• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN POLITIK JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN POLITIK JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN POLITIK JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA

2.1 Yakuza

2.1.1 Awal Munculnya Yakuza

Yakuza pertama sekali muncul pada zaman Edo atau zaman Tokugawa

(1603-1868). Zaman Edo ditandai dengan terjadinya perang besar di Jepang yang melibatkan keluarga Toyotomi dengan keluarga Tokugawa, yaitu perang Sekigahara. Perang tersebut berawal dari perselisihan daimyo (penguasa wilayah pada zaman feodal) dari kedua keluarga tersebut untuk memperebutkan kekuasaan dan kedudukan shogun sebagai pengganti Toyotomi Hideyoshi yang meninggal pada tahun 1598. Menurut tradisi, yang berhak mewarisi kedudukan shogun adalah putra dari Toyotomi Hideyoshi, yaitu Toyotomi Hideyori. Namun kekuatan Tokugawa Ieyasu semakin hari semakin kuat dan hal tersebut membuat khawatir keluarga daimyo Ishida Mitsunari (1560-1600) yang merupakan pendukung Hideyori Ieyasu. Karena kekhawatiran tersebut, Ishid a Mitsunari kemudian mengumpulkan pengikutnya untuk menjatuhkan Tokugawa Ieyasu. Tetapi Tokugawa Ieyasu tidak membiarkan begitu saja, sehingga perselisihan diantara daimyo-daimyo pendukung keluarga tersebut semakin memanas dan akhirnya terjadilah perang Sekigahara.

Perang Sekigahara berhasil dimenangkan oleh Tokugawa Ieyasu. Ia kemudian diangkat menjadi shogun dan mendirikan pemerintahan bakufu di Edo

(2)

(Tokyo) pada tahun 1603. Meskipun perang sudah berakhir, namun Jepang belum stabil. Perdamaian mengakibatkan sekitar 500.000 samurai kehilangan tuan dan menganggur, padahal keahlian utama mereka adalah dibidang ketentaraan dan bela diri. Samurai yang tidak memiliki tuan ini disebut ronin. Kemudian sebagian besar samurai tersebut bergabung dengan kelas pedagang yang sedang berkembang. Sebagian lagi menemukan pekerjaan dalam birokrasi sipil atau sebagai cendikiawan dan filsuf. Namun tidak semuanya bisa berhasil. Para ronin yang pengangguran ini terpaksa memilih jalan lain untuk meneruskan hidupnya yaitu sebagai perampok, pengganggu, suka membuat perkelahian di jalan, dan menebar teror. Para ronin pengangguran tersebut membentuk beberapa kelompok dalam melakukan aksinya dan menamakan dirinya kabuki-mono. Masyarakat menganggap kelompok ini sebagai orang-orang aneh karena perilaku mereka yang menyimpang dan penampilan yang eksentrik. Kemanapun mereka pergi,

kabuki-mono selalu berpakaian aneh dan potongan rambut yang tidak lazim pada zaman

itu, serta selalu membawa pedang panjang untuk menakuti lawan mereka.

Kabuki-mono juga dikenal masyarakat sebagai hatamoto-yakko, yaitu ronin pembantu shogun yang menerapkan loyalitas yang tinggi pada tuannya dan

bersumpah untuk saling melindungi sesama kelompoknya dalam situasi apapun, bahkan bila harus melawan orangtua sendiri.

Meskipun pada masa itu kabuki-mono atau hatamoto-yakko merupakan

samurai pengganggu, namun yakuza tidak mengidentifikasikan mereka sebagai

kelompok tersebut. Yakuza lebih mengidentifikasikan mereka sebagai

machi-yakko atau pelayan kota. Machi-machi-yakko merupakan suatu kelompok masyarakat

(3)

toko, pemilik penginapan, seniman, buruh, serta samurai pengembara. Kelompok ini dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kota dari gangguan para

kabuki-mono yang semakin lama semakin meresahkan masyarakat. Karena tujuannya

adalah untuk melindungi kota, masyarakat menerima dan menganggap kelompok ini sebagai pahlawan.

Seiring waktu berlalu, kabuki-mono berhasil dikalahkan. Namun hal ini kemudian menyebabkan machi-yakko tidak lagi memiliki pekerjaan sebagai pahlawan kota. Justru para machi-yakko ini yang kemudian membuat resah masyarakat dengan kegiatan sehari- hari mereka yaitu berjudi. Sebagian lagi memilih untuk menjadi pedagang keliling. Namun bukan seperti pedagang pada umumnya, pedagang ini sering menipu masyarakat bahkan sesama kelompok pedagang. Kedua kelompok ini yaitu bakuto (penjudi) dan tekiya (pedang keliling) kemudian dikenal sebagai kelompok yakuza tradisional.

Istilah ‘yakuza’ berasal dari sebuah permainan kartu hanafuda (kartu bunga) yang dimainkan oleh kelompok bakuto (penjudi). Dalam permainan kartu ini, para pemain dibagi tiga buah kartu. Jumlah angka yang mereka pegang berasal dari angka terakhir dari jumlah angka keseluruhan dala m kartu yang mereka miliki. Apabila dalam permainan seorang pemain mendapatkan total angka dari kombinasi kartu yang dimiliki berjumlah 20, maka pemain tersebut dianggap kalah. Angka terakhir merupakan angka penentu, dan angka 0 merupakan angka yang paling buruk. Kombinasi tiga angka terburuk yang menghasilkan nilai 20 adalah angka 8, 9, dan 3. Ketiga angka tersebut dalam bahasa jepang dibaca ya-ku-sa. Dari situlah asal mula nama yakuza. Pada awalnya istilah ini digunakan oleh kelompok bakuto untuk menjuluki orang yang kalah

(4)

bermain kartu dan tidak berguna dalam kelompoknya. Semakin lama istilah ini semakin meluas dan kemudian digunakan juga oleh kelompok tekiya.

2.1.2 Kelompok-Kelompok Yakuza

Kelompok-kelompok yakuza terdiri dari kelompok bakuto atau penjudi dan tekiya atau pedagang keliling. Kedua kelompok ini telah ada sejak zaman Edo, yaitu sisa-sisa para ronin dan kelompok machi-yakko yang dulunya dianggap pahlawan oleh masyarakat, dan sebagian lagi berasal dari masyarakat golongan bawah yang merasa terbuang dan tidak dianggap oleh masyarakat pada umumnya. Tetapi tidak semua anggota yakuza berasal dari masyarakat golongan bawah yang terbuang. Ada juga berasal dari keluarga mampu dan terpandang. Umumnya mereka memilih bergabung dengan kelompok yakuza karena merasa tertekan dengan tuntutan dalam keluarga, atau para pelajar yang putus sekolah dan yang dibuang oleh orangtuanya karena faktor ekonomi dan lain-lain.

2.1.2.1 Bakuto

Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang hobi dan sangat mahir dalam berjudi. Pada masa pemerintahan Tokugawa, bakuto sering direkrut oleh pemerintah dan bos-bos konstruksi lokal. Para bos ini bertanggungjawab terhadap berbagai pekerjaan irigasi dan konstruksi. Mereka mengeluarkan upah dalam jumlah yang cukup besar kepada pekerjanya. Namun, dengan taktik yang licik para bos ini berusaha mendapatkan kembali uang tersebut. Caranya adalah dengan menyewa kelompok-kelompok bakuto untuk berjudi bersama para pekerja. Berkat

(5)

keahlian yang dimiliki oleh bakuto, pekerja-pekerja tersebut kalah dan uang gaji mereka kembali ke tangan para bos lokal.

Para penjudi sewaan tersebut akhirnya menarik perhatian pedagang, seniman, maupun orang-orang yang memiliki status tinggi seperti samurai dan pemain sumo. Ketika tumbuh menjadi kelompok terorganisasi, penjudi-penjudi awal tersebut mendirikan tempat-tempat perjudian di sepanjang jalan utama. Jalan raya pada masa Jepang feodal merupakan lingkungan yang ramah bagi penjudi. Guna mencegah terjadinya pemberontakan di provinsi, pemerintah Tokugawa memerintahkan semua tuan tanah untuk mengunjungi Tokyo setahun sekali, sementara keluarga mereka harus menetap di Tokyo secara permanen. Dengan demikian, jalan-jalan utama menjadi jalur perpolitikan negara karena terus-menerus dilalui oleh bangsawan beserta abdinya dan para kurir.

Tempat-tempat pemberhentian dibangun disepanjang jalan, sehingga para pengguna jalan bisa beristirahat dimalam hari dan mendapat hiburan, termasuk berjudi. Rute terkenal pada masa itu adalah Tokaido yang dibangun pada tahun 1603. Rute tersebut menghubungkan Kyoto dan Tokyo. Secara keseluruhan ada 53 tempat peristirahatan disepanjang rute Tokaido. Pada pertengahan abad ke-19, sebagian besar tempat peristirahatan tersebut menjadi pusat kegiatan geng bakuto. Kelompok bakuto merupakan kelompok yang pertama kali menggunakan istilah “yakuza”, karena kata “yakuza” sendiri berasal dari permainan kartu

hanafuda. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemain dianggap kalah

apabila mendapat jumlah angka 20 dan 8-9-3 merupakan salah satu kombinasi angka terburuk dan dibaca ya-ku-sa.

(6)

Kombinasi ya-ku-sa kemudian digunakan secara luas di kalangan geng penjudi awal untuk menunjukkan seseorang yang tidak berguna. Semakin lama, istilah tersebut ditujukan kepada kaum penjudi sendiri karena mereka dianggap tidak berguna bagi masyarakat. Selama bertahun-tahun, penggunaan istilah

“yakuza” terbatas hanya pada geng bakuto. Namun, memasuki abad ke-20,

sedikit demi sedikit istilah “yakuza” mulai digunakan secara luas oleh masyarakat untuk menyebut kelompok bakuto, tekiya, dan kelompok kejahatan lainnya di Jepang.

Kelompok bakuto awal mengembangkan serangkaian aturan mencakup ketaatan mutlak pada kerahasiaan organisasi, kepatuhan pada sistem

oyabun-kobun (atasan-bawahan) dan urutan kedudukan yang menentukan status dan

peranan dalam kelompok dan aturan serta tradisi ini berlaku dalam organisasi

yakuza sampai sekarang. Bakuto awal adalah organisasi feodal dengan kendali

hampir sepenuhnya dipegang oleh oyabun. Promosi jabatan biasanya didasarkan pada performa anggota selama terjadi tawuran antar geng. Selain itu, keahlian berjudi dan loyalitas kepada oyabun juga sangat dipertimbangkan. Bagi kobun rendahan, promosi ke atas bisa menjadi pekerjaan berat. Biasanya, ia diberi tugas untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan remeh seperti menyemir dadu, membersihkan rumah oyabun, menjadi pesuruh dan menjaga bayi.

Para penjudi akan menghukum keras siapa saja yang melanggar aturan geng. Sifat pengecut, ketidaktaatan, dan membuka rahasia geng tidak hanya dianggap sebagai pengkhianatan tetapi juga penghinaan terhadap reputasi dan kehormatan geng. Ada beberapa bentuk pelanggaran yang dianggap sangat tabu, diantaranya adalah pemerkosaan dan pencurian kecil-kecilan. Selain hukuman

(7)

mati, hukuman terberat adalah diusir dari geng. Setelah me ngusir si pelanggar,

oyabun akan memberitahu geng bakuto lain bahwa orang tersebut tidak lagi

diterima dalam kelompoknya.

Berdasarkan kesepakatan umum antargeng, si pelanggar tidak akan bisa bergabung dengan kelompok lawan. Tradisi sejak dulu ini masih berlaku sampai sekarang. Apabila terjadi pengusiran, geng yang bersangkutan akan mengirim serangkaian kartu pos kepada ‘keluarga’ dunia hitam. Kartu pos tersebut berisi pemberitahuan resmi perihal pengusiran serta permintaan kepada geng lain supaya tidak berhubungan dengan si mantan anggota.

Selain pengusiran dari kelompok, ada juga tradisi hukuman yang dikenalkan oleh bakuto, yaitu yubitsume. Tradisi ini dilakukan dengan cara memotong ruas jari kelingking tangan apabila anggota melakukan kesalahan. Tradisi ini dikenalkan oleh kelompok bakuto dan kemudian menyebar pada kelompok-kelompok kejahatan lainnya. Selain yubitsume, tradisi irezumi atau tato juga dikenalkan oleh bakuto pada masa feodal. Awalnya tato merupakan bentuk hukuman yang digunakan pemerintah untuk mengasingkan penjahat dari masyarakat. Namun seiring perkembangan zaman, tato digunakan oleh kelompok

bakuto sebagai ajang unjuk kekuatan, keberanian, ketangguhan, dan kemaskulinan

mereka. Layaknya ritual potong jari, tradisi pembuatan tato juga menyebar dari

bakuto ke tekiya dan geng-geng lainnya dalam yakuza.

Kontribusi bakuto terhadap sejarah awal yakuza lebih luas daripada tradisi potong jari dan pembuatan tato. Beberapa kelompok yakuza awal, baik bakuto maupun tekiya mendapat izin resmi untuk beroperasi. Sejumlah oyabun bahkan ditunjuk sebagai wakil polisi. Kesepakatan dengan polisi seperti ini

(8)

memungkinkan para geng berkonsolidasi dan memperluas kekuasaan. Akan tetapi, geng-geng lain memandang bahwa kerjasama dengan polisi bertentangan dengan kode perilaku para penjudi, sehingga mereka sering menyerang bakuto yang bertentangan.

Walaupun ada beberapa geng yang bekerjasama dengan pemerintah, sementara geng yang lain mengadakan pertumpahan darah demi memperebutkan wilayah kekuasaan, umumnya geng- geng bakuto awal bersedia saling membantu. Salah satu bentuk paling jelas dari kebiasaan itu adalah sistem ‘pengelana’ yang diterapkan oleh bakuto. Penjudi yang sedang berkelana akan mengunjungi setiap bos besar di wilayah yang mereka lalui, tinggal selama beberapa hari di rumah bos tersebut, dan menerima sedikit uang saku. Mereka akan diperlakukan secara sopan, setara dengan perlakuan yang diterima tamu undangan. Menurut etika bakuto, meskipun tuan rumah dan tamunya adalah orang asing, mereka tetap memiliki profesi yang sama, yaitu berjudi.

Ketika Jepang mengalami modernisasi, yakuza turut memperluas aktivitas mereka sesuai dengan pertumbuhan ekonomi. Perjudian masih menjadi pusat kehidupan geng-geng bakuto, meskipun sistem pengelolaan polisi yang semakin baik memaksa mereka untuk membuka perjudian semakin ke bawah, yaitu tempat-tempat persembunyian di perkotaan atau rumah-rumah pribadi. Banyak bos besar bakuto mulai menjalankan bisnis legal sebagai kedok bagi bisnis ilegal mereka dan menyogok polisi. Kebiasaa n lama tersebut bertahan lama hingga sekarang.

(9)

2.1.2.2 Tekiya

Kelompok kedua dalam yakuza adalah tekiya atau pedagang keliling. Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan asal-usul tekiya. Ada yang percaya bahwa tekiya berasal dari para nomad yang berkeliling menjual barang dagangan di kota-kota kastil dan pusat perdagangan. Ada juga teori lain yang menyebutkan bahwa tekiya berasal dari kata yashi, yaitu istilah yang dulu digunakan untuk menyebut pedagang keliling. Karena yashi berkonotasi dengan bandit atau penjahat, kemungkinan tekiya berasal dari para ronin pelanggar hukum yang berkelana di desa-desa.

Ada juga teori yang mengkaitkan tekiya dengan dewa Shinno, yaitu dewa pelindung yashi. Dewa Shinno adalah dewa pertanian dalam mitologi Cina yang dipercaya menemukan obat-obatan untuk menolong orang miskin dan orang sakit. Teori tersebut menyebutkan bahwa yashi adalah sekelompok pedagang obat keliling. Kata shi berarti obat dan ya berarti pedagang atau pedagang keliling. Seiring waktu, istilah yashi menjadi sebutan umum bagi pedagang keliling yang menjual barang apa saja.

Pada pertengahan tahun 1700-an, tekiya membentuk kelompok-kelompok atas dasar kepentingan bersama sekaligus untuk melindungi diri dari ancaman pemerintahan Tokugawa. Geng- geng tekiya mampu mengendalikan kios-kios pekan raya yang diadakan di kuil Shinto maupun kuil Buddha. Mereka mempunyai reputasi menjual barang-barang bermutu rendah dan suka menipu ketika menjual dagangannya. Hal ini masih bertahan sampai sekarang di kalangan anggota tekiya.

(10)

Para tekiya awal mengembangkan banyak teknik yang terbukti mampu mengelabui pembeli. Misalnya berbohong tentang kualitas dan asal- usul produk, pura-pura mabuk dan bertingkah seolah-olah menjual barang dengan harga murah sehingga pembeli percaya kalau si pedagang tidak sadar dengan apa yang ia lakukan, atau menipu pembeli dengan trik-trik kreatif seperti menjal bonsai tanpa akar.

Tekiya dikelola sesuai dengan status feodal. Anggota tekiya terbagi dalam

lima tingkatan, yaitu bos besar atau oyabun, bos kecil, perwira, prajurit, dan pemagang. Dalam beberapa hal, tekiya beroperasi secara canggih. Rumah oyabun berfungsi sebagai markas besar sekaligus pusat pelatihan anggota baru. Para anggota baru mengawali karier dengan cara tinggal di rumah bos besar dan mempelajari bisnis. Nantinya, mereka akan bergabung dengan para prajurit dan harus berkeliling manjajakan barang dagangan si bos ke desa-desa. Jika kembali dengan membawa hasil yang baik, mereka akan diterima sebagai anggota penuh.

Tekiya memiliki tiga perintah atau aturan organisasi yaitu tidak boleh

menyentuh istri anggota lain, tidak boleh membuka rahasia organisasi kepada polisi, dan wajib menjaga kesetiaan dalam hubungan oyabun-kobun. Bos besar tidak hanya bertugas mengendalikan kobun, tetapi juga mengalokasi kios dan stok barang tertentu. Ia akan mengumpulkan uang sewa dan iuran perlindungan bagi para pemilik kios yang menyewa. Uang sewa dan iuran perlindungan merupakan bentuk pemerasan yang masih berlangsung sampai sekarang. Bos tekiya menuntut pembayaran dari pedagang di pinggir jalan karena mereka sudah diizinkan membuka kios di wilayah kekuasaan tekiya. Mereka yang tidak mau membayar akan kehilangan barang dagangannya, konsumennya diusir, dan beresiko diserang

(11)

secara fisik oleh para anggota geng yang ingin mempertahankan monopoli mereka di wilayah tersebut.

Perbedaan pendapat antarbos tekiya mengenai daerah kekuasaan sering mengarah pada perkelahian. Walaupun demikian, kerjasama yang cukup baik dapat tercipta di antara geng tekiya. Tidak seperti bakuto, umumnya tekiya melakukan pekerjaan yang sah secara hukum. Bahkan penguasa feodal memperbesar rentang kekuasaan bos tekiya dengan memberikan pengakuan resmi atas status mereka pada tahun 1735-1740. Demi mengurangi kecurangan diantara para tekiya dan mencegah terjadinya tawuran memperebutkan wilayah kekuasaan, pemerintah Tokugawa menunjuk sejumlah oyabun sebagai rekanan dan memberikan kehormatan berupa nama keluarga dan dua bilah pedang. Hal itu menyimbolkan bahwa status mereka mendekati samurai.

Dengan legitimasi yang diberikan pemerintahan Tokugawa dan diiringi pertumbuhan kota yang sangat pesat hingga satu abad kemudian, geng-geng

tekiya turut meluas. Beberapa geng mulai mengorganisasi sendiri pekan raya

tambahan. Mereka menyelenggarakan festival me nyerupai sirkus, diiringi berbagai pertunjukan menarik serta kios-kios yang menjual makanan, cinderamata, perlengkapan rumah tangga, dan apapun yang bisa menarik perhatian pembeli.

Meskipun sudah mendapatkan legitimasi, geng- geng tekiya tetap mengembangkan beberapa karakteristik geng kriminal. Contohnya, memasukkan penjahat dan buronan kedalam jaringan mereka yang luas atau perlindungan terhadap bisnis ilegal yang semakin berkembang seiring dengan bertambahnya daerah kekuasaan. Tawuran antargeng bahkan kerap mengubah tempat pertemuan

(12)

Walaupun pada umumnya tekiya memiliki anggota dari golongan yang sama dengan bakuto, kelompok tekiya awal juga mencari anggota dari orang-orang kelas buangan pada masa Jepang tradisional. Mereka adalah para

burakumin atau ‘orang dusun’ yang membentuk kasta terpisah. Defenisi mengenai

kelas burakumin tergantung pada situasi. Umumnya kelas burakumin diisi oleh orang-orang yang bekerja dengan bangkai binatang seperti penyamak kulit atau pekerjaan sejenis seperti perawat jenazah. Diskriminasi terhadap kaum burakumin sangat kejam dan berlangsung terus- menerus. Biasanya mereka disebut sebagai

eta (sangat kotor) atau hinin (bukan manusia) sehingga baik samurai bahkan

rakyat jelata pun diizinkan menyiksa burakumin. Dalam bukunya yang berjudul

Peasants, Rebels and Outcasts, sejarawan Mikiso Hane menggambarkan kondisi

kehidupan burakumin:

Mereka dibatasi mulai dari tempat tinggal, kualitas rumah, mobilitas keluar-masuk desa, pakaian, gaya rambut, bahkan alas kaki. Di beberapa daerah mereka harus mengenakan tanda pengenal khusus, seperti kerah kuning. Mereka dilarang memasuki kuil Shinto maupun Buddha yang diperuntukkan bagi komunitas non-eta. Pernikahan dengan kelas lain juga sangat dilarang (Hane dalam Kaplan & Alec Dubro, 2011:12)

Di bawah pemerintaha Tokugawa, siapapun yang melanggar hukum atau adat akan diturunkan statusnya menjadi eta atau hinin. Dengan demikian, beberapa anggota tekiya sudah lebih dulu dicap bukan manusia. Pada waktu yang bersamaan, banyak orang yang lahir dari keluarga burakumin bergabung dengan geng tekiya yang menyediakan jalan keluar dari kemiskinan.

Berjualan keliling desa setidaknya memberikan kesempatan bagi kaum

burakumin untuk meninggalkan tempat kelahirannya, dimana mereka akan selalu

(13)

berpotensi memunculkan pelaku kriminalitas. Pada masa akhir pemerintahan Tokugawa yaitu sekitar tahun 1867, jumlah burakumin mencapai 400.000 jiwa dari populasi Jepang pada saat itu yang berjumlah 33.000.000 jiwa. Bentuk diskriminasi yang sah secara hukum terhadap burakumin akhirnya resmi dihapuskan pada tahun 1871 melalui keputusan pemerintah. Tetapi, sikap sewenang-wenang terhadap mereka masih saja terjadi sehingga hal itu ter us mendorong sejumlah besar burakumin mesuk ke dalam cengkeraman yakuza.

2.1.3 Pola Identitas Yakuza

Pada umumnya, setiap organisasi kejahatan pasti menjalankan aktivitasnya secara diam-diam untuk menyembunyikan identitas. Tetapi yakuza tidak merahasiakan identitas dan keberadaan mereka seperti organisasi kejahatan yang lain. Yakuza justru terbuka dan menunjukkan kepada masyarakat siapa diri mereka. Beberapa karakteristik yakuza yang terlihat jelas di masyarakat dapat dilihat dari simbolisme pada tubuh yakuza. Simbolisme tubuh yakuza pertama kali dikenalkan oleh kelompok bakuto pada zaman dulu dan tradisi tersebut berlangsung sampai sekarang. Yubitsume atau pemotongan jari dan irezumi atau pembuatan tato adalah simbolisme tubuh yang menunjukkan identitas yakuza di masyarakat.

2.1.3.1 Yubitsume

Yakuza terkenal dengan ketaatan dan loyalitas yang sangat tinggi terhadap

organisasi. Setiap anggota yakuza wajib mematuhi perintah bos mereka dan apabila melakukan kesalahan atau melanggar aturan geng, mereka akan dihukum.

(14)

Sifat pengecut, ketidaktaatan, dan membuka rahasia geng tidak hanya dianggap sebagai pengkhianatan tetapi juga penghinaan terhadap reputasi dan kehormatan geng. Apabila melakukan kesalahan, anggota yakuza dapat dihukum mati atau diusir dari geng, tergantung seberapa besar kesalahan yang dilakukannya. Selain hukuman mati dan diusir dari geng, yakuza juga memiliki bentuk hukuman lain yang juga menunjukkan identitas mereka kepada masyarakat yaitu yubitsume.

Yubitsume adalah bentuk hukuman bagi pelanggar peraturan dalam

organisasi yakuza. Yubitsume merupakan tradisi potong jari yang dikenalkan sejak dulu oleh kelompok bakuto atau penjudi dan berlaku sampai sekarang. Dalam ritual potong jari, ruas teratas jari kelingking dipotong dalam suatu upacara. Pada awalnya yakuza memberlakukan hukuman potong jari dengan tujuan melemahkan genggaman, artinya pedang yang memiliki peran signifikan bagi yakuza awal tidak dapat lagi digenggam erat. Ritual tersebut, baik dipaksakan atau dilakukan secara sukarela, berhasil membuat kobun atau anggota yakuza yang suka melanggar aturan menjadi patuh dan tergantung kepada atasannya.

2.1.3.2 Irezumi

Pada zaman feodal, tato digunakan oleh pemerintah sebagai bentuk hukuman yang digunakan untuk mengasingkan para penjahat dari mas yarakat. Para penjahat diberi tato berbentuk lingkaran hitam di sekeliling lengan untuk setiap pelanggaran yang dilakukan, sehingga masyarakat dapat mengenali penjahat dan menjauhinya. Akan tetapi, tato kemudian mengalami perkembangan dan perubahan makna. Tato tidak lagi dianggap hanya sebagai penanda bagi para

(15)

penjahat, tetapi juga sebagai hasil seni dan menjadi tradisi mulia di Jepang. Tato Jepang merupakan salah satu yang terbaik di dunia dan telah berusia ratusan tahun.

Seiring waktu, pola desain tato berkembang dan semakin kompleks, berupa gabungan antara gambar dewa-dewa terkenal, pahlawan rakyat kecil, binatang, dan bunga yang sangat indah. Pada akhir abad ke-17, desain tato yang rumit dan membentang di seluruh tubuh menjadi popular di kalangan penjud i dan pekerja kasar seperti kuli angkut, pembantu di kandang kuda, tukang batu, bahkan para geisha.

Asal mula tradisi irezumi dalam yakuza dilakukan oleh kelompok bakuto. Mereka membuat tato di seluruh tubuh untuk menunjukkan identitas mereka dalam masyarakat. Selain sebagai identitas, tato bagi yakuza juga menunjukkan hubungan oyabun-kobun atau hubungan saudara. Anggota yakuza yang memiliki pola dan gambar tato yang sama membuktikan komitmennya dalam kelompok

yakuza. Pembuatan tato bagi anggota yakuza juga dianggap sebagai uji kekuatan.

Hal itu dikarenakan pembuatan tato dengan cara tradisional adalah proses yang sangat menyakitkan. Seniman tato menggunakan alat yang diukuir dari tulang atau kayu dengan ujung berupa sekelompok jarum kecil. Alat tersebut kemudian ditusukkan ke kulit dengan rangkaian tusukan yang menyakitkan. Tusukan sang seniman tato akan terasa menyengat dan menyakitkan bagi anggota yakuza. Proses pembuatan tato tradisional memakan waktu sangat lama. Untuk membuat tato seluruh badan dapat memakan waktu selama seratus jam. Lamanya proses pembuatan tato dan rasa sakit yang dirasakan selama pembuatan tato merupakan bentuk uji kemampuan anggota dalam menunjukkan keberanian dan ketangguhan seorang yakuza.

(16)

Meskipun zaman sekarang pembuatan tato dap at dilakukan dengan jarum listrik yang dapat membuat tato lebih cepat dan tidak menyakitkan, masih banyak anggota yakuza yang lebih memilih menggunakan cara tradisional karena ketangguhan menahan rasa sakit selama proses pembuatan tato sangat dihargai. Seperti tujuan awal dibuatnya tato oleh pemerintah untuk mengasingkan penjahat yang tidak berguna, tato yakuza juga merupakan bentuk identitas sebagai kelompok yang diasingkan dari masyarakat.

2.1.4 Giri dan Ninjo Dalam Yakuza

Yakuza pada awalnya berasal dari para ronin, sehingga banyak dipengaruhi

oleh nilai-nilai dari kaum samurai atau pada zaman Tokugawa disebut bushi. Pada masa itu samurai menyusun suatu kode etik yang disebut bushido atau jalan hidup

bushi (samurai). Kode etik ini sangat kental dengan unsur kesetiaan dan

pengabdian diri yang mutlak kepada tuan. Yakuza menganggap mereka mewarisi nilai- nilai bushido. Kesetiaan kobun kepada oyabun merupakan cerminan bushido yang diakui oleh yakuza. Seperti samurai, yakuza membuktikan kekuatan dan kemampuan mereka dengan ketabahan mereka dalam menahan rasa sakit, lapar maupun hukuman penjara. Bagi yakuza, kematian adalah takdir yang puitis, tragis, dan terhormat seperti samurai pada zaman dahulu.

Sistem nilai dalam yakuza bukan hanya sebatas cerminan kode etik

samurai atau bushido. Inti sistem nilai yakuza terletak pada konsep giri dan ninjō. Giri dan ninjō merupakan istilah yang tidak mudah diterjemahkan ke dalam

bahasa lain. Secara sederhana, giri diartikan sebagai kewajiban atau tanggungjawab besar yang sangat berkaitan dengan nilai-nilai tradisional Jepang

(17)

yang kompleks. N ilai- nilai tersebut adalah nilai kesetiaan, terima kasih, dan utang budi. Sehingga dapat diartikan giri adalah kain sosial yang mengikat Jepang dengan penerapan yang terpusat pada hal-hal tertentu seperti sistem oyabun-kobun. Konsep giri yang terdapat dalam nilai bushido menjadi dasar nilai yakuza dalam mengikat hubungan atasan dan bawahan melalui tugas dan kewajiban.

Makna ninjō sejajar dengan perasaan dan emosi. Di dalam ninjō terkandung unsur kemurahan hati, simpati terhadap kaum lemah dan tidak berdaya, dan empati terhadap orang lain. Ninjō digunakan sebagai ungkapan penghubung dengan giri dan keduanya tidak bisa dipisahkan. Giri merupakan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat, dan ninjō merupakan nilai sosial yang bersifat pribadi. Yakuza mengadopsi nilai giri dan ninjō untuk menaikkan kedudukan mereka dalam masyarakat. Seorang oyabun dari kelompok

Inagawa-kai, salah satu sindikat atau klan yakuza terbesar mengatakan:

“yakuza berupaya menjalani patriotisme dan jalan hidup ksatria.

Giri dan ninjō, itulah perbedaan terbesar kami dengan mafia

Amerika. Jika memungkinkan, yakuza mencoba mengurus seluruh masyarakat, bahkan jika dibutuhkan satu juta yen untuk menolong satu orang” (Kaplan & Alec Dubro, 2011:18)

Senada dengan pendapat tersebut, seorang bos besar kelompok

Sumiyoshi-kai mengatakan:

“pada musim dingin, kami memberikan sisi jalan yang terkena sinar matahari kepada masyarakat karena kami bisa bertahan hidup oleh kerja keras mereka. Pada musim panas, kami berjalan di sisi jalan yang terkena sinar matahari demi memberikan sisi yang sejuk dan teduh kepada mereka. Jika memperhatikan perilaku kami, anda bisa melihat komitmen kami yang kuat terhadap giri dan ninjō” (Kaplan & Alec Dubro, 2011:18)

Aplikasi konsep giri dan ninjō dalam kehidupan yakuza modern tampak pada masa setelah perang dunia kedua, ketika muncul kelas masyarakat baru

(18)

sebagai akibat perang yaitu sangokujin. Sangokujin terdiri dari orang-orang Korea, Cina, dan Taiwan yang dibawa ke Jepang untuk mengganti para pekerja Jepang yang direkrut menjadi tentara. Para sangokujin dipaksa bekerja layaknya budak. Setelah Jepang kalah dalam perang, kemarahan kaum sangokujin kepada orang Jepang memuncak akibat diskriminasi dan eksploitasi selama bertahun-tahun. Ada sebuah kejadian ketika gerombolan sangokujin berjumlah 300 orang menyerang kantor polisi di Kobe sebagai ajang untuk unjuk gigi. Karena kesulitan melawan

sangokujin, walikota Kobe meminta bantuan kepada Taoka Kazuo, bos besar Yamaguchi-gumi. Taoka bersama anak buah dan sekutunya berhasil menyergap sangokujin di kantor polisi tersebut, menyerang mereka dengan pedang, senjata

api dan granat. Sangokujin berhasil dikalahkan dan polisi memiliki utang giri kepada yakuza.

Pertempuran melawan sangokujin tersebut sangat patriotik dan sangat dikenang. Yakuza diposisikan sebagai pahlawan yang terjepit musuh tetapi berhasil menyelamatkan Jepang dari orang asing yang jahat. Layak nya para

samurai yang suka menolong, yakuza juga memposisikan dirinya sebagai samurai.

2.1.5 Struktur Organisasi Yakuza

Yakuza dikenal sebagai organisasi kejahatan yang memiliki ciri khas

tersendiri dengan struktur organisasi yang rapi, sehingga hal inila h yang membedakan yakuza dengan organisasi-organisasi kejahatan lainnya di dunia.

Yakuza bukan hanya sekedar kumpulan penjahat dan orang-orang yang memiliki

latar belakang berbeda, tetapi mereka semua tergabung dalam suatu ikatan keluarga.

(19)

Dalam organisasi yakuza terdapat istilah ikka, yaitu suatu bentuk keluarga yang anggotanya tidak memiliki hubungan darah satu sama lain. Dalam yakuza, kata ikka diganti dengan istilah gumi yang berarti kelompok atau kai yang berarti asosiasi. Kata tersebut diletakkan setelah nama suatu kelompok, misalnya

Yamaguchi-gumi atau Inagawa-kai. Struktur organisasi yakuza berbeda dengan

strukur organisasi kejahatan di negara lain. Dalam struktur organisasi yakuza terdapat tiga struktur yang mendasar, yaitu hirarki formal dalam tugas dan tingkatan, hirarki berdasarkan sistem Ie tradisional Jepang, dan hirarki dalam internal kelompok. Struktur organisasi yakuza memiliki bentuk yang sama dengan sistem keluarga inti Ie di Jepang.

Ie adalah sebuah bentuk keluarga yang mempunyai sistem tersendiri yang

berurat berakar pada masyarakat Jepang. O leh karena itu, Ie mempunyai hubungan yang dalam dengan sistem nilai dan struktur masyarakat Jepang. Dan juga merupakan suatu sistem masyarakat dalam kesejarahan Jepang tersendiri (Ito dalam Situmorang, 2009:26). Sistem Ie berbentuk patrilineal, yaitu suatu keluarga yang berlangsung terus menerus melalui garis keturunan ayah. Keluarga Ie dipimpin oleh kacho (ayah) sebagai keluarga dan chonan (anak laki- laki pertama) yang akan menjadi kacho generasi berikutnya. Objek dari kesinambungan sistem

Ie adalah hubungan darah (hubungan orang tua dengan anak, hubungan abang

dengan adik), hubungan tempat tinggal ( rumah dan pekarangan), dan hubungan ekonomi ( produksi, konsumsi, usaha dan harta). Karena keluarga Ie merupakan kelompok untuk menjalankan kehidupan, maka orang yang bukan hubungan darah pun dimungkinkan menjadi anggota keluarga.

(20)

Yakuza mengadopsi sistem Ie ke dalam hubungan orang tua-anak yang

disebut hubungan oyabun-kobun. Oyabun berarti orang yang memiliki status oya, yaitu sebagai orang tua dalam kelompoknya atau sebagai pemimpin dari suatu organisasi. Dan kobun adalah orang yang memiliki status ko, yaitu sebagai anak dalam kehidupan keluarga atau sebagai bawahan dalam suatu organisasi. Oyabun mengatur, membawahi dan memberikan perlindungan terhadap kobun. Sedangkan

kobun selalu tunduk dan setia menjalankan perintah yang diberikan oyabun.

Pada masa yakuza awal, hubungan oyabun-kobun membentuk kekuatan dan hubungan yang erat yang luar biasa, bahkan sampa i menciptakan pengabdian fanatik kepada bos. Sampai sekarang, sistem oyabun-kobun masih terus menyuburkan kesetiaan, ketaatan, dan kepercayaan diantara para yakuza. Kobun harus bisa bertindak sebagai teppōdama (peluru) dalam sebuah perkelahian dengan geng lain. Mereka harus berdiri paling depan, menghadang senjata dan pedang musuh, serta mempertaruhkan nyawanya demi melindungi oyabun. Dan adakalanya kobun mengambilalih tanggungjawab dan masuk penjara atas kejahatan yang dilakukan oleh oyabunnya.

Tingkatan dalam organisasi yakuza tradisional dan modern bersifat feodal, yaitu satu pemimpin (oyabun) membawahi semua bawahan (kobun). Tingkatan hirarki dalam organisasi yakuza sangat jelas perbedaan stratanya. Masing- masing tingkatan memiliki kewajiban, status dan hak istimewa yang berbeda-beda. Urutan tingkat dari yang teratas adalah kumi-chō atau yang disebut dengan

oyabun, yaitu pemimpin dari suatu organisasi, wakagashira atau pemimpin muda, saikō kanbu atau eksekutif senior, kanbu atau eksekutif, kumi-in atau prajurit, dan jun-kōsei-in atau anggota magang. Kemudian terdapat juga kigyōshatei yaitu

(21)

hubungan bisnis antarsaudara yang tidak berhubungan langsung dengan ikka, tetapi tetap mendapatkan keuntungan dari kelompok ikka tersebut.

Kumi-chō bertugas sebagai pemimpin dari suatu organisasi dan bertugas

memberi arahan dan tugas terhadap bawahan dan sebagai pengambil keputusan dalam suatu tindakan. Wakagashira bertugas sebagai penasehat oyabun, dan kedudukan wakagashira layaknya orang kepercayaan oyabun. Diantara oyabun dan wakagashira terdapat kōmon yang bertugas sebagai penasehat oyabun juga, sehingga oyabun selalu mendapat nasehat dan masukan dari dua pihak bila menyangkut urusan kelompok. Saikō kanbun dan kanbun masing- masing memiliki anak buah tersendiri untuk bekerjasama dalam melakukan tugas dan kewajibannya. Kumi-in bertugas sebagai bawahan yang mengurusi segala urusan kelompok seperti mengangkat telepon kantor, supir, bertanggungjawab dalam penjagaan atau keamanan, dan melayani tamu. Masing- masing dari mereka kurang lebih sepuluh orang harus berjaga dua puluh empat jam untuk menjaga kantor pusat organisasi, karena mereka tidak akan tahu apa yang akan terjadi, apakah adanya serangan dari kelompok lain atau menerima telepon yang penting. Di luar pekerjaan itu semua, kadang-kadang kumi-in juga diminta untuk bekerja dalam bisnis milik oyabun, dan apabila terjadi perkelahian dengan kelompok yakuza lain, kumi-in harus bisa melawan di barisan paling depan.

Bentuk hirarki yang lain dalam struktur organisasi yakuza adalah hirarki dalam kelompok terkecil. Dalam tiap tingkatan atau strata memiliki kobun tersendiri, yaitu tingkatan yang terdapat hubungan oyabun-kobun. Sehingga dalam satu kelompok memiliki dua posisi, yaitu posisi kobun dalam keseluruhan ikka dan posisi kobun dalam kelompok terkecil (kelompok internal). Anggota yang

(22)

terdapat dalam kelompok terkecil ini tidak lebih dari sepuluh anggota. Organisasi

yakuza yang memiliki kekuatan yang besar umumnya menguasai kelompok yakuza yang lebih lemah untuk berganung dan menguasai kelompok tersebut ke

dalam payung kekuasaan. Kelompok kecil yang tergabung tersebut akan menjadi

kobun di dalam organisasi yang menguasainya. Kumi-chō dari kelompok yang

lemah akan menjadi kobun dari kumi-chō dari kelompok penguasa atau menjadi

kobun dalam badan eksekutif kelompok penguasa.

Dalam kehidupan organisasi yakuza, peranan wanita sama sekali tidak dilibatkan dalam urusan kelompok. Wanita di d unia yakuza hanya sebatas sebagai pelacur, penghibur di bar, dan sebagai nyonya di anggota kelompok (istri oyabun). Istri oyabun sering disebut ane-san (saudara kakak perempuan). Mereka sebagai wanita sangat dipandang rendah dalam pekerjaan yakuza. Namun, bukan berarti wanita sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Salah satu contoh peran wanita dalam yakuza adalah ketika Taoka Fumiko, istri dari pemimpin kelompok

Yamaguchi-gumi generasi ketiga memimpin kelompoknya untuk sementara

karena pemimpin yang terpilih pada saat itu masuk penjara.

Dalam penerimaan anggota baru, kelompok yakuza melakukan suatu ritual sebagai tanda terjalinnya suatu hubungan darah antara individu dengan kelompok yang disebut sakazuki. Sakazuki adalah ritual pertukaran mangkuk sake sebagai tanda terjalinnya hubungan darah. Sakazuki adalah ritual penting di dunia yakuza yang mengekspresikan semangat yakuza dalam penentuan anggota, memperkuat ikatan organisasi, dan kompleksitas hubungan antarposisi dan fungsi dalam organisasi. Ritual ini tidak hanya sebagai tanda masuknya anggota baru dalam kelompok, namun juga sebagai tanda terjalinnya hubungan oyabun-kobun. Ritual

(23)

ini dilakukan dengan cara formal. Ritual ini dilakukan di ruangan yang beralaskan

tatami (tikar Jepang) dengan para partisipasi ritual yang menggunakan pakaian haori hakama (pakaian luar untuk mempermewah kimono) dan terdapat nakōdo

(perantara) untuk membantu pelaksanaan dan sebagai saksi upacara.

Ritual dilaksanakan di depan altar dan suatu persembahan dilakukan pertama kali untuk ditujukan kepada dewa Shinto yang diletakkan di atas altar sebelum ritual sakazuki dilakukan. Individu yang akan bergabung dan membentuk suatu jalinan dengan kelompok duduk di tatami dengan nakōdo di dekatnya. Pada saat pertukaran mangkuk sake, jumlah sake yang dituangkan ke dalam mangkuk berbeda-beda sesuai dengan status dan hubungan yang akan dibuat. J ika yang dihubungkan merupakan antarsaudara maka volume sake yang dituangkan sama banyaknya. Mangkuk sake diisi penuh oleh nakodo dan memberikannya ke masing- masing pihak yang akan dihubungkan. Apabila yang akan dihubungkan adalah saudara tua dan saudara muda, maka mangkuk sake untuk saudara tua diisi sebanyak enam persepuluh dan mangkuk sake untuk saudara muda diisi sebanyak empat persepuluh. Sedangkan apabila yang dihubungkan merupakan hubungan

oyabun-kobun, maka mangkuk sake yang dibutuhkan hanya satu. Manguk sake

tersebut diisi penuh oleh nakōdo, lalu diminum setengahnya oleh oyabun, dan sisanya diberikan kepada kobun yang akan dihubungkan.

2.1.6 Obyek Bisnis Yakuza

Kelompok yakuza tradisional yaitu bakuto dan tekiya pada dasarnya memiliki bidang yang berbeda dalam pekerjaannya. Bakuto sebagai kelompok penjudi pastilah bergerak di bidang perjudian, sedangkan tekiya bergerak di

(24)

bidang usaha perdagangan. Bakuto melakukan pekerjaan dengan cara yang tertutup, sedangkan tekiya secara terbuka membuka dan menguasai kios-kios dagangan di sekitar tempat diadakannya matsuri (pesta rakyat). Berawal dari kedua pekerjaan tersebut, bisnis yakuza kemudian meluas dan mencakup segala aspek bisnis ilegal.

Bisnis ilegal yang umumnya dijalankan dan dikuasai oleh yakuza yaitu penyelundupan narkoba, perjudian, penjualan senjata api, penjualan wanita atau prostitusi, bisnis klub-klub malam, real estate, dunia hiburan, dunia olahraga dan lain- lain. Yamaguchi-gumi, salah satu kelompok yakuza terbesar menguasai bisnis ilegal yakuza di bagian barat Jepang. Berbagai geng yang berafiliasi dengannya mengendalikan buruh harian di pelabuhan dan perusahaan konstruksi; memonopoli ratusan pengelola kios kaki lima; memeras uang dari bar lokal dan perusahaan nasional; serta mengelola berbagai bentuk perjudian, mulai dari judi tebak angka di pojok jalan hingga permainan kartu tingkat tinggi dengan taruhan mencapai jutaan dolar dalam semalam. Mereka mengontrol partai-partai politik dan bekerja sebagai asisten kampanye bagi para kandidat golongan sayap kanan. Pada awal tahun 1970, Yamaguchi-gumi telah mengembangkan bisnisnya ke bidang tinju professional, sumo, dan gulat gaya barat yang kemudian diikuti oleh kelompok-kelompok yakuza lainnya.

Dalam bisnis hiburan, yakuza menguasai sekitar 100 perusahaan produksi. Selain itu, puluhan agensi pencari bakat dan penyalur tenaga kerja berada di bawah pengaruh yakuza. Banyak artis yang tidak bisa tampil di panggung kalau tidak disponsori yakuza. Rumah-rumah produksi yang sangat haus akan film- film gangster juga berada di bawah pengaruh yakuza. Keberadaan rumah-rumah

(25)

produksi yang dimiliki oleh yakuza pada dasarnya hanyalah sebuah kedok untuk menguasai bisnis hiburang di Jepang.

Meskipun perjudian dilarang oleh pemerintah, namun rumah judi dan kios-kios tekiya tetap menjadi bisnis standar yakuza. Judi dengan taruhan tinggi memberikan pemasukan besar bagi yakuza. Untuk melancarkan bisnis perjudian,

yakuza membuat taktik yaitu dengan melakukan perjudian dibalik perjudian yang

dilegalkan pemerintah, seperti pacuan kuda, lotre, dan lain- lain. Karena perjudian legal semacam ini dimonopoli oleh pemerintah, maka pihak luar atau yakuza yang ingin berjudi dalam bentuk ini harus membayar pajak kepada pemerintah. Akan tetapi yakuza termasuk kelompok yang menyelenggarakan perjudian jenis ini tanpa membayar pajak. Sehingga perjudian itu kemudian dianggap ilegal dan dilarang oleh pemerintah. Pelarangan tersebut tidak membuat yakuza mengurungkan niat mereka dalam menginvestasikan perjudian atau menurut untuk membayar pajak kepada pemerintah. Sebaliknya, mereka justru mencari cara agar tetap dapat berjudi tanpa harus membayar pajak.

Bisnis narkotika juga dianggap sebagai lumbung penghasil uang bagi

yakuza. Amfetamin adalah salah satu jenis narkotika yang paling dicari pasca

perang dunia kedua. Amfetamin digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat, dan bagi tentara berguna untuk meningkatkan stamina tubuh agar tetap kuat. Karena penggunaan dan kebutuhan masyarakat terhadap amfetamin pada masa pasca perang dunia kedua semakin meningkat, pemerintah kemudian menetapkan amfetamin sebagai obat terlarang untuk dijual secara umum. Akibatnya, masyarakat yang telah terlanjur menjadi pecandu terpaksa beralih ke narkotika jenis lain seperti heroin dan metafetamin. Celah ini kemudian dimanfaatkan oleh

(26)

yakuza untuk memperoleh keuntungan dalam jumlah besar. Namun tidak semua

kelompok yakuza yang melakukan bisnis narkotika. Pemimpin kelompok

Yamaguchi-gumi yang sangat sadar akan bahaya penggunaan narkotika

mengeluarkan aturan pelarangan menjual da n memakai amfetamin dan obat-obatan jenis lain bagi anggotanya, meskipun aturan tersebut tidak sepenuhnya dipatuhi.

2.2 Politik Jepang Setelah Perang Dunia Kedua

2.2.1 Politik Jepang Pada Masa Pendudukan Sekutu

Dalam waktu dua minggu setelah Jepang menyerah kalah, pasukan-pasukan sekutu yang dipimpin Amerika Serikat mulai mendarat di Jepang. Pada tanggal 2 Oktober 1945 dibentuk SCAP (Supreme Commander for the Allied

Powers) atau markas besar negara- negara sekutu di bawah pimpinan Jenderal

Douglas Mac Arthur. Tugas utama SCAP adalah mengatur dan melaksanakan reformasi dan kebijakan pemerintahan di seluruh wilayah Jepang yang meliputi penghapusan unsur-unsur feodal dan militer dari masyarakat Jepang, serta peningkatan kebebasan modern dan perdamaian. Angkatan bersenjata Jepang dilucuti dan dibubarkan, penjahat-penjahat perang ditangkap, diadili dan dihukum oleh mahkamah militer sekutu. Tokoh-tokoh politik yang pernah berkuasa, kaum militeris dan ultranasionalis, dan panglima perang untuk sementara waktu disingkirkan dari pemerintahan.

Tokoh-tokoh yang dipenjara karena kejahatan politik selama perang dibebaskan dan undang-undang yang membatasi kebebasan pendapat, berkumpul, dan berserikat juga dicabut. Hak bagi kaum wanita untuk bersuara dan menduduki

(27)

jabatan umum diakui, dan sistem kepolisian juga diubah pada masa pendudukan sekutu. Pasukan sekutu juga membuat reformasi di bidang sosial dan ekonomi yang mencakup penghapusan unsur feodal dari masyarakat, penghapusan zaibatsu, dan kebijakan land reform untuk kemajuan ekonomi.

Sekutu juga berusaha sebisa mungkin membatasi agar Jepang tidak lagi memiliki kemampuan politik dan ambisi militer yang dapat memberikan ancaman bagi bangsa dan negara lain khususnya bangsa barat. Pembatasan itu tampak jelas dalam Undang-Undang Dasar Jepang yang baru dan memang sengaja dipersiapkan oleh Amerika. Namun, kebijakan politik Amerika di Jepang berubah karena kekhawatiran Amerika terhadap komunisme yang semakin berkembang di Asia, sehingga Amerika memberikan tekanan untuk melaksanakan kebijaka n yang antikomunis. Semula sikap politik Amerika di Jepang lebih mengutamakan pelaksanaan hukuman terhadap mereka yang dituduh sebagai penjahat perang. Tetapi kemudian Amerika menyadari pentingnya menghalangi komunisme masuk ke Jepang. Caranya adalah dengan menjadikan Jepang sebagai sekutu dan benteng melawan komunisme. Hal tersebut semakin mudah dilakukan karena Jepang pada dasarnya sudah antikomunis sejak dulu.

Sekutu juga menyusun suatu konstitusi baru bagi Jepang. Konstitusi baru menetapkan kaisar hanya sebagai simbol negara dan simbol pemersatu bangsa. Dengan demikian, kaisar tidak lagi memiliki kekuasaan politik apapun.

2.2.2 Politik Jepang Setelah Tahun 1952

Pada tanggal 8 September 1951 Amerika Serikat dan Jepang menandatangani perjanjian perdamaian dan kemudian dilanjutkan dengan

(28)

pelaksanaan penyerahan kekuasaan dan kedaulatan penuh kepada pihak Jepang pada tanggal 28 April 1952. Sejak saat itu Jepang mendapatkan kembali kedaulatannya sebagai negara merdeka dan memperoleh identitas politiknya sebagai negara berdaulat. Walaupun demikian, Amerika Serikat tetap melakukan pengawasan dan pembatasan terhadap Jepang, khususnya dibidang militer dan masalah keamanan dan pertahanan.

Sejak berakhirnya perang dunia kedua sampai tahun 1950, di Jepang terdapat dua golongan politik konservatif yaitu kelompok liberal yang merupakan penerus partai lama yang disebut Seiyūkai, dan kelompok demokrat yang berasal dari kelompok Minseitō. Kedua kelompok konservatif ini pada tahun 1950 bergabung membentuk Partai Liberal te tapi pada tahun 1953 pecah kembali. Tahun 1955 mereka kembali bergabung dengan membentuk partai baru bernama

Jiyuminshūtō (Partai Liberal Demokrat). Partai inilah yang kelak di kemudian hari

berhasil menguasai kehidupan politik Jepang sampai tahun 1990-an.

Partai Liberal Demokrat merupakan partai konservatif yang terdiri atas generasi tua yang dalam pandangan politiknya cenderung lebih mementingkan stabilitas politik dan ekonomi dalam negeri. Pimpinan partai dari kelompok konservatif ini ditentukan oleh hirarki berjenjang yang berlaku di lingkungan partai seperti yang berlaku di dalam birokrasi. Di tubuh partai ini sejak semula telah terbagi dalam pengelompokan faksi- faksi yang lebih dilandasi oleh kepemimpinan tokoh perorangan dan bukan oleh penggolongan be rdasarkan kepentingan ideologis. Pada dasarnya faksi- faksi tersebut memiliki program dan tujuan yang hampir sama, tetapi memiliki fanatisme dalam mendukung tokoh kepemimpinan mereka. Adanya faksi- faksi tersebut menunjukkan Partai Liberal

(29)

Demokrat memberi toleransi terhadap perbedaan pendapat sehingga membuat partai tidak mudah terpecah-belah walaupun terjadi perbedaan pandangan dalam pelaksanaan politik diantara pemimpin faksi. Yang terpenting bagi partai adalah bagaimana cara agar bisa menang dalam pemilihan umum. Ketua partai secara otomatis akan dicalonkan sebagai perdana menteri namun terlebih dahulu harus memperoleh dukungan dari semua faksi atau mayoritas jumlah faksi.

Kebijakan politik Partai Liberal Demokrat lebih sering dikaitkan dengan upaya mendapatkan dukungan politik, ekonomi, dan keamanan dari Amerika Serikat. Kebijakan yang reaksioner itu nampak paling jelas pada tahun 1960 ketika kabinet K ishi Nobusuke memaksakan ratifikasi perjanjian keamanan yang diperbaharui. Hal ini membangkitkan protes rakyat secara besar-besaran terhadap taktik yang sangat licik itu, sehingga perdana menteri K ishi Nobusuke terpaksa meletakkan jabatan. Hal itu yang menyebabkan partai harus menghadapi pendapat umum yang cenderung menghendaki Jepang lebih bersikap netral dan mandiri dalam menjalankan politiknya. Setelah tahun 1955, pertumbuhan politik nasional di Jepang ditandai oleh adanya persaingan antara dua sikap politik yaitu antara kelompok yang tetap ingin mempertahankan pola-pola lama yang konservatif, dengan kelompok yang menghendaki pola-pola baru yang progresif. Kelompok yang berpandangan konservatif diwakili oleh para anggota Partai Liberal Demokrat, sedangkan yang berpandangan progresif diwakili oleh Nihonshakaitō (Partai Sosialis Jepang). Pemikiran progresif pada saat itu lebih banyak dianut oleh para politisi muda. Di masa ini juga sering terjadi perbedaan sikap antara kelompok konservatif dengan sosialis dalam menanggapi berbagai isu domestik

(30)

terutama masalah Pakta Keamanan Amerika Serikat-Jepang yang mengatur keberadaan pangkalan militer Amerika di Jepang.

Pada tahun 1950 sampai 1958, Partai Liberal Demokrat menguasai 58% suara di parlemen dan Partai Sosialis menguasai 33%, sisanya dikuasai partai-partai kecil lainnya. Antara tahun 1970 sampai 1980 terdapat lima partai-partai lain yang menonjol yaitu Kōmeitō (Partai Pemerintahan Bersih), Shakaiminshutō (Partai Sosialis Demokrat), Nihonkyōsantō (Partai Komunis Jepang), New Liberal Club, dan United Social Democratic League. Sejak saat itu terjadi pergeseran dari sistem dua partai menjadi sistem multi partai.

Partai konservatif Jepang sangat erat kaitannya dengan kepentingan perdagangan besar. Sebelum perang, Seiyūkai dan Minseitō berhubungan erat dengan kelompok zaibatsu Mitsui dan Mitsubishi. Tetapi setelah perang, kekuasaan perdana menteri menjadi sangat besar. Apabila seseorang dapat bergabung dengan kekuasaan ini dan dapat memanfaatkan posisinya itu, ia akan mendapatkan keuntungan. Itulah yang menyebabkan kalangan pengusaha besar mulai melibatkan diri secara aktif dan menjalin hubungan erat dengan kehidupan politik. Dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian, berakhirnya pendudukan, dan dibangunnya kembali ekonomi Jepang, maka berbagai organisasi di bidang ekonomi seperti Federasi Organisasi Ekonomi (Keidanren), Federasi Asosiasi Pengusaha Jepang (Nikkeiren), Kamar Dagang dan Industri Jepang (Nisshō), dan Komisi Pengembangan Ekonomi Jepang (Keizai Dōyūkai) menjadi kelompok penekan kuat di bidang politik. Kekuasaan empat organisasi ini bekerja dan menghasilkan penggabungan dua partai konservatif menjadi Partai Liberal Demokrat. Kelompok-kelompok tersebut memberi sumbangan besar

(31)

dalam dunia politik melalui dana-dana perusahaan bagi partai, dan sumbangan sekaligus menerima sejumlah uang yang besar dalam bentuk pinjaman investasi keuangan, dan pelayanan perpajakan yang menguntungkan dari pemerintah.

Partai Liberal Demokrat merupakan partai yang berkuasa sejak tahun 1955. Namun pada tahun 1993 untuk pertama kalinya Partai Liberal Demokrat mengalami kekalahan dalam pemilihan umum. Kekalahan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan psikologis dalam kehidupan berpolitik di Jepang. Kekalahan itu bukan dikarenakan adanya perubahan sikap politik para pemilihnya, melainkan merupakan refleksi spontan dari masyarakat yang merasa dirugikan atau dikecewakan akibat keadaan ekonomi yang semakin memburuk.

Kaum birokrat juga memiliki pengaruh penting dalam kehidupan politik Jepang. Tokoh-tokoh birokrat memiliki fungsi penting dalam menentukan kebijakan negara. Pada awalnya birokrat mema ng terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan dan dedikasi untuk memutuskan serta tidak menggunakan kesempatan hanya untuk mencari keuntungan materi. Namun perkembangan ekonomi Jepang yang semakin maju telah mengubah persepsi, reputasi, dan moral para birokrat. Birokrat dijadikan sasaran oleh pihak penguasa untuk melakukan beberapa kesepakatan dan kontak-kontak informal melalui makan malam, bermain golf, dan lain- lain. Penyalahgunaan berbagai hubungan informal untuk kepentingan pribadi semakin meningk at di kalangan birokrat sehingga timbul celaan dari masyarakat. Korupsi di lingkungan pemerintahan yang melibatkan para birokrat dan politisi merupakan persekongkolan yang mewarnai kehancuran Partai Liberal Demokrat dalam perpolitikan Jepang.

Referensi

Dokumen terkait

Shinken yang dibuat oleh Tosho 刀 匠 yang merupakan pekerjaan dengan kemampuan membuat bilah pedang dari biji besi menjadi pedang asli dan merupakan orang Jepang yang

39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja

Dengan demikian, kazoku atau keluarga adalah kelompok yang terdiri dari ayah,.. ibu dan anak-anak dengan hubungan suami istri sebagai

Perjanjian gadai pada dasarnya sama dengan perjanjian pada umumnya yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

Di Jepang, yang masuk dalam klasifikasi NEET adalah orang-orang pada usia 15-34 tahun yang tidak bekerja, tidak berperan dalam rumah tangga, tidak terdaftar di sekolah atau

a. Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah maupun adopsi. Anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam.. mereka tetap

Menurut Yamada (1999:8-11) seorang sosiolog dari Universitas Tokyo Gakusei melalui buku yang beliau keluarkan yang berjudul The Age of Parasite Singles yang terbit pada tahun

Sementara Menurut Burgess, dkk (1960), definisi keluarga adalah sbb: 1. Keluarga terdiri dari orang–orang yang disatukan dalam perkawinan. Para anggota hidup bersama–sama dalam