• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Teknologi Produksi Pertanian

Dalam model perilaku rumahtangga petani, dibutuhkan keputusan terpadu antara produksi, pendapatan, dan konsumsi. Dalam sistem usahatani, maka produksi, pendapatan, dan konsumsi, merupakan salah satu bagian dari suatu sistem yang kompleks. Produksi dapat ditentukan oleh faktor internal, eksternal, dan lingkungan alami. Faktor internal terdiri dari ketersediaan sumberdaya lahan, tenaga kerja, dan modal. Faktor eksternal berupa struktur masyarakat, kelembagaan (pasar, kredit, penyuluhan), dan sarana/prasarana (irigasi,

transportasi). Faktor alami adalah lingkungan fisik (lahan, ketinggian, radiasi, curah hujan, topografi), dan lingkungan biologi (varietas, hama-penyakit, gulma). Semua faktor tersebut menghasilkan output berupa produksi dan pendapatan, yang hasilnya dikonsumsi masyarakat luas di pasar yang saling terkait.

Dengan asumsi teknologi produksi pertanian yang tetap, maka pendapatan maksimum tercapai hingga tingkat tertentu. Dengan ketersediaan sumberdaya pertanian yang terbatas kuantitas dan kualitasnya, peningkatan produksi dan produktivitas memerlukan teknologi yang efektif dan efisien. Perbedaan tingkat teknologi akan membedakan produksi yang dicapai. Dengan asumsi harga input dan harga output tetap, teknologi produksi pertanian akan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan petani.

Penerapa n teknologi baru sesuai anj uran, tergant ung strategi pe tani untuk melakuka n keputusan produksi pada usahatani pertanian. Adopsi teknologi diterima jika lebih baik dan menguntungkan dibandingkan teknologi alternatif yang tersedia. Kriteria yang dipilih adalah: (1) bertujuan memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, (2) kondisi lahan harus sesuai dengan jenis tanaman anjuran, (3) dukungan irigasi untuk lahan usaha, (4) pe ngetahuan dan keterampilan menanam tanaman yang diinginkan, (5) ketersediaan waktu dan tenaga kerja serta biaya usahatani, (6) ketersediaan modal dan fasilitas kredit untuk membeli benih, pupuk, dan obat/pestisida, dan (7) kemampuan menanam modal dalam jangka tertentu hingga tanaman berhasil.

Kendala adopsi teknologi produksi usahatani pertanian adalah keterbatasan modal, faktor resiko, dan ketidak-pastian. Modal yang tersedia dapat bersumber dari keluarga dan luar keluarga, yang digunakan untuk kebutuhan input teknologi sesuai anjuran, dan membiayai tenaga kerja, peralatan pertanian, investasi sesuai teknologi baru, baik mekanis maupun kimia-biologis, seperti pendapat Barker dan Hayami (1978) tentang konsekuensi ekonomis teknologi baru tanaman padi, serta implikasi perubahan teknologi dan kebijakan ekonomi untuk tanaman padi di Indonesia, sesuai analisis Jatileksono (1986). Resiko yang dihadapi petani adalah kegagalan panen karena gangguan cuaca, hama-penyakit, dan gulma.

Analisis Elad et.al. (1998) tentang produktivitas tenaga kerja dalam rumahtangga pertanian di Afrika, dengan model produksi rumahtangga yang

direvisi, dapat dijadikan acuan untuk melihat asumsi teknologi produksi usahatani yang tetap, sehingga produktivitas usahatani dapat dicapai sampai batas tertentu. Jumlah penggunaan input yang tepat akan menghasilkan produksi yang tinggi sesuai ketersediaan sumberdaya yang dimiliki.

Secara teoritis perilaku rumahtangga petani ini dapat didekati dengan teori produksi, dimana fungsi produksi diasumsikan sebagai hubungan antara produksi dan faktor produksi secara kontinyu. Secara matematis fungsinya dapat dirumuskan menjadi: Y= f (X1, X2,….., Xi

Gambar 1. Tahapan Skala Produksi

), dimana Y= produksi, dan X= faktor produksi. Hubungan antara produksi total, produksi rata-rata, dan produksi marjinal, dapat dilihat pada pembagian tahapan skala produksi sesuai hukum kenaika n hasil ya ng semakin berkurang (law of diminishing return), seperti disajikan pada Gambar 1.

Dalam Gambar 1, terlihat bahwa pada wilayah I, penambahan faktor produksi menyebabkan persentase kenaikan produksi total lebih besar dari persentase kenaikan faktor produksi, sehingga memacu tambahan pendapatan. Produsen dianggap tidak rasional untuk menghe ntikan penamba han faktor produksi selama penambahan faktor produksi menghasilkan tambahan pendapatan. Pada wilayah II, penambahan faktor produksi menyebabkan

1>Ep>0 Ep>1 Ep<0 Ep=0 Ep=1 B T I Produksi Rata-rata Faktor Produksi Produksi C* A B* O C T III T II Produksi Marjinal Produksi Total

pendapatan yang menurun. Pendapatan maksimum tercapai pada saat nilai produksi marjinal sama dengan biaya pe ngorbanan marjinal sama de ngan satu, yang merupaka n daerah rasional ba gi prod usen sesuai prinsip ekonomi da lam mencapai pendapatan maksimum. Pada wilayah III, penambahan faktor produksi berakibat produksi total dan pendapatan menurun, sehingga merupaka n wilayah tidak rasional.

Kedelai atau Glycine Max (L) Merril ditanam setelah panen padi di musim gadu, sebagai tanaman sela di lahan sawah irigasi setengah teknis dan tadah hujan, dengan status sebagai tanaman secondary crops. Budidaya kedelai dipengaruhi oleh waktu tanam, lokasi, jenis lahan, da n musim tanam. Budidaya kedelai dibagi tiga musim tanam, yaitu setelah padi musim hujan, padi musim gadu, dan musim hujan. Penanaman di lahan sawah lebih diminati petani karena lebih tinggi hasilnya. Penanaman kedelai setelah padi lebih hemat tenaga dan biaya. Kendala usahatani kedelai adalah, keterbatasan lahan petani subsisten yang dapat ditanam secara tumpangsari seperti dengan jagung.

Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi tempe, kecap, oncom, tauco, natto; tahu, yuba, susu/saridele, daging tiruan; minyak salad, minyak goreng, mentega putih, margarine; yogurt, roti, es-krim, makanan bayi, kembang gula; minuman fungs ional (isoflamix); oba t-obatan (farmasi), alat kecantikan (parfum); dan bungkil kedelai sebagai makanan ternak, membuat budidaya kedelai dan industri pengolahan hasil kedelai semakin berkembang. Proses pengolahan kedelai dapat menghasilkan produk pangan fermentasi, produk pangan non- fermentasi, produk minyak kasar untuk pangan dan teknik/industri, produk lesitin, produk konsentrat protein, produk isoflamix, dan produk bungkil kedelai.

Teknik budidaya usahatani kedelai yang perlu diperhatikan adalah waktu/musim dan pola tanam, pemilihan varietas benih unggul dan lokal, syarat dan kebutuhan benih, penyiapan lahan, cara dan jarak tanam, pemupukan, penggunaan mulsa, pengendalian gulma, pembumbunan, pengairan dan pengelolaan air, pengendalian hama penyakit, pemanenan dan pasca-panen. Selain faktor iklim, pertumbuhan kedelai tergantung jenis lahan, apaka h termasuk lahan berdrainase jelek (rawa, pasang surut, lebak), lahan gambut (pH renda h,

kesuburan renda h), lahan kering de ngan jumlah huj an terbatas, atau lahan dataran tinggi dengan suhu di bawah kebutuhan minimal pertumbuhan kedelai.

Hasil kedelai di lahan kering biasanya lebih rendah dari lahan sawah, sebab penanaman kedelai setelah padi gogo dilakukan tanpa pengolahan tanah, dan teknologi budidaya kedelai lambat penguasaannya. Pertumbuhan kedelai dibagi dalam tahap vegetatif dan tahap reproduktif. Sifat-sifat agronomis kedelai yang penting adalah pada stadia reproduktif. Faktor lingkungan yang berpengaruh ada lah ke suburan tanah, ka ndungan air, naungan tanaman, s uhu udara, kecukupa n hara, kecepatan angin, serta ketahanan pada hama penyakit.

Teknik produksi dan pengembangan kedelai untuk meningkatkan produksi usahatani kedelai di Indonesia menurut Sumarno et.al. (2007) dan Manwan et.al.

(1990), dititik-beratkan pada penggunaan benih unggul kedelai, seperti juga pendapat Sadjad (1997) tentang pendekatan sistem dalam pengadaan benih kedelai, termasuk perakitan varietas unggul kedelai spesifik agro-ekologi. Disisi lain, rendahnya penggunaan pupuk NPK dan pestisida hayati sesuai dosis anjuran, menyebabkan produksi dan produktivitas kedelai rendah hasilnya. Dalam proses alih teknologi, faktor benih, pupuk, dan pestisida, kredit usahatani, pemasaran, penyuluhan, dan konservasi sumberdaya alam, berperan penting dalam meningkatkan hasil kedelai, seperti terlihat pada kinerja penelitian tanaman pangan oleh Syam et.al. (1997).

Kedelai responsif terhadap pupuk, sehingga membutuhkan pupuk NPK yang cukup. Penggunaan zat perangsang tumbuh sangat efektif untuk meningkatkan hasil kedelai di lahan kering, karena bersifat mendorong, merangsang, menghambat, atau menahan pertumbuhan tanaman. Respon tanaman terhadap zat perangsang tumbuh tergantung pada varietas, kesuburan tanah, dan keadaan lingkungan, serta musim, lokasi, dan stadia pertumbuhan kedelai.

Penelitian On-farm multi- lok asi, sangat berguna untuk menguji kelayakan teknis dan ekonomis dari alternatif dan adopsi teknologi produksi baru. Inovasi dan adopsi bio-teknologi dilakuka n misalnya de ngan menggun aka n pupuk mikroba seperti Rhizoplus dan Legin, atau teknologi Rhizobium serta perbaikan

sistem kelembagaan seperti kredit pertanian, penyuluhan dan pemasaran hasil pertanian (Sumarno et.al., 2007).

Dalam penelitian pengembangan teknologi produksi usahatani kedelai, Adisarwanto dan Suyamto (1997) serta Damardjati et.al. (1997) menganalisis perlunya penggunaan pupuk dan pestisida hayati untuk intensifikasi kedelai, yang tergantung da ri jenis lahan da n agrok limat tanaman. Teknologi prod uksi usahatani kedelai meliputi: (1) pemilihan varietas benih unggul bermutu tinggi, (2) penyiapan lahan bebas gulma dan sanitasi lingkungan, (3) inokulasi rhizobium, (4) ameliorasi tanah dari aspek pH, bahan organik, hara N, P, K, Ca, Mg, sesuai keperluan, (5) penyesuaian waktu tanam dengan ketersediaan air, dan (6) peralatan dan tenaga kerja pada musim pa nen da n pasca-pa nen serta harga pasar yang wajar.

Perluasan areal panen dan peningkatan produksi serta produktivitas kedelai di lahan sawah dilakukan untuk mencapai target swasembada kedelai tahun 2015. Intensifika si khusus kede lai dilakukan di lahan kering de ngan menamba h input kapur pertanian, sedangkan Supra Insus dilakukan di sawah irigasi teknis dan setengah teknis. Penanaman kedelai monokultur dilakukan di musim tanam ketiga di lahan tada h hujan.

Peningkatan produksi kedelai dilakukan dengan ekstensifikasi, intensifikasi, diversifikasi, rehabilitasi, dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Intensifikasi diarahkan pada peningkatan produksi dan mutu benih unggul melalui subsidi input produksi, atau dengan kebijakan Intensifikasi Khusus dan

Operasi Khusus pada lahan marjinal. Ekstensifikasi diarahkan pada perluasan areal tanam baru di lahan sawah dan lahan kering, dengan pemberian kapur untuk memperbaiki mutu lahan. Diversifikasi tanaman dapat dilakukan dengan meningkatkan intensitas tanaman, serta optimalisasi pola tanam tumpang-sari di lahan sawah, lahan kering, pekarangan, dan lahan perkebunan.

Diversifikasi pertanian tanaman pangan sesuai konsep agribisnis untuk tuj uan ekspor oleh Surya na et.al. (1990), meliputi aktivitas terpadu secara vertikal pada proses produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran, dan tidak jauh berbeda dengan konsep Austin (1981) tentang analisis proyek agro-industri. Dalam sistem agribisnis, terdapat subsistem penyediaan sarana produksi, usahatani, pengolahan,

dan pemasaran, seperti konsep agribisnis Saragih (2001) tentang paradigma baru pembangunan ekonomi berbasis pertanian.

Subsistem usahatani yang efektif dan efisien dilakukan petani atau perusahaan kecil, dimana biaya produksi per-unit tidak terpengaruh oleh skala usaha. Pola perusahaan inti rakyat (PIR) pangan adalah bentuk kerja sama saling menguntungkan antara perusahaan pertanian sebagai inti, dan petani PIR sebagai plasma, serta pemerintah sebagai pembina, pembimbing dan fasilitator, termasuk adanya pola kemitraan menuju swasembada kedelai (Lim, 1997).

Permasalahan usahatani kedelai adalah: (1) keterbatasan wilayah penyebaran potensi kedelai karena hama penyakit endemik dan gulma, kemasaman tanah, genangan air, dan daya simpan benih, dan (2) kedelai sebagai tanaman pengisi waktu sela di lahan kosong setelah tanaman padi (dan jagung). Kedelai adalah tanaman komersial yang berhubungan erat dengan pedagang/ penampung kedelai, yang memerlukan standardisasi mutu biji kedelai, termasuk teknologi pascapa nen primer da n pe ngolahan kedelai (Sumarno et.al., 2007).

Pemecahan masalah usahatani kedelai dilakukan melalui: (1) pola tanam dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan manusia secara optimal, serta pengenda lian hama-penyakit dan gulma, (2) penanaman serempak dalam hamparan luas atau usahatani kelompok (Insus), untuk mengatasi hama-penyakit dan skala usaha, (3) jalinan arus benih antar lapang/antar musim (Jabalsim) untuk menjamin benih murah dan aman, dan (4) pengelolaan usahatani kedelai dengan perusahaan pembimbing atau pembina petani.

Cara bercocok tanam kedelai dapat diklasifikasikan dalam cara sederhana, setengah intensif, dan intensif. Kedelai ditanam sebagai tanaman tunggal, tumpangsari, campuran, atau sebagai tanaman sela (gadu) setelah tanaman padi. Peranan kedelai sebagai sumber protein nabati, langsung dikonsumsi masyarakat dalam bentuk benih dan produk olahan serta pakan ternak. Produk kedelai adalah untuk dipasarkan atau diproses (95%), untuk benih kedelai dan juga hilang pada saat pasca panen (4%), dan untuk direbus atau digoreng (1%).

Dalam ekonomi kedelai di Indonesia dan dengan melihat posisi Indonesia dalam perdagangan internasional kedelai, perlu kebijakan yang tepat arah dan tujuan dalam penetapan harga dasar dan harga atap (Sumarno et.al., 2007).

Penetapan harga dasar kedelai dan subsidi sarana produksi, akan merangsang petani untuk meningkatkan produksi kedelai. Kebijakan harga dasar adalah untuk melindungi produsen, sedangkan kebijakan harga atap untuk melindungi konsumen (subs idi harga). Kebijakan ini dapat mempengaruhi produksi dan pemasaran kedelai. Pemerintah menetapkan harga dasar melalui sistem operasi pasar, dengan mencegah kemerosotan harga di tingkat petani melalui pembelian langsung, dan mencegah lonjakan harga.

Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai Indonesia menunjukkan adanya pergeseran posisi dari negara pengekspor menjadi pengimpor kedelai sejak tahun 1975. Kebutuhan konsumsi kedelai domestik untuk produk olahan, benih, dan pakan ternak, lebih besar dari produksi kedelai dalam negeri, sehingga ketergantungan impor kedelai masih berlangsung hingga sekarang. Swasembada kedelai masih belum tercapai, sehingga merupakan peluang bagi peningkatan produksi kedelai di Indonesia hingga tahun 2015 (Sumarno et.al., 2007).

Harga kedelai di tingkat produsen pada tahun 1990 adalah Rp.1025, dan di tingkat konsumen Rp.1075/kg, sedangkan harga kedelai pada saat penelitian ini berlangsung (tahun 2001), mencapai harga rata-rata sebesar Rp.2150/kg. Pada saat yang sama, harga kede lai lebih tinggi dari harga padi/gabah yaitu Rp.1000/kg, tetapi petani kurang responsif terhadap usahatani kedelai daripada usahatani padi, karena produktivitas kedelai lebih rendah daripada padi/gabah. Berkembangnya mina padi dan palawija ikan, belum bisa menggeser usahatani padi untuk digantikan oleh komoditas lain yang lebih menguntungkan.

Usahatani kedelai sebenarnya menguntungkan dari segi finansial, dengan pendapatan bersih sekitar Rp.2.05 juta/ha, walaupun luas areal panen kedelai menurun dari 1.48 juta ha (1995) menjadi 0.55 juta ha (2004), atau turun rata-rata 10% pertahun (Balitbangtan, 2005). Dengan sasaran peningkatan produksi 15% pertahun untuk mencukupi kebutuhan domestik, dan produksi meningkat 60% pada tahun 2009, berarti swasembada baru tercapai tahun 2015. Investasi yang dibutuhkan adalah Rp.5.09 triliun (2005-2009) dan Rp.16.19 triliun (2010-2025), dimana swasta menyumbang sebesar Rp. 0.68 triliun dan Rp. 2.45 triliun.

Menurut Tabor (1988) dalam penawaran dan permintaan tanaman pangan di Indonesia, maka penawaran kedelai bersifat elastis terhadap perubahan harga.

Di Jawa, elastisitas harga kedelai lebih elastis daripada luar Jawa, sehingga luas areal tanamnya lebih berhasil. Kedelai berkompetisi dengan jagung untuk lahannya, sehingga kenaikan harga jagung menurunkan areal tanam kedelai. Konsumsi kedelai dipengaruhi oleh elastisitas harga dari pendapatan, yang lebih tinggi daripada tanaman pangan lain. Permintaan kedelai responsif terhadap harga kedelai dan perkembangan industri pengolahan tempe da n tahu.

Penelitian Rosegrant et.al. (1987) tentang kebijakan investasi dan harga di sektor tanaman pangan di Indonesia, menyatakan bahwa elastisitas harga dan pendapatan kedelai adalah inelastis. Berarti, peningkatan harga kedelai akan menurunkan jumlah permintaan kedelai. Kenaikan jumlah permintaan lebih rendah daripada kenaikan pendapatan. Kenaikan harga kedelai di pasar tidak berdampak besar pada penurunan konsumsi kedelai. Konsumsi kedelai meningkat karena kesadaran masyarakat tentang protein dan gizi serta pentingnya pengembangan industri pengolahan kedelai.

Dengan teknologi produksi berlainan, hasil kedelai di lahan sawah irigasi teknis lebih tinggi daripada di lahan kering atau tadah hujan. Penggunaan teknologi produksi yang kurang efektif dan efisien, akan menimbulkan kesenjangan hasil, karena keterbatasan sarana dan prasarana irigasi serta penggunaan input modern. Biaya tinggi yang terjadi karena proteksi harga dan kuota, faktor teknologi, dan investasi di bidang infrastruktur. Rosegrant et.al.

(1987) menganalisis proses ekstraksi setiap satu ton biji kedelai kering, dapat menghasilkan 774.20 kg tepung kedelai, 176.40 kg minyak kedelai, 20.00 kg ampas, dan 29.40 kg limbah buangan.

Dalam agribisnis dan kegiatan agroindustri, sarana produksi dan alsintan merupakan faktor penunjang pengembangan kedelai, agar mutu dan daya saing meningkat. Sarana produksi merupakan variable-cost, dan alsintan adalah fixed- cost, sehingga mengurangi keuntungan petani. Jika harga naik, biaya produksi naik. Petani dengan skala usahatani kecil cenderung efisien dan lebih kecil resikonya, walaupun terdapat fluktuasi harga pada saat panen atau paceklik.

Kebijakan liberalisasi perdagangan pangan adalah untuk mengurangi proteksi harga, agar dapat bersaing pada harga dunia, dimana konsumen lebih diuntungkan daripada produsen. Pendapatan petani naik jika perdagangan bebas

diberlakukan dan kebijakan harga akan memberi insentif kepada produsen kedelai.

Dalam integrasi vertikal, produksi kedelai seperti halnya pengolahan tepung kedelai dan minyak kedelai masih belum ekonomis. Petani akan bergairah menanam kedelai jika faktor harga kedelai dapat dikendalikan (stabil), dan ketergantungan pada impor dapat diatasi. Produksi kedelai meningkat jika pengendalian harga menguntungkan petani, dimana kedelai sebagai bahan baku industri. Menurut Kuntjoro et.al. (1989), permintaan kedelai Indonesia adalah ine lastis terhadap perubahan harga da n peruba han pe ndapatan. Konsumen tidak responsif untuk mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung karbohidrat dibandingkan bahan pangan yang berprotein, karena pendapatannya akan berubah. Petani kedelai di Jawa pada umumnya kurang responsif terhadap perubahan harga. Peubah inp ut yang berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai adalah luas lahan, pupuk, dan tenaga kerja. Jika subsidi pupuk dihilangkan dengan kenaikan harga, maka produksi kedelai dan keuntungan petani akan menurun.

Potensi peningkatan produksi kedelai ditentuka n oleh ke layaka n eko nomi dan keunggulan komparatif, dimana Jawa Barat tidak layak secara ekonomis walaupun potensial, sedangkan Jawa Timur layak untuk konsumsi lokal atau industri substitusi impor. Daerah yang layak dan unggul serta efisien produksinya adalah Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Sumatra Utara, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Pengurangan subsidi pupuk, terobosan teknologi, dan pengaturan harga kedelai domestik, akan meningkatkan aktivitas produksi dan konsumsi rumahtangga petani kedelai (Daris, 1993).

Dokumen terkait