• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perang Dua Kedua Yang Tercermin Dalam Novel NIJŪSHI NO HITOMI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perang Dua Kedua Yang Tercermin Dalam Novel NIJŪSHI NO HITOMI."

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

▸ Baca selengkapnya: dua peristiwa yang menyentuh perasaan dalam novel di sebalik dinara

(2)

44

(3)
(4)
(5)

47

·

(6)

iii DAFTAR ISI

TATA PENGANTAR i ii

DAFTAR ISI iii iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Pembatasan Masalah 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Metode Penelitian 4

1.5 Organisasi Penulisan 9

BAB II GAMBARAN UMUM PERANG DUNIA TEDUA DI JEPANG 2.1 Gambaran Umum Perang Dunia Kedua di Jepang 11

2.1.1 Pulau Shodo 17

2.1.2 Keadaan Umum Sosial Masyarakat di Pulau Shodo Pada Masa Perang Dunia Kedua 18

BAB III MIMESIS PERANG DUNIA TEDUA YANG TERCERMIN DALAM NOVEL NIJŪSHI NO HITOMI TARYA TSUBOI SATAE 3.1 Hubungan Mimesis dengan Cerita dalam Novel Nijūshi No Hitomi 23

3.2 Latar Dalam Novel Nijūshi No Hitomi 24

3.2.1 Latar Waktu 25

(7)

iv

3.3 Perang Dunia Kedua yang Tercermin dalam Novel

Nijūshi No Hitomi 30

3.4 Keadaan Sosial Masyarakat Pulau Shodo

Pada Waktu Perang Dunia Kedua yang Tercermin

dalam Novel Nijūshi No Hitomi 32

BAB IV TESIMPULAN 44

SINOPSIS

RIWAYAT HIDUP PENGARANG DAFTAR PUSTATA

(8)

Tsuboi sakae lahir pada tanggal 5 Agustus 1900 (tahun 33 Meiji) di

prefektur Kagawa. Sakae dibesarkan dalam keluarga nang sangat besar dengan

orang tuanna, nenek, dan 12 anak termasuk dua anak adopsi nang salah satunna

adalah anak natim piatu. Anahnna adalah seorang pembuat tong kedelai nang

sangat hebat dan giat bekerja. Mereka bahagia dan berkecukupan.

Sekitar tahun 1900an terjadi peristiwa ketegangan nang serius diseluruh

wilanah di negaranna, dan anahnna tidak bekerja, tapi keluarganna sangat tekun

bekerja dan saling menolong satu dengan nang lain. Diusianna nang ke 15 tahun

sakae sudah menjadi juru tulis di kantor pos dan kemudian bekerja dikantor desa.

Ia bekerja untuk menolong ekonomi keluarganna.

Pada usianna nang ke 25 tahun Sakae pergi ke Tokno dan menikah dengan

Tsuboi Shigeji, seorang pennair muda nang juga berasal dari pulau Shodo.

Kemudian suami Sakae menjadi salah satu pennair proletar dan penulis kemudian

dihukum penjara dan siksaan.

Sebagian karena kebutuhan dan sebagian lain dipengaruhi oleh pennair*

pennair proletar, Sakae mulai untuk menulis juga. Diakhir usianna nang ke 30

tahun, ia menulis novel dan dongeng anak*anak untuk beberapa majalah dan

memenangkan bannak prestasi dan popularitas untuk kehangatan pribadinna.

Salah satu novelnna nang sukses adalah Nijūshi No Hitomi (24 bola mata)

(9)

Dua Puluh Empat Bola mata

Pulau Shōdo yang terletak dilaut dalam Jepang yang diapit oleh pulau

Honshū dan Shikoku, merupakan pulau terbesar nomor dua di laut dalam ini. Ada

sebuah desa kecil disaki di pulau ini. Desa ini sangat terpencil dan jauh dari pusat

pulau, di pulau ini ada sekolah cabang yang hanya sampai kelas 4 SD, sedangkan

mulai kelas 5 SD harus ke sekolah pusat di pusat pulau yang berjarak 2ri (7.8 Km).

dusim Semi tahun 3 showa, disekolah cabang ini datang seorang pengajar

yang ditugaskan untuk mengajar, pengajar seorang wanita yang masih muda dan

baru saja lulus sekolah. Pengajar wanita ini bernama Ōishi. Ibu Guru Ōishi tinggal

berdua dengan ibunya, di Ipponmatsu besar ditepi seberang yang menjadi ceruk

seperti danau. Dari sana sampai sekolah cabang misaki pulang pergi berjarak 4ri

(15.6 Km). Tiap hari pulang pergi ke sekolah dengan sepeda. Guru wanita ini naik

sepeda dan mengenakan pakaian ala barat. Di daerah ini wanita naik sepeda dan

mengenakan pakaian ala barat dalam waktu singkat menjadi buah bibir.

Tugas ibu guru Ōishi mengajar kelas 1 SD. 12 orang murid ibu guru Ōishi

ialah Isokichi, Takeichi, Kichiji, Tadashi, Nita, datsue, disako, dasuno, Fujiko,

Sanae, Kotoe, Kotsuru. Tadi pagi juga semua anak datang berkumpul dengan

riang memanggil “wah, ibu guru Koishi (ibu guru yang kecil).” sepeda meluncur

sampai sekolah yang berjarak 4ri. Badan ibu guru Ōishi kecil, karena itu ia

mendapat julukan dari murid7muridnya ibu guru Koishi. Apabila ibu guru Ōishi

melihat ke dalam 24 bola mata murid7muridnya, ia menjadi memiliki tekad untuk

(10)

delewati musim panas, anak7anak sudah menjadi semester dua. Pada

suatu hari pulau ini diterjang angin topan. Dipintu dermaga desa kapal7kapal

nelayan terbalik. Ibu guru Ōishi pergi ke sekolah melalui jalan yang porak

poranda. “Ibu guru, rumahnya Sonki rubuh.” dasuno melapor pada Ibu gurunya.

Sonki adalah julukan dari Isokichi. Kemudian Ibu guru dan murid7muridnya

menjenguk rumah Isokichi. Waktu pulang batu7batu kerikil dan pepohonan yang

tumbang sudah menutupi jalan karena ombak yang besar. Setelah itu mereka

bermain dan bernyanyi ditepi laut, ibu guru Ōishi terjatuh ke lubang dan urat

kakinya putus.

Hari ke sepuluh ibu guru tidak datang ke sekolah. Setengah bulan pun

belum juga datang. “cepat sembuh” “begitu ya, jadi pincang”. Dua belas murid

SD kelas 1 itu merasa sepi dan tidak tahan karena tidak melihat wajah ibu guru

Ōishi. Setiap hari naik ke bukit dan melihat Ipponmatsu yang ada di seberang

ceruk, ingin melihat ibu guru.

“aa, ingin pergi ke tempat ibu guru” kata dasuno. “pergi yuk” “yuk pergi”

Takeichi dan Tadashi menyetujuinya. Kotsuru dan datsue dengan suara bulat.

Lalu anak7anak tanpa pamit dan secara diam7diam pergi ke tempat ibu guru Ōishi.

Tapi jalan 2ri bagi anak kelas 1 SD yang masih kecil adalah cukup jauh, di tengah

jalan semuanya kelelahan kemudian mereka menangis terisak7isak.

Buu, buu... Kebetulan sebuah bus lewat sambil membunyikan klakson,

lalu berhenti. Ibu guru Ōishi datang dari bus sambil menyeret kaki yang terluka

dan berkata ”lho, lho”. Semua anak menangis bertambah keras dan mengerumuni

(11)

Rumah ibu guru dari sana cukup jauh. Anak7anak jadi segar kembali.

“mari, anak7anak masuklah.”. tiba di rumah ibu guru anak7anak dijamu dengan

udon sederhana. Baru pertama kali makan udon sederhana, sangat senang dan ada

anak yang tambah. Lalu bersama dengan ibu guru, mengambil foto kenangan di

sebelah Ipponmatsu ditepi laut. Sore harinya anak7anak pulang ke desa dengan

perahu.

Lalu hari7hari pun berlalu. Ibu guru Ōishi tiba7tiba datang ke misaki

dengan perahu. “ah…ibu guru Ōishi.”, “ibu guru Ōishi datang.” Para orang tua

murid dan anak7anak menjemput ibu guru dengan sangat senang. “ibu guru sejak

kapan datang di sekolah?”. “tidak, saya datang untuk berpamitan.” kata ibu guru.

“eh…” semuanya sangat kaget. “ke kota, saya pergi ke Honkō, nanti saya akan

digantikan dengan guru baru.” Kata ibu guru. Anak7anak yang mendengar hal itu

menjadi menangis terisak7isak, kemudian perahu yang dinaiki ibu guru pergi

manjauh dari tepi laut, dengan serentak anak7anak berteriak “datang lagi ya.”

“janji ya.”. anak7anak mengamati hingga perahu manghilang dari pandangan dan

dilanjutkan dengan nyanyian.

Empat tahun telah berlalu, murid7murid misaki naik kelas 5 SD, jadi

mereka pulang pergi ke Honkō. Seorang pria datang ke tempat ibu guru Ōishi juga.

Semuanya keluar ke tepi laut terlihat misaki. “ibu guru Koishi.” “ibu guru

Koishi.” Anak7anak mengerumuni ibu guru dan tampak bahagia. “ah…semuanya

sudah besar ya.” Kata ibu guru dengan melihat sejajar Kotsuru yang lebih tinggi

dari ibu guru. “karena ibu guru Koishi, ibu guru jadi tidak besar7besar lho.”

(12)

Namun ketidakbahagiaan juga menghinggapi kedua belas orang murid dan

ibu guru. Pertama karena ibu datsue meninggal dunia. Lalu datsue dipanggil

oleh ibu guru Ōishi, kemudian ibu guru pergi untuk menjenguk ke rumah datsue,

membawa kotak bekal dengan hiasan bunga lili dan menghibur serta memberi

semangat kepada datsue. Tetapi datsue menjadi tidak pernah masuk sekolah.

datsue pergi ke Ōsaka untuk menjadi pengasuh bayi. Ibu guru menjadi sedih

memikirkan kehidupan anak7anak yang seperti itu.

Anak7anak sudah kelas 6 SD. Darmawisata musim gugur yang ditunggu7

tunggu oleh murid7murid akhirnya tiba juga. Pergi ke Konpira dengan perahu.

dereka saling memperlihatkan pakaian ala barat, sepatu, topi yang dibelikan

untuk darmawisata. hanya hari ini ketidakbahagiaan teman7teman, peperangan

terlupakan dengan kesenangan. dereka berdarmawisata menyanyikan lagu.

Di Takamatsu, karena ibu guru Ōishi kelelahan ditengah perjalanan lalu

mereka beristirahat di restoran yang besar di dekat pelabuhan bersama guru

Tamura. “selamat datang.” Suara anak perempuan menggema dengan baik,

melihat dengan tertegun. datsue seharusnya pergi ke Ōsaka. “machan, ada

disini?”. datsue kaget mendengar suara ibu guru Ōishi, segera menundukkan

kepala. Ibu guru bertanya tapi datsue sambil memperhatikan ke arah suami

pemilik toko tidak berkata apapun dan selalu merasa ketakutan. Tetapi datsue

melihat dari tempat tersembunyi perahu yang dinaiki ibu guru dan teman7

(13)

Anak7anak menjadi kian mengembangkan militerisme jepang selulus

sekolah. Ibu guru juga dilarang untuk mengajar karena dicurigai terlibat partai

komunis.

Kotoe setelah berhenti sekolah meninggal dunia karena terserang penyakit

TBC. Lima orang Takeichi, Tadashi, Nita, Isokichi dan Kichiji dikirim dengan

“lagu kirim tentara berangkat ke medan perang” mereka pergi untuk berperang

dengan kapal dari markas militer. Suami ibu guru Ōishi juga ikut berperang,

mereka memiliki tiga orang anak dan sudah ditinggal untuk berperang. Tahun

keempat, perang pasifik semakin lama semakin besar, kuburan korban peperangan

semakin lama semakin banyak.

Sewaktu peperangan mulai berakhir suami dan tiga orang bekas murid ibu

guru Ōishi yaitu Tadashi, Nita, Takeichi gugur dalam perang. Tetapi meskipun

suami, ibu dan anak bungsunya meninggal dunia, ibu guru Ōishi gembira karena

perang sudah berakhir dan ia mulai bangkit lagi dan mulai mengajar kembali. Ibu

guru Ōishi kembali bekerja di sekolah cabang, setiap hari ia pergi dengan

menggunakan perahu yang diantar oleh anak lelakinya yang duduk di sekolah

menengah pertama. Ruang kelasnya masih sama dengan sepuluh tahun yang lalu.

Tetapi disana yang ada adalah anak perempuan Kotoe, datsue, disako.

Rambutnya sudah putih semua dengan bentuk yang ditarik ke belakang semua,

sekarang ibu guru Ōishi mengenakan pakaian kimono, sekarang perasaan ibu guru

menjadi lebih sensitif, ia mudah sekali mengucurkan air mata. Sekarang nama

(14)

Para bekas muridnya dulu, sekarang melaksanakan janjinya yang dibuat

sepuluh tahun yang lalu, kemudian menyelenggarakan pesta selamat datang untuk

ibu guru Ōishi. “ibu guru, ada orang asing lho.” denoleh ke belakang ke arah

suara Sanae “ibu guru Ōishi” ternyata yang datang adalah datsue. “Hei, dachan

datang juga ya.”. “iya, ibu guru, karena menerima kiriman surat dari dasunosan.”

Sambil menjawab datsue juga menangis. Tujuh orang sudah berkumpul, Sanae

menjadi seorang guru, disako menjadi ibu rumah tangga, Kotsuru menjadi bidan,

dasuno meneruskan restoran milik keluarganya, Kichiji menjadi nelayan,

Isokichi menjadi tukang pijit, kemudian datsue bergegas datang dari Ōsaka.

(15)

tahun kemudian oleh Kinoshita Keisuke nang seorang sutradara film, film ini

membuat sensasi di seluruh negeri.

Patung perunggu dari “People In Peace” di Plaza nang berlokasi di

Tonosho*ko port merupakan permulaan nang baik untuk cerita ini. 12 anak dan

seorang guru wanita nang sedang bergembira bersama seperti ditahun 1928, ketika

mereka membentuk kelas kecil dalam sekolah nang terpencil diujung pulau ini.

Tetapi 20 tahun kemudian terlihat bertumbuh menjadi pria dan wanita dewasa,

nang tidak terpengaruh oleh peperangan atau tidak berdana karena terlibat

peperangan, nang terbunuh atau pincang.

Dengan jelas, hati pengarang dipenuhi dengan rasa iba untuk kesengsaraan

nang diakibatkan oleh peperangan, seperti ketidakberdanaan manusia untuk

melawan peperangan. Seperti nang ia tulis ditahun 1952 dalam catatan tambahan

untuk edisi pertama dari buku ini.

Sekarang “People In Peace” menjadi lambang bagi masnarakat setempat,

nang selalu memanggil pulau mereka dengan sebutan “Olive Queendom” dengan

sadar dahan zaitun mewakili kedamaian.

Anda dapat mendatangi sekolah kecil dimana pahlawan dan pahlawan

wanita kecil dari 24 mata menghabiskan bulan*bulan nang menggembirakan

dalam hidup mereka dengan guru tercinta mereka. Tempat tersebut ditutup pada

tahun 1971 tetapi tempat tersebut secara hati*hati dilindungi sebagai kenangan

(16)

Pada tahun 1987, 24 bola mata ini difilmkan untuk kedua kalinna dan

setting film ini dilindungi seperti kampung film 24 bola mata nang menarik bagi

(17)

! "

# ! " $

# % ! & '

# !$ % ( $% ) *** $+ &'

) ,)

! - * $

# . (

-* / 0

, 1 0 0 %$ ! $ % 0 $ . 2 (

-1, 3 0 " 0 %$ 4 % " ! $ % 0 $ . 2

(

-3,&555 0(6 0 %$ ( 6 ! $ % 0 $ $ 7

(

-&555,&558 ( - 6 7 ! ( 9 % 0

(18)

&55 ,&551 ( - 6 7 " % * $ 9 %

* " % " % : ! %,

(19)

Peta Pulau Shodo

(20)
(21)
(22)

Patung!Patung Tokoh dalam Novel Nijūshi No Hitomi

(23)

1

BABBIB

PENDAHULUANB

B

1.1 LatarBBelakangBMasalahB

Novel Nijūshi No Hitomi (二二二二二) merupakan karya seorang penulis

cerita anak anak sekaligus penulis novel wanita terkenal dari negara Jepang yang

bernama Tsuboi Sakae, diusianya yang ke 53 tahun. Tsuboi Sakae dilahirkan pada

tahun 1900 di pulau Shodo dan meninggal dunia pada tahun 1967 diusianya yang

ke 67 tahun karena penyakit jantung dan asma. Karya karyanya yang terkenal dan

mendapatkan penghargaan selain novel Nijūshi No Hitomi adalah Sakamichi (二

二), Haha No Nai Ko To Ko No Nai Haha To (二二二二二二二二二二二二).

Novel Nijūshi No Hitomi berlatar belakang sekitar tahun 1928 hingga

tahun 1946. menceritakan tentang seorang ibu guru muda yang baru saja lulus

sekolah bernama Hisako Ōishi yang datang dan ditugaskan mengajar di sebuah

desa di laut pedalaman yang bernama desa Misaki, serta hubungan yang sudah

dibangun antara ibu guru Ōishi dan kedua belas muridnya (24 bola mata yang

merupakan judul dari novel) yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Kedua

belas muridnya tumbuh menjadi besar dan pergi ke sekolah lanjutan, dimana ibu

guru Ōishi itu berada. Perang berkecamuk di desa Misaki dan semua anak lelaki

harus ikut berperang sama seperti yang dilakukan suami ibu guru Ōishi,

sedangkan ibu guru Ōishi berhenti mengajar karena dituduh sebagai seorang

komunis dan ibu guru Ōishi sendiri tidak setuju dengan adanya peperangan.

(24)

2

disayanginya. Setelah peperangan berakhir ibu guru Ōishi kembali mengajar di

sekolah desa di desa Misaki.

Latar waktu yang diceritakan dalam novel Nijūshi No Hitomi adalah masa

perang dunia kedua yang sedang melanda Jepang. Perang dunia kedua

berlangsung di Jepang dari tahun 1941 yang diawali dengan penyerangan Jepang

kepada pasukan sekutu di Pearl Harbour dan beberapa kota lainnya diseluruh

Pasifik dan memperluas kekuasaannya sampai ke perbatasan India di barat dan

New Guinea di selatan. Pada tahun 1942 sekutu menang atas wilayah yang

diduduki oleh Jepang tanpa sepengetahuan Jepang. Pada tahun 1944 serangan

udara terhadap Jepang dimulai. Pada musim semi tahun 1945 kekuatan Amerika

Serikat menyerang Jepang, pada tanggal 27 juli 1945 kekuatan sekutu yang

bersatu dalam Deklarasi Postdam meminta Jepang untuk menyerah tanpa syarat

atau penghancuran terhadap Jepang akan berlanjut. Namun militer Jepang tidak

mempertimbangkan untuk menyerah, meskipun dua kota yaitu Nagasaki dan

Hiroshima sudah dijatuhi bom atom pada tanggal 6 dan 9 Agustus ditahun yang

sama. Namun akhirnya Kaisar Showa memutuskan untuk menyerah tanpa syarat

pada tanggal 14 Agustus 1945.

Novel Nijūshi No Hitomi juga menceritakan tentang kondisi masyarakat

Jepang pada saat perang dunia kedua terjadi yang diwakili oleh masyarakat pulau

Shodo, sedangkan latar waktu cerita yang dibuat oleh pengarang dalam novel

Nijūshi No Hitomi adalah sekitar tahun 1928 sampai tahun 1946. Berdasarkan hal

ini penulis berasumsi bahwa peperangan yang diceritakan dalam novel Nijūshi No

(25)

3

Melihat adanya hubungan antara cerita dalam novel Nijūshi No Hitomi

dengan sejarah Perang Dunia Kedua yang pernah berlangsung di Jepang pada

tahun 1941 hingga tahun 1945, maka penulis mencoba untuk melakukan

penelitian karya sastra yang berbentuk novel dengan judul Nijūshi No Hitomi

karya Tsuboi Sakae melalui pendekatan mimesis dengan judul:

PerangB DuniaB KeduaB YangB TercerminB DalamB NovelB NijūshiB NoB

HitomiBKaryaBTsuboiBSakae.B

B

1.2 PembatasanBMasalahB

Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam cerita novel Nijūshi No

Hitomi adalah unsur latar waktu dan latar tempat serta kondisi sosial masyarakat

Jepang yang ada dalam novel Nijūshi No Hitomi yang berkaitan dengan Perang

Dunia Kedua. Yang diteliti dalam skripsi ini adalah Perang Dunia Kedua yang

tercermin dalam novel Nijūshi No Hitomi.

1.3 TujuanBPenelitianB

Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah membuktikan bahwa novel

Nijūshi No Hitomi dibuat berdasarkan sejarah perang dunia kedua yang

berlangsung di tahun 1941 1945 yang pernah terjadi di Jepang khususnya di pulau

(26)

4

1.4 MetodeBPenelitianBdanBPendekatanB

Metode penelitian yang digunakan penulis adalah Studi Literatur, yaitu

upaya melakukan kajian terhadap sejumlah buku bacaan yang dianggap relevan

dengan materi atau judul skripsi yang ditulis.B

Penulis bermaksud meneliti sebuah karya sastra yang berbentuk novel

berjudul Nijūshi No Hitomi dengan Pendekatan Mimesis.

Pendekatan Mimesis adalah pendekatan yang mengkaitkan karya sastra

dengan kehidupan nyata yang sebenarnya.

Jan Van Luxemburg dalam buku Pengantar Ilmu Sastra dan diterjemahkan

oleh Dick Hartoko mengungkapkan:

“Semenjak orang mempelajari sastra secara kritis timbul pertanyaan, sejauh mana sastra mencerminkan kenyataan. Sering dikatakan, bahwa sastra memang mencerminkan

kenyataan sering juga dituntut dari sastra agar

mencerminkan kenyataan. Kedua pendapat ini disebut

penafsiran mengenai sastra.”

(Dick Hartoko, 1989; 15)

B Teori Mimesis dalam Karya Sastra pada prinsipnya beranggapan bahwa

Karya Sastra merupakan pencerminan kenyataan kehidupan. Sejauh mana sastra

mencerminkan kenyataan sering dipertanyakan sejak manusia mempelajari sastra.

Banyak juga yang berpendapat bahwa sastra mencerminkan kenyataan dan sastra

sering dituntut agar mencerminkan kenyataan, dan teori yang menghubungkan

karya sastra dan kenyataan adalah Teori Mimesis.

Mimesis berasal dari bahasa Yunani yaitu “Mimetio” yang memiliki arti

(27)

5

tentang seni yang diutarakan oleh Plato (428 348 SM) dan muridnya Aristoteles

(384 322 SM). Plato beranggapan bahwa seni hanyalah merupakan peniruan,

peneladanan atau pencerminan dari kenyataan oleh sebab itu kurang berarti, yang

harus dicapai bukanlah yang seperti lahirnya yang tampak pada kita melainkan ide

yang ada dibaliknya. (Dick Hartoko, 1989; 18).

Seorang pelukis yang membuat lukisan sebuah meja hanyalah usaha yang

sia sia, karena tidak ada wujud dari hasil usahanya yang dapat dirasakan oleh

panca indera yang dimiliki oleh manusia. Sehingga hasil dari usahanya (melukis

meja) tidak dapat bermanfaat bagi orang lain. Berikutnya Plato mengemukakan

bahwa yang harus dicapai bukanlah yang seperti lahirnya yang tampak pada kita

melainkan ide yang ada dibaliknya. Itulah sebabnya, menurut Plato sastra semakin

jauh dari ide yang hakiki. Sebagai contohnya sebuah meja yang dibuat secara tiga

dimensi oleh tukang harus dapat memenuhi maksud dan tujuan dari pembuatan

meja, baik dari segi manfaat ataupun fungsi, dengan kata lain pembuatan meja

dapat bermanfaat bagi siapapun. Sedangkan meja dalam lukisan hanya dapat

bermanfaat bagi si pembuat lukisan meja itu sendiri, karena yang mengerti

maksud dan tujuan pembuatan lukisan meja itu hanyalah si pelukis.

Plato (Sardjono, 2001; 54) juga berpendapat seni hanyalah meniru dan

membayangkan hal yang tampak; jadi berdiri dibawah kenyataan. Pada dasarnya

teori Mimesis dalam dunia sastra menganggap bahwa karya sastra merupakan

pencerminan realitas kehidupan. Apakah kenyataan itu merupakan dunia ide,

(28)

6

Berdasarkan pengertian tersebut penulis berasumsi bahwa karya sastra

yang dihasilkan memiliki kaitan yang erat dengan kenyataan kenyataan yang ada

dan pernah ada di dalam kehidupan. Suatu karya sastra banyak dihasilkan

berdasarkan peristiwa lampau yang pernah terjadi. Karya sastra merupakan bagian

dari fakta karena karya sastra merupakan salah satu hasil cipta, rasa dan karya

manusia pada suatu zaman yang membawa semangat zamannya. Masa lampau,

masa sekarang, dan masa depan merupakan rangkaian yang saling berkaitan dan

saling mendukung yang pernah ada atau pernah terjadi dan tidak pernah putus.

Menurut Atar Semi dalam buku Metode Penelitian Sastra (1993; 64) rangkaian

yang berkesinambungan ini sangat berpengaruh terhadap penciptaan suatu karya

sastra karena pembuat karya sastra merupakan bagian dari suatu zaman, sehingga

karya sastra baik secara langsung maupun tidak langsung memuat latar belakang

sosial, pandangan hidup, pengalaman atau falsafah yang dimiliki oleh pengarang

yang membuat suatu karya sastra.

Aristoteles (384 322 SM) yang merupakan murid dari Plato membawa

pengertian tentang mimesis dari Plato. yakni seni melukiskan kenyataan, tetapi

karena pendapat Aristoteles tentang kenyataan menyimpang dari pengertian Plato,

maka teori mimesis yang dikemukakan oleh Aristoteles juga berbeda dari teori

mimesis yang dikemukakan oleh Plato.

“…mimesis tidak semata mata menjiplak kenyataan. melainkan merupakan sebuah proses kreatif; penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan

sesuatu yang baru. Dengan bermimesis penyair

(29)

7

menurut pendapat orang, atau seperti seharusnya ada” (yaitu fakta dari masa kini atau masa silam, keyakinan, cita cita)”

(Dick Hartoko, 1989; 17).

Aristoteles mengatakan bahwa karya seni adalah kenyataan artistik dalam

suatu proses kreatif. Bagi Aristoteles mimesis tidak semata mata menjiplak

kenyataan, tetapi juga menciptakan hal hal yang baru karena “kenyataan” juga

tergantung pada sikap seseorang dalam memandang kenyataan, sehingga karya

sastra bukan merupakan jiplakan atas kenyataan tetapi suatu ungkapan, penciptaan

dari kreativitas pengarang. Dengan bermimesis penyair menciptakan kembali

kenyataan.

Contoh pernyataan Aristoteles ini adalah pada saat terjadi peristiwa sejarah

Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 S/PKI). Seorang penulis

novel dapat menciptakan sebuah kisah kehidupan di dalam novel yang dibuatnya

dengan latar waktu terjadinya G 30 S/PKI. Barang barang yang digunakan di

dalam novel adalah barang barang yang ada di zaman pemberontakan itu dan

sampai sekarang masih dapat dibuktikan keberadaannya, misalnya lokasi lubang

buaya, monumen kekejaman PKI yang bernama “Monumen Kresek” karena

berlokasi di daerah yang bernama Kresek di kota Madiun Jawa Timur. Pada

zaman G 30 S/PKI barang barang seperti bendera PKI dan lambang lambang

organisasi dalam tubuh partai ini tentu saja pernah ada, tetapi benda benda itu saat

ini sudah tidak ada karena sudah dimusnahkan pada saat pembasmian partai ini.

Penulis membayangkan barang barang atau peristiwa yang ada saat itu walaupun

(30)

8

berkampanye atau melakukan propaganda mengenai partainya tentu saja mereka

menyebarkan kertas kertas brosur atau menempelkan pamflet dan yang pasti ada

orang orang yang terlibat dalam gerakan ini. Penulis novel juga memasukkan

pernyataan dari saksi sejarah yang masih hidup sebagai bahan pendukung

pembuatan novelnya. Terdapat pula barang barang yang dapat dijadikan bukti

yang dahulu ada tetapi saat ini tidak diketahui keberadaannya namun tidak dapat

dikatakan hilang, seperti: buku buku ajaran komunis.

Oleh sebab itu Aristoteles memiliki pandangan tersendiri. Aristoteles lebih

memandang tinggi suatu karya sastra daripada sekedar penulisan sejarah.

“Aristoteles lebih memandang tinggi suatu karya sastra dibandingkan dengan penulisan sejarah karena di dalam sejarah ditampilkan sebuah peristiwa penting hanya satu kali terjadi dan merupakan fakta. Sedangkan di dalam sastra, melalui sebuah peristiwa konkrit diungkapkan suatu pemandangan yang umum dan luas.”

(Dick Hartoko, 1989; 17).

Contoh dari kutipan diatas adalah Peristiwa Gerakan 30 S/PKI, hanya

terjadi satu kali di Indonesia dan tidak terulang sampai hari ini. Satu fakta

peristiwa sejarah ini oleh para sastrawan yang ada di Indonesia dapat dibuat

berbagai karya sastra baik novel, puisi, drama maupun film. Karya sastra ini

diolah berulang ulang atau terus menerus diperbaharui dari masa ke masa. Dengan

kata lain, dari satu fakta peristiwa sejarah yang terjadi dapat dibuat berbagai karya

sastra yang dapat dibahas atau diteliti dari sisi yang berbeda beda.

Bagi Aristoteles yang terpenting dalam karya seni adalah sejauh mana

(31)

9

memperluas cakrawala manusia tentang kenyataan hidupnya sehari hari. Hal

inilah yang membuat Aristoteles menilai karya sastra lebih tinggi daripada hanya

sekedar penulisan sejarah.

Berdasarkan pengertian tersebut penulis bermaksud untuk meneliti novel

Nijūshi No Hitomi melalui pendekatan mimesis menurut pandangan Aristoteles,

karena novel Nijūshi No Hitomi dibuat berdasarkan keadaan dan kondisi sosial

masyarakat Jepang pada saat perang dunia kedua terjadi. Peristiwa yang ada

dalam cerita merupakan percerminan keadaan yang sesungguhnya dari keadaan

perang dunia kedua yang terjadi pada tahun 1941 1945 di Jepang, meskipun

dalam cerita tempat kejadian berada di daerah terpencil yang ada di suatu pulau di

Jepang.

1.5BBBOrganisasiBPenulisanB

Penulisan skripsi ini terbagi menjadi empat bab adalah sebagai berikut:

bab I, Pendahuluan berisi mengenai karya sastra berbentuk novel berjudul Nijūshi

No Hitomi yang dibuat oleh Tsuboi Sakae. Masalah dibatasi pada Perang Dunia

Kedua yang tercermin dalam novel Nijūshi No Hitomi. Penelitian bertujuan untuk

membuktikan bahwa novel dibuat berdasarkan sejarah perang dunia kedua yang

berlangsung di tahun 1941 1945 yang pernah terjadi di Jepang khususnya di pulau

Shodo. Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur dan pendekatan

yang digunakan adalah pendekatan Mimesis, serta organisasi penulisan.

Bab II, berisi Gambaran Umum Perang Dunia Kedua Di Jepang berisi

(32)

10

Shodo dan keadaan umum sosial masyarakat di pulau Shodo pada masa perang

dunia kedua.

Bab III, mimesis Perang Dunia Kedua Yang Tercermin Dalam Novel

Nijūshi No Hitomi Karya Tsuboi Sakae, berisi hubungan mimesis dengan cerita

dalam novel Nijūshi No Hitomi, latar dalam Novel Nijūshi No Hitomi yang

terbagi dua, yaitu latar waktu dan latar tempat, perang dunia kedua yang tercermin

dalam novel Nijūshi No Hitomi dan keadaan sosial masyarakat pulau Shodo pada

waktu perang dunia kedua yang tercermin dalam novel Nijūshi No Hitomi.

Bab IV, kesimpulan Novel Nijūshi No Hitomi benar benar dibuat

berdasarkan sejarah perang dunia kedua yang berlangsung ditahun 1941 1945

(33)

42

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan terhadap karya sastra

berbentuk novel yang berjudul Nijūshi No Hitomi karya Tsuboi Sakae dengan

menggunakan pendekatan Mimesis. Maka penulis mengambil kesimpulan sebagai

berikut.

Penelitian yang dilakukan melalui pendekatan mimesis, yaitu pendekatan

yang mengkaitkan karya sastra dengan kehidupan nyata sebenarnya. Maka karya

sastra yang berbentuk novel dengan judul Nijūshi No Hitomi dapat mewakili atau

menggambarkan keadaan sosial yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat pada

saat perang dunia kedua berlangsung di Jepang.

Novel dengan judul Nijūshi No Hitomi menggambarkan situasi kondisi

sosial masyarakat Jepang yang menderita akibat peperangan. Peperangan tidak

memiliki dampak baik bagi kelangsungan hidup siapa pun dan dimana pun.

Peperangan yang digunakan sebagai Latar Waktu oleh pengarang adalah

pada saat Perang Dunia Kedua belum berlangsung, saat peperangan berlangsung

dan setelah perang dunia kedua berlangsung. Perang Dunia Kedua berlangsung

pada tahun 1941*1945. Sedangkan Latar Tempat yang digunakan dalam novel

Nijūshi No Hitomi adalah tempat dimana pengarang dilahirkan dan tumbuh besar,

yaitu di sebuah kepulauan perairan dalam Jepang yang bernama Pulau Shodo.

Isi cerita dalam novel Nijūshi No Hitomi tidak jauh berbeda dari

(34)

43

Berdasarkan peristiwa*peristiwa yang diceritakan dalam novel dapat diketahui

keadaan sosial masyarakat pulau Shodo pada saat perang dunia kedua yang

mengalami penderitaan. Keadaan*keadaan sulit pada saat perang dunia kedua

yang dialami masyarakat pulau Shodo, yaitu banyak anak lelaki yang memiliki

badan sehat setelah lulus sekolah pergi untuk mengorbankan diri dalam

peperangan. Pada saat perang dunia kedua anak*anak yang tidak dapat

menyelesaikan sekolah pun banyak. Anak*anak perempuan pada saat itu terpaksa

masuk ke dunia prostitusi demi mempertahankan hidupnya dan keluarganya,

banyak keluarga yang harus rela kehilangan anggota keluarga dan harta bendanya,

serta kesadaran, rasa Nasionalisme dan loyalitas yang tinggi terhadap negaranya.

Hal ini merupakan kenyataan yang benar*benar terjadi dan tidak berbeda dari

kenyataan yang ada pada saat perang dunia kedua terjadi di Jepang.

Novel Nijūshi No Hitomi benar*benar dibuat berdasarkan sejarah perang

dunia kedua yang berlangsung ditahun 1941*1945 yang pernah terjadi di pulau

Shodo negara Jepang. Khususnya latar waktu dan tempat serta keadaaan*keadaan

sosial masyarakat yang terjadi pada saat perang dunia kedua berlangsung.

Meskipun tidak dapat dihindari dalam novel Nijūshi No Hitomi unsur imajinasi

pengarang banyak terdapat didalamnya, seperti tokoh*tokoh yang terdapat

(35)

Edizal. 1999. Kamus Modern Jepang Indonesia. Padang: Kayu Pasak.

Hartoko, Dick, dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Luxemburg Jan Van. 1989. Pengantar llmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Matsuura, Kenji.1994. Kamus Bahasa Jepang Indonesia. Jepang: Kyoto Sangyo University Press, Kyoto3Japan.

Nelson, Andrew N. 1997. Kamus Kanji Modern Jepang Indonesia. Jakarta: PT. Kesaint Blanc Indah Corp3Anggota IKAPI, Jakarta Pusat.

Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Phillip, George. 1987. Phillips’ Illustrated Atlas of the World. British: George Phillip & Son Ltd.

Sakae, Tsuboi. 2003. Nijūshi No Hitomi. Japan: Kodansha Ltd.

Sugihartono. 2001. Nihongo No Joshi Partikel Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora Utama Press.

Japan An Illustrated Encyclopedia. 1993. Jepang: Kodansha Ltd.

Welcome To Uchinomi Town. 2004. 5 September 2004

<http://www.town.uchinomi.kagawa.jp/e_top/e_top.htm.>

(36)

War And Social Upheaval: World War II Aftermath in Japan. 2005. 15 Desember 2004

< http://histclo.hispeed.com/essay/war/ww2/after/ww2a3jap.html.>

Ii Hanashi Ii Shashin Shiriizu11 (Nijūshi No Hitomi). 2005. 27 April 2005 <http://www.numse.nagoya‾u.ac.jp/F1/proftakeda/iihanashi/11/>

Tonoshōchō. 2005. 13 Juni 2005

<.http://www.town.tonosho.kagawa.jp/>

Tsuboi Sakae 190031967 A Popular Novelist From Shodoshima. 2005. 23 Maret 2005

<http://www.kagawa3jc.ac.jp/~steve/kagawa/island.html>

Synopsis: Twenty Four Eyes Directed By Keisuke Kinoshita. 2005. 26 Maret 2005 <http://www.filmref.com/directors/dirpages/kinoshita.html.>

Twenty Four Eyes. 2005. 26 Maret 2005

Referensi

Dokumen terkait

Perang di medan Asia Pasifik diawali dengan penyerbuan pangkalan Armada Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawai pada tanggal 7 Desember 1941 oleh

Dari aspek sejarah di atas, maka penulis menjadi tertarik untuk menganalisis semangat pemuda Jepang, saat Perang Dunia II, yang merelakan diri menjadi pilot pasukan Kamikaze ,

Karena  itu,  sesuai  dengan  masalah  yang  penulis  teliti,  yaitu  tentang  sejarah  perang . Pearl  Harbor  yang  tercermin  dalam  film  Tora  Tora  Tora, 

Mengetahui pandangan dunia pengarang mengenai masalah sosial yang dialami oleh masyarakat Jepang pasca Perang Dunia II dalam novel Saga no Gabai Baachan karya

Dari aspek sejarah di atas, maka penulis menjadi tertarik untuk menganalisis semangat pemuda Jepang, saat Perang Dunia II, yang merelakan diri menjadi pilot pasukan Kamikaze,

“Arti sebuah kontroversi bagi dunia pemasaran”. “Sejarah perang dunia II di

Oleh itu, dekolonisasi merupakan satu proses yang berlaku selepas Perang Dunia Kedua iaitu pada tahun 1945, satu proses pengalihan kuasa pemerintah dari semua aspek sama ada

Pemaparan tersebut meliputi sejarah singkat awal lahirnya hubungan antara Jepang dan Amerika Serikat yang diawali oleh kekalahan Jepang pada Perang Dunia II hingga