• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Teori a. Tinjauan Sejarah dan Tipologi Terorisme Sebelum Perang Dunia II, hampir semua tindakan terorisme terdiri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Teori a. Tinjauan Sejarah dan Tipologi Terorisme Sebelum Perang Dunia II, hampir semua tindakan terorisme terdiri"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Teori

a. Tinjauan Sejarah dan Tipologi Terorisme

Sebelum Perang Dunia II, hampir semua tindakan terorisme terdiri atas pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah (assassination of government official). Itu adalah bentuk pertama terorisme. Bentuk kedua terorisme dimulai di Algeria di tahun lima puluhan, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan serangan yang bersifat acak (random attack, indiscriminate attacks) terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa (targeting innocents). Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang mereka (Algerian nationalist) sebut sebagai state terrorism. Menurut mereka pembunuhan dengan tujuan yang adil merupakan pembenaran terhadap pembunuhan terhadap mereka yang tidak berdosa (righteous homicide justifies killing innocents). Bentuk ketiga terorisme muncul pada tahun enam puluhan dan terkenal dengan istilah media terrorism atau mass media oriented terrorism. Tindakannya berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. The Bush Commission (Vice President’s Task Force, 1986) menyebutnya sebagai teater politik (political theatre). Dalam masyarakat yang sebagian besar buta huruf dan apatis, seruan atau perjuangan melalui huruf-huruf tertulis dampaknya sangat kecil. Akan lebih effetif menerapkan the philosophy of the bomb yang bersifat eksplosif dan sangat sulit untuk mengabaikannya ( Muladi, 2002 : 4 ).

Seorang Brazilia, Carlos Marighela, menulis buku teori modern tentang terror yang berjudul Minimanual of the Urban Guerilla yang kemudian dijadikan buku pegangan gerakan teror di seluruh dunia. Dia mengatakan, untuk memberikan informasi tentang aksi-aksi revolusionis cukup menjadikan media massa modern sebagai sarana penting untuk propaganda. Selanjutya, perang psikologis merupakan commit to user

(2)

suatu teknik untuk berjuang melalui penggunaan langsung atau tidak langsung dari media massa.

Bentuk ketiga (media terrorism) ini berkembang melalui tiga sumber sebagai berikut:

Pertama, kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM.

Kedua, pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalisme agama, radikalisasi setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota.

Ketiga, kemajuan teknologi seperti satelit, peningkatan lalu lintas udara dan penemuan senjata-senjata canggih. Mengenai tipologi terorisme, banyak sekali yang telah merumuskan. Salah satu yang dapat dikemukakan adalah tipologi dari National Advisory Committee (The Report of the Task Force on Disorders and Terrrorism (1996) sebagai berikut:

a) ‗Political terrorism‘. Hal ini mencakup perilaku kriminal yang dilakukan dengan kekerasan yang didisain terutama untuk menimbulkan ketakutan di lingkungan masyarakat dengan tujuan politis;

b) Nonpolitical terrorism. Bentuk terorisme ini dilakukan baik untuk tujuan-tujuan maupun keuntungan pribadi; termasuk di sini aktivitas kejahatan terorganisasi (organized crime);

c) Quasi terrorism. Tipe ini menggambarkan aktivitas insidental guna melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan caranya menyerupai terorisme, tetapi berbeda essensinya. Dalam kasus pembajakan udara atau penyanderaan misalnya, para pelaku lebih tertarik kepada uang tebusan (ransom) daripada motivasi ideologis;

d) Limited political terrorism. Tipe ini menunjuk kepada perbuatan terorisme yang dilakukan untuk tujuan atau motif politik, tetapi tidak merupakan bagian dari suatu kampanye bersama untuk

commit to user

(3)

menguasai negara. Contohnya, perbuatan teroris yang bersifat pembunuhan balas dendam (vendetta-type executions);

e) Official or state terrorism. Hal ini terjadi di suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas penindasan dan penumbuhan rasa ketakutan yang menjurus pada tingkatan atau proporsi teroristik.

Yang terakhir ini harus dibedakan dengan state-sponsored terrorism yang dapat diartikan bahwa negara mendukung terorisme sebagai bagian atau taktik war on the cheap seperti dituduhkan Amerika kepada Iraq, Suriah, Afghanistan (Taliban) Libia, Cuba, Korea Utara, Sudan dan sebagainya. Yang sangat ironis dalam hal ini adalah bahwa yang dituduh sebagai teroris dalam hal ini adalah mereka yang semasa perang dingin mendapatkan latihan counter-insurgency skills di Fort Benning, Georgia Amerika yang terkenal sebagai school for dictators. Pada saat itu Amerika memang banyak mendukung rezim yang represif karena mereka anti komunis ( Muladi, 2002 : 5 )

Dalam hal ini perlu diperhatikan UN Resolution 2625 (XXV) yang antara lain mengharuskan setiap negara untuk menahan diri dari perbuatan mengorganisasi, menggerakkan, membantu atau berperan serta dalam perbuatan perang saudara. Demikian pula agar menahan diri melakukan perbuatan teroris di negara lain atau secara diam-diam terlibat dalam aktivitas terorganisasi di dalam wilayahnya yang ditujukan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini ditegaskan kembali dalam Declaration on Measures to Eliminate International Terrorsim, 1994 ( Muladi, 2002 : 6 )

b. Terorisme Menurut Pendapat Para Pakar

Terorisme pada dasarnya merupakan suatu gejala kekerasan yang berkembang sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri.

Terorisme sebagai kejahatan kemanusiaan ditengarai telah ada sejak zaman Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan pada abat pertengahan ( Kerstetter, 1983 ). commit to user

(4)

Dalam konteks ini terorisme secara klasik diartikan sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan untuk menciptakan rasa takut dalam masyarakat ( Lequeur, 1996 ).

Ezzat A Fattah berpendapat bahhwa Kata teror berasal dari bahasa latin terrere yang kurang lebih diartikan sebagai kegiatan atau tindakan yang dapat membuat pihak lain ketakutan. ( Lukman Hakim, 2004 : 9 ) “Terrorism comes from terror which inturn comes from latin word terrrere meaning to frighten‖

Dimasa revolusi Perancis dikenal kata ”le terreur”. Kata

“le terreur” ini pada awalnya disebut untuk tindak kekerasan yang dilakukan rezim hasil Revolusi Perancis terhadap pembangkang yang diposisiskan sebagai musuh negara. Teror yang dikembangkan oleh pemerintah pasca revolusi Perancis adalah dengan cara menghukum mati para penggiat anti-pemerintah, dengan memenggal kepala korban dibawah tiang guillatin. Sejak itulah kata terror masuk didalam khasanah bahasa-bahasa Eropa ( Lukman Hakim, 2004 : 9 ).

Welter Lequer ( 1999 ), mengkaji setidaknya lebih dari seratus definisi tentang terorisme. Dimana didalam kajiannya Lequer menyimpulkan ada unsur-unsur yang signifikan dari definisi terorisme yang dirumuskan berbagai kalangan yaitu terorisme memiliki ciri utama digunakan ancama kekerasan dan tindak kekerasan. Selain itu terorisme didorong oleh kepentingan politikdan dapat juga karena fanatisme keagamaan ( Lukman Hakim, 2004 : 10 ).

Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia Terorisme adalah serangan serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil. Sejauh ini commit to user

(5)

belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd ( Audy Murfi 2009 : 2 ).

Terorisme merupakan pandangan yang subjektif, hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu. Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil6.

Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali ( Audy Murfi 2009 : 2 ).

commit to user

(6)

c. Tinjauan Umum Mengenai Terorisme

1. Menurut Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme :

a. Bahwa dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan;

b. Bahwa rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, dan kerugian harta benda, sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional;

c. Bahwa terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.

d. Bahwa untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib, dan aman serta untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, maka dengan mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan terorisme, Presiden Republik Indonesia commit to user telah menetapkan Peraturan Pemerintah

(7)

Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

Pasal 13 yaitu Pasal 13A, Pasal 13B, Pasal 13C, Pasal 13D, dan Pasal 13E yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13A

(1) Setiap orang yang mengetahui akan terjadinya tindak pidana terorisme tidak melaporkannya kepada pejabat yang berwenang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

(2) Dalam hal tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) benar-benar terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

Pasal 13B

Setiap orang yang dengan sengaja meminta atau meminjam uang dan/atau barang dari organisasi atau kelompok yang diketahui atau patut diduga bertujuan melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Pasal 13C

Setiap orang yang dengan sengaja menjadi pimpinan dan/atau anggota organisasi atau kelompok yang secara nyata bertujuan melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Pasal 13D

Setiap orang yang secara melawan hukum menyelenggarakan dan/atau mengikuti pelatihan paramiliter, merekrut, menampung, atau mengirim seseorang untuk mengikuti pelatihan paramiliter baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang bertujuan commit to user

(8)

melakukan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 13E

Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan kebencian atau permusuhan yang menyebabkan terjadinya terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

b) Tinjauan Umum Kepolisian Republik Indonesia

1. Tinjauan Kedudukan Kepolisian Republik Indonesia dalam Tata Negara

Ditinjau dari segi etimologis istilah polisi di beberapa negara memiliki ketidaksamaan, seperti di Yunani istilah polisi dengan sebutan ―politeia‖, di Inggris ―police‖ juga dikenal adanya istilah

―constable‖, di Jerman ―polizei, di Amerika dikenal dengan ―sheriff”, di Belanda ―politie‖, di Jepang dengan istilah ―koban‖ dan ―chuzaisho‖

walaupun sebenarnya istilah koban adalah merupakan suatu nama pos polisi di wilayah kota danchuzaisho adalah pos polisi di wilayah pedesaan. Jauh sebelum istilah polisi lahir sebagai organ, kata ―polisi‖

telah dikenal dalam bahasa Yunani, yakni ―politeia‖. Kata ―politeia‖

digunakan sebagai title buku pertama Plato, yakni ―Politeia‖ yang mengandung makna suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan cita- citanya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi. Dilihat dari sisi historis, istilah

―polisi‖ di Indonesia tampaknya mengikuti dan menggunakan istilah

―politie‖ di Belanda. Hal ini sebagai akibat dan pengaruh dari bangunan sistem hukum Belanda yang banyak dianut di negara Indonesia ( Ida Bagus Kade Danendra, 2012 : 42 ).

Didalam struktur pemerintahan negara Indonesia, Polisi merupakan kepanjangan tangan dari Presiden. Dimana didalam commit to user

(9)

pengangkatan dan pemberhentian Kapolri adalah menjadi wewenang penuh dari kepala pemerintahan yang dalam hal Indonesia dipimpin oleh Presiden. Hal ini dikarenakan adanya sebuah kewajiban dari Presiden atau yang dikenal dengan lembaga eksekutif untuk memberikan keamanan dan perlindungan kepada warga negaranya.

Maka di Indonesia dibentuklah badan namanya Polri dalam rangka melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintah tersebut.

Ditinjau dari struktur kelembagaannya. Kepolisian Republik Indonesia adalah lembaga kepolisian adalah kepolisian nasional yang terpusat di Markas Besar, sedangkan pelaksanaan tugas dan wewenangnya terkonsep pembagian daerah hukum, dengan demikian hubungan kepolisian tingkat pusat (Mabes Polri) dengan kepolisian di tingkat Propinsi (Polda) menganut sistem desentralisasi administrasi dan sentralisasi secara seimbang. Konsep sentralisasi tercermin pada sistem pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) dan Kepala Kepolisian Wilayah (Kapolwil) serta kenaikan pangkat tertentu yang menjadi otoritas Mabes Polri, pelaporan atas tanggungjawab penyelenggaraan kepolisian ditingkat daerah, distribusi sarana dan prasaranaserta anggaran, sedangkan desentralisasi tercermin dari adanya pembagian daerah hukum, pengoperasionalan anggaran dan pendelegasian wewenang terbatas. Pendelegasian wewenang Mabes kepada Polda ini adalah merupakan salah satu bentuk desentralisasi administrasi, sebagaimana pembagian tipe desentralisasi. ( Ida Bagus Kade Danendra, 2012 : 45 ).

Di dalam Keputusan Presiden No. 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan, bahwa organisasi kepolisian disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai ke kewilayahan [vide: pasal 3 ayat (1), (2) dan (3)]. Jenjang di tingkat pusat disebut Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Mabes Polri dan ditingkat kewilayahan disebut Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah disingkat Polda. commit to user

(10)

Di tingkat Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) memiliki jenjang ke kesatuan wilayah yang disebut dan disingkat Polwil/Polwiltabes, Polres/Polresta dan Polsek/Polsekta yang setiap jenjang atau tingkatan memiliki unsur-unsur. Berdasarkan Keppres No.

70 Tahun 2002 tersebut struktur organisasi di tingkat Mabes Polri memiliki unsur-unsur yang terdiri dari:

a. Unsur Pimpinan;

b. Unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf;

c. Unsur Pelaksana Pendidikan dan atau/Pelaksana Staf Khusus;

d. Unsur Pelaksana Utama Pusat;

e. Satuan organisasi penunjang lainnya. ( Ida Bagus Kade Danendra, 2012 : 46 ).

Tindak lanjut dari Keputusan Presiden No. 70 Tahun 2002 tersebut kemudian dikeluarkan Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/

53/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia yang kemudian dirubah dengan Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/30AT/2003 tanggal 30 Juni 2003 tentang Perubahan Atas Keputusan Kapolri No. Pol. :Kep/53/X/ 2002, tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Keluarnya Keputusan Kapolri No. Pol.:

Kep/97/XII/2003 tanggal 31 Desember2003 tentang Perubahan Atas Keputusan Kapolri No. Pol: Kep/53/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Itwasum Polri, Divpropam Polri serta Baintelkam Polri. Di dalam Keputusan Kapolri No. Pol.:

Kep/53/X/2002 tersebut mengatur tentang satuan-satuan organisasi pada tingkat Mabes Polri, namun demikian belum memuat Organisasi dan tata kerja Itwasum Polri, Divpropam dan Baintelkan Polri dengan segala perubahannya, maka kemudian dikeluarkan Keputusan Kapolri No. Pol: Kep/97/XII/2003 tanggal 31 Desember 2003 sebagai commit to user

(11)

penyempurnaannya. Organisasi dan Tata Kerja Satuan-satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/53A/2002 tanggal 17 Oktober 2002. Selain jenjang di tingkat Mabes Polri untuk jenjang di tingkat kewilayahan di atur dalam pasal 26 Keppres No. 70 Tahun 2002 yang substansinya mengatur tentang Struktur Organisasi dan Unsur-unsur di tingkat Polda, dan Keputusan Kapolri No. Pol:

Kep/54/X/ 2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja. ( Ida Bagus Kade Danendra, 2012 : 46 ).

Satuan-Satuan Organisasi Pada Tingkat Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda). Unsur-unsur pada tingkat Polda, terdiri dari:

a. Unsur Pimpinan;

b. Unsur Pembantu Pimpinan/Pelaksana Staf;

c. Unsur Pelaksana Pendidikan/Staf Khusus dan Pelayanan;

d. Unsur Pelaksana Utama.

e. Unsur Pembantu Pimpinan dan Pelaksanaan Staf Kewilayahan Polri Wilayah yang disingkat Polwil.

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. menegakkan hukum; dan

c. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Salah satu fungsi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dikaitkan dengan rumusan pasal 13 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tersebut mengandung makna yang sama dengan tugas pokok kepolisian, sehingga fungsi kepolisian juga sebagai tugas pokok kepolisian. Dengan demikian, tugas pokok Kepolisian dapat dimaknai sebagai fungsi utama kepolisian yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan. Istilah pemerintah disini mengandung arti sebagai organ/badan/alat perlengkapan negara yang diserahi pemerintahan, commit to user

(12)

yang salah satu tugas dan wewenangnya adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menyelenggarakan kepentingan umum (public servent), sehingga fungsi pemerintahan adalah fungsi dari lembaga pemerintah yang dijalankan untuk mendukung tujuan negara, karena pemerintah dalam arti sempit merupakan salah satu unsur dari sistem ketatanegaraan. Disisi lain tugas pokok kepolisian yang dimaknai sebagai fungsi utama sebagaimana telah dijelaskan di muka, dijalankan tertuju pada terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan. Berpijak pada teori pembagian kekuasaan dan sistem pemerintahan presidensiil, fungsi pemerintahan diselenggarakan oleh lembaga eksekutif yang dipimpin oleh Presiden, sehingga Presiden bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu mengkaji tentang kedudukan kepolisian yang didasarkan pada fungsi utamanya, tidak dapat dipisahkan dengan fungsi utama pemerintah yang dipimpin oleh Presiden. ( Ida Bagus Kade Danendra, 2012 : 47 ).

2. Kewenangan Polri dari Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002

Kewenangan Polri telah termaktub secara jelas didalam peraturan penundang-undangan.

Pasal 13

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. menegakkan hukum; dan

c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 14

Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : commit to user

(13)

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadan kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; sertal.

melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

commit to user

(14)

Pasal 15

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

a. menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

i. mencari keterangan dan barang bukti;

j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang :

a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;

c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; commit to user

(15)

e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;

g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;

i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;

j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;

k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :

a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

1. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

2. Penyidikan;

3. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa

4. Tanda pengenal diri; commit to user

(16)

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

8. Mengadakan penghentian penyidikan;

9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak ataumendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

11. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;

dan

12. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkunganjabatannya;

d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;

dan

e. menghormati hak asasi manusia.

Pasal 17

Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas dan wewenangnya di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, khususnya commit to user

(17)

di daerah hukum pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18

(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 19

(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan.

3. Berdasarkan Kode Etik Polri

Pasal 1

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menunjukkan sikap pengabdiannya berperilaku :

a. Menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri dari dalam hati nuraninya kepada Tuhan Yang Maha Esa;

commit to user

(18)

b. Menjalankan tugas kenegaraan dan kemasyarakatan dengan niat murni karea kehendak Yang Maha Kuasa sebagai wujud nyata amal ibadahnya;

c. Menghormati acara keagamaan dan bentuk-bentuk ibadah yang diselenggarakan masyarakat dengan menjaga keamanan dan kekhidmatan pelaksanaannya.

Pasal 2

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia berbakti kepada nusa dan bangsa sebagai wujud pengabdian tertinggi dengan :

a. Mendahulukan kehormatan bangsa Indonesia dalam kehidupannya;

b. Menjunjung tinggi lambang-lambang kehormatan bangsa Indonesia;

c. Menampilkan jati diri bangsa Indonesia yang terpuji dalam semua keadaan dan seluruh waktu;

d. Rela berkorban jiwa dan raga untuk bangsa Indonesia.

Pasal 3

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum selalu menunjukkan sikap perilaku dengan :

a. Meletakkan kepentingan Negara, bangsa, masyarakat dan kemanusiaan diatas kepentingan pribadinya;

b. Tidak menuntut perlakuan yang lebih tinggi dibandingkan degan perlakuan terhadap semua warga Negara dan masyarakat;

c. Menjaga keselamatan fasilitas umum dan hak milik perorangan serta menjauhkan sekuat tenaga dari kerusakan dan penurunan nilai guna atas tindakan yang diambil dalam pelaksanaan tugas.

commit to user

(19)

Pasal 4

Anggota Polri dalam melaksanakan tugas menegakan hukum wajib memelihara perilaku terpercaya dengan :

a. Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah;

b. Tidak memihak;

c. Tidak melakukan pertemuan di luar ruang pemeriksaan dengan pihak-pihak yang terkait dengan perkara;

d. Tidak mempublikasikan nama terang tersangka dan saksi;

e. Tidak mempublikasikan tatacara, taktik dan teknik penyidikan;

f. Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan sengaja menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan dan ketergantungan pada pihak-pihak yang terkait dengan perkara;

g. Menunjukkan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada dalam penguasaannya karena terkait dengan penyelesaian perkara;

h. Menunjukkan penghargaan dan kerja sama dengan sesama pejabat Negara dalam sistem peradilan pidana;

i. Dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan tentang perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua pihak yang terkait dengan perkara pidana yang dimaksud, sehingga diperoleh kejelasan tentang penyelesaiannya.

Pasal 5

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat senantiasa :

a. Memberikan pelayanan terbaik;

b. Menyelamatkan jiwa seseorang pada kesempatan pertama; commit to user

(20)

c. Mengutamakan kemuahan dan tidak mempersulit;

d. Bersikap hormat kepada siapapun dan tidak menunjukkan sikap congkak/arogan karena kekuasaan;

e. Tidak membeda-bedakan cara pelayanan kepada semua orang;

f. Tidak mengenal waktu istirahat selama 24 jam, atau tidak mengenal hari libur;

g. Tidak membebani biaya, kecuali diatur dalam peraturan perundang- undangan;

h. Tidak boleh menolak permintaan pertolongan bantuan dari masyarakat dengan alasan bukan wilayah hukumnya atau karena kekurangan alat dan orang;

i. Tidak mengeluarkan kata-kata atau melakukan gerakan-gerakan anggota tubuhnya yang mengisyaratkan meminta imbalan atas batuan Polisi yang telah diberikan kepada masyarakat.

Pasal 6

(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menggunakan kewenangannya senantiasa berdasarkan pada Norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan dan nilai-nilai kemanusiaan.

(2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa memegang teguh rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah kedinasan perlu dirahasiakan.

Pasal 7

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa : commit to user

(21)

a. Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan;

b. Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas;

c. Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat;

d. Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan;

e. Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat;

f. Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan;

g. Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak dibawah umum;

h. Merendahkan harkat dan martabat manusia.

c) Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia

1. ) Sejarah dan Latar Belakang Hak Asasi Manusia

Sejarah tentang HAM sesungguhnya dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan keberadaan manusia di muka bumi. Mengapa dikatakan demikian, karena HAM memiliki sifat yang selalu melekat (inherent) pada diri setiap manusia, sehingga eksistensinya tidak dapat dipisahkan dari sejarah kehidupan umat manusia. Berbagai upaya untuk mewujudkan HAM dalam kehidupan nyata –sejak dahulu hingga saat sekarang ini– tercermin dari perjuangan manusia dalam mempertahankan harkat dan martabatnya dari tindakan sewenang-wenang penguasa yang tiran. Timbulnya kesadaran manusia akan hak-haknya sebagai manusia merupakan salah satu faktor penting yang melatarbelakangi dan melahirkan gagasan yang kemudian dikenal sebagai HAM. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia Dengan demikian, faktor- faktor seperti ras, jenis kelamin, agama maupun bahasa tidak dapat commit to user

(22)

menegasikan eksistensi HAM pada diri manusia. Meskipun beberapa pakar menyatakan dapat merunut konsep HAM yang sederhana sampai kepada filsafat Stoika di zaman kuno lewat yurisprudensi hukum kodrati (natural law) Grotius dan ius naturale dari Undang-undang Romawi, tampak jelas bahwa asal usul konsep HAM yang modern dapat dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada abad ke-17 dan ke-18.Hugo de Groot –seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai ―bapak hukum internasional‖– atau yang dikenal dengan nama Latinnya, Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrat Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-Renaisans, John Locke mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada abad ke-17 dan ke-18. ( Andrey Sujatmoko, 2009 : 3 )

Paham HAM lahir di Inggris pada abad ke-17. Inggris memiliki tradisi perlawanan yang lama terhadap segala usaha raja untuk mengambil kekuasaan mutlak. Sementara Magna Charta (1215) sering keliru dianggap sebagai cikal bakal kebebasan warga negara Inggris – piagam ini sesungguhnya hanyalah kompromi pembagian kekuasaan antara Raja John dan para bangsawannya, dan baru belakangan kata-kata dalam piagam ini– sebenarnya baru dalam Bill of Rights (1689) muncul ketentuan-ketentuan untuk melindungi hak-hak atau kebebasan individu.

Kemudian, tahun 1679 menghasilkan pernyataan Habeas Corpus, suatu dokumen keberadaban hukum bersejarah yang menetapkan bahwa orang yang ditahan harus dihadapkan dalam waktu tiga hari kepada seorang hakim dan diberitahu atas tuduhan apa ia ditahan. Pernyataan ini menjadi dasar prinsip hukum bahwa orang hanya boleh ditahan atas perintah hakim. Bill of Rights (1689), sebagaimana diperikan dengan judulnya commit to user

(23)

yang panjang “An act Declaring the Rights and the Liberties and the Subject and Setting the Succession of the Crown” (Akta Deklarsi Hak dan Kebebasan Kawula dan Tatacara Suksesi Raja), merupakan hasil perjuangan Parlemen melawan pemerintahan raja-raja wangsa Stuart yang sewenang-wenang pada abad ke-17. Disahkan setelah Raja James II dipaksa turun takhta dan William II serta Mary II naik ke singgasana menyusul ―Revolusi Gemilang‖ (Glorious Revolution) pada tahun 1688, Bill of Rights, yang menyatakan dirinya sebagai deklarasi undang-undang yang ada dan bukan merupakan undang-undang yang baru, menundukkan monarki di bawah kekuasaan Parlemen, dengan menyatakan bahwa kekuasaan Raja untuk membekukan dan memberlakukan seperti yang diklaim raja adalah ilegal. Perlu dicatat pula bahwa dengan adanya Bill of Rights timbul kebebasan untuk berbicara (speech) dan berdebat (debate), sekalipun hanya untuk anggota Parlemen dan untuk digunakan di dalam gedung parlemen. Para pemimpin koloni-koloni Inggris di Amerika Utara yang memberontak pada paruh kedua abad ke-18 tidak melupakan pengalaman Revolusi Inggris dan berbagai upaya filosofis dan teoretis untuk membenarkan revolusi itu. Dalam upaya melepaskan koloni-koloni itu dari kekuasaan Inggris, menyusul ketidakpuasan akan tingginya pajak dan tiadanya wakil dalam Parlemen Inggris, para pendiri Amerika Serikat ini mencari pembenaran dalam teori kontrak sosial dan hak-hak kodrati dari Locke dan para filsuf Prancis. Dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776) yang disusun oleh Thomas Jefferson, gagasan-gagasan ini diungkapkan dengan kata-kata yang sangat jelas dan tepat.Deklarasi tersebut secara eksplisit mengakui kesetaraan manusia. ( Andrey Sujatmoko, 2009 : 4 )

2. ) Tinjauan Pakar dan Yuridis tentang HAM

Pengertian Hak Asasi Manusia sudah jelas dikatakan ddialam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada commit to user

(24)

hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmasi maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.

Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi, ―Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu.‖ Dengan adanya rasa takut dan cemas yang melanda warga masyarakat yang diakibatkan oleh terorisme, maka para teroris telah merampas hak asasi orang lain tentang rasa aman. Di sini kita bisa melihat bahwa sasaran utama terorisme bukan commit to user

(25)

lagi sekadar kejahatan terhadap negara atau kelompok atau individu, melainkan kejahatan terhadap HAM ( Audy Murfi MZ 2009 : 2 ).

Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Didalam Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang HAM Pada Bagian Keempat Hak Memperoleh Keadilan Pasal 17

Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

Pasal 18

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.

(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana ini dilakukannya. commit to user

(26)

(3) Setiap ada perubahan dalam perturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.

(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Pasal 19

(1) Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah.

(2) Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirksn tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakanya.

Pasal 7

Undang-undang nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berbunyi bahwa Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi : commit to user

(27)

a. kejahatan genosida;

b. kejahatan terhadap kemanusian;

Pasal 8

Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

a. membunuh anggota kelompok;

b. mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau

e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Pasal 9

Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematlk yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsungterhadap penduduk sipil, berupa :

a. Pembunuhan;

b. Pemusnahan;

c. Perbudakan;

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secarasewenangwenang yang commit to user

(28)

melanggar (asas-asa) ketentuanpokok hukum intemasional;

f. Penyiksaan;

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasaan seksual lain yang setara;

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apartheid;

commit to user

(29)

Kerangka Pemikiran

Gambar 1 Keterangan :

Didalam gambar ini kita bisa melihat bahwa terorisme yang merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional dan merupakan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan di

Hak Asasi Manusia

Terorisme

Dilanggar / Tidak Dilanggar HAM Terorisme

UU 15 Tahun 2003

Kode Etik Polisi Penanggulangan oleh Polri

UU 2 Tahun 2002

UU Nomor 39 Tahun 1999 UU Nomor 26 Tahun 2000

KUHAP

UUD NRI 1945 : Pembukaan UUD NRI 1945, alenia I – IV; Pasal 28A sampai dengan 28J; Pasal 27 sampai dengan 34

commit to user

(30)

Indonesia, yang dalam hal ini masuk didalam ranah Pidana sebagaimana disebutkan didalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Hak Asasi Manusia sebagai sesuatu yang sangat dijunjung tinggi di Indonesia telah memiliki pedoman hukum yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pembukaan UUD 1945, alenia I – IV; Pasal 28A sampai dengan 28J; Pasal 27 sampai dengan 34, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewajiban untuk memberantas terorisme berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tersebut. Akan tetapi bagaimanapun juga Negara Indonesia sebagai negara yang menjunjung Hak Asasi Manusia wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia yang melekat pada para diri teroris. Karena walaupun teroris mereka tetap memiliki hak asasi yang wajib dijujung tinggi. Maka dari itu didalam gambar diatas kita dapat melihat kewenangan Polri dalam memberantas tindak pidana terorisme di Indonesia juga harus selalu memperhatikan hak asasi manusia dari teroris itu sendiri, polisi tidak boleh sewenang-wenanng didalam memperlakukan seorang teroris. Tentunya didalam menjalankan kewenangannya Polisi juga memiliki Kode Etik Polisi yang harus selalu diperhatikan. Sehingga tercipta penegakan hukum yang benar-benar mengayomi masyarakat Indonesia. Kemudian ketika peraturan-peraturan yang berpotensi melanggar HAM teroris atau tindakan Polri yang melanggar HAM itu adalah permasalahan yang harus diselesaikan agar tidak melanggar HAM teroris lagi.

commit to user

Referensi

Dokumen terkait

– Memahami kondisi perekonomian dan kondisi Memahami kondisi perekonomian dan kondisi bisnis lain pada umumnya yang berkaitan.. bisnis lain pada umumnya

Hasil analisis denyut nadi sesudah intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol memperlihatkan bahwa denyut nadi kelompok intervensi (65 kali/ menit)

Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil analisis didapatkan nilai OR dari variabel Ruang Dinas Melati Bawah adalah 24,2 artinya perawat yang berada di Ruang Dinas Melati Bawah

Penguasaan dan pengembangan dimensi dan struktural pembelajaran dalam pendidikan IPS sangat penting bagi guru karena siswa sekolah menengah diharapkan telah

Immediate intervention such as additional medicines (oxytocin, methyl ergometrin, tranexamic acid) and surgical management (repair of laceration, hysterectomy) was

Meningkatkan Keterampilan Siswa dalam Memecahkan Masalah Melalui Penerapan Teknik SSCS (Search, Solve, Create , And Share) Pada Pembelajaran IPS.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Tingkat Kesesuaian Dimensi Kualitas Jasa Layanan Terhadap Kepuasan Penumpang Maskapai Garuda Indonesia Rute Makassar – Jakarta. Makasar: Program Magister Manajemen Fakultas

Lahan di antara tanaman karet belum menghasilkan (TBM) berpotensi untuk peningkatan produksi pangan seperti padi gogo, jagung, dan kedelai. Lahan tersebut sebagai