• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknologi Oksidasi untuk Air Bersih

Dalam dokumen PERCIK. Media Informasi Air dan Penyehat (Halaman 38-41)

antara pemakaian chlorine serta sistem kondensasi, sedimentasi, dan iltrasi. Sedangkan pengolahan limbah organiknya banyak mempergunakan mikrobiologi, karbon akif serta

membrane iltraion. Sedangkan akhir- akhir ini limbah organik yang dibuang semakin banyak mengandung senyawa organik yang sulit untuk diuraikan hanya dengan mikrobiologi serta

membrane iltraion, serta sangat membahayakan keselamatan makhluk hidup.

Dari keterangan singkat di atas, dapat kita simpulkan bahwa sistem

pengolahan limbah cair yang ada sekarang sangatlah idak efekif. Untuk itu kita perlu memilih serta memilah teknologi pengolahan limbah cair yang ada agar kita dapat menerapkan suatu teknologi secara tepat dan benar sesuai dengan kadar kebutuhannya.

Untuk itu kita perlu mengetahui hal-hal sebagai berikut, (1) unsur-unsur yang terkandung dari limbah cair tersebut, (2) akibat dari unsur-unsur tersebut keika air limbah tersebar ke lingkungan, (3) perubahan serta kekuatan/ketahanan dari unsur tersebut dalam proses pengolahan (treatment), (4) metode/teknologi yang dapat membersihkan atau memodiikasi unsur yang terdapat pada limbah cair tersebut, (5) metode/ teknologi yang tepat guna serta dapat membersihkan/ memodiikasi zat padat hasil dari proses pengolahan, (6) demikian pula halnya karakterisik dari teknologi pengolahan limbah cair yang ada seperi, jenis material apa yang dapat diuraikan, kualitas air bagaimana yang diharapkan, bagaimana biaya pemeliharaannya, bagaimana biaya pembangunan dan lain-lain.

Teknologi Oksidasi

Saat ini penggunaan teknologi oksidasi atau yang sekarang kita kenal dengan Advanced Oxidaion

Processes (AOPs) mendapat perhaian cukup besar. Karena, teknologi ini dapat menguraikan serta

membersihkan senyawa-senyawa organik yang selama ini sulit atau idak dapat diuraikan dengan metode mikrobiologi atau membrane iltraion. Selain itu, teknologi ini dapat diaplikasikan idak hanya untuk mengolah limbah cair hasil industri, namun dapat juga dipergunakan untuk mengolah air minum atau air bersih.

Teknologi AOPs adalah satu atau kombinasi dari

beberapa proses seperi ozone, hydrogen peroxide, ultraviolet light, itanium oxide, photo catalyst,

sonolysis, electron beam, electrical discharges (plasma) serta beberapa proses lainnya untuk menghasilkan

hydroxyl radical (OH). OH adalah spesies akif yang dikenal memiliki oksidasi potensial inggi 2.8 V

melebihi ozone yang memiliki oksidasi potensial hanya 2.07 V. Hal ini membuat OH sangat mudah bereaksi dengan senyawa-senyawa lain yang ada di sekitarnya.

Saat ini, metode kombinasi dari ozone, hydrogen

peroxide, dan ultraviolet light merupakan metode yang paling banyak ditelii serta dicoba untuk mengolah berbagai jenis limbah cair. Diikui selanjutnya dengan metode itanium oxide dan fenton reacion. Sedangkan metode lain seperi sonolysis, electron beam juga

electrical discharges, kebanyakan masih dalam tahap proses peneliian.

Karakterisik dari OH, OH sesuai dengan namanya adalah spesies akif yang memiliki sifat radikal, di mana mudah bereaksi dengan senyawa apa saja tanpa terkecuali. Di dalam air OH bereaksi dengan senyawa yang ada di sekitarnya.

Reaksi OH dengan OH, seperi penjelasan di atas, OH sangat mudah bereaksi dengan apa saja, termasuk dengan OH itu sendiri, dari reaksi ini didapatkan

hydrogen peroxide. Jangka waktu dari OH tergantung kepada konsentrasinya. Sebagai contoh, untuk OH berkonsentrasi 1µM, jangka waktunya adalah sekitar 200 µs.

Aplikasi dari AOPs

Berikut beberapa contoh pemakaian teknologi AOPs. Di mana selain penjelasan di atas

yang membahas tentang metode AOPs ini. Di Jepang, sejak diterapkannya perundangan tentang dioxin dan sejenisnya (Januari 2001), pengolahan limbah cair terpusat pada limbah cair dari tempat pembakaran sampah (domesik dan industri). Di mana dioxin banyak dihasilkan dari akibat pembakaran sampah (terutama sampah jenis plasik) yang idak sempurna. Perlu kita ketahui bahwa hampir dari 70 persen sampah di Jepang diproses dengan cara dibakar (Kementerian Lingkungan Hidup, 1996). Untuk menguraikan dioxin ini metode AOPs banyak dipergunakan, di antaranya O3/UV dan O3/H2O2. Dengan mempergunakan O3/UV, kandungan dioxin

dapat diuraikan hingga 90 persen di mana sebagai sumber ultraviolet light-nya dipergunakan lampu dari merkuri rendah voltase yang didapai lebih efekif dibandingkan dengan lampu merkuri voltase inggi (Daito, 2000). Dari hasil peneliian diketahui bahwa perbandingan penggunaan dari O3/UV dan O3/H2O2 adalah, O3/UV lebih efekif untuk menguraikan jenis senyawa dioxin yang mengandung unsur Cl lebih banyak. Sedangkan O3/H2O2 efekif untuk jenis senyawa dioxin yang mengandung unsur Cl lebih sedikit.

Contoh lain adalah limbah cair dari berbagai industri teksil yang banyak mengandung dye (zat pewarna), di sini banyak dipergunakan UV/H2O2, Metoda Fenton, O3/UV, serta TiO2/

UV (Sugimoto, 2000). UV/

H2O2 didapatkan paling efekif untuk menguraikan/ menghilangkan zat pewarna ini. Sedangkan untuk limbah cair industri lainnya selain zat pewarna dipergunakan metode UV/H2O2, Metode Fenton dan O3/H2O2. Untuk menguraikan p-hydroxyphenilaceic

acid yang banyak didapatkan dari limbah industri agrokultur, kombinasi dari Metode Fenton dan ultraviolet adalah paling efekif (Sarria, 2001).

Untuk limbah cair dari penggunaan obat-obatan di bidang pertanian, metode AOPs didapai sangat efekif, di antaranya untuk penguraian senyawa atrazine dipergunakan O3/H2O2, O3/UV dan UV/H2O2. Di sini O3/H2O2 didapai lebih efekif dibandingkan dengan yang metode lainnya (Acero, 2001). Untuk penguraian senyawa 2-4 dichlorophenoxyaceic acid dipergunakan UV/H2O2 (Alfano, 2001) Simazine (Kruithof, 2000), dan Tricholoethylene (Shiotani, 2001) dapat diuraikan mendekai 100 persen dengan mempergunakan O3/ H2O2 atau UV/H2O2. Sedangkan untuk menguraikan mono dan trichloroaceic acid dalam air minum dipergunakan kombinasi dari serat TiO2 dan sinar matahari (Sun, 2000).

Untuk limbah cair ini baru metode kombinasi dari

ozone dan hydrogen peroxide saja yang dipergunakan (Fuchigami, 2000). Metode ini didapai efekif dipergunakan untuk menguraikan humic acid,

endocrine-disruping chemicals serta senyawa organik lainnya, yang didapai idak dapat diuraikan dengan proses acivated sludge.( Eko/LIPI.org)

Inovasi

Yuliansa Efendy,

Penelii Program Pascasarjana Teknik Universitas Gajah Mada

D

alam akivitas sehari-hari manusia sangat membutuhkan air baik untuk konsumsi maupun akivitas lainnya yang memerlukan air seperi mandi, cuci, pertanian, industri dan lain sebagainya. Dalam buku Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) tahun 2008, berdasarkan data dari Staisik Indonesia tahun 2007 secara nasional kebutuhan air di Indonesia mencapai 9,03 milyar M³, adapun sumber-sumber air yang dimanfaatkan masyarakat antara lain air ledeng (PAM) sebesar 16,19%, air tanah (dengan pompa) sebesar 57,97 %, air kemasan 7,18%, mata air 12,64%, air sungai 3,04%, air hujan 2,58% dan lainnya 0,40%.

Usaha-usaha pemerintah melalui Perusahaan Air Minum (PDAM) dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih di Indonesia ternyata belum dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang terletak jauh dari instalasi pelayanan pengelolaan air bersih. Sehingga masyarakat memenuhi kebutuhan air dengan memanfaatkan sumber-sumber air yang ada di lingkungan sekitarnya seperi memanfaatkan air sungai, air sumur, air danau, air hujan serta mata air.

Namun mutu air yang digunakan belum tentu memenuhi standar baku mutu yang telah ditetapkan sebagai air bersih (Permenkes RI No. 416/Menkes/SK/ IX/1990), mutu air dapat dipengaruhi oleh pencemaran, baik pencemar alami maupun pencemar akibat akivitas manusia atau makhluk hidup lainnya. Salah satu sumber air yang memiliki mutu yang kurang baik sebagai air bersih adalah air gambut, padahal bila diinjau dari segi kuanitas air gambut merupakan potensial yang berlimpah khususnya terdapat pada wilayah yang mempunyai karakterisik sebagai lahan gambut.

Kecamatan Gambut merupakan salah satu kecamatan yang berada di kabupaten Banjar dengan luas 129,30 hektar mempunyai luas potensial lahan gambut, dimana penduduk yang berada dipelosok hanya memanfaatkan air hujan dan air permukaan.

Hasil uji di kecamatan Gambut, kabupaten Banjar propinsi Kalimantan Selatan menunjukkan karakterisik air gambut mempunyai kadar yang melebihi ambang

Dalam dokumen PERCIK. Media Informasi Air dan Penyehat (Halaman 38-41)

Dokumen terkait