• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tema Filsafat Eksistensialisme dalam Novel Ziarah Karya Iwan Simatupang .1 Kebebasan

NILAI FILSAFAT EKSISTENSIALISME DALAM ZIARAH KARYA IWAN SIMATUPANG DAN KEPUNDAN KARYA SYAFIRIL ERMAN

2.1 Tema Filsafat Eksistensialisme dalam Novel Ziarah Karya Iwan Simatupang .1 Kebebasan

Kebebasan secara etimologis berasal dari kata bebas yang berarti tidak terkung-kung atau merdeka. Secara keseluruhan kebebasan berarti sesuatu hal yang tidak terkung-kung atau kemerdekaan (Badudu, 1994:140)

Salah satu ciri filsafat eksistensialisme yang terutama dan pertama adalah kebebasan, dalam hal ini termasuk kebebasan berpikir, kebebasan memilih dan kebebasan bertindak. Sokrates lebih memilih meminum racun untuk mempertahankan pendapat dari kebenaran yang diyakininya. Spinoza menolak diangkat menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas Heidel Berg karena takut kehilangan kebebasan berpikir. Nietzche dalam Hassan (1973:46) mengatakan; “Dengan matinya Tuhan, manusia bebas mencipta…..Mencipta dan sekali lagi mencipta; karena inilah satu-satunya kebajikan bagi manusia”. Selanjutnya J. P. Sartre (Drijarkara, 1978:83) menegaskan; “Kebebasan itu dalam kehidupan manusia adalah mempunyai kedudukan yang sentral. Tanpa kemerdekaannya, manusia bukan manusia lagi”

Secara lebih mendalam, kebebasan sejati bukanlah terdapat pada diri manusia. Kebebasan ada pada perorangan apabila orang lain mempunyai kebebasan, yaitu pengakuan dan penerimaan orang lain sebagai kebebasan pula. Oleh karena itu kebebasan mutlak tidaklah mungkin, kebebasan manusia adalah sekaligus keterikatan. Dalam hal ini Jasper (Hassan, 1973:95) menyatakan;

“Membayangkan suatu kebebsan yang terlepas sama sekali dari orang lain atau batasan-batasan lainnya tidak mungkin. Kebebasan yang menjadi kondisi untuk suatu eksistensi yang sejati haruslah dihayati bersama orang lain, oleh karena kesejatian eksistensial hanya terungkap dalam situasi komunikasi eksistensial pula, suatu hubungan intersubyektif dengan orang lain.”

Dalam novel Ziarah kebebasan sebagai hak dasar manusia mengalami pertentangan. Pertentangan tersebut muncul karena adanya penegasan dan pengingkaran akan eksistensi kebebasan dalam diri para tokoh dalam novel tersebut. Penegasan kebebasan diwakili oleh tokoh opseter muda melalui dialognya dengan tokoh walikota (Simatupang,1969:16) yang menyatakan; “Apa bukan sebaliknya, pak walikota yang terhormat? Apa yang dengan mudahnya kita cap sebagai ‘umum’ itu adalah, dan hanyalah, terdiri dari pribadi-pribadi, yakni manusia-manusia, warga-warga bebas.”

Sedangkan pengingkaran kebebasan muncul pada diri tokoh walikota melalui jawaban yang ia berikan atas pertanyaan yang diajukan tokoh opseter muda. Ia (Simatupang, 1969:16) menjawab;

“Bebas? Ha! Itulah inti perselisihan paham kita. Hati-hati saudara dengan kata ‘bebas’ itu. Saudara harus dapat merasakan getaran, irama dari masa. Saudara seperti ketinggalan zaman saja. Ya, saudara telah lama bercokol di pekuburan ini. Di sini memang tempatnya sejarah berhenti. Dari segi ini saja, saudara seharusnya sudah pergi dari sini. Saudara telah memberikan gambaran tentang diri saudara sebagai manusia prasejarah.”

Manusia adalah mahluk bereksistensi, yang dengan pengertian sadar akan arti keberadannya di dunia. Kesadaran manusia akan keberadaan atau ada-nya di dunia ini dilandasi dengan ada-nya kebebasan itu sendiri dalam hidup manusia. Bebas dalam arti berpikir dan memilih jalan hidupnya masing-masing. Tanpa adanya kebebasan itu, eksistensi dalam hidupnya pun tidak akan tercapai dan terujud. Ini dikarenakan kebebasan berpikir bagi manusia merupakan identitas dan sesuatu yang essensial dalam diri manuisa. Sesuai dengan ungkapan klasik ‘coguito ergusom’ yang berarti ‘aku berpikir karena aku ada’. Dengan perkataan lain pengekangan kebebasan berpikir sama dengan peniadaan manusia itu sendiri. Memilih jalan hidup bagi manusia sekaligus pula memilih jalan pikirannya sendiri-sendiri. Oleh karena itu pulalah beberapa manusia seringkali memilih kepahitan dalam hidupnya daripada harus mengorbankan kebebasan berpikirnya.

Dalam novel Ziarah tokoh opseter muda lebih memilih melepaskan jabatan sebagai opseter pekuburan dengan cara bunuh diri daripada harus kehilangan kebebasan berpikir dan bertindak. Pilihan tersebut juga sebelumnya diawali dengan pilihannya untuk menangguhkan gelar doktor filsafatnya dan lebih memilih hidup terasing di pekuburan sunyi, demi kebenaran yang diyakininya kuat dan subtil ada di balik tembok pekuburan tersebut.

Tokoh opseter pekuburan yang juga merupakan putra tunggal pengusaha terkaya dikota P dan promovendus brilian dalam bidang filsafat, lebih memilih hidup terasing dan sunyi dari pada hidup di luar tembok pekuburan yang penuh dengan gemerlap dan glamour dunia. Ini semua dilakukannya hanya untuk mencapai eksistensinya sebagai manusia yang bebas dan berkehendak kuat dalam mencari kebenaran atau nuans yang diyakininya.

Sedangkan pengingkaran kebebasan bagi seseorang dapat terjadi karena seseorang tersebut terikat dengan kepentingannya sendiri yang terikat pula dengan kepentingan atau sesuatu yang umum. Tokoh walikota pada novel Ziarah menjalani kehidupannya sehari-hari sebagai manusia yang dapat memendam dengan rapat keinginan pribadinya demi satu tujuan yaitu, tibanya suatu hari yang telah lama dicita-citakannya yang juga merupakan momentum yang tepat bagi dirinya untuk melampiaskan keinginan pribadinya, sebagai ekspresi kebebasan pribadi yang telah lama dipendamnya. Dalam Ziarah (1969:20) tokoh walikota melukiskan keinginan pribadinya sebagai berikut; “Begitulah Dia pada akhirnya mencari sekedar hiburan bagi dirinya dalam satu jenis kesibukan yang khas manusia, yaitu mengundurkan ke hari esok apa yang tidak diperolehnya hari ini. Ternyata…”

Pada kesempatan lain Berdyaev dalam Hassan (1973:68) juga mengutarakan tentang pengingkaran kebebasan pribadi di atas kepentingan yang umum.

Menurut Berdyaev; “Sudah menjadi kodrat revolusi untuk membawa kita kepada teror dan teror adalah hilangnya kebebasan setiap orang, hilangnya kebebasan semua”

2.1.2 Kemualan

. Kemualan timbul karena ada rasa mual dalam diri manusia. Rasa mual itu memiliki arti benci akan sesuatu, bosan dan jijik. Sedangkan kemualan berarti hal atau keadaan yang

membosankan yang dapat menimbulkan perasaan benci dan jijik akan sesuatu (Badudu,1994:910). Rasa kemualan timbul pada diri manusia karena menghadapi hidup dan keadaan di sekelilingnya yang tidak berarti. Manusia berhadapan dengan keadaan yang bercampur baur dan membosankan. Keadaan itu dihadapi manusia dengan seluruh realitas yang membeban berat atau nausse. Dalam hal ini J.P Sartre (Drijarkara,1978:75) menyatakan; “Nausse atau rasa mual, karena manusia jika menghadapi keadaan yang sebenarnya itu merasa tak tahan, merasa putus asa, tidak ada harapan”

Dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang rasa mual itu muncul pada diri tokoh bekas pelukis. Rasa mual itu timbul dikarenakan dirinya telah menjadi objek bagi orang lain dan Ia tidak berdaya dalam menghadapinya. Selain itu, Ia juga merasakan eksistensi dan segala kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi dirinya telah dirampas oleh orang lain yang menjadikan dirinya sebagai objek melalui pandangan orang lain terhadap dirinya. Dalam hal ini J. P. Sartre (Hassan, 1973: 115) berpendapat; “Pandangan orang lain terhadap diri kita itu seolah-olah memaksakan kita mencari susunan dan pola tingkah laku yang kita dasarkan pada pandangan itu tadi. Dengan kata lain…”

Dan selanjutnya Ia (Hassan, 1973:119) pun berpendapat; “…Jadi inilah neraka, neraka bagiku adalah orang lain”

Kekosongan yang dirasakan tokoh isteri bekas pelukis dalam dirinya, akibat ketidakberdayaannya dalam menghadapi pandangan orang lain terhadap dirinya, dilukiskan oleh Iwan Simatupang sebagai berikut; “Sesuatu yang kecut mengambang di sudut-sudut mulutnya. Sekaligus perasaan mual merebut seluruh dirinya. Perasaan dan pikirannya seperti garis-garis aneka warna yang bertemu dalam satu gumpalan kusut.”

Perasaan kosong yang dialami tokoh isteri bekas pelukis sekaligus menimbulkan perasaan mual dalam dirinya. Rasa mual itu timbul karena ketidakberdayaannya menghadapi keadaan sekelilingnya.

2.1.3 Takut

Takut menurut Kierkegaard (Beerling, 1990:77) adalah suatu keadaan yang tidak berdaya dan tidak memiliki keberanian, sehingga sering menimbulkan kecemasan atau kekhawatiran bagi orang yang merasakannya. Seperti halnya keberadaan manusia yang muncul dan hilangnya sebagai ketiadan, maka demikian juga dengan rasa takut yang dialami oleh manusia. Takut itu terletak dalam dasar kesadaran manusia. Rasa takut membuat manusia terasing, membuat manusia merasa terpencil. Dan takut itu pula yang mendorong manusia lari mencari keselamatannya dalam masyarakat. Dalam mencari keselamatan itu manusia mengadakan pelarian yang tidak disadari. Selanjutnya Heidegger (Beerling, 1966:223) menyatakan; “Takut itu bukanlah salah satu suasana batin di antara suasana-suasana batin yang lain, karena dia menyingkapkan situasi kita yang sebenarnya.”

Mengenai perasaan takut manuisa Iwan Simatupang juga memuat perasaan takut yang menimpa manusia melalui tokoh yang ada dalam Ziarah. Tokoh kita yang juga merupakan bekas pelukis mengalami semacam phobia. Phobia ini adalah perasaan takut terhadap hal-hal tertentu yang demikian kuatnya, meskipun tidak ada alasan yang nyata.

Perasaan takut itu akan muncul pada diri tokoh bekas pelukis dan selalu menimbulkan reaksi yang luar biasa. Rasa takut itu dilukiskan Iwan Simatupang dalam Ziarah (1969:7) yaitu; “Seluruh tubuhnya menggigil. Seolah dia sudah merasa sekian anak panah yang besar-besar dan runcing-runcing itu menikam tubuhnya”

Namun perasaan takut yang menimpanya itu datangnya secara tiba-tiba dan bersifat sementara. Rasa takut itu akan hilang kembali secara tiba-tiba pula. Dalam Ziarah (1969:10) hilangnya perasaan takut dilukiskan iwan simatupang sebagai berikut;

“Kemelut dalam dirinya memuncak. Nuraninya berbenturan dengan kesediaan dan kebukaan hati kawan barunya yang sejak tadi masih duduk disampingnya, menggenggam…”

Tokoh bekas pelukis yang pada awalnya takut terhadap tokoh opseter pekuburan menjadi sadar kembali. Rasa takut itu hilang secara tiba-tiba dan tanpa disadarinya. Hilangnya rasa takut itu telah membukakan diri tokoh bekas pelukis untuk menerima kehadiran tokoh opseter pekuburan. Selanjutnya tokoh bekas pelukis menerima tawaran tokoh opseter pekuburan untuk mengapur tembok pekuburan kota Praja.

3.1.4 Maut

` Maut atau kematian adalah sesuatu yang tidak dapat kita ketahui kapan kedatangannya, tetapi jelas maut pasti akan datang dalam setiap kehidupan manusia, sesuatu yang dilahirkan pasti mengalami kematian. Maut bagi Kierkegaard adalah batas waktu atau akhir bagi manusia untuk menjalankan eksistensinya (Hassan, 1973:40). Sedangkan Nietzche (Hassan, 1973:49) mengatakan; “Keberanian dalam menjalani hidup, haruslah keberanian pula dalam menghadapi kematian”. Selanjutnya Jasper (Hassan, 1973:87) menyatakan “…Pun eksistensi dihayati sebagai kebebasan dan keterbukaan, berapa pun …” dan bagi Sartre (Hassan, 1973:108-109) menyatakan; “Maut adalah absurd karena tibanya di luar dugaan dan pilihan kita sendiri’

Maut merupakan tema yang sentral dan dominan dalam filsafat eksistensialisme. Setiap manusia di dunia mempunyai definisi tersendiri akan maut itu. Ada manusia yang menganggap maut sebagai kemenangan, tetapi sebaliknya ada pula yang menganggap maut sebagai kekalahan. Setiap definisi yang diberikan terhadap maut bersifat subjektif dan disesuaikan

dengan penghayatan akan kehidupan. Chairil Anwar menganggap maut sebagai kekalahan, sebagaimana tersirat dalam baris puisinya yang menyatakan ‘hidup hanya menunda kekalahan’. Sedangkan Nietzche menganggap maut sebagai kemenangan dalam ungkapannya’ matilah pada waktunya’. Dimana Ia menyatakan bahwa hanya orang-orang yang dapat memberi arti akan kehidupanlah yang mati pada waktunya.

Pada novel Ziarah penghayatan akan maut dianggap sebagai suatu kekalahan, sehingga tokoh bekas pelukis merasa perlu untuk menghindari datangnya maut itu. Ini diungkapakan Iwan Simatupang dalam Ziarah (1969:6) sebagai berikut; “Tak suka pada opseter ini, sebagaimana dia tidak menyukai siapa saja yang lapangan kerjanya sedikit banyak ada hubungannya dengan orang mati”

Ungkapan kekalahan yang terbias ke dalam maut selalu menyelimuti setiap tokoh yang ada dalam novel Ziarah. Setiap kali para tokoh merasakan kekosongan jiwa, pada saat itu pula mereka merindukan maut, yaitu dengan bunuh diri atau mati secara wajar. Percobaan bunuh diri juga dilakukan tokoh bekas pelukis karena desakan kekosongan jiwanya (Ziarah, 1969:72) sebagai berikut; “Kehadiran aspal dalam renungannya yang kini, membuat dia memandang sayu kepada jalan aspal yang terlihat dari jendela hotelnya. Tiba-tiba …”

2.1.5Keterasingan

Keterasingan terbentuk dari kata terasing yang berarti hal atau keadaan tersisih atau terkucil. Sedangkan Berdyaev (Hassan, 1973:55) menjelaskan keterasingan sebagai berikut; …”kurangnya ungkapan kepribadian, tiadanya keaslian pribadi, suatu disposisi untuk dihanyutkan oleh tenaga-tenaga kwantitatif pada setiap saat” Persoalan keterasingan atau alienasi dalam hidup manusia di dunia sering kita jumpai sebagai akibat manusia ingin bebas, melarikan

diri dari kenyataan. Hidup yang penuh dengan kekosongan, kehampaan dan kemualan. Gambaran hidup manusia inilah yang membuat diri manusia merasa asing di tengah-tengah lingkungan masyarakatnya, individu terasing bagi dirinya sendiri dan mengalami alienasi diri dan tidak menjalani eksistensinya secara sejati.

Menurut Kierkegaard dalam Bachtiar (Ed, 1980:176) sebagaimana yang diungkapkan oleh Sidney Hook, sebagai berikut;

“Bahwa jiwa manusia berada dalam pengasingan yang permanen dari Tuhan. Jika mempelajari jiwa manusia, katanya, akan ternyata bahwa manusia merana oleh karena pengasingan dari Tuhan dan karena terjerumus dalam kehinaan……..”

Selanjutnya menurut Nietzche mengatakan ‘Tuhan telah mati’ dengan kematian Tuhan, maka kesepian tidak dapat dimusnahkan. Pada kesempatan lain Sartre juga menyatakan ‘Sayang Tuhan tidak ada’ jika Tuhan ada maka tidak ada nada dan alasan dalam soal kemanusiaan. Kematian merupakan sumber dari pengasingan manusia (Bachtiar Ed. 1980: 179)

Masalah keterasingan manusia diwakilkan Iwan Simatupang melalui tokoh opseter muda. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan Ziarah (1969:46) sebagai berikut;

“Penglihatan saya sehari-hari di lapangan pekerjaan saya yang kini menyatakan kepada saya, bahwa harta dan kekayaan berhenti mempunyai arti persis pada tembok luar dari setiap pekuburan. Selanjutnya, filsafat murni hanya didapat pada suasana di sebelah dalam dari tembok-tembok itu. Janganlah usik-usik saya lagi dimasa yang datang. Sayalah kekayaan, sayalah kebajikan”

Tokoh opseter muda merasa terasing menghadapi realitas kehidupan yang ada di hadapannya. Baginya dunia realitas adalah bayangan semu, bukan kebenaran yang sejati. Oleh karena itu, dalam pencarian kebenaran yang sejati tersebut, Ia mengungsi ke balik tembok pekuburan yang sunyi. Ia yakin hanya di balik tembok pekuburan itulah ada kebenaran sejati yang disebutnya dengan filsafat murni.

Keterasingan yang dirasakan tokoh opseter muda merupakan suatu kesunyian hidup akibat dirasakannya bahwa segala realitas yang ada di depannya tidak berarti sama sekali, segala kemapanan yang dimilikinya bukanlah hak milik yang pantas dibanggakan. Ia membutuhkan nuans sebagai pelengkap hidup dan kesempurnaan. Tokoh opseter muda memilih keterasingan dalam hidup demi keyakinannya yang kuat akan kebenaran sejati yang disebutnya dengan nuans.

2.1.6 Misteri

Misteri dapat pula berarti sesuatu yang belum masih bersifat rahasia dan belum jelas benar. Menurut Sartre (Peurson, 1983:76) mengatakan; “Misteri itu merupakan suatu realitas ke-ada-an yang bersifat absurd dan tidak memiliki substansi pokok, sehingga ada-nya misteri itu bersifat absurd dan subjektif.”

Manusia bersangkut paut dengan misteri. Misteri itu tidak berada di hadapan manusia, tetapi manusia berada di dalamnya. Dan manusia cenderung mengubah misteri itu menjadi suatu masalah. Apabila misteri itu telah diuabah menjadi masalah, maka secara prinsipil menjadi mudah untuk diselesaikan, karena masalah itu ada di hadapan manusia, pada kosmos.

Suatu permasalahan dapat diselesaikan dengan teknik tertentu, sedangkan misteri tidak. Marcel dalam Beerling (1966:248) menjelaskan;

“Misteri melampaui (mengatasi) segala teknik. Dari hal inilah ditarik kesimpulan, bahwa misteri itu tidak dapat dikenal. Tidak dapat dikenal secara objektif seperti benda-benda dalam dunia luar. Jika misteri………”

Misteri yang terkandung pada Ziarah berpusat pada diri manusia itu sendiri. Melalui tokoh bekas pelukis, Iwan Simatupang ingin menyingkap tabir misteri yang menyelimuti manusia. Namun, penyelesaian dengan pasti akan hal tersebut tidak pernah diperoleh manusia. Oleh karena itu pernyataan dan pertanyaan seputar misteri manusia dalam hidup, selalu

menghiasi kehidupan manusia. Dalam Ziarah (1969:116) Iwan Simatupang mengungkapkan misteri yang melekat pada manusia melalui tokoh bekas pelukis, sebagai berikut;

“Isteri saya telah mati, kata orang. Ini saya terima sejauh mati berarti tak ada, tiada. Yang sendiri berarti ada. Yaitu, adanya tiada itu. Dan buat apa saya harus meributkan persoalan ada dan tiada ini, sejak ada seorang Tionghoa berkata dulu kala, bahwa kita tidak tahu apakah tidur dan mimpi kita, bukan merupakan keadaan bangun kita yang sebenarnya, dan apakah yang hingga kini kita anggap sebagai keadaan bangun itu bukan keadaan kita yang sedang tidur dan bermimpi sesungguhnya”

Dalam Ziarah tokoh bekas pelukis mennghadapi misteri itu sebagai bagian dalam diri manusia, khususnya bagi dirinya. Tokoh bekas pelukis menghadapi misteri itu sebagai kenyataan yang harus diterima tanpa perlu mengadukannya kepada Tuhan. Ia begitu pasrah menghadapi misteri itu, sehingga seolah-olah dalam ketidakberdayaan itu ia menikmatinya.

2.2 Tema filsafat eksistensialisme dalam novel Kepundan karya Syafiril Erman

Dokumen terkait