itu menunjukkan
pengaruh besar yakuza tidak hanya dalam politik, tetapi juga ketenagakerjaan
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan
bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik juga dapat
diartikan sebagai aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan
untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah
berlaku di tengah masyarakat (
http://www.sarjanaku.com/2012/11/pengertian-politik-menurut-para-ahli.html). Sehingga dapat dikatakan bahwa inti dari politik adalah
kekuasaan, dan politik bersangkut paut dengan negara dan pemerintahan.
Politik bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen
peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat
terlepas dari gejala konflik dan kerja sama (Andrew Heywood dalam Budiardjo,
2008 : 16). Menurut Peter Merkl dalam Budiardjo (2008 : 15-16), politik dalam
bentuk paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan
berkeadilan, sedangkan politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan
kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri. Politik
adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan
mempertahankan kekuasaan. Hal tersebut senada dengan pendapat Harold D.
Laswell dan Abraham Kaplan dalam Budiardjo (2008 : 60) yang mengatakan
menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak
pertama.
Jepang merupakan negara dengan kehidupan politik yang sangat maju.
Kehidupan politik Jepang telah berlangsung lama sejak zaman Yamato yang
merupakan sistem politik tradisional. Seiring perkembangan zaman, kehidupan
politik Jepang berubah dan semakin berkembang. Pergantian kekuasaan,
pemerintahan, kebijakan negara, pengambilan keputusan, dan proses menuju
negara demokrasi merupakan rangkaian panjang sejarah politik Jepang sampai
sekarang.
Politik Jepang setelah perang dunia kedua didasarkan atas
kebijakan-kebijakan yang diberlakukan antara tahun 1945 dan tahun berakhirnya masa
pendudukan pasukan sekutu tahun 1952, ketika keamanan Jepang-Amerika
dibentuk dan perjanjian perdamaian ditandatangani. Selama masa itu, pendudukan
Amerika melaksanakan banyak perubahan dalam segala bidang dengan
melaksanakan demokratisasi dan penghapusan militerisme dan fasisme.
Gabungan-gabungan industri besar (zaibatsu) dibubarkan dan dilaksanakanlah reformasi sampai tuntas. Undang-Undang Dasar Jepang yang baru merupakan
perlindungan hukum terhadap pembaharuan itu. Partai-partai konservatif sebelum
perang kembali muncul dalam bentuk yang telah diperbaharui dan partai-partai
reformis yang hanya mempunyai kekuatan kecil sebelum perang memperoleh
keuntungan besar dengan adanya kebijakan demokratisasi itu. Sesudah perang,
terbentuk suatu pemerintah koalisi antara partai konservatif dan sosialis yang
Jepang disamping merupakan sebuah negara dengan kehidupan politik,
perekonomian dan kebudayaan yang sangat maju ternyata memiliki suatu
fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. Fenomena itu berupa sebuah bentuk
kebudayaan dalam hal sistem organisasi sosisal masyarakat Jepang. Yakuza merupakan kelompok sosial masyarakat Jepang yang diidentikkan dengan
organisasi kejahatan yang penuh dengan kekerasan dan kekejaman. Yakuza muncul pertama kali pada zaman Edo, tepatnya pada masa pemerintahan Shogun
Tokugawa. Berawal dari perang saudara yang berlangsung selama berabad-abad
mencapai akhir bersejarah ketika Tokugawa Ieyasu menyatukan Jepang pada 1604.
Tetapi pada saat itu Jepang belum stabil. Perdamaian mengakibatkan sekitar
500.000 samurai menganggur, padahal keahlian mereka adalah di bidang ketentaraan dan seni bela diri.
Akhirnya sebagian samurai berusaha mencari profesi lain untuk melanjutkan hidup seperti berdagang, atau sebagai cendikiawan dan ahli filsafat.
Namun tidak semua yang berhasil dan para samurai yang tidak mempunyai pekerjaan akhirnya memilih jalan lain yaitu mengganggu masyarakat. Masyarakat
menyebut samurai pengganggu ini sebagai hatamoto yakko atau kabukimono, yang berarti samurai pengembara tak bertuan yang suka berpakainan mencolok dan gemar melakukan kekerasan atau kejahatan. Kemudian muncul machi yakko, yaitu sekelompok pemuda kota yang bergabung untuk menghalau serangan para
hatamoto yakko. Kelompok ini berasal dari berbagai golongan, seperti juru tulis, pemilik toko, atau seniman. Mereka cukup handal dalam menggunakan pedang
dan lihai dalam hal berjudi. Mereka dianggap sebagai pahlawan kota oleh
Setelah kabukimono berhasil dikalahkan, para pahlawan tersebut menjadi tidak memiliki pekerjaan. Inilah awal mulanya kelompok machi yakko menjadi pengganggu bagi masyarakat dan menjadikan mereka dikenal sebagai yakuza. Yakuza tradisional terdiri dari kelompok bakuto atau penjudi, dan tekiya atau pedagang. Anggotanya kebanyakan berasal dari golongan orang miskin, orang
yang tidak memiliki lahan, pelanggar hukum, dan yang dianggap berbeda oleh
kaum mayoritas. Setiap kelompok yakuza tradisional menjaga wilayah kekuasaannya masing- masing tanpa menimbulkan konflik dan sampai sekarang
organisasi ini masih eksis dalam masyarakat Jepang (Kaplan & Alec Dubro,
2011 : 4-16).
Sebagai organisasi kejahatan yang terorganisir, yakuza melakukan berbagai tindak kejahatan dan menguasai bisnis-bisnis ilegal seperti narkoba,
prostitusi, dan bisnis lainnya yang dilakukan secara ilegal. Namun yang mencolok
dari yakuza tidak hanya kejahatan dan bisnis-bisnis ilegalnya. Yakuza juga terlibat dalam kehidupan politik pemerintahan Jepang sejak perang dunia kedua berakhir.
Keterlibatan yakuza dalam politik pemerintahan Jepang sangat erat kaitannya dengan kelompok-kelompok ultranasionalis yang sudah ada di Jepang sejak tahun
1880. Kelompok ultranasionalis di Jepang ada dua yaitu kelompok kanan dan kiri.
Kelompok ultranasionalis kanan atau yang disebut kelompok sayap kanan terdiri
dari sekelompok aktivis pemuja kaisar dan antikomunis. Sedangkan kelompok
ultranasionalis kiri atau kelompok sayap kiri terdiri dari orang-orang yang
memiliki paham komunis dan sosialis. Kedua kelompok ini saling bertentangan
Yakuza memiliki hubungan yang cukup baik dengan kelompok sayap kanan. Hal itu dikarenakan yakuza dan kelompok sayap kanan memiliki pendapat yang sejalan, yaitu sangat meninggikan kaisar, sama-sama menginginkan Jepang
menjadi kekuatan militer terbesar, dan keduanya sering melakukan tindak
kekerasan untuk mencapai tujuannya. Selain itu, yakuza dan kelompok sayap kanan sangat membenci paham komunis. Hal itu kemudian yang menyebabkan
sering terjadi pertikaian kedua kelompok tersebut dengan kelompok sayap kiri
yang beraliran komunis dan sosialis. Kerjasama dan paham yang sejalan antara
yakuza dengan kelompok sayap kanan menjadikan kedua kelompok tersebut seolah tidak ada bedanya. Masyarakat Jepang menganggap orang-orang yang ada
dalam kelompok sayap kanan merupakan anggota yakuza. Yakuza mulai berpengaruh dalam kehidupan politik pemerintahan Jepang sejak perang dunia
kedua berakhir, yaitu pada saat pasukan Amerika menduduki Jepang yang kalah
dalam perang. Kekalahan Jepang meninggalkan kehancuran di seluruh wilayah.
Bangsa Jepang harus menanggung malu dan perekonomian negara dalam keadaan
kritis. Dalam waktu dua minggu setelah Jepang menyerah kalah, pasukan
Amerika mulai mendarat di Jepang dan mendirikan markas besar negara- negara
sekutu yang bernama SCAP (Supreme Commander for the Allied Powers). Keberadaan pasukan Amerika di Jepang bertujuan untuk membuat ulang Jepang.
Pasukan sekutu kemudian menangkap para penjahat perang, jenderal
militer, dan para politikus radikal sayap kanan. Selama masa pendudukan
Amerika, terjadi banyak perubahan dalam segala bidang dengan melaksanakan
demokratisasi dan penghapusan militerisme. Namun tujuan Amerika bukan hanya
terhadap komunisme juga merupakan salah satu faktor penyebab pendudukan
Amerika untuk mencegah masuknya pengaruh Uni Soviet di Jepang.
Kekhawatiran tersebut menimbulkan terjadinya penyelewengan kekuasaan oleh
Amerika. Selama masa pendudukan ternyata pasukan Amerika bekerjasama
dengan yakuza untuk menyingkirkan kaum kiri. Dengan alasan memera ngi komunisme, Amerika membantu dan membiayai operasi penyingkiran kelompok
sayap kiri oleh yakuza.
Solidnya organisasi yakuza, disamping karena kombinasi antarklan yang sangat baik juga dipengaruhi oleh sosok kepemimpinan Kodama Yoshio,
godfather dari semua godfather yakuza. Kodama memiliki semua kemampuan untuk membuat yakuza semakin kuat dalam segala bidang. Kerjasama dengan intelijen Amerika, hubungan yang sangat dekat dengan para pemimpin politik
Jepang, dan berhasil mempersatukan kelompok-kelompok yakuza adalah sebagian dari prestasi Kodama. Kodama bahkan memiliki beberapa anak didik yang
kemudian sukses berkarir di dunia politik Jepang. Kasus besar yang sangat
menarik perhatian terhadap yakuza adalah kasus suap perusahaan pembuatan pesawat Amerika, Lockheed Corporation dengan perusahaan penerbangan Jepang,
All N ippon Airways yang juga melibatkan Kodama dan politikus Jepang. Kodama
juga memiliki pengaruh besar dalam Jiyūminshutō (Partai Liberal Demokrat) yang
merupakan partai politik paling berkuasa di Jepang sejak akhir perang dunia
kedua sampai sekarang. Bantuan dana Kodama dalam proses penggabungan
Jiyūtō (Partai Liberal) dan Minshutō (Partai Demokrat) menjadi Jiyūminshutō
tersebut, diantaranya beberapa pemimpin yakuza yang berhasil memenangkan pemilu, kabinet pemerintahan yang beberapa diantaranya diduduki oleh
orang-orang yakuza, bahkan beberapa perdana menteri Jepang pun terlibat dengan yakuza. Kerjasama dan keterlibatan yakuza dalam politik pemerintahan Jepang merupakan fakta yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik Jepang.
Hal inilah yang menjadi alasan penulisan skripsi yang berjudul “Pengaruh
Yakuza Dalam Politik Pemerintahan Jepang Setelah Perang Dunia Kedua”.
1.2Rumusan Masalah
Yakuza dianggap mewakili kejahatan terorganisir di Jepang karena yakuza memiliki struktur organisasi yang tersusun dengan rapi untuk mengatur segala
aktivitas anggotanya. Loyalitas yang tinggi dalam organisasi membuat yakuza dapat bertahan sampai sekarang dan mampu menjalankan kegiatan-kegiatan ilegal
dengan rapi. Selain karena faktor kordinasi yang baik antarklan, hubungan yang
terjalin antara yakuza dengan tokoh-tokoh politik dalam pemerintahan Jepang juga sangat berpengaruh terhadap keberadaan yakuza sampai sekarang. Yakuza mengetahui siapa yang berkuasa dan ingin membentuk aliansi dengan pemegang
kekuasaan. Tokoh politik sayap kanan, anggota parlemen, dan petinggi partai
berkuasa di Jepang merupakan target utama yakuza dalam menjalin kerjasama. Meskipun yakuza kebanyakan dikenal sebagai organisasi kejahatan, mafia, atau gangster yang sering membuat kekacauan dan menjalankan bisnis ilegal,
namun keberadaan yakuza sebagai organisasi kejahatan yang mampu masuk ke dalam kehidupan politik Jepang terutama setelah perang dunia kedua merupakan
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengangkat permasalahan dalam
bentuk pertanyaan yang akan dibahas pada skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keadaan politik pemerintahan Jepang setelah perang dunia
kedua?
2. Bagaimana pengaruh yakuza dalam politik pemerintahan Jepang setelah perang dunia kedua?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Agar penelitian lebih teratur maka ruang lingkup pembatasan harus
dibatasi. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak terlalu luas dan
berkembang jauh, sehingga masalah yang akan dibahas dapat lebih terarah.
Dalam penulisan skripsi ini, ruang lingkup yang akan diba has difokuskan
pada pengaruh yakuza dalam politik pemerintahan Jepang setelah perang dunia kedua sampai sekarang. Untuk mendukung pembahasan ini, penulis juga akan
menjelaskan mengenai gambaran umum yakuza dan keadaan politik pemerintahan Jepang setelah perang dunia kedua.
1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka
Politik menurut Budiardjo (2008:15) adalah usaha untuk menentukan
peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk
membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Di dalam
unsur ini diperlukan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul dalam proses politik.
Kekuasaan (power) menurut Barbara Goodwin dalam Budiardjo (2008:60) adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang
oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya ia tidak dilibatkan. Dengan
kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
kehendaknya.
Yakuza merupakan contoh dari suatu kelompok yang mampu mempengaruhi seseorang untuk bertindak dan melakukan sesuatu yang mereka
inginkan. Yakuza merupakan organisasi kejahatan yang mampu berpengaruh dalam kehidupan politik pemerintaan Jepang setelah perang dunia kedua. Yakuza mengetahui siapa yang berkuasa dalam pemerintahan dan ingin membentuk
aliansi dengan pemegang kekuasaan. Sampai saat ini, peran yakuza dalam dunia politik Jepang masih berlanjut, yaitu sebagai penyedia uang dan sebagai penjahat
bayaran (Kaplan & Alec Dubro, 2011 : 34-59).
Zairun (1982:3) mengatakan bahwa organisasi adalah suatu proses
bangunan lembaga yang merupakan hasil proses pembagian dan penyatuan usaha
yang ditujukan ke arah tercapainya suatu tujuan. Sejalan dengan pendapat tersebut,
Winardi (2003 : 11) mengatakan bahwa organisasi merupakan sebuah sistem yang
terdiri dari aneka macam elemen atau subsistem, dan manusia adalah subsistem
terpenting, dan dimana terlihat bahwa masing- masing subsistem saling
berinteraksi dalam upaya mencapai sasaran-sasaran atau tujuan-tujuan organisasi
1.4.2 Kerangka Teori
Dalam melakukan dan menyusun sebuah penelitian, dibutuhkan kerangka
teori yang memuat pokok-pokok persoalan, namun tidak menyimpang dan
melebar. Hal ini untuk memberi arah dan acuan sementara terhadap jalannya suatu
penelitian. Dalam mengerjakan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
penelitian historis (Historical Research). Menurut Sumadi Suryabrata (1983 : 16) tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara
sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi,
memverifikasikan, serta mensistesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan
memperoleh kesimpulan kuat. Penulis menggunakan pendekatan ini dikarenakan
pengaruh yakuza dalam politik pemerintahan Jepang merupakan bagian dari perjalanan panjang sejarah yakuza sejak dulu sampai sekarang. Keseluruhan peristiwa di dalamnya sudah terjadi (historis).
Penulis juga menggunakan pendekatan penelitian sosiologis, karena
pembahasan dalam pendekatan ini mencakup golongan sosial yang berperan, jenis
hubungan sosial, konflik berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan dan
status sosial, dan sebagainya (Dudung Abdurrahman, 1999 : 11). Penulis
menggunakan pendekatan ini untuk mengetahui bagaimana hubungan sosial yang
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui keadaan politik pemerintahan Jepang setelah perang
dunia kedua.
2. Untuk mengetahui pengaruh yakuza dalam politik pemerintahan Jepang
setelah perang dunia kedua.
1.5.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini yaitu:
1. Dapat menambah wawasan mengenai sejarah dan perkembangan yakuza di Jepang.
2. Dapat menambah wawasan mengenai perkembangan dan keadaan politik
pemerintahan Jepang terutama setelah perang dunia kedua.
3. Dapat memberikan dan menambah informasi sejauh mana pengaruh
yakuza dalam politik pemerintahan Jepang terutama setelah perang dunia kedua.
4. Dapat dijadikan sumber ide dan tambahan informasi bagi peneliti
selanjutnya yang ingin meneliti organisasi yakuza lebih jauh.
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah prosedur atau tatacara yang sistematis yang
dilakukan seorang peneliti dalam upaya mencapai tujuan seperti memecahkan
Dalam mengerjakan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan peristiwa atau gejala apa adanya.
Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu
memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan,
gejala, atau kelompok tertentu dalam memecahkan masalah penelitian,
mengumpulkan, menyusun, mengklarifikasikan, mengkaji, dan
menginterpretasikan data.
Penelitian ini dilakukan dengan mengamati objek masalah yang terjadi,
kemudian mengumpulkan data berdasarkan fakta- fakta yang ada, kemudian
mengembangkan data yang telah didapat sesuai dengan informasi dan data yang
sesuai dan berhubungan dengan masalah dalam skripsi ini. Data-data yang
berhubungan dan dibutuhkan dalam penelitian ini didapat dan dikumpulkan
melalui metode Penelitian Kepustakaan atau Library Research. Menurut Nasution (1996 : 14), metode kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang
dipilih penulis. Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang
mendukung penulisan skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang
sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang
perlu dicari dan diteliti meliputi : masalah, teori, konsep, kesimpulan serta saran.
Metode kepustakaan merupakan metode yang mengutamakan
pengumpulan data dari beberapa buku atau re ferensi yang berkaitan dengan
pembahasan untuk mencapai tujuan penelitian (Mulyadi dalam Syahwani, 2006 :
Data dihimpun dari berbagai literatur buku yang berhubungan dengan
masalah penelitian yang terdapat di Perpustakaan Pusat USU, Perpustakaan Sastra
Jepang USU, Perpustakaan FISIP USU, serta jurnal maupun artikel dan berbagai
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN POLITIK JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA
2.1Yakuza
2.1.1 Awal Munculnya Yakuza
Yakuza pertama sekali muncul pada zaman Edo atau zaman Tokugawa (1603-1868). Zaman Edo ditandai dengan terjadinya perang besar di Jepang yang
melibatkan keluarga Toyotomi dengan keluarga Tokugawa, yaitu perang
Sekigahara. Perang tersebut berawal dari perselisihan daimyo (penguasa wilayah pada zaman feodal) dari kedua keluarga tersebut untuk memperebutkan kekuasaan
dan kedudukan shogun sebagai pengganti Toyotomi Hideyoshi yang meninggal pada tahun 1598. Menurut tradisi, yang berhak mewarisi kedudukan shogun adalah putra dari Toyotomi Hideyoshi, yaitu Toyotomi Hideyori. Namun
kekuatan Tokugawa Ieyasu semakin hari semakin kuat dan hal tersebut membuat
khawatir keluarga daimyo Ishida Mitsunari (1560-1600) yang merupakan pendukung Hideyori Ieyasu. Karena kekhawatiran tersebut, Ishid a Mitsunari
kemudian mengumpulkan pengikutnya untuk menjatuhkan Tokugawa Ieyasu.
Tetapi Tokugawa Ieyasu tidak membiarkan begitu saja, sehingga perselisihan
diantara daimyo-daimyo pendukung keluarga tersebut semakin memanas dan akhirnya terjadilah perang Sekigahara.
Perang Sekigahara berhasil dimenangkan oleh Tokugawa Ieyasu. Ia
(Tokyo) pada tahun 1603. Meskipun perang sudah berakhir, namun Jepang belum
stabil. Perdamaian mengakibatkan sekitar 500.000 samurai kehilangan tuan dan menganggur, padahal keahlian utama mereka adalah dibidang ketentaraan dan
bela diri. Samurai yang tidak memiliki tuan ini disebut ronin. Kemudian sebagian besar samurai tersebut bergabung dengan kelas pedagang yang sedang berkembang. Sebagian lagi menemukan pekerjaan dalam birokrasi sipil atau
sebagai cendikiawan dan filsuf. Namun tidak semuanya bisa berhasil. Para ronin yang pengangguran ini terpaksa memilih jalan lain untuk meneruskan hidupnya
yaitu sebagai perampok, pengganggu, suka membuat perkelahian di jalan, dan
menebar teror. Para ronin pengangguran tersebut membentuk beberapa kelompok dalam melakukan aksinya dan menamakan dirinya kabuki-mono. Masyarakat menganggap kelompok ini sebagai orang-orang aneh karena perilaku mereka yang
menyimpang dan penampilan yang eksentrik. Kemanapun mereka pergi, kabuki-mono selalu berpakaian aneh dan potongan rambut yang tidak lazim pada zaman itu, serta selalu membawa pedang panjang untuk menakuti lawan mereka.
Kabuki-mono juga dikenal masyarakat sebagai hatamoto-yakko, yaitu ronin pembantu shogun yang menerapkan loyalitas yang tinggi pada tuannya dan bersumpah untuk saling melindungi sesama kelompoknya dalam situasi apapun,
bahkan bila harus melawan orangtua sendiri.
toko, pemilik penginapan, seniman, buruh, serta samurai pengembara. Kelompok ini dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kota dari gangguan para kabuki-mono yang semakin lama semakin meresahkan masyarakat. Karena tujuannya adalah untuk melindungi kota, masyarakat menerima dan menganggap kelompok
ini sebagai pahlawan.
Seiring waktu berlalu, kabuki-mono berhasil dikalahkan. Namun hal ini kemudian menyebabkan machi-yakko tidak lagi memiliki pekerjaan sebagai pahlawan kota. Justru para machi-yakko ini yang kemudian membuat resah masyarakat dengan kegiatan sehari- hari mereka yaitu berjudi. Sebagian lagi
memilih untuk menjadi pedagang keliling. Namun bukan seperti pedagang pada
umumnya, pedagang ini sering menipu masyarakat bahkan sesama kelompok
pedagang. Kedua kelompok ini yaitu bakuto (penjudi) dan tekiya (pedang keliling) kemudian dikenal sebagai kelompok yakuza tradisional.
Istilah ‘yakuza’ berasal dari sebuah permainan kartu hanafuda (kartu bunga) yang dimainkan oleh kelompok bakuto (penjudi). Dalam permainan kartu ini, para pemain dibagi tiga buah kartu. Jumlah angka yang mereka pegang
berasal dari angka terakhir dari jumlah angka keseluruhan dala m kartu yang
mereka miliki. Apabila dalam permainan seorang pemain mendapatkan total
angka dari kombinasi kartu yang dimiliki berjumlah 20, maka pemain tersebut
dianggap kalah. Angka terakhir merupakan angka penentu, dan angka 0
merupakan angka yang paling buruk. Kombinasi tiga angka terburuk yang
menghasilkan nilai 20 adalah angka 8, 9, dan 3. Ketiga angka tersebut dalam
bermain kartu dan tidak berguna dalam kelompoknya. Semakin lama istilah ini
semakin meluas dan kemudian digunakan juga oleh kelompok tekiya.
2.1.2 Kelompok-Kelompok Yakuza
Kelompok-kelompok yakuza terdiri dari kelompok bakuto atau penjudi dan tekiya atau pedagang keliling. Kedua kelompok ini telah ada sejak zaman Edo, yaitu sisa-sisa para ronin dan kelompok machi-yakko yang dulunya dianggap pahlawan oleh masyarakat, dan sebagian lagi berasal dari masyarakat golongan
bawah yang merasa terbuang dan tidak dianggap oleh masyarakat pada umumnya.
Tetapi tidak semua anggota yakuza berasal dari masyarakat golongan bawah yang terbuang. Ada juga berasal dari keluarga mampu dan terpandang. Umumnya
mereka memilih bergabung dengan kelompok yakuza karena merasa tertekan dengan tuntutan dalam keluarga, atau para pelajar yang putus sekolah dan yang
dibuang oleh orangtuanya karena faktor ekonomi dan lain-lain.
2.1.2.1 Bakuto
Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang hobi dan sangat mahir dalam
berjudi. Pada masa pemerintahan Tokugawa, bakuto sering direkrut oleh pemerintah dan bos-bos konstruksi lokal. Para bos ini bertanggungjawab terhadap
berbagai pekerjaan irigasi dan konstruksi. Mereka mengeluarkan upah dalam
jumlah yang cukup besar kepada pekerjanya. Namun, dengan taktik yang licik
para bos ini berusaha mendapatkan kembali uang tersebut. Caranya adalah dengan
keahlian yang dimiliki oleh bakuto, pekerja-pekerja tersebut kalah dan uang gaji mereka kembali ke tangan para bos lokal.
Para penjudi sewaan tersebut akhirnya menarik perhatian pedagang,
seniman, maupun orang-orang yang memiliki status tinggi seperti samurai dan pemain sumo. Ketika tumbuh menjadi kelompok terorganisasi, penjudi-penjudi awal tersebut mendirikan tempat-tempat perjudian di sepanjang jalan utama. Jalan
raya pada masa Jepang feodal merupakan lingkungan yang ramah bagi penjudi.
Guna mencegah terjadinya pemberontakan di provinsi, pemerintah Tokugawa
memerintahkan semua tuan tanah untuk mengunjungi Tokyo setahun sekali,
sementara keluarga mereka harus menetap di Tokyo secara permanen. Dengan
demikian, jalan-jalan utama menjadi jalur perpolitikan negara karena
terus-menerus dilalui oleh bangsawan beserta abdinya dan para kurir.
Tempat-tempat pemberhentian dibangun disepanjang jalan, sehingga para
pengguna jalan bisa beristirahat dimalam hari dan mendapat hiburan, termasuk
berjudi. Rute terkenal pada masa itu adalah Tokaido yang dibangun pada tahun
1603. Rute tersebut menghubungkan Kyoto dan Tokyo. Secara keseluruhan ada
53 tempat peristirahatan disepanjang rute Tokaido. Pada pertengahan abad ke-19,
sebagian besar tempat peristirahatan tersebut menjadi pusat kegiatan geng bakuto. Kelompok bakuto merupakan kelompok yang pertama kali menggunakan istilah “yakuza”, karena kata “yakuza” sendiri berasal dari permainan kartu hanafuda. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemain dianggap kalah apabila mendapat jumlah angka 20 dan 8-9-3 merupakan salah satu kombinasi
Kombinasi ya-ku-sa kemudian digunakan secara luas di kalangan geng penjudi awal untuk menunjukkan seseorang yang tidak berguna. Semakin lama,
istilah tersebut ditujukan kepada kaum penjudi sendiri karena mereka dianggap
tidak berguna bagi masyarakat. Selama bertahun-tahun, penggunaan istilah
“yakuza” terbatas hanya pada geng bakuto. Namun, memasuki abad ke-20,
sedikit demi sedikit istilah “yakuza” mulai digunakan secara luas oleh masyarakat untuk menyebut kelompok bakuto, tekiya, dan kelompok kejahatan lainnya di Jepang.
Kelompok bakuto awal mengembangkan serangkaian aturan mencakup ketaatan mutlak pada kerahasiaan organisasi, kepatuhan pada sistem oyabun-kobun (atasan-bawahan) dan urutan kedudukan yang menentukan status dan peranan dalam kelompok dan aturan serta tradisi ini berlaku dalam organisasi
yakuza sampai sekarang. Bakuto awal adalah organisasi feodal dengan kendali hampir sepenuhnya dipegang oleh oyabun. Promosi jabatan biasanya didasarkan pada performa anggota selama terjadi tawuran antar geng. Selain itu, keahlian
berjudi dan loyalitas kepada oyabun juga sangat dipertimbangkan. Bagi kobun rendahan, promosi ke atas bisa menjadi pekerjaan berat. Biasanya, ia diberi tugas
untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan remeh seperti menyemir dadu,
membersihkan rumah oyabun, menjadi pesuruh dan menjaga bayi.
Para penjudi akan menghukum keras siapa saja yang melanggar aturan
geng. Sifat pengecut, ketidaktaatan, dan membuka rahasia geng tidak hanya
dianggap sebagai pengkhianatan tetapi juga penghinaan terhadap reputasi dan
kehormatan geng. Ada beberapa bentuk pelanggaran yang dianggap sangat tabu,
mati, hukuman terberat adalah diusir dari geng. Setelah me ngusir si pelanggar,
oyabun akan memberitahu geng bakuto lain bahwa orang tersebut tidak lagi diterima dalam kelompoknya.
Berdasarkan kesepakatan umum antargeng, si pelanggar tidak akan bisa
bergabung dengan kelompok lawan. Tradisi sejak dulu ini masih berlaku sampai
sekarang. Apabila terjadi pengusiran, geng yang bersangkutan akan mengirim
serangkaian kartu pos kepada ‘keluarga’ dunia hitam. Kartu pos tersebut berisi pemberitahuan resmi perihal pengusiran serta permintaan kepada geng lain supaya
tidak berhubungan dengan si mantan anggota.
Selain pengusiran dari kelompok, ada juga tradisi hukuman yang
dikenalkan oleh bakuto, yaitu yubitsume. Tradisi ini dilakukan dengan cara memotong ruas jari kelingking tangan apabila anggota melakukan kesalahan.
Tradisi ini dikenalkan oleh kelompok bakuto dan kemudian menyebar pada kelompok-kelompok kejahatan lainnya. Selain yubitsume, tradisi irezumi atau tato juga dikenalkan oleh bakuto pada masa feodal. Awalnya tato merupakan bentuk hukuman yang digunakan pemerintah untuk mengasingkan penjahat dari
masyarakat. Namun seiring perkembangan zaman, tato digunakan oleh kelompok
bakuto sebagai ajang unjuk kekuatan, keberanian, ketangguhan, dan kemaskulinan mereka. Layaknya ritual potong jari, tradisi pembuatan tato juga menyebar dari
bakuto ke tekiya dan geng-geng lainnya dalam yakuza.
memungkinkan para geng berkonsolidasi dan memperluas kekuasaan. Akan tetapi,
geng-geng lain memandang bahwa kerjasama dengan polisi bertentangan dengan
kode perilaku para penjudi, sehingga mereka sering menyerang bakuto yang bertentangan.
Walaupun ada beberapa geng yang bekerjasama dengan pemerintah,
sementara geng yang lain mengadakan pertumpahan darah demi memperebutkan
wilayah kekuasaan, umumnya geng- geng bakuto awal bersedia saling membantu. Salah satu bentuk paling jelas dari kebiasaan itu adalah sistem ‘pengelana’ yang diterapkan oleh bakuto. Penjudi yang sedang berkelana akan mengunjungi setiap bos besar di wilayah yang mereka lalui, tinggal selama beberapa hari di rumah bos
tersebut, dan menerima sedikit uang saku. Mereka akan diperlakukan secara sopan,
setara dengan perlakuan yang diterima tamu undangan. Menurut etika bakuto, meskipun tuan rumah dan tamunya adalah orang asing, mereka tetap memiliki
profesi yang sama, yaitu berjudi.
Ketika Jepang mengalami modernisasi, yakuza turut memperluas aktivitas mereka sesuai dengan pertumbuhan ekonomi. Perjudian masih menjadi pusat
kehidupan geng-geng bakuto, meskipun sistem pengelolaan polisi yang semakin baik memaksa mereka untuk membuka perjudian semakin ke bawah, yaitu
tempat-tempat persembunyian di perkotaan atau rumah-rumah pribadi. Banyak
bos besar bakuto mulai menjalankan bisnis legal sebagai kedok bagi bisnis ilegal mereka dan menyogok polisi. Kebiasaa n lama tersebut bertahan lama hingga
2.1.2.2 Tekiya
Kelompok kedua dalam yakuza adalah tekiya atau pedagang keliling. Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan asal-usul tekiya. Ada yang percaya bahwa tekiya berasal dari para nomad yang berkeliling menjual barang dagangan di kota-kota kastil dan pusat perdagangan. Ada juga teori lain yang menyebutkan
bahwa tekiya berasal dari kata yashi, yaitu istilah yang dulu digunakan untuk menyebut pedagang keliling. Karena yashi berkonotasi dengan bandit atau penjahat, kemungkinan tekiya berasal dari para ronin pelanggar hukum yang berkelana di desa-desa.
Ada juga teori yang mengkaitkan tekiya dengan dewa Shinno, yaitu dewa pelindung yashi. Dewa Shinno adalah dewa pertanian dalam mitologi Cina yang dipercaya menemukan obat-obatan untuk menolong orang miskin dan orang sakit.
Teori tersebut menyebutkan bahwa yashi adalah sekelompok pedagang obat keliling. Kata shi berarti obat dan ya berarti pedagang atau pedagang keliling. Seiring waktu, istilah yashi menjadi sebutan umum bagi pedagang keliling yang menjual barang apa saja.
Pada pertengahan tahun 1700-an, tekiya membentuk kelompok-kelompok atas dasar kepentingan bersama sekaligus untuk melindungi diri dari ancaman
pemerintahan Tokugawa. Geng- geng tekiya mampu mengendalikan kios-kios pekan raya yang diadakan di kuil Shinto maupun kuil Buddha. Mereka
mempunyai reputasi menjual barang-barang bermutu rendah dan suka menipu
ketika menjual dagangannya. Hal ini masih bertahan sampai sekarang di kalangan
Para tekiya awal mengembangkan banyak teknik yang terbukti mampu mengelabui pembeli. Misalnya berbohong tentang kualitas dan asal- usul produk,
pura-pura mabuk dan bertingkah seolah-olah menjual barang dengan harga murah
sehingga pembeli percaya kalau si pedagang tidak sadar dengan apa yang ia
lakukan, atau menipu pembeli dengan trik-trik kreatif seperti menjal bonsai tanpa akar.
Tekiya dikelola sesuai dengan status feodal. Anggota tekiya terbagi dalam lima tingkatan, yaitu bos besar atau oyabun, bos kecil, perwira, prajurit, dan pemagang. Dalam beberapa hal, tekiya beroperasi secara canggih. Rumah oyabun berfungsi sebagai markas besar sekaligus pusat pelatihan anggota baru. Para
anggota baru mengawali karier dengan cara tinggal di rumah bos besar dan
mempelajari bisnis. Nantinya, mereka akan bergabung dengan para prajurit dan
harus berkeliling manjajakan barang dagangan si bos ke desa-desa. Jika kembali
dengan membawa hasil yang baik, mereka akan diterima sebagai anggota penuh.
Tekiya memiliki tiga perintah atau aturan organisasi yaitu tidak boleh menyentuh istri anggota lain, tidak boleh membuka rahasia organisasi kepada
polisi, dan wajib menjaga kesetiaan dalam hubungan oyabun-kobun. Bos besar tidak hanya bertugas mengendalikan kobun, tetapi juga mengalokasi kios dan stok barang tertentu. Ia akan mengumpulkan uang sewa dan iuran perlindungan bagi
para pemilik kios yang menyewa. Uang sewa dan iuran perlindungan merupakan
bentuk pemerasan yang masih berlangsung sampai sekarang. Bos tekiya menuntut pembayaran dari pedagang di pinggir jalan karena mereka sudah diizinkan
secara fisik oleh para anggota geng yang ingin mempertahankan monopoli mereka
di wilayah tersebut.
Perbedaan pendapat antarbos tekiya mengenai daerah kekuasaan sering mengarah pada perkelahian. Walaupun demikian, kerjasama yang cukup baik
dapat tercipta di antara geng tekiya. Tidak seperti bakuto, umumnya tekiya melakukan pekerjaan yang sah secara hukum. Bahkan penguasa feodal
memperbesar rentang kekuasaan bos tekiya dengan memberikan pengakuan resmi atas status mereka pada tahun 1735-1740. Demi mengurangi kecurangan diantara
para tekiya dan mencegah terjadinya tawuran memperebutkan wilayah kekuasaan, pemerintah Tokugawa menunjuk sejumlah oyabun sebagai rekanan dan memberikan kehormatan berupa nama keluarga dan dua bilah pedang. Hal itu
menyimbolkan bahwa status mereka mendekati samurai.
Dengan legitimasi yang diberikan pemerintahan Tokugawa dan diiringi
pertumbuhan kota yang sangat pesat hingga satu abad kemudian, geng-geng
tekiya turut meluas. Beberapa geng mulai mengorganisasi sendiri pekan raya tambahan. Mereka menyelenggarakan festival me nyerupai sirkus, diiringi
berbagai pertunjukan menarik serta kios-kios yang menjual makanan, cinderamata,
perlengkapan rumah tangga, dan apapun yang bisa menarik perhatian pembeli.
Meskipun sudah mendapatkan legitimasi, geng- geng tekiya tetap mengembangkan beberapa karakteristik geng kriminal. Contohnya, memasukkan
penjahat dan buronan kedalam jaringan mereka yang luas atau perlindungan
terhadap bisnis ilegal yang semakin berkembang seiring dengan bertambahnya
daerah kekuasaan. Tawuran antargeng bahkan kerap mengubah tempat pertemuan
Walaupun pada umumnya tekiya memiliki anggota dari golongan yang sama dengan bakuto, kelompok tekiya awal juga mencari anggota dari orang-orang kelas buangan pada masa Jepang tradisional. Mereka adalah para
burakumin atau ‘orang dusun’ yang membentuk kasta terpisah. Defenisi mengenai kelas burakumin tergantung pada situasi. Umumnya kelas burakumin diisi oleh orang-orang yang bekerja dengan bangkai binatang seperti penyamak kulit atau
pekerjaan sejenis seperti perawat jenazah. Diskriminasi terhadap kaum burakumin sangat kejam dan berlangsung terus- menerus. Biasanya mereka disebut sebagai
eta (sangat kotor) atau hinin (bukan manusia) sehingga baik samurai bahkan rakyat jelata pun diizinkan menyiksa burakumin. Dalam bukunya yang berjudul Peasants, Rebels and Outcasts, sejarawan Mikiso Hane menggambarkan kondisi kehidupan burakumin:
Mereka dibatasi mulai dari tempat tinggal, kualitas rumah, mobilitas keluar-masuk desa, pakaian, gaya rambut, bahkan alas kaki. Di beberapa daerah mereka harus mengenakan tanda pengenal khusus, seperti kerah kuning. Mereka dilarang memasuki kuil Shinto maupun Buddha yang diperuntukkan bagi komunitas non-eta. Pernikahan dengan kelas lain juga sangat dilarang (Hane dalam Kaplan & Alec Dubro, 2011:12)
Di bawah pemerintaha Tokugawa, siapapun yang melanggar hukum atau
adat akan diturunkan statusnya menjadi eta atau hinin. Dengan demikian, beberapa anggota tekiya sudah lebih dulu dicap bukan manusia. Pada waktu yang bersamaan, banyak orang yang lahir dari keluarga burakumin bergabung dengan geng tekiya yang menyediakan jalan keluar dari kemiskinan.
Berjualan keliling desa setidaknya memberikan kesempatan bagi kaum
berpotensi memunculkan pelaku kriminalitas. Pada masa akhir pemerintahan
Tokugawa yaitu sekitar tahun 1867, jumlah burakumin mencapai 400.000 jiwa dari populasi Jepang pada saat itu yang berjumlah 33.000.000 jiwa. Bentuk
diskriminasi yang sah secara hukum terhadap burakumin akhirnya resmi dihapuskan pada tahun 1871 melalui keputusan pemerintah. Tetapi, sikap
sewenang-wenang terhadap mereka masih saja terjadi sehingga hal itu ter us
mendorong sejumlah besar burakumin mesuk ke dalam cengkeraman yakuza.
2.1.3 Pola Identitas Yakuza
Pada umumnya, setiap organisasi kejahatan pasti menjalankan aktivitasnya
secara diam-diam untuk menyembunyikan identitas. Tetapi yakuza tidak merahasiakan identitas dan keberadaan mereka seperti organisasi kejahatan yang
lain. Yakuza justru terbuka dan menunjukkan kepada masyarakat siapa diri mereka. Beberapa karakteristik yakuza yang terlihat jelas di masyarakat dapat dilihat dari simbolisme pada tubuh yakuza. Simbolisme tubuh yakuza pertama kali dikenalkan oleh kelompok bakuto pada zaman dulu dan tradisi tersebut berlangsung sampai sekarang. Yubitsume atau pemotongan jari dan irezumi atau pembuatan tato adalah simbolisme tubuh yang menunjukkan identitas yakuza di masyarakat.
2.1.3.1 Yubitsume
Sifat pengecut, ketidaktaatan, dan membuka rahasia geng tidak hanya dianggap
sebagai pengkhianatan tetapi juga penghinaan terhadap reputasi dan kehormatan
geng. Apabila melakukan kesalahan, anggota yakuza dapat dihukum mati atau diusir dari geng, tergantung seberapa besar kesalahan yang dilakukannya. Selain
hukuman mati dan diusir dari geng, yakuza juga memiliki bentuk hukuman lain yang juga menunjukkan identitas mereka kepada masyarakat yaitu yubitsume.
Yubitsume adalah bentuk hukuman bagi pelanggar peraturan dalam organisasi yakuza. Yubitsume merupakan tradisi potong jari yang dikenalkan sejak dulu oleh kelompok bakuto atau penjudi dan berlaku sampai sekarang. Dalam ritual potong jari, ruas teratas jari kelingking dipotong dalam suatu upacara. Pada
awalnya yakuza memberlakukan hukuman potong jari dengan tujuan melemahkan genggaman, artinya pedang yang memiliki peran signifikan bagi yakuza awal tidak dapat lagi digenggam erat. Ritual tersebut, baik dipaksakan atau dilakukan
secara sukarela, berhasil membuat kobun atau anggota yakuza yang suka melanggar aturan menjadi patuh dan tergantung kepada atasannya.
2.1.3.2 Irezumi
Pada zaman feodal, tato digunakan oleh pemerintah sebagai bentuk
hukuman yang digunakan untuk mengasingkan para penjahat dari mas yarakat.
Para penjahat diberi tato berbentuk lingkaran hitam di sekeliling lengan untuk
setiap pelanggaran yang dilakukan, sehingga masyarakat dapat mengenali
penjahat dan menjauhinya. Akan tetapi, tato kemudian mengalami perkembangan
penjahat, tetapi juga sebagai hasil seni dan menjadi tradisi mulia di Jepang. Tato
Jepang merupakan salah satu yang terbaik di dunia dan telah berusia ratusan tahun.
Seiring waktu, pola desain tato berkembang dan semakin kompleks,
berupa gabungan antara gambar dewa-dewa terkenal, pahlawan rakyat kecil,
binatang, dan bunga yang sangat indah. Pada akhir abad ke-17, desain tato yang
rumit dan membentang di seluruh tubuh menjadi popular di kalangan penjud i dan
pekerja kasar seperti kuli angkut, pembantu di kandang kuda, tukang batu, bahkan
para geisha.
Asal mula tradisi irezumi dalam yakuza dilakukan oleh kelompok bakuto. Mereka membuat tato di seluruh tubuh untuk menunjukkan identitas mereka
dalam masyarakat. Selain sebagai identitas, tato bagi yakuza juga menunjukkan hubungan oyabun-kobun atau hubungan saudara. Anggota yakuza yang memiliki pola dan gambar tato yang sama membuktikan komitmennya dalam kelompok
yakuza. Pembuatan tato bagi anggota yakuza juga dianggap sebagai uji kekuatan. Hal itu dikarenakan pembuatan tato dengan cara tradisional adalah proses yang
sangat menyakitkan. Seniman tato menggunakan alat yang diukuir dari tulang
atau kayu dengan ujung berupa sekelompok jarum kecil. Alat tersebut kemudian
ditusukkan ke kulit dengan rangkaian tusukan yang menyakitkan. Tusukan sang
seniman tato akan terasa menyengat dan menyakitkan bagi anggota yakuza. Proses pembuatan tato tradisional memakan waktu sangat lama. Untuk membuat
tato seluruh badan dapat memakan waktu selama seratus jam. Lamanya proses
pembuatan tato dan rasa sakit yang dirasakan selama pembuatan tato merupakan
bentuk uji kemampuan anggota dalam menunjukkan keberanian dan ketangguhan
Meskipun zaman sekarang pembuatan tato dap at dilakukan dengan jarum
listrik yang dapat membuat tato lebih cepat dan tidak menyakitkan, masih banyak
anggota yakuza yang lebih memilih menggunakan cara tradisional karena ketangguhan menahan rasa sakit selama proses pembuatan tato sangat dihargai.
Seperti tujuan awal dibuatnya tato oleh pemerintah untuk mengasingkan penjahat
yang tidak berguna, tato yakuza juga merupakan bentuk identitas sebagai kelompok yang diasingkan dari masyarakat.
2.1.4 Giri dan Ninjo Dalam Yakuza
Yakuza pada awalnya berasal dari para ronin, sehingga banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai dari kaum samurai atau pada zaman Tokugawa disebut bushi. Pada masa itu samurai menyusun suatu kode etik yang disebut bushido atau jalan hidup bushi (samurai). Kode etik ini sangat kental dengan unsur kesetiaan dan pengabdian diri yang mutlak kepada tuan. Yakuza menganggap mereka mewarisi nilai- nilai bushido. Kesetiaan kobun kepada oyabun merupakan cerminan bushido yang diakui oleh yakuza. Seperti samurai, yakuza membuktikan kekuatan dan kemampuan mereka dengan ketabahan mereka dalam menahan rasa sakit, lapar
maupun hukuman penjara. Bagi yakuza, kematian adalah takdir yang puitis, tragis, dan terhormat seperti samurai pada zaman dahulu.
yang kompleks. N ilai- nilai tersebut adalah nilai kesetiaan, terima kasih, dan utang
budi. Sehingga dapat diartikan giri adalah kain sosial yang mengikat Jepang dengan penerapan yang terpusat pada hal-hal tertentu seperti sistem oyabun-kobun. Konsep giri yang terdapat dalam nilai bushido menjadi dasar nilai yakuza dalam mengikat hubungan atasan dan bawahan melalui tugas dan kewajiban.
Makna ninjō sejajar dengan perasaan dan emosi. Di dalam ninjō terkandung unsur kemurahan hati, simpati terhadap kaum lemah dan tidak
berdaya, dan empati terhadap orang lain. Ninjō digunakan sebagai ungkapan penghubung dengan giri dan keduanya tidak bisa dipisahkan. Giri merupakan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat, dan ninjō merupakan nilai sosial yang
bersifat pribadi. Yakuza mengadopsi nilai giri dan ninjō untuk menaikkan kedudukan mereka dalam masyarakat. Seorang oyabun dari kelompok Inagawa-kai, salah satu sindikat atau klan yakuza terbesar mengatakan:
“yakuza berupaya menjalani patriotisme dan jalan hidup ksatria. Giri dan ninjō, itulah perbedaan terbesar kami dengan mafia Amerika. Jika memungkinkan, yakuza mencoba mengurus seluruh masyarakat, bahkan jika dibutuhkan satu juta yen untuk menolong satu orang” (Kaplan & Alec Dubro, 2011:18)
Senada dengan pendapat tersebut, seorang bos besar kelompok Sumiyoshi-kai mengatakan:
“pada musim dingin, kami memberikan sisi jalan yang terkena sinar matahari kepada masyarakat karena kami bisa bertahan hidup oleh kerja keras mereka. Pada musim panas, kami berjalan di sisi jalan yang terkena sinar matahari demi memberikan sisi yang sejuk dan teduh kepada mereka. Jika memperhatikan perilaku kami, anda bisa melihat komitmen kami yang kuat terhadap giri dan ninjō” (Kaplan & Alec Dubro, 2011:18)
sebagai akibat perang yaitu sangokujin. Sangokujin terdiri dari orang-orang Korea, Cina, dan Taiwan yang dibawa ke Jepang untuk mengganti para pekerja Jepang
yang direkrut menjadi tentara. Para sangokujin dipaksa bekerja layaknya budak. Setelah Jepang kalah dalam perang, kemarahan kaum sangokujin kepada orang Jepang memuncak akibat diskriminasi dan eksploitasi selama bertahun-tahun. Ada
sebuah kejadian ketika gerombolan sangokujin berjumlah 300 orang menyerang kantor polisi di Kobe sebagai ajang untuk unjuk gigi. Karena kesulitan melawan
sangokujin, walikota Kobe meminta bantuan kepada Taoka Kazuo, bos besar Yamaguchi-gumi. Taoka bersama anak buah dan sekutunya berhasil menyergap sangokujin di kantor polisi tersebut, menyerang mereka dengan pedang, senjata api dan granat. Sangokujin berhasil dikalahkan dan polisi memiliki utang giri kepada yakuza.
Pertempuran melawan sangokujin tersebut sangat patriotik dan sangat dikenang. Yakuza diposisikan sebagai pahlawan yang terjepit musuh tetapi berhasil menyelamatkan Jepang dari orang asing yang jahat. Layak nya para
samurai yang suka menolong, yakuza juga memposisikan dirinya sebagai samurai.
2.1.5 Struktur Organisasi Yakuza
Yakuza dikenal sebagai organisasi kejahatan yang memiliki ciri khas tersendiri dengan struktur organisasi yang rapi, sehingga hal inila h yang
membedakan yakuza dengan organisasi-organisasi kejahatan lainnya di dunia. Yakuza bukan hanya sekedar kumpulan penjahat dan orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda, tetapi mereka semua tergabung dalam suatu ikatan
Dalam organisasi yakuza terdapat istilah ikka, yaitu suatu bentuk keluarga yang anggotanya tidak memiliki hubungan darah satu sama lain. Dalam yakuza, kata ikka diganti dengan istilah gumi yang berarti kelompok atau kai yang berarti asosiasi. Kata tersebut diletakkan setelah nama suatu kelompok, misalnya
Yamaguchi-gumi atau Inagawa-kai. Struktur organisasi yakuza berbeda dengan strukur organisasi kejahatan di negara lain. Dalam struktur organisasi yakuza terdapat tiga struktur yang mendasar, yaitu hirarki formal dalam tugas dan
tingkatan, hirarki berdasarkan sistem Ie tradisional Jepang, dan hirarki dalam internal kelompok. Struktur organisasi yakuza memiliki bentuk yang sama dengan sistem keluarga inti Ie di Jepang.
Ie adalah sebuah bentuk keluarga yang mempunyai sistem tersendiri yang berurat berakar pada masyarakat Jepang. O leh karena itu, Ie mempunyai hubungan yang dalam dengan sistem nilai dan struktur masyarakat Jepang. Dan
juga merupakan suatu sistem masyarakat dalam kesejarahan Jepang tersendiri (Ito
dalam Situmorang, 2009:26). Sistem Ie berbentuk patrilineal, yaitu suatu keluarga yang berlangsung terus menerus melalui garis keturunan ayah. Keluarga Ie dipimpin oleh kacho (ayah) sebagai keluarga dan chonan (anak laki- laki pertama) yang akan menjadi kacho generasi berikutnya. Objek dari kesinambungan sistem Ie adalah hubungan darah (hubungan orang tua dengan anak, hubungan abang dengan adik), hubungan tempat tinggal ( rumah dan pekarangan), dan hubungan
ekonomi ( produksi, konsumsi, usaha dan harta). Karena keluarga Ie merupakan kelompok untuk menjalankan kehidupan, maka orang yang bukan hubungan darah
Yakuza mengadopsi sistem Ie ke dalam hubungan orang tua-anak yang disebut hubungan oyabun-kobun. Oyabun berarti orang yang memiliki status oya, yaitu sebagai orang tua dalam kelompoknya atau sebagai pemimpin dari suatu
organisasi. Dan kobun adalah orang yang memiliki status ko, yaitu sebagai anak dalam kehidupan keluarga atau sebagai bawahan dalam suatu organisasi. Oyabun mengatur, membawahi dan memberikan perlindungan terhadap kobun. Sedangkan kobun selalu tunduk dan setia menjalankan perintah yang diberikan oyabun.
Pada masa yakuza awal, hubungan oyabun-kobun membentuk kekuatan dan hubungan yang erat yang luar biasa, bahkan sampa i menciptakan pengabdian
fanatik kepada bos. Sampai sekarang, sistem oyabun-kobun masih terus menyuburkan kesetiaan, ketaatan, dan kepercayaan diantara para yakuza. Kobun harus bisa bertindak sebagai teppōdama (peluru) dalam sebuah perkelahian dengan geng lain. Mereka harus berdiri paling depan, menghadang senjata dan
pedang musuh, serta mempertaruhkan nyawanya demi melindungi oyabun. Dan adakalanya kobun mengambilalih tanggungjawab dan masuk penjara atas kejahatan yang dilakukan oleh oyabunnya.
Tingkatan dalam organisasi yakuza tradisional dan modern bersifat feodal, yaitu satu pemimpin (oyabun) membawahi semua bawahan (kobun). Tingkatan hirarki dalam organisasi yakuza sangat jelas perbedaan stratanya. Masing- masing tingkatan memiliki kewajiban, status dan hak istimewa yang berbeda-beda.
Urutan tingkat dari yang teratas adalah kumi-chō atau yang disebut dengan oyabun, yaitu pemimpin dari suatu organisasi, wakagashira atau pemimpin muda, saikō kanbu atau eksekutif senior, kanbu atau eksekutif, kumi-in atau prajurit, dan
hubungan bisnis antarsaudara yang tidak berhubungan langsung dengan ikka, tetapi tetap mendapatkan keuntungan dari kelompok ikka tersebut.
Kumi-chō bertugas sebagai pemimpin dari suatu organisasi dan bertugas memberi arahan dan tugas terhadap bawahan dan sebagai pengambil keputusan
dalam suatu tindakan. Wakagashira bertugas sebagai penasehat oyabun, dan kedudukan wakagashira layaknya orang kepercayaan oyabun. Diantara oyabun dan wakagashira terdapat kōmon yang bertugas sebagai penasehat oyabun juga, sehingga oyabun selalu mendapat nasehat dan masukan dari dua pihak bila menyangkut urusan kelompok. Saikō kanbun dan kanbun masing- masing memiliki anak buah tersendiri untuk bekerjasama dalam melakukan tugas dan
kewajibannya. Kumi-in bertugas sebagai bawahan yang mengurusi segala urusan kelompok seperti mengangkat telepon kantor, supir, bertanggungjawab dalam
penjagaan atau keamanan, dan melayani tamu. Masing- masing dari mereka
kurang lebih sepuluh orang harus berjaga dua puluh empat jam untuk menjaga
kantor pusat organisasi, karena mereka tidak akan tahu apa yang akan terjadi,
apakah adanya serangan dari kelompok lain atau menerima telepon yang penting.
Di luar pekerjaan itu semua, kadang-kadang kumi-in juga diminta untuk bekerja dalam bisnis milik oyabun, dan apabila terjadi perkelahian dengan kelompok yakuza lain, kumi-in harus bisa melawan di barisan paling depan.
terdapat dalam kelompok terkecil ini tidak lebih dari sepuluh anggota. Organisasi
yakuza yang memiliki kekuatan yang besar umumnya menguasai kelompok yakuza yang lebih lemah untuk berganung dan menguasai kelompok tersebut ke dalam payung kekuasaan. Kelompok kecil yang tergabung tersebut akan menjadi
kobun di dalam organisasi yang menguasainya. Kumi-chō dari kelompok yang lemah akan menjadi kobun dari kumi-chō dari kelompok penguasa atau menjadi kobun dalam badan eksekutif kelompok penguasa.
Dalam kehidupan organisasi yakuza, peranan wanita sama sekali tidak dilibatkan dalam urusan kelompok. Wanita di d unia yakuza hanya sebatas sebagai pelacur, penghibur di bar, dan sebagai nyonya di anggota kelompok (istri oyabun). Istri oyabun sering disebut ane-san (saudara kakak perempuan). Mereka sebagai wanita sangat dipandang rendah dalam pekerjaan yakuza. Namun, bukan berarti wanita sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Salah satu contoh peran wanita
dalam yakuza adalah ketika Taoka Fumiko, istri dari pemimpin kelompok Yamaguchi-gumi generasi ketiga memimpin kelompoknya untuk sementara karena pemimpin yang terpilih pada saat itu masuk penjara.
Dalam penerimaan anggota baru, kelompok yakuza melakukan suatu ritual sebagai tanda terjalinnya suatu hubungan darah antara individu dengan kelompok
yang disebut sakazuki. Sakazuki adalah ritual pertukaran mangkuk sake sebagai tanda terjalinnya hubungan darah. Sakazuki adalah ritual penting di dunia yakuza yang mengekspresikan semangat yakuza dalam penentuan anggota, memperkuat ikatan organisasi, dan kompleksitas hubungan antarposisi dan fungsi dalam
organisasi. Ritual ini tidak hanya sebagai tanda masuknya anggota baru dalam
ini dilakukan dengan cara formal. Ritual ini dilakukan di ruangan yang beralaskan
tatami (tikar Jepang) dengan para partisipasi ritual yang menggunakan pakaian haori hakama (pakaian luar untuk mempermewah kimono) dan terdapat nakōdo (perantara) untuk membantu pelaksanaan dan sebagai saksi upacara.
Ritual dilaksanakan di depan altar dan suatu persembahan dilakukan
pertama kali untuk ditujukan kepada dewa Shinto yang diletakkan di atas altar
sebelum ritual sakazuki dilakukan. Individu yang akan bergabung dan membentuk suatu jalinan dengan kelompok duduk di tatami dengan nakōdo di dekatnya. Pada saat pertukaran mangkuk sake, jumlah sake yang dituangkan ke dalam mangkuk berbeda-beda sesuai dengan status dan hubungan yang akan dibuat. J ika yang
dihubungkan merupakan antarsaudara maka volume sake yang dituangkan sama banyaknya. Mangkuk sake diisi penuh oleh nakodo dan memberikannya ke masing- masing pihak yang akan dihubungkan. Apabila yang akan dihubungkan
adalah saudara tua dan saudara muda, maka mangkuk sake untuk saudara tua diisi sebanyak enam persepuluh dan mangkuk sake untuk saudara muda diisi sebanyak empat persepuluh. Sedangkan apabila yang dihubungkan merupakan hubungan
oyabun-kobun, maka mangkuk sake yang dibutuhkan hanya satu. Manguk sake tersebut diisi penuh oleh nakōdo, lalu diminum setengahnya oleh oyabun, dan sisanya diberikan kepada kobun yang akan dihubungkan.
2.1.6 Obyek Bisnis Yakuza