• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 1960-an, setelah perang dunia kedua di negara-negara Asia Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 1960-an, setelah perang dunia kedua di negara-negara Asia Tenggara"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 1960-an, setelah perang dunia kedua di negara-negara Asia Tenggara muncul gerakan Anti-Chinese. Akibat munculnya gerakan ini, banyak Migran Kembali (MK) ke China. Pemerintah China lalu berusaha menempatkan mereka dengan membangun Hua Qiao Nong Chang (HQNC) di beberapa provinsi seperti di Fujian, Guangxi dan Guangdong (Guo Haijun 2009). HQNC merupakan pertanian yang anggotanya terdiri dari overseas Chinese yang pulang secara sukarela atau terpaksa1.

Pemerintah China mengeluarkan kebijakan mengenai MK sebagai bentuk perhatian atas keberadaan mereka di China. Misalnya saja, pemberian gaji, uang pensiun, dan rumah untuk mereka. Walaupun, saat ini kebijakan tersebut sudah mengalami sedikit perubahan. MK diharuskan membayar 30.000 Yuan atau setara Rp. 45.000.000, sisanya mendapatkan subsidi dari pemerintah.2 Pemberian subsidi ini merupakan bentuk pembedaan antara MK dengan orang setempat.3

Munculnya pembedaan ini berdasar pada anggapan bahwa tidak adanya hubungan darah (consanguineous bond)4 yang kuat serta kualitas penduduk yang

1 Seperti Migran China Asal Vietnam yang pulang karena mengalami perang dan persekusi politik sehingga kondisi ekonomi overseas Chinese Vietnam menjadi lebih buruk. Fakta itu lah yang membuat mereka tidak bisa lagi hidup di Vietnam dan terpaksa pulang ke China (Huang Xiaojian 2005: 71-85). 2 Harga pasaran rumah di kota Guilin sekitar 20,0000 Yuan atau Rp. 300.000.000.

3 Orang setempat yang dimaksud dalam tulisan ini adalah orang-orang kampung yang tinggal di sekitarnya HQNC.

4

Salah satu ciri unik kebudayaan China yang paling penting adalah mementingkan keluarga dan suku

(2)

berbeda. Anggapan ini ternyata berlaku pada sesama MK. Seperti yang terjadi di Guilin HQNC, antara Migran China Asal Indonesia dengan Migran China Asal Vietnam. Identitas maupun sense of belonging MK tidak terbentuk secara alami. Bukan berdasar pada hubungan antar klan, tetapi berdasar pada toleransi identitas kebudayaan. Toleransi ini terbentuk karena adanya relasi yang dibangun di tempat kerja dan kehidupan sehari-hari.

Adanya relasi antara MK memunculkan toleransi kebudayaan. Walaupun demikian, latar belakang kebudayaan dari mereka juga menimbulkan permasalahan. Sebab, dulu kehidupan dan pengalaman mereka berbeda. Perbedaan itu muncul pada persoalan ekonom, kebudayaan, dan ideologi.

Banyak dari MK ketika di negeri perantauan menganggap bahwa dirinya adalah orang China. Oleh karenanya, ketika terjadi hal yang tidak menguntungkan di negeri perantauan muncul kesadaran "Chineseness". Kesadaran "Chineseness" ini membuat mereka memilih pulang ke negeri leluhur. Meskipun alasan MK kembali berbeda-beda, namun mereka memiliki harapan untuk hidup lebih baik. Walaupun mereka harus mengorbankan "kampung halaman" yang telah dibangun di negeri perantauan.

Setelah mereka berada di China akan sulit bagi MK untuk kembali ke "kampung halaman" (negeri perantauan). Sebab ada peraturan pemerintah China, bahwa mereka tidak boleh kembali lagi ke negeri perantauan5. Kondisi ini dapat diterima kerena ada

5 Pada waktu "Revolusi Kebudayaan"(1966-1977) China semua orang China tidak boleh ke luar negeri. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang informan, Returned overseas Chinese-Indonesia yang membuat perjanjian di visa mereka" tidak akan kembali ke Indonesia lagi".

(3)

jaminan dari pemerintah China untuk menempatkan mereka di HQNC. Artinya mereka harus memulai kehidupan baru dari awal.

Fakta lainnya, MK mulai sadar bahwa mereka berbeda dengan penduduk di sekitar yang tidak pernah ke luar China. Seperti yang dikatakan oleh Ibu L yang lahir pada 1978. Ibu L bukanlah orang Migran China Asal Indonesia, tetapi dia menikah dengan lelaki Migran China Asal Indonesia. Ketika berbicara dengan saya dia mengatakan:

"Orang di sini sering berjaga-jaga terhadap orang yang lain, kelihatannya mereka bisa berbicara dengan kamu apa saja, tetapi hal yang penting tidak dibicarakan karena takut nanti tidak menguntungkan bagi mereka sendiri. Orang luar melihat overseas Chinese farm ini bagus tetapi sebenarnya bukan begitu. Di sini berbeda dengan kampung, orang-orang yang tinggal di sini pulang dari luar negeri masing-masing. Setiap keluarga merasa mereka sendiri unik berbeda dengan orang yang lain, di depan orang mereka tidak bertengkar tetapi di belakang orang mereka sering berbicara menjelekkan orang yang lain. Kelihatannya semua ramah-ramah, tetapi setiap keluarga mandiri dan tertutup". (Wawancara dengan Ibu L tanggal 19 Juni 2012)

Dari wawancara itu dapat dilihat adanya perbedaan yang cukup mencolok antara MK dan penduduk asli. Hal ini membantu saya mulai berpikir bahwa terdapat relasi yang renggang di HQNC. Hal ini menjadi permasalahan yang menarik untuk dikaji.

B. Rumusan Masalah

Perbedaan yang mencolok, mulai dari relasi antara MK maupun orang di sekeliling HQNC menarik untuk dikaji. Oleh karenanya, penulis tertarik untuk melihat permasalahan, bagaimana MK memaknai "kembali"? Apa yang dipilih atau ditolak oleh MK untuk beradaptasi dengan kebudayaan yang baru di China? Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pilihan tersebut?

(4)

C. Kajian Pustaka

1. Penelitian tentang Adaptasi Kebudayaan Keturunan China di Negeri Perantauan

Penelitian mengenai kebudayan keturunan China di daerah perantauan sudah banyak dilakukan. Seperti Skinner (2010) yang menulis mengenai keturunan China di Thailand, Freedman (1957) membahas keturunan China di Singapura, dan Li Yih-yuan (1970) meneliti satu komunitas keturunan China di Malaysia. Ketiganya melihat proses adaptasi kebudayaan yang dilakukan keturunan China di negeri perantauan. Terdapat persamaan bahwa dalam melakukan adaptasi sering kali terjadi percampuran kebudayaan.

Lebih jelasnya, seperti yang dipaparkan Skinner (2010) terjadi proses asimilasi keturunan China di Thailand. Asimilasi bisa dibedakan ke dalam beberapa jenis: asimilasi yang dilakukan secara patuh dan sadar; asimilasi yang terjadi karena paksaan; dan asimilasi yang terjadi secara tidak sadar. Hal penting dari proses asimilasi adalah apakah keturunan China mampu menjaga "watak Chinese". "Watak Chinese" tetap dimunculkan dan disesuaikan dengan kebudayaan setempat. Proses asimilasi yang terjadi pada keturunan China, mempunyai diversitas dan memungkinkan terjadinya percampuran kebudayaan.

Berbeda lagi dengan Freedman (1957), yang meneliti 74 keluarga keturunan China di China Town di Singapura. Ia mendiskusikan masalah keturunan China Singapura dalam hal organisasi keluarga, sistem kekerabatan, dan hubungan perkawinan. Fokus diskusinya terutama ada dua: pertama, melalui perbandingan

(5)

sosial antara tanah kelahiran mereka (provinsi Fujian dan Guangdong) dengan daerah migrasi. Tanah kelahiran adalah China sementara daerah migrasi adalah Singapura. Kedua, menyelidiki lingkungan Singapura terutama pengaruh kondisi politik dan ekonomi keturunan China di Singapura. Faktor kunci dari terjadinya perubahan ini adalah struktur ekonomi dan pekerjaan dari keturunan China di Singapura.

Li Yih-yuan (1970) dalam tulisannya membahas mengenai identitas kelompok keturunan China, struktur ekonomi, hubungan pemimpin lokal, keluarga keturunan China, dan kehidupan agama di kota Muar, Malaysia. Tanah asal keluarga keturunan China di Muar terutama adalah Fujian dan Guangdong. Dari hasil penelitiannya, ia melihat masih ada pola pikir yang sama bahwa mereka adalah orang China. Setelah perang dunia dua, keturunan China Malaysia dihadapkan pada persoalan harus setia kepada negara yang mana, bagaimana mendapatkan hak warga negara, mengikuti partai apa untuk mendapatkan kekuasaan politik, dan bagaimana mendapatkan legalisasi serta kebebasan bahasa dan agama mereka sendiri.

Pada tahun 1948 Perlembagaan Persekutuan Malaysia mengeluarkan peraturan. Peraturan tersebut mengenai hak warga negara yang disusun menurut bahasa, agama, adat istiadat dan standar kebudayaan. Munculnya peraturan ini melemahkan "watak Chinese" bagi orang-orang China di Malaysia. Walaupun demikian, orang-orang China tetap berusaha untuk mempertahankan identitas dan kebudayaan mereka.

Dari ketiga penelitian di atas mengenai adaptasi keturunan China di negeri perantauan menunjukkan adanya diversitas dari tanah kelahiran keturunan China. Penelitian tersebut terbatas pada perbandingan tanah kelahiran dengan daerah migrasi.

(6)

Oleh karenanya, kesimpulan yang didapat hanya sebatas anggapan bahwa keturunan China mempertahankan kebudayaan tradisional China. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa orang-orang China melakukan perpanjangan daerah kelahirannya (China). Selain itu juga memunculkan hubungan antara daerah kelahiran dan perantauan (Zhao Shugang 2003:61-70).

Leo Suryadinata (1993), melakukan penelitian mengenai identitas keturunan China di Asia Tenggara. Ia membandingkan keturunan China Singapura, Indonesia, dan Malaysia. Ia menganggap keturunan China bukan sebagai homogeneous group. Suryadinata melihat keturunan China mempunyai diversitas yang sangat tinggi (1993:1-7).

Persoalan identitas juga dibahas di dalam artikel The Chinese in southeast Asia

Vol.2- Identitas, Culture and politics (1983) yang disusun oleh L.A.Peter Gosling dan

Linda Y.C.Lim. Mereka mengajukan pandangan baru dalam meneliti akulturasi dan identitas keturunan China di Asia Tenggara melalui proses pembentukan identitas. Proses pembentukan identitas keturunan China di Asia Tenggara terjadi dalam empat tahap berikut: pertama, keturunan China beradaptasi bahkan berasimilasi ke dalam kebudayaan dan kehidupan setempat. Kedua, proses asimilasi yang terjadi menunjukkan bahwa kebudayaan China masih berlaku. Ketiga, keturunan China di Asia Tenggara mengalami perubahan menjadi kebarat-baratan dan terpengaruh modernisasi. Keempat, identitas keetnisan berubah menjadi berbasis kelas.

Dari hasil penelitian Gosling dan Linda Y.C.Lim diketahui bahwa akulturasi dan identitas keturunan China sangat memperhatikan diversitas. Selain itu, mereka

(7)

menyangkal bahwa keturunan China di Asia Tenggara mempertahankan kebudayaan China yang "refined". Hal yang menarik dari tulisan ini adalah melihat dari pihak pelaku (from the native's point of view) dalam melihat diversitas identitas keturunan China. Sehingga tidak lagi melihat model dualisme dari kebudayaan yang terjadi pada keturunan China di daerah perantauan.

2. Penelitian tentang Migran Kembali dengan Hua Qiao Nong Chang

Liu Chaohui melihat bahwa HQNC bagi MK membentuk persamaan ingatan sosial. Ia melihat melalui Migran China Asal Indonesia yang mengalami tiga masa kesulitan: masa "evolusi kebudayaan China", "reform and opening-up" sampai masa kini. Para Migran China Asal Indonesia yang kembali ke China bekerja bersama-sama dan terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Selain itu, mereka juga mendapatkan pengalaman dan kesamaan sejarah hidup di HQNC. Atas dasar inilah terbentuk persamaan perasaan dan ingatan bagi Migran China Asal Indonesia. Walaupun demikian MK tetap berusaha untuk memperkuat hubungan sosial dan kekerabatan dengan keluarga di luar negeri (Liu Chaohui 2003:11-18). Hal ini membentuk sense of

belonging bagi MK. Terbentuknya identitas overseas Chinese tidak berpengaruh

terhadap relasi dan lingkungan sosial yang coba dibangun (Liu Chaohui 2004: 107-118).

Yu Yunping memaparkan mengenai sejarah perkembangan dan latar belakang pembangunan HQNC. Pertama dia membahas mengenai pedoman pemerintah dalam mengatur MK dan latar belakang sejarah pembangun Songping HQNC. Menurut Yu,

(8)

sejarah perkembangan mereka bisa dipisah menjadi tiga tahap itu, awal dibangun, perkembang dan perubahan. Dari sejarah perkembangannya ada beberapa point yaitu: hubungan kelompok "penduduk setempat" dengan " Migran China Asal Indonesia" dan " Migran China Asal Vietnam". Perbedaan yang muncul di antara ketiganya adalah administrasi politik, hubungan dengan luar negeri, mobilitas MK bahasa antara kelompok, kepercayaan dan struktur keluarga (Yu Yunping 2003: 4-10).

Berbeda dari SunSheng yang melihat dari sudut pandang kesinambungan "negara" dan "keluarga". Menguraikan bahwa kesinambungan ini berdampak pada kesadaran "keluarga" MK. Ia melihat peran 'keluarga' yang lain – melalui peranan negara. Negara dianggap secara "keluarga besar" dan berhubungan erat dengan "keluarga kecil" masyarakat. Peranan "keluarga besar" menjadi faktor penting untuk "keluarga kecil" meletakkan posisi mereka. Menurut SunSheng, proses membangun "keluarga" bisa melalui tiga proses: keluarga di dalam ingatan, keluarga melalui kenyataan dan keluarga yang diimpikan. MK mengganggap rumah mereka di HQNC sebagai "rumah" (baik secara materi maupun rohani). Sementara bagi mereka yang sudah meninggalkan HQNC, HQNC adalah "kampung halaman" yang berada di dalam ingatan (SunSheng 2003:19-25).

Penelitian tentang HQNC dulu, cenderung menganggap HQNC sebagai bagian dari kampung halaman. Misalnya Liu Chaohui (2005) menggunakan istilah "kampung halaman MK yang diciptakan". Namun apakah mereka menganggap HQNC "rumah" atau "kampung halaman" menjadi masalah yang masih perlu diteliti. Meskipun secara geografisnya, HQNC terletak di kampung halaman belum tentu

(9)

mereka mangganggap tempat ini adalah kampung halaman. Oleh karenanya, penulis membedakan konsep "Hua Qiao Nong Chang" dan "kampung halaman Migran Kembali”. Permasalahan ini dilihat dari pandangan adaptasi kebudayaan dan perubahan sosial MK. Menurut penulis, penelitian seperti itu dapat memunculkan pemaknaan mengenai kampung halaman dan kesadaran identifikasi.

Kedua, penelitian di atas terlalu gegabah menggunakan "kelompok migran Kembali" untuk menjelaskan penduduk di HQNC. Melihat dari sudut pandang MK dengan warga setempat serta relasi yang terbangun untuk mengidentifikasi hubungan dan lingkungan. Sudut pandang penelitian ini tidak mampu memperlihatkan kondisi rumit yang terjadi di HQNC. Perlu lebih memahami dan menganalisa perubahan dan kondisi adaptasi mereka secara rasional. Kelompok MK mempuyai sifat gabungan yang tinggi, sistem internal, hubungan antar kelompok dan idetifikasi masyarakat yang berbeda. Masyarakat yang tinggal di HQNC kebanyakan dilahirkan dan dibesarkan di negeri perantauan. Walaupun mereka memiliki hubungan darah "China", negara yang dulu mereka tinggal dan alasan kepulangan ke China pun berbeda. Oleh karenanya, membuat mereka mengidentifikasi kebudayaan dengan cara yang berbeda. Bahkan mereka membentuk kelompok MK yang berbeda pula.

Bagi "Migran Kembali" ada kewajiban untuk membangun hubungan yang baik dengan pemerintah setempat. Umumnya mereka memilih untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan masyarakat setempat. Walau demikian ada upaya untuk tetap mempertahankan perbedaan kelompok. Mereka saling berkoordinasi dan bersaing untuk menguasai hubungan, hak politik dan kepentingan ekonomi. Kenyataan ini

(10)

membuat MK memiliki kebiasaan kehidupan, kebudayaan tradisional, hubungan kelompok dan administrasi yang beranekaragam. Ini membuat sistem organisasi bersifat pluralisme dan sistem kebudayaan adaptasi yang berlapis.

Adapula penelitian mengenai MK di wilayah perkotaan seperti yang dilakukan Huang Jing. Huang Jing melakukan penelitian dengan melihat ciri khas penduduk setempat, kondisi sebelum mereka pulang ke China, keadaan awal setelah mereka pulang ke China, kondisi adaptasi kebudayaan, keadaan kehidupan mereka sekarang dan identifikasi status (Huang jing 2001,2005). Wang Cangbai juga melakukan penelitian pada sepuluh orang Migran China Asal Indonesia di Hongkong, sebagai contoh definisi "identifikasi", "keluarga" dan "jaringan" (Wang Cangbai 2006; Wang Cangbai, Huang Shaolun 2006). Meskipun demikian hasil penelitian ini berbeda mulai dari tujuan mereka pulang ke China, kondisi kehidupan mereka setelah pulang ke China dan perkembang setelahnya. Namun, konsep analisis yang ditawarkan dapat digunakan. Terutama konsep "identifikasi pluralisme" yang diajukan oleh Huang Jing untuk mendeskripsikan pandangan Migran China Asal Indonesia.

D. Landasan Teori

1. Konsep "Migran Kembali" (MK)

Menurut <Undang-Undang China mengenai Perlindungan Hak dan Kepentingan Migran Kembali dan Anggota Keluarga Overseas Chinese >, Migran Kembali yang dimaksud adalah overseas Chinese yang pulang ke China dan menetap

(11)

di China.6 Hukum sudah memberi definisi yang jelas mengenai MK. Landasan hukum ini memunculkan definisi yang jelas mengenai overseas Chinese yang pulang ke China. Mereka yang terpaksa pulang ke China disebut "Refugee Returnees" sementara yang kembali atas kemauan sendiri disebut "Migran Kembali" (Yao Junying 2009:57).

Di Guilin HQNC, overseas Chinese yang datang tahun 1960-an disebut MK. Mereka datang dari Indonesia, India, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Kamboja. Sementara mereka yang datang karena mengungsi di akhir tahun 1970-an disebut

Refugee returnees. Terutama Migran China Asal Vietnam, yang sempat dikenal

sebagai "Indo-Chinese Refugees".

Dalam tesis ini saya akan melihat MK yang datang setelah tahun 1960. Kedatangan mereka pun dilatarbelakangi oleh kegiatan anti-Chinese di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara. Kepulangan para MK, membuat pemerintah China menempatkan mereka di HQNC. Dalam tesis ini saya tidak membedakan "Refugee

returnees" maupun "pengungsi". Semua menggunakan istilah "Migran Kembali".

Fitzgerald (1972) menggunakan istilah yang berbeda yaitu "domestic overseas

Chinese". Kata ini mengandung tiga makna: pertama, adalah overseas Chinese descent (Qiaoyi) yaitu keluarga dan overseas Chinese yang tinggal di China; kedua,

adalah overseas Chinese yang pulang ke China dari luar negeri yaitu MK, ketiga, adalah keturunan overseas Chinese yang kembali ke China untuk belajar. Dalam tesis ini, konsep "Migran Kembali" yang saya gunakan sama seperti konsep kedua dan

6 Law of the People's Republic of China on the Protection of the Rights and Interests of Returned

(12)

ketiga yang diajukan oleh Fitzgerald.

Namun, penting juga untuk mengetahui pemaknaan para MK mengenai diri mereka. Misalnya, dalam tesis ini saya menggolongkan anak-anak overseas Chinese yang datang ke China untuk belajar sebagai MK. Namun, belum tentu apa yang saya konsepkan di sini sama dengan pemaknaan yang mereka lakukan. Saat ini kira-kira ada satu juta MK. Jumlah ini didapat dengan melihat gejala luarnya dari MK. Ternyata banyak dari mereka yang meninggalkan identitasnya. Meninggalkan identitas di sini, berarti proses asimilasi secara keseluruhan membuat mereka tidak lagi memiliki hubungan dengan negeri perantauan mereka (Wang Gungwu 1986:258). Dari pemaparan di atas, saya menilai bahwa pemaknaan MK menjadi pertanyaan yang penting dalam penelitian ini.

2. Konsep "Keturunan China" (Huaren) dan "Overseas Chinese" (Huaqiao)

"Overseas Chinese" sebelum tahun-50an memiliki pengertian umum yaitu migran China di luar negeri dan keturunan mereka. Saat ini, Secara politik dan hukum berarti orang yang mempunyai kewarganegaraan China namun tinggal di luar negeri (Zhuang Guotu 2002: 38-39). "Keturunan China" adalah orang yang mempunyai hubungan darah China tetapi bukan warga negara China, meskipun pada taraf tertentu mereka tetap menjaga kebudayaan China (atau kebudayaan keturunan China) (Zhuang Guotu, 2002:39). Setelah tahun-80an, beberapa peneliti menggunakan istilah "Overseas Chinese" maupun "keturunan China" untuk menganalisis masalah identitas.

(13)

3. Konsep "Hua Qiao Nong Chang" (HQNC)

Hua Qiao Nong Chang (HQNC) adalah perusahaan pertanian milik negara yang dibangun oleh pemerintah China. HQNC dibangun untuk menempatkan MK dan

refugee returnees7 yang pulang ke China. HQNC merupakan hasil dari kebijakan negara bagi MK. HQNC mempunyai beberapa identitias, yaitu lembaga yang menempatkan MK, perusahaan yang diusahakan negara, dan juga satu 'komunitas'.8 Menurut Liu Chaohui, HQNC adalah komunitas MK yang dibuat dengan latar belakang sejarah khusus (Liu Chaohui 2003: 18). Komunitas ini dibentuk oleh MK bersama dengan penduduk desa di sekitarnya.

Pada tahun 1950-an pemerintah China tidak memiliki kebijakan penempatan MK di tempat tertentu. Mereka diijinkan untuk tinggal tersebar di berbagai wilayah. Namun sejak 1960-an semakin banyak overseas Chinese yang pulang ke China, khususnya dari India dan negara-negara di Asia Tenggara. Hal ini membuat pemerintah China mengubah kebijakananya dengan menetapkan tempat tinggal tertentu bagi MK (Chen Yunyun 2010).

4. Teori Akulturasi dan Komunitas Pluralistis dengan Adaptasi Kebudayaan

Tesis ini membahas dari sudut pandang akulturasi untuk menyelidiki adaptasi

7 Istilah refugee returnees digunakan secara khusus untuk menyebut MK dari Vietnam

8 Menurut Robert Parkert kekhususan dasar komunitas ada tiga yaitu: penduduk yang berorganisasi di daerah tertentu; jumlahnya menurut tanah yang diduduki; hubungan antar individual yang saling bergantung. George Hillery menemukan di dalam dokumen sosiologi defenisi komunitas yang berbeda-beda, lebih dari 94 macam. Definisi komunitas yang ditemukan oleh Hillery ada sebagai organisasi, sistem sosial, ruang geografis, cara kehidupan yang sama, swasembada setempat dan lainnya. Di antara definisi di atas satu-satunya yang sama adalah komunitas terdiri dari orang. Dalam tesis ini Guilin HQNC sebagai satu "komunitas", terutama cenderung ke "komunitas daerah". Seperti dilukiskan oleh Ferdinand Tönnies yaitu tinggal bersama, hak pemilikan bersama, dan sistem bagi harta

(14)

kebudayaan MK, dan berusaha untuk menyimpulkan pola adaptasi mereka setempat, serta memberi satu analisis yang rasional. Banyak dari hasil penelitian terdahulu yang menyelidiki hubungan antara MK dengan negeri perantauan dan kampung halamannya. Kebanyakan menggunakan konsep "identitas" atau "jaringan". Mereka mengajukan konsep ini berdasarkan sejarah, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Namun, menurut saya perlu untuk melihat dari sudut pandang mikrokosmis untuk menganalisa basis struktur sosial, hubungan antar manusia, dan perincian kehidupan. Setelah itu baru bisa menggunakan konsep "identitas" atau "jaringan" untuk menganalisa. Oleh karenanya, menggunakan konsep akulturasi akan lebih efektif.

Pada tahun 1930-an, antropog Amerika Robert Redfield, Ralph Linton, dan Melville J. Herskovit, membawa konsep akulturasi ke dalam bidang penelitian antropologi, dan menerbitkan <Memorandum for the Study of Acculturtion>. Terbitan ini mengajukan definisi konsep akulturasi untuk memahami fenomena kelompok yang mempunyai kebudayan yang berbeda-beda setelah berhubungan secara langsung dan terus-menerus. Sementara, pola kebudayaan salah satu atau kedua pihak mengalami perubahan (Robert Redfield, 1936).

The Social Science Research Council Summer Seminar on Acculturation9, mendiskusikan teori akulturasi secara detail dan mendefinisikan "akulturasi sebagai dua atau beberapa sistem kebudayaan yang saling berhubungan dan menimbulkan perubahan kebudayaan" (SSRC 1954:974). Berbeda lagi dengan William A. Haviland yang mendefinisikan "akulturasi merupakan praktek sosial yang menimbulkan kontak

(15)

secara lansung dan masyarakat terpaksa mengalami perubahan kebudayaan". Karena itu, Haviland menganggap akulturasi sebagai perubahan yang bersifat memaksa. Masyarakat tidak mau berubah tetapi beberapa kelompok yang lain memaksakan perubahan kepada mereka. Biasanya ini terjadi di dalam proses penaklukan dan kolonialisasi. Menurut Haviland akulturasi dapat terjadi karena beberapa keadaan. Pertama, apabila dua jenis kebudayaan menghilangkan identitias masing-masing dan membentuk satu jenis kebudayaan yang tunggal dan disebut sebagai gabungan atau paduan. Kedua, sifat khusus setempat dan sifat khusus bangsa asing bercampur dan membentuk satu sistem yang baru (Haviland, 2006).

Dari sini bisa dilihat, bahwa penelitan yang sebelumnya kebanyakan menganggap akulturasi sebagai satu fenomena kontak kebudayaan yang mengakibatkan satu atau dua pihak mengalami perubahan model kebudayaan. Dari studi sebelumnya bisa dilihat, masa permulaan teori akulturasi antropologi menekankan proses interaksi secara holistik di antara sistem kebudayan yang berbeda. Sementara itu, penelitian saat ini lebih menekankan hasil akulturasi dan inisiatif individu di dalam proses akulturasi. Poin yang sama juga menekankan interaksi atau perubahan di antara kebudayaan yang berbeda. "Perubahan" di sini boleh dibilang merupakan hasil dan juga proses. Dari sudut pandang "adaptasi kebudayaan" ini memperlihatkan terjadinya proses akulturasi MK.

Antropologi kebudayaan seringkali mengkaji mengenai, sistem sosial, tradisi budaya, pandangan nilai, kondisi ekonomi dan perubahan perilaku adaptasi. Perubahan perilaku adaptasi bisa dilihat ketika populasi menghadapi tekanan di

(16)

lingkungannya. Bahkan tidak jarang perilaku ini berdampak pada proses akulturasi satu kelompok dengan kelompok lain. Proses ini merupakan bentuk diterimanya kedua kebudayaan, mulai dari adat, tradisi, pandangan nilai dan kebudayaan (Chenghua 2000:1-22). Menganalisa masalah dan proses akulturasi, membuat "adaptasi kebudayaan" menjadi satu jalan pikiran yang penting. Tesis ini bukan melihat hasil akulturasi, tetapi mencoba membahas proses akulturasi berdasarkan pemaknaan pelaku terhadap proses akulturasi. Konsep adaptasi kebudayaan juga berarti proses pembentukan identitas, jadi dalam hal ini sudut pandang adaptasi kebudayan dapat digunakan untuk membahas masalah akulturasi.

Studi tentang proses akulturasi, misalnya penelitian tentang hubungan interaksi suku bangsa minoritas di China dengan suku bangsa Han. Hansen menganalisa pengaruh kebijakan pemerintah China bagi suku bangasa Naxi dan Yi dalam proses akulturasi dari perubahan kebudayaan dan identitas kelompok. Menurut Hansen ideologi dan kebijakan pemerintah merupakan unsur yang penting bagi perubahan kebudayaan suku bangsa minoritas. Namun, suku bangsa minoritas tidak menerima unsur ini begitu saja, mereka menggunakan unsur ini untuk memperkuat kebudayaan mereka yang unik (Hansen, 1999). Sementara itu, Setevan Haell yang juga meneliti masalah akulturasi (suku bangsa Yi dan Nuo), mendapatkan dua hasil yang penting: satu, masing-masing dari mereka mengidentikkan group mereka sendiri secara subyektif; dua, pendidikan dan politik nasional membuat mereka semakin terasimilasi ke dalam suku bangsa Han. Walaupun demikian mereka tetap menjaga identitias kelompok masing-masing (Harrell 1995: 63-91. 2001).

(17)

Penelitian ini melihat akulturasi sebagai dua atau beberapa sistem kebudayaan yang saling berhubungan dan menghasilkan perubahaan kebudayaan (termasuk proses dan hasil). Namun, titik penting tesis ini bukan pada mendiskusikan hasil akhir akulturasi melainkan keadaan "adaptasi kebudayaan" MK di dalam proses akulturasi. Proses ini bukan merupakan dua jenis kebudayaan yang saling beradaptasi. Melainkan, bagaimana para overseas Chinese mempertahankan kebudayaan China setelah beradaptasi di negeri perantauan dan kembali lagi ke China.

Tesis ini menganalisa mengenai kondisi adaptasi kebudayaan kelompok dan mencoba menjelaskan penyebab tiap kelompok memiliki batasan. Melalui proses ini dapat membuktikan bahwa masyarakat dalam HQNC tidak homogen, melainkan merupakan "komunitas pluralistis". William A. Haviland mengajukan konsep "pluralistic societies" yaitu praktek sosial yang mempunyai kebudayaan yang pluralistis (Havilland 2006:38). Sementara Herzfeld dengan "cultural pluralism" nya berusaha melawan asimilasi atau multikulturalisme yang digunakan setelah tahun 80-an (Herzfeld 2001: 146-148).

Berbeda lagi dengan teori akulturasi tradisonal yang mengajukan konsep "Stabilized Pluralisme". Dua sistem kebudayaan bereksistensi dan terkadang muncul hubungan antara keduanya (SSRC 1954: 990). Anggapan ini membuat saya berpikir: apakah di dalam HQNC ada hubungan yang bertingkat? Apakah ada kesenjangan politik? Bagaimana unsur ini mempengaruhi adaptasi kebudayaan MK?. Selain itu,

self-Correcting Mechanisms di dalam teori akulturasi kebudayaan mengajukan dan

(18)

diversitas laten yang di dalamnya terjadi beberapa perbedaan, di antara mereka muncul konflik kepentingan dan keadaan berlawanan (SSRC 1954:977).

Tesis ini berusaha menganalisa diversitas sistem kebudayaan, dari dua pihak dalam menyelidiki sistem "komunitas pluralistis". Pertama, menganggap bahwa Guilin HQNC sebagai komunitas migran. Hal ini dilihat dari sistem HQNC dan hubungan antar kelompok, yang sering kali mengakibatkan kesenjangan. Kedua, fokus kepada kebudayaan MK di dalam HQNC. Oleh karenanya, penting untuk melihat dari sudut pandang native untuk menyelidiki masalah adaptasi kebudayan MK.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

HQNC merupakan komunitas yang terdiri dari MK. Kelompok ini memiliki kebudayaan yang berbeda dibandingkan kebudayaan tradisional China. Sudah banyak tulisan yang membahas mengenai adaptasi kebudayaan MK. Tesis ini berusaha melihat HQNC sebagai satu kelompok sosial. Melalui penelitian lapangan dan data yang didapat, mencoba melihat proses perkembangan adaptasi dan penyebab munculnya kebudayaan MK. Agar dapat melihat bagaimana adaptasi yang dilakukan berpengaruh pada integrasi dan pembangunan kebudayaan para MK. Komunitas HQNC memiliki nilai referensi yang penting dan juga mempunyai fungsi inspirasi bagi kebijakan MK sekarang.

(19)

F. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Guilin HQNC, kota Guilin, provinsi Guangxi. Ada beberapa dasar pertimbangan pemilih Guilin HQNC sebagai lokasi penelitian. Pertama, provinsi Guangxi adalah kampung halaman MK yang terkenal, salah satu pusat HQNC, dan paling banyak menepatkan MK(Compilation Committee of Local History of Guangxi 1944:325). Kedua, Guilin HQNC adalah farm yang paling awal dibangun di Provinsi Gangxi. Ada sebagian besar Migran China Asal Indonesia tinggal di sini. Hal ini memungkinkan bagi penulis untuk mendapatkan data yang cukup banyak. Migran China Asal Indonesia yang ada di sini, ketika di Indonesia berasal dari Medan, Palembang dan Banjar. Ketiga, dilihat dari proses pembangunan dan perkembangan ekonomi di wilayah tersebut cenderung berhasil di provinsi Guangxi. Apakah itu berarti taraf adaptasi kebudayaan MK di sini tinggi? Hal-hal itulah yang menjadi pendorong utama untuk melihat lebih dalam mengenai kemampuan adaptasi mereka.

Pada Juni 2012, saya pertama kali masuk Guilin Hua Qiao Nong Chang diantar oleh satu teman keturunan China-Indonesia yang sedang belajar bahasa mandarin di sini. Setelah masuk farm saya melihat bangunan di sini berbeda dengan bangunan di kampung di sekitar farm. Saya dikenalkan oleh teman saya, kepada keluarga Ibu Z. Selama penelitian hingga September 2012 saya tinggal di rumah Ibu Z. Ibu Z memperkenalkan saya pada Pak ZH, Pak C, Ibu LI dan banyak Migran China Asal Indonesia yang lain. Karena bantuan mereka saya bisa lebih mudah diterima oleh penduduk lain yang tinggal di sini. Seiring dengan lamanya saya tinggal di sini, saya

(20)

melihat bahwa hubungan yang terjadi di dalam farm ini agak renggang. Mereka tampak selalu waspada pada orang lain.

Saya memilih informan Migran China Asal Indonesia dan Migran China Asal Vietnam generasi tua yang lahir pada tahun pada tahun 1940 sampai tahun 1960. Ada beberapa alasannya, pertama, generasi tua Migran China Asal Indonesia bukan hanya hidup di China namun juga pernah tinggal di negeri perantauan. Jadi proses adaptasi kebudayaan mereka akan lebih kompleks. Kedua, sekarang MK yang tinggal di HQNG kebanyakan adalah generasi tua. Generasi muda kebanyakan sudah ke luar HQNG bersekolah atau bekerja, jadi tidak banyak informan muda di HQNG. Oleh karenanya, untuk lebih mengenal keadaan adaptasi kebudayaan MK saya memilih generasi tua sebagai informan utama.

Melalui observasi partisipasi ini diperoleh data-data yang berkaitan dengan hubungan Migran China Asal Indonesia dengan orang setempat, mulai dari ekonomi, kebiasaan, lingkungan, pandangan nilai dan ideologi mereka. Dari sini pula diperoleh cerita-cerita mengenai kekecewaan mereka terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah China. Selain itu, juga persoalan mengenai kurangnya pendapatan dan lapangan kerja bagi keturunan MK.

Dalam pembicaraan dengan para MK ada data yang sengaja saya rekam dengan menggunakan tape recorder. Namun, ada juga data yang hanya saya rekam dalam ingatan dan kemudian dimonumentalisasikan dalam tulisan ketika kembali ke rumah. Untuk melengkapi apa yang telah didapatkan dalam lokasi HQNC tersebut, saya juga memanfaatkan sumber-sumber lain, seperti perpustakan dan Balai kajian Sejarah,

(21)

serta sumber-sumber tulisan lain yang diakses melalui internet. Berdasarkan pada sumber-sumber tersebutlah saya mencoba menulis dan menganalisa fenomena yang terjadi pada MK.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, pelaksana kegiatan juga dapat meminta bantuan mitra untuk memberikan gambaran tentang pentingnya pemeriksaan bakat dan minat ini kepada siswa agar siswa lebih serius

Pada tugas akhir ini dilakukan pengenalan citra wajah dengan menggunakan fitur Gabor phase congruency sebagai pengekstraksi citra wajah, dimana Gabor phase ini

Suatu dalam memasarkan produk atau jasanya selalu disertai dengan pelayanan, dengan adanya suatu perusahaan dapat memberikan gambaran mengenai produknya dengan

[r]

Pengembangan ini bertujuan untuk menghasilkan produk Multimedia Interaktif Mobile Learning Pengurusan Jenazah, yang menarik, interaktif, menumbuhkan motivasi belajar siswa,

Dari hasil pendugaan model, faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar Bandara Raja Haji Fisabilillah sebelum pengembangan bandara dilakukan adalah variabel

Pemerintah Provinsi Ke- pulauan Bangka Belitung akan melakukan kunjungan balik ke Konjen Republik Rakyat Tiong- kok di Medan pada awal Tahun 2020, untuk menjajaki dan menjalin