• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Nilai Filsafat Eksistensialisme Antara Ziarah Karya Iwan Simatupang Dengan Kepundan Karya Syafiril Erman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Nilai Filsafat Eksistensialisme Antara Ziarah Karya Iwan Simatupang Dengan Kepundan Karya Syafiril Erman"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN NILAI FILSAFAT EKSISTENSIALISME ANTARA

ZIARAH KARYA IWAN

SIMATUPANG DENGAN KEPUNDAN KARYA SYAFIRIL ERMAN

SKRIPSI

OLEH :

PACSASARJANA SITEPU 030701026

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERBANDINGAN NILAI FILSAFAT EKSISTENSIALISME ANTARA ZIARAH KARYA IWAN

SIMATUPANG DENGAN KEPUNDAN KARYA SYAFIRIL ERMAN

Oleh

PASCASARJANA SITEPU NIM 030701026

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan ujian skripsi dan telah disetujui Oleh :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra. Peraturen Suka Piring, S.U. Drs. Isma Tantawi, M.A. NIP 130517485 NIP 131570496

Departemen Sastra Indonesesia Ketua,

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang

pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan.

Medan, November 2008

(4)

PERBANDINGAN NILAI FILSAFAT EKSISTENSIALISME DALAM NOVEL ZIARAH

KARYA IWAN SIMATUPANG DAN KEPUNDAN KARYA SYAFIRIL ERMAN

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang nilai filsafat eksistensialisme yang terdapat dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang dan novel Kepundan karya Syafiril Erman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai filsafat eksistensialisme yang terdapat pada kedua novel dan mengkaitkannya ke dalam sebuah penelitian sastra. Penelitian ini diharapkan bermanfaat

(5)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudu l Perbandingan Nilai Filsafat Eksistensialisme DalamZiarah Karya Iwan Simatupang dan Kepundan

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan dan hambatan, tetapi karena kuatnya dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan kepada :

Karya Syafiril Erman. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, PD I Bapak Drs. Aminullah, M.A. Ph.D., PD II Bapak Drs. Samsul Tarigan. dan PD III Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum.

2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia dan Ibu Dra. Mascahaya, M. Hum. selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Peraturen Sukapiring, S.U. sebagai pembimbing I dan Bapak Drs. Isma Tantawi, M.A. sebagai pembimbing II

4. Bapak Drs. Pertampilen Brahmana dan Bapak Drs. Haris Sutan Lubis selaku dosen yang sudah penulis anggap seperti orang tua penulis.

5. Bapak Prof. H. Ahmad Samin Siregar, S.S. yang menjadi inspirasi penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra.

(6)

7. Ibu penulis Dra. Ulin br Ginting yang selalu bersabar dalam menghadapi segala kesulitan dan tidak pernah lupa berdoa untuk keberhasilan penulis.

8. Adik penulis Tryana br Sitepu yang sedang kuliah di FKIP Unimed semoga berhasil dan cepat menyelesaikan studinya.

9. Ayah penulis Alm. Dr. Tabir Sitepu yang telah memberikan nama Pasacasarjana Sitepu yang begitu indah dan menjadi doa sekaligus harapan bagi penulis untuk memperoleh gelar sarjana.

10. Teman-teman seangkatan 2003, Emva W. Candra Sirait, Rolindo Saragih,dan Marti Nababan.

11. Kak Fitri, Petugas Administrasi di Departemen Sastra Indonesia.

12. Adik-adik di Departemen Sastra Indonesia seperti Jakaria Ginting, Nelson, David, Sabrun, Filemon, Vera dan yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu. Semoga Tuhan selalu memberkati kita semua dan dilimpahkan karunia-Nya. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis mempersembahkan hasil penelitian yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan hasil penelitian ini.

Medan, November 2008

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.1.1. Latar Belakang ... 1

1.1.2. Masalah ... 4

1.2. Batasan Masalah ... 4

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 5

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 5

1.4. Metode Penelitian ... 6

1.4.1. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 6

1.4.2. Metode dan Teknik Analisis Data ... 7

1.5. Landasan Teori ... 8

1.5.1. Uraian Singkat Pengertian Filsafat ... 9

1.5.2. Pengertian Filsafat Eksistensialisme ... 11

BAB II Nilai Filsafat Eksistensialisme Dalam Ziarah Karya

Iwan Simatupang Dan Kepundan Karya Syafiril Erman 14

2.1 Nilai Filsafat Eksistensialisme Dalam Ziarah Karya Iwan Simatupang…

(8)

2.1.2 Kemualan

2.1.3 Takut

2.1.4 Maut

2.1.5 Keterasingan

2.2 Nilai Filsafat Eksistensialisme Dalam Kepundan Karya Syafiril Erman

2.2.1 Kebebasan

2.2.2 Kemualan

2.2.3 Takut

2.2.4 Maut

2.2.5 Keterasingan

BAB III.PERSAMAAN DAN PERBEDAAN NILAI FILSAFAT EKSISTENSIALISME

DALAM ZIARAH KARYA IWAN SIMATUPANG DENGAN KEPUNDAN

KARYA SYAFIRIL ERMAN

3.1 Persamaan

3.2 Perbedaan

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 34

4.1Kesimpulan ... 34

4.2Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA

(9)
(10)

PERBANDINGAN NILAI FILSAFAT EKSISTENSIALISME DALAM NOVEL ZIARAH

KARYA IWAN SIMATUPANG DAN KEPUNDAN KARYA SYAFIRIL ERMAN

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang nilai filsafat eksistensialisme yang terdapat dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang dan novel Kepundan karya Syafiril Erman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai filsafat eksistensialisme yang terdapat pada kedua novel dan mengkaitkannya ke dalam sebuah penelitian sastra. Penelitian ini diharapkan bermanfaat

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang dan Masalah

I.1.1. Latar Belakang

Sastra merupakan hasil proses kreatif. Dalam proses penciptaannnya melibatkan banyak daya, seperti daya imajinasi dan daya kreatifitas dari para pengarangnya. Selain itu, karya sastra dalam proses penciptaannya juga membutuhkan pengetahuan yang luas dan pengalaman yang kompleks dari para pengarangnya untuk menghasilkan suatu produk seni yang lebih intens dan bertendens. Tanpa adanya hal tersebut niscaya akan ‘menelurkan’ karya sastra yang bernilai seni rendah.

Luasnya kehidupan manusia yang terekam di dalam sebuah karya sastra, telah pula melibatkan berbagai displin ilmu untuk memberikan beragam kontribusi terhadap proses penciptaan karya sastra, sampai pada proses pemberian makna atau interpretasi terhadap karya sastra itu sendiri. Ini merupakan suatu fenomena yang wajar, mengingat karya sastra dan ilmu sastra itu sendiri tidak mengenal kata berhenti dalam proses perkembangannya. Adanya gerak dinamis dalam bidang sastra tersebut telah pula menghasilkan suatu hubungan simbiosis dengan bidang atau ilmu lain, khususnya ilmu-ilmu sosial sebagai ilmu bantunya.

(12)

tersebut telah ikut meramaikan panggung sastra dunia, baik dalam proses perkembangan ilmu sastra maupun dalam proses pemberian makna dan penghayatan terhadap karya sastra; jauh sebelum kelahiran Reneisans di Eropa.

Sastra dan Filsafat adalah dua bidang ilmu yang bersenyawa. Kedua bidang ilmu ini sama-sama memfokuskan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi objek kajian. Dalam hal ini penulis mengutip pendapat Tabir Sitepu (1982 : 6) sebagai berikut :

”Filsafat dan Cipta sastra adalah dua bidang ilmu yang masing-masing mempunyai kedudukan yang otonom. Namun, filsafat salah satu ilmu dari bermacam-macam ilmu kerabat sastra, kelihatannya bersenyawa dengan cipta sastra. Filsafat mempunyai sikap sistematis terhadap kehidupan manusia. Sedangkan cipta sastra bersikap imajinatif dan orisinil terhadap kehidupan manusia”.

Hubungan sastra dan filsafat sangat erat, bila dipandang dari sudut intensitasnya. Kedua bidang ini merupakan manisfestasi bentuk pemikiran radikal manusia yang bertujuan untuk mengungkapkan sebab dan rahasia terdalam kehidupan manusia. Oleh karena itu untuk mengkaji suatu karya sastra seorang peneliti atau penikmat sastra melibatkan ilmu filsafat sebagai ilmu bantu untuk memahami suatu karya sastra, agar diperoleh pemahaman yang intensif , juga sebaliknya ilmu filsafat kerap mengangkat suatu karya sastra menjadi objek kajian. Tentu dalam hal ini karya sastra yang banyak memuat nilai-nilai filosofis.

Penulis sendiri dalam menyajikan penelitian ini menggunakan dua buah karya sastra sebagai objek kajian. Sesuai dengan judul penelitian ini yang mengarah pada tinjauan filosofis, tentu dalam hal ini penulis melibatkan ilmu filsafat sebagai ilmu Bantu dalam rangka pemahaman filosofis. Meskipun, penulis melibatkan ilmu filsafat dalam kajian, tetapi penelitian ini tidaklah semata-mata suatu pembahasan filosofis, melainkan penelitian sastra.

(13)

meminjam istilah Jassin (1983 :10). Kedua karya sastra ini memotret perjuangan manusia dalam mencari eksistensinya terhadap sesama manusia, alam semesta dan Tuhan (transeden).

Manusia yang dilukiskan Iwan dalam Ziarah tidak hanya beresensi sebagai obyek saja yang penuh dengan sifat kematerian. Tetapi Ia juga harus berfungsi sebagai subjek yang bertanggung jawab untuk mengatasi semua benda yang bersifat materi. Manusia dalam Ziarah tidak hanya dituntut untuk hidup dan merasa puas bila kebutuhan raganya terpenuhi. Tetapi ia juga harus ‘mengada’ atau bereksistensi agar kebutuhan rohani dan batin terpenuhi.

Senada dengan Iwan, Syafiril Erman juga melakukan pengembaraan melalui imajinasinya dalam novel yang berjudul Kepundan. Perjuangan manusia dalam mencari eksistensi khususnya dalam gerak vertikal ke atas yang berakhir pada Tuhan (transedensi) terlihat intens dalam novel tersebut. Oleh karena itu, mengkaji novel tersebut dari sudut pandang filsafat bukanlah sesuatu yang mustahil.

Di samping itu, novel Kepundan merupakan novel yang baru keberadaannya dalam kesusasteraan Indonesia modern. Oleh karena itu pengkajian novel Kepundan dari sudut pandang filsafat, serta membandingkannya dengan novel lain secara filosofis, sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan oleh ahli sastra maupun kritikus sastra. Berbeda dengan novel Ziarah karya Iwan Simatupang yang sudah tidak asing lagi eksistensinya dalam kesusateraan Indonesia modern dan sudah pernah diulas oleh Dami N. Toda dari sudut pandang filsafat. Hal inilah yang membuat penulis tertarik mengkaji dan membandingkan kedua novel tersebut dari sudut pandang filsafat.

(14)

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapatlah dikemukakan masalahnya sebagai berikut :

1. Bagaimana nilai filsafat eksistensialisme dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang dan novel Kepundan karya Syafiril Erman?

2. Apakah ada persamaan dan perbedaan nilai filsafat eksistensialisme antara novel Ziarah karya Iwan Simatupang dengan novel Kepundan Karya Syafiril Erman?

2. Batasan Masalah

Filsafat adalah suatu ilmu yang begitu dalam dan tidak terhingga luasnya. Pendapat filosof pun bersimpang siur terhadap masalah filsafat. Filsafat mempunyai sifat ilmiah yang dengan sadar mencari kebenaran, metode dan sistem yang berlaku secara umum. Filsafat sebagai suatu ilmu tidak hanya menyelami sesuatu lapangan kenyataan tertentu, tetapi memajukan pernyataan tentang kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat, azas dan prinsip dari kenyataan. Filsafat adalah suatu ikhtiar berpikir radikal dan dengan jalan penjajakannya berusaha sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.

Oleh karena luasnya cakupan ilmu filsafat tentang kehidupan manusia, maka penulis membatasi pokok masalah dari bidang tersebut. Pembatasan masalah memang sangat perlu, sebab studi terhadap filsafat secara umum sangat sulit dan niscaya akan menghasilkan hasil studi yang berkadar rendah.

(15)

tidak dapat dihindari untuk memahami lebih mendalam sebagai rangka pelaksanaan studi filosofis terhadap novel-novel tersebut.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis nilai filsafat eksistensialisme dari novel Ziarah karya Iwan Simatupang dan novel Kepundan karya Syafiril Erman.

2. Mencari persamaan dan perbedaan nilai filsafat eksistensialisme dari novel Ziarah karya Iwan Simatupang dengan Novel Kepundan karya Syafiril Erman.

3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Hasil penelitian ini akan dijadikan manuskrip dalam jurusan Sastra Indonesia, sehingga dapat menambah pengalaman para pencinta sastra.

2. Hasil penelitian ini akan menambah pemahaman akan aliran filsafat tersebut.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kehalusan batin para pembacanya, karena sastra dan filsafat bertujuan menambah pengalaman para pembaca dan pecintanya agar lebih arif dan bijaksana.

4. Metode Penelitian

4.1. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

(16)

yang objektifitasnya dibangun atas rumusan tentang situasi tertentu, sebagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok social tertentu, dan relevan dengan tujuan dari penelitian tersebut. Mengenai penelitian kualitatif ini Bogdan dan Taylor (Moleong, 1983:3) berpendapat :

“Metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”

Penelitan pada hakikatnya merupakan wahana untuk menemukan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun oleh para praktisi melalui model-model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma. Paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proporsi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. (Moleong, 1983 : 30)

Dalam sebuah penelitian dibutuhkan sejumlah data yang dijadikan sebagai obyek untuk dikaji. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data ini disebut dengan data sekunder karena data ini diperoleh dari buku atau sumber bacaan, sehingga penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kepustakaan (librarian riseth).

Metode yang digunakan dalam memperoleh data penelitian adalah dengan metode membaca (heuristic) dan metode membaca berulang-ulang (hermeneutik) dan teknik catat pada kartu data. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :

1. Membaca novel Ziarah dan Kepundan secara keseluruhan dan membuat sinopsisnya. 2. Mencatat nilai filsafat eksistensialisme yang terdapat pada novel Ziarah dan Kepundan,

serta mencari persamaan dan perbedaannya.

4.2. Metode dan Teknik Analisis Data

(17)

1. Mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan data nilai filsafat eksistensialisme dari kedua novel tersebut.

2. Membandingkan data nilai filsafat eksistensialisme dari kedua novel tersebut untuk mencari persamaan dan perbedaannya.

3. Menyimpulkan hasil analisis data.

5. Landasan Teori

Dalam melaksanakan penelitian tentu harus memakai landasan teori. Landasan teori inilah yang nanti akan menjadi pedoman bagi peneliti untuk sampai pada kesimpulan. Dalam ilmu sastra landasan teori yang digunakan dalam menganalisis karya sastra tentunya berbeda dengan bidang ilmu-ilmu lain. Ilmu sastra merupakan suatu cabang dari ilmu-ilmu sosial. Konsekuensi logis dari pada itu alat atau pisau bedah yang digunakan dalam mengkaji objeknya adalah teori-teori sastra yang sudah mapan dan ilmu bantu yang relevan dengan ilmu sastra.

Filsafat sebagai salah satu ilmu bantu sastra tentu relevan dalam pengkajian suatu karya sastra. Ilmu filsafat dapat digunakan sebagai optik untuk melihat anasir-anasir dari suatu karya sastra yang menjadi titik temu antara sastra dan filsafat. Hubungan simbiosis antara sastra dengan filsafat bukanlah suatu hal yang asing lagi dalam ilmu sastra maupun dalam ilmu filsafat sendiri. Bahkan Ulrici peneliti karya-karya Shakespeare dari Jerman menyatakan hubungan sastra dengan filsafat secara gamblang. Ia mengatakan sastra dapat dilihat dalam bentuk filsafat atau sebagai bentuk pemikiran yang terbungkus. (Rene Wellek dan Austin Warren 1980 : 34).

(18)

bahwa ia menganut filsafat tertentu, mempunyai hubungan yang dominant pada zamannya, atau paling tidak mengetahui garis besar ajaran paham-paham tersebut (Rene Wellek dan Austin Warren (1980 : 38). Oleh karena adanya hubungan antara sastra dengan filsafat mendorong penulis untuk mengkaji suatu karya sastra dari sudut pandang filosofis.

Filsafat sendiri dalam perkembangannya memilki banyak aliran. Ini merupakan suatu hal yang wajar dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang telah banyak melahirkan spesialisasi dalam berbagai disiplin ilmu. Adapun aliran filsafat yang digunakan dalam mengkaji kedua novel tersebut adalah aliran filsafat eksistensialisme. Uraian filsafat secara umum dan filsafat eksistensialisme akan dipaparkan selanjutnya.

5.1. Uraian Singkat Pengertian Filsafat.

Secara etimologis, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘Philosphia’ yang tersusun atas kata ‘philos’ dan ‘sophia’. ‘Philos’ artinya ’cinta’, dalam arti yang seluas-luasnya. ‘Sophia’ artinya ‘kebijaksanaan’ yang dalam arti pandai atau tahu dengan mendalam. Sehubungan dengan pembagian di atas arti filsafat keseluruhan boleh diartikan cinta kebijaksanaan.

Secara pembatasan isi, filsafat adalah ilmu yang selalu mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang berdasar pada pikiran. Batasan ini bermakna bahwa filsafat dapat digolongkan ke dalam golongan ilmu, bersifat ilmiah yang secara sadar menuntut kebenaran. Filsafat harus bersistem, bermetode dan harus pula berlaku umum. Tetapi filsafat berbeda dengan ilmu. Filsafat mengatasi ilmu itu, sebab filsafat mencari keterangan yang sedalam-dalamnya. Poedjawijatna (1975 : 15) mengatakan :

(19)

tetapi jalan pikiran tidak hanya berkisar pada fakta saja. Filsafat memang mencari keterangan-keterangan atau sebab tetapi dalam pembuktiannya tidak membatasi dari pada pengalaman. Filsafat mencari sebab yang sedalam-dalamnya dan kalau ada batas, batas itu hanya daya pikir manusia. Filsafat memang ilmu, harus bersifat ilmiah, jadi kalau dirumuskan maka filsafat itu ialah ilmu yang mencari keterangan atau sebab yang sedalam-dalamnya. Mencari keterangan yang sedalam-dalamnya inilah yang membedakan filsafat dari ilmu”.

Filsafat didapati di dalam dan diantara manusia yang berpikir. Filsafat dapat dianggap sebagai perbuatan yang paling radikal dalam menggunakan kemampuan berpikir. Berpikir radikal ini ditujukan pada kedalaman dan bila kedalaman ini ditemukan maka dapat dipastikan apa yang berasal dari kedalaman itu. Berpikir secara radikal mempunyai implikasi yang universal. Filsafat adalah sebagai suatu yang umum dari berbagai keragaman pendirian, aliran dan sistem. Filsafat dipikirkan oleh manusia dan diterima oleh manusia. Terjadinya suatu filsafat apabila aktifitas manusia yang bersifat mencipta menghasilkan bentuk-bentuk tertentu. Secara konkret tidak ada filsafat secara umum, ada hanya berbagai-bagai filsafat. Di sini kita bertemu dengan banyak sistem, pandangan tentang dunia, keterangan-keterangan dunia secara filsafat. R. F. Beerling (1966 : 13) mengatakan :

“Kesatuan filsafat adalah dalam keseragaman bentuknya, tokohnya, pernyataan-pernyataannya. Berpuluh abad manusia mendalami persoalan-persoalan filsafat, tetapi belum juga didapatinya penyelesaian yang defenitif. Jika sekiranya tentang persoalan-persoalan itu ada didapat penyelesaian yang definitive, maka hal ini berarti matinya filsafat. Akan tak ada satu pun juga yang mendorong manusia mengadakan persoalan-persoalan lagi. Hal ini akan bertentangan dengan keadaan manusia, situasi manusia. Sifat situasi manusia itu adalah bahwa selalu ada sesuatu yang ditanyakan”.

(20)

itu , para filosof pun kadang-kadang merasa gelisah. Pernah filosof mencoba membuat sesuatu ketetapan yang tegas. Hal ini dilakukan dengan maksud agar filsafat dapat mencapai ilmu yang tegas dan sejati. Namun hal itu hanyalah khayalan belaka Akhirnya timbullah perpecahan menjadi berbagai aliran.

Setelah penulis menguraikan pengertian filsafat secara umum, maka tahapan berikutnya

penulis ingin mencoba menguraikan filsafat eksistensialisme secara singkat. Filsafat eksistensialisme adalah filsafat yang selalu berusaha mencari kebenaran manusia

dan selalu mempertanyakan kehadiran manusia di atas dunia ini. Paham eksistensi menganggap bahwa manusia tidak hanya berada di dunia, tetapi mengahadapi dunia sekaligus. Manusia mengerti akan arti dan guna yang dihadapinya, dan dalam hal ini manusia mengerti bahwa hidup mempunyai arti.

Untuk mendefinisikan eksistensialisme secara khusus merupakan masalah yang sulit sekali sebab pendapat penganut-penganut atau pun perintisnya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Tetapi karena dasar dari paham-paham penganutnya mempunyai titik persamaan maka dapatlah diberikan pengertian filsafat eksistensialisme itu secara umum. Poedjawijadna (1978 : 137-138) mengatakan :

“Amat sukar mengatakan apa existensialisme itu karena di dalamnya terkandung beberapa aliran yang sungguh tidak sama. Pengaruh yang mengenai aliran ini bermacam-macam juga. Dalam keterangan yang amat sederhana ini akan kami majukan sifat-sifat umum bagi penganut-penganut yang dinamai orang eksistensialisme itu :

1. Orang menyuguhkan dirinya (existere) dalam kesungguhan yang tertentu. 2. Orang harus berhubungan dengan dunia.

3. Orang merupakan kesatuan sebelum adanya perpisahan antara jiwa dan badannya. 4. Orang berhubungan dengan ‘ada’

Demikian juga pendapat R.F. Beerling (1966:212),

(21)

Menurut asal katanya ‘eks’ berarti ke luar dan ‘sistensi’ berarti menempatkan, berdiri N. Drijarkara S.J. (1978 : 57) menjelaskan,

“Dengan meninggalkan etimologi atau asal kata dulu, dengan langsung saja kami katakana, bahwa yang dimaksud dengan eksistensi ialah ‘cara manusia berada di dunia ini’. Cara itu hanya khusus bagi manusia. Jadi, yang ber-eksistensi itu hanyalah ‘manusia,. Jadi, ingatlah, eksistensi tidak sama dengan berada, atau lebih baik jika kita katakan : mengada! Akan tetapi tidak tiap-tiap barang itu ber-eksistensi. Batu, pohon, kerbau ‘tidak’ ber-eksistensi. Yang ber-eksistensi itu hanya ‘manusia’. ‘Ada’ dari manusia, atau caranya manusia ‘berada’, itulah yang disebut eksistensi”.

Pengertian eksistensi adalah arti yang pokok, dasar dari aliran eksistensialisme. Arti eksistensialisme adalah berada dengan cara yang khusus bagi manusia. Walaupun demikian manusia di dalam eksistensialisme tidak hanya berhubungan dengan dirinya sendiri tetapi berhubungan dengan di luar diri sendiri. Terlibat di dalam diri sendiri dan terlibat di luar diri sendiri

Bertolak dengan pengertian di atas, maka eksistensi merupakan peristiwa dan pengalaman azasi yang menjiwai seluruh kegiatan manusia. Ber-eksistensi berarti sadar akan diri sendiri dan dapat memberi arti kepada segala yang bersifat materi. Klerkegaard (Hasan, 1973:24) menyatakan : “Manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apapun keputusan yang diambilnya tak pernah ia mantap dan sempurna”

(22)
(23)

BAB II

NILAI FILSAFAT EKSISTENSIALISME DALAM ZIARAH KARYA IWAN

SIMATUPANG DAN KEPUNDAN KARYA SYAFIRIL ERMAN

Untuk memahami nilai filsafat eksistensialisme dalam kedua novel tersebut, penulis mengkaitkannya dengan ide yang disampaikan para pengarangnya. Pada pihak lain para penganut filsafat eksistensialisme memandang manusia dan kehidupannya sebagai suatu kasus yang berputar-putar dan tidak terselesaikan. Perspektif ini juga identik dengan perspektif para pengarang karya sastra yang beraliran kesadaran – stream of conciussnes, khususnya pada pengarang novel Ziarah dan pengarang novel Kepundan. Dalam pengungkapan ide dan pemikiran dalam karyanya, kedua pengarang ini yaitu, Iwan Simatupang dalam Ziarah dan Syafiril Erman dalam Kepundan terbias nilai filsafat eksistensialisme. Proses masuknya pengaruh filsafat eksistensialisme ke dalam kedua karya ini tidak diketahui dengan pasti. Namun yang jelas kedua karya ini banyak memuat nilai filsafat eksistensialisme yang dianut oleh tokoh eksistensialis seperti : Nietzche, Sartre Jasper, Berdyaev, Marcel, Heidegger dan Kierkegaard. Nilai filsafat eksistensialisme yang terdapat dalam kedua novel tersebut adalah sebagai berikut :

2.1 Tema Filsafat Eksistensialisme dalam Novel Ziarah Karya Iwan Simatupang

2.1.1 Kebebasan

(24)

Salah satu ciri filsafat eksistensialisme yang terutama dan pertama adalah kebebasan, dalam hal ini termasuk kebebasan berpikir, kebebasan memilih dan kebebasan bertindak. Sokrates lebih memilih meminum racun untuk mempertahankan pendapat dari kebenaran yang diyakininya. Spinoza menolak diangkat menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas Heidel Berg karena takut kehilangan kebebasan berpikir. Nietzche dalam Hassan (1973:46) mengatakan; “Dengan matinya Tuhan, manusia bebas mencipta…..Mencipta dan sekali lagi mencipta; karena inilah satu-satunya kebajikan bagi manusia”. Selanjutnya J. P. Sartre (Drijarkara, 1978:83) menegaskan; “Kebebasan itu dalam kehidupan manusia adalah mempunyai kedudukan yang sentral. Tanpa kemerdekaannya, manusia bukan manusia lagi”

Secara lebih mendalam, kebebasan sejati bukanlah terdapat pada diri manusia. Kebebasan ada pada perorangan apabila orang lain mempunyai kebebasan, yaitu pengakuan dan penerimaan orang lain sebagai kebebasan pula. Oleh karena itu kebebasan mutlak tidaklah mungkin, kebebasan manusia adalah sekaligus keterikatan. Dalam hal ini Jasper (Hassan, 1973:95) menyatakan;

“Membayangkan suatu kebebsan yang terlepas sama sekali dari orang lain atau batasan-batasan lainnya tidak mungkin. Kebebasan yang menjadi kondisi untuk suatu eksistensi yang sejati haruslah dihayati bersama orang lain, oleh karena kesejatian eksistensial hanya terungkap dalam situasi komunikasi eksistensial pula, suatu hubungan intersubyektif dengan orang lain.”

(25)

Sedangkan pengingkaran kebebasan muncul pada diri tokoh walikota melalui jawaban yang ia berikan atas pertanyaan yang diajukan tokoh opseter muda. Ia (Simatupang, 1969:16) menjawab;

“Bebas? Ha! Itulah inti perselisihan paham kita. Hati-hati saudara dengan kata ‘bebas’ itu. Saudara harus dapat merasakan getaran, irama dari masa. Saudara seperti ketinggalan zaman saja. Ya, saudara telah lama bercokol di pekuburan ini. Di sini memang tempatnya sejarah berhenti. Dari segi ini saja, saudara seharusnya sudah pergi dari sini. Saudara telah memberikan gambaran tentang diri saudara sebagai manusia prasejarah.”

Manusia adalah mahluk bereksistensi, yang dengan pengertian sadar akan arti keberadannya di dunia. Kesadaran manusia akan keberadaan atau ada-nya di dunia ini dilandasi dengan ada-nya kebebasan itu sendiri dalam hidup manusia. Bebas dalam arti berpikir dan memilih jalan hidupnya masing-masing. Tanpa adanya kebebasan itu, eksistensi dalam hidupnya pun tidak akan tercapai dan terujud. Ini dikarenakan kebebasan berpikir bagi manusia merupakan identitas dan sesuatu yang essensial dalam diri manuisa. Sesuai dengan ungkapan klasik ‘coguito ergusom’ yang berarti ‘aku berpikir karena aku ada’. Dengan perkataan lain pengekangan kebebasan berpikir sama dengan peniadaan manusia itu sendiri. Memilih jalan hidup bagi manusia sekaligus pula memilih jalan pikirannya sendiri-sendiri. Oleh karena itu pulalah beberapa manusia seringkali memilih kepahitan dalam hidupnya daripada harus mengorbankan kebebasan berpikirnya.

(26)

Tokoh opseter pekuburan yang juga merupakan putra tunggal pengusaha terkaya dikota P dan promovendus brilian dalam bidang filsafat, lebih memilih hidup terasing dan sunyi dari pada hidup di luar tembok pekuburan yang penuh dengan gemerlap dan glamour dunia. Ini semua dilakukannya hanya untuk mencapai eksistensinya sebagai manusia yang bebas dan berkehendak kuat dalam mencari kebenaran atau nuans yang diyakininya.

Sedangkan pengingkaran kebebasan bagi seseorang dapat terjadi karena seseorang tersebut terikat dengan kepentingannya sendiri yang terikat pula dengan kepentingan atau sesuatu yang umum. Tokoh walikota pada novel Ziarah menjalani kehidupannya sehari-hari sebagai manusia yang dapat memendam dengan rapat keinginan pribadinya demi satu tujuan yaitu, tibanya suatu hari yang telah lama dicita-citakannya yang juga merupakan momentum yang tepat bagi dirinya untuk melampiaskan keinginan pribadinya, sebagai ekspresi kebebasan pribadi yang telah lama dipendamnya. Dalam Ziarah (1969:20) tokoh walikota melukiskan keinginan pribadinya sebagai berikut; “Begitulah Dia pada akhirnya mencari sekedar hiburan bagi dirinya dalam satu jenis kesibukan yang khas manusia, yaitu mengundurkan ke hari esok apa yang tidak diperolehnya hari ini. Ternyata…”

Pada kesempatan lain Berdyaev dalam Hassan (1973:68) juga mengutarakan tentang pengingkaran kebebasan pribadi di atas kepentingan yang umum.

Menurut Berdyaev; “Sudah menjadi kodrat revolusi untuk membawa kita kepada teror dan teror adalah hilangnya kebebasan setiap orang, hilangnya kebebasan semua”

2.1.2 Kemualan

(27)

membosankan yang dapat menimbulkan perasaan benci dan jijik akan sesuatu (Badudu,1994:910). Rasa kemualan timbul pada diri manusia karena menghadapi hidup dan keadaan di sekelilingnya yang tidak berarti. Manusia berhadapan dengan keadaan yang bercampur baur dan membosankan. Keadaan itu dihadapi manusia dengan seluruh realitas yang membeban berat atau nausse. Dalam hal ini J.P Sartre (Drijarkara,1978:75) menyatakan; “Nausse atau rasa mual, karena manusia jika menghadapi keadaan yang sebenarnya itu merasa tak tahan, merasa putus asa, tidak ada harapan”

Dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang rasa mual itu muncul pada diri tokoh bekas pelukis. Rasa mual itu timbul dikarenakan dirinya telah menjadi objek bagi orang lain dan Ia tidak berdaya dalam menghadapinya. Selain itu, Ia juga merasakan eksistensi dan segala kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi dirinya telah dirampas oleh orang lain yang menjadikan dirinya sebagai objek melalui pandangan orang lain terhadap dirinya. Dalam hal ini J. P. Sartre (Hassan, 1973: 115) berpendapat; “Pandangan orang lain terhadap diri kita itu seolah-olah memaksakan kita mencari susunan dan pola tingkah laku yang kita dasarkan pada pandangan itu tadi. Dengan kata lain…”

Dan selanjutnya Ia (Hassan, 1973:119) pun berpendapat; “…Jadi inilah neraka, neraka bagiku adalah orang lain”

(28)

Perasaan kosong yang dialami tokoh isteri bekas pelukis sekaligus menimbulkan perasaan mual dalam dirinya. Rasa mual itu timbul karena ketidakberdayaannya menghadapi keadaan sekelilingnya.

2.1.3 Takut

Takut menurut Kierkegaard (Beerling, 1990:77) adalah suatu keadaan yang tidak berdaya dan tidak memiliki keberanian, sehingga sering menimbulkan kecemasan atau kekhawatiran bagi orang yang merasakannya. Seperti halnya keberadaan manusia yang muncul dan hilangnya sebagai ketiadan, maka demikian juga dengan rasa takut yang dialami oleh manusia. Takut itu terletak dalam dasar kesadaran manusia. Rasa takut membuat manusia terasing, membuat manusia merasa terpencil. Dan takut itu pula yang mendorong manusia lari mencari keselamatannya dalam masyarakat. Dalam mencari keselamatan itu manusia mengadakan pelarian yang tidak disadari. Selanjutnya Heidegger (Beerling, 1966:223) menyatakan; “Takut itu bukanlah salah satu suasana batin di antara suasana-suasana batin yang lain, karena dia menyingkapkan situasi kita yang sebenarnya.”

Mengenai perasaan takut manuisa Iwan Simatupang juga memuat perasaan takut yang menimpa manusia melalui tokoh yang ada dalam Ziarah. Tokoh kita yang juga merupakan bekas pelukis mengalami semacam phobia. Phobia ini adalah perasaan takut terhadap hal-hal tertentu yang demikian kuatnya, meskipun tidak ada alasan yang nyata.

(29)

Namun perasaan takut yang menimpanya itu datangnya secara tiba-tiba dan bersifat sementara. Rasa takut itu akan hilang kembali secara tiba-tiba pula. Dalam Ziarah (1969:10) hilangnya perasaan takut dilukiskan iwan simatupang sebagai berikut;

“Kemelut dalam dirinya memuncak. Nuraninya berbenturan dengan kesediaan dan kebukaan hati kawan barunya yang sejak tadi masih duduk disampingnya, menggenggam…”

Tokoh bekas pelukis yang pada awalnya takut terhadap tokoh opseter pekuburan menjadi sadar kembali. Rasa takut itu hilang secara tiba-tiba dan tanpa disadarinya. Hilangnya rasa takut itu telah membukakan diri tokoh bekas pelukis untuk menerima kehadiran tokoh opseter pekuburan. Selanjutnya tokoh bekas pelukis menerima tawaran tokoh opseter pekuburan untuk mengapur tembok pekuburan kota Praja.

3.1.4 Maut

` Maut atau kematian adalah sesuatu yang tidak dapat kita ketahui kapan kedatangannya, tetapi jelas maut pasti akan datang dalam setiap kehidupan manusia, sesuatu yang dilahirkan pasti mengalami kematian. Maut bagi Kierkegaard adalah batas waktu atau akhir bagi manusia untuk menjalankan eksistensinya (Hassan, 1973:40). Sedangkan Nietzche (Hassan, 1973:49) mengatakan; “Keberanian dalam menjalani hidup, haruslah keberanian pula dalam menghadapi kematian”. Selanjutnya Jasper (Hassan, 1973:87) menyatakan “…Pun eksistensi dihayati sebagai kebebasan dan keterbukaan, berapa pun …” dan bagi Sartre (Hassan, 1973:108-109) menyatakan; “Maut adalah absurd karena tibanya di luar dugaan dan pilihan kita sendiri’

(30)

dengan penghayatan akan kehidupan. Chairil Anwar menganggap maut sebagai kekalahan, sebagaimana tersirat dalam baris puisinya yang menyatakan ‘hidup hanya menunda kekalahan’. Sedangkan Nietzche menganggap maut sebagai kemenangan dalam ungkapannya’ matilah pada waktunya’. Dimana Ia menyatakan bahwa hanya orang-orang yang dapat memberi arti akan kehidupanlah yang mati pada waktunya.

Pada novel Ziarah penghayatan akan maut dianggap sebagai suatu kekalahan, sehingga tokoh bekas pelukis merasa perlu untuk menghindari datangnya maut itu. Ini diungkapakan Iwan Simatupang dalam Ziarah (1969:6) sebagai berikut; “Tak suka pada opseter ini, sebagaimana dia tidak menyukai siapa saja yang lapangan kerjanya sedikit banyak ada hubungannya dengan orang mati”

Ungkapan kekalahan yang terbias ke dalam maut selalu menyelimuti setiap tokoh yang ada dalam novel Ziarah. Setiap kali para tokoh merasakan kekosongan jiwa, pada saat itu pula mereka merindukan maut, yaitu dengan bunuh diri atau mati secara wajar. Percobaan bunuh diri juga dilakukan tokoh bekas pelukis karena desakan kekosongan jiwanya (Ziarah, 1969:72) sebagai berikut; “Kehadiran aspal dalam renungannya yang kini, membuat dia memandang sayu kepada jalan aspal yang terlihat dari jendela hotelnya. Tiba-tiba …”

2.1.5Keterasingan

(31)

diri dari kenyataan. Hidup yang penuh dengan kekosongan, kehampaan dan kemualan. Gambaran hidup manusia inilah yang membuat diri manusia merasa asing di tengah-tengah lingkungan masyarakatnya, individu terasing bagi dirinya sendiri dan mengalami alienasi diri dan tidak menjalani eksistensinya secara sejati.

Menurut Kierkegaard dalam Bachtiar (Ed, 1980:176) sebagaimana yang diungkapkan oleh Sidney Hook, sebagai berikut;

“Bahwa jiwa manusia berada dalam pengasingan yang permanen dari Tuhan. Jika mempelajari jiwa manusia, katanya, akan ternyata bahwa manusia merana oleh karena pengasingan dari Tuhan dan karena terjerumus dalam kehinaan……..”

Selanjutnya menurut Nietzche mengatakan ‘Tuhan telah mati’ dengan kematian Tuhan, maka kesepian tidak dapat dimusnahkan. Pada kesempatan lain Sartre juga menyatakan ‘Sayang Tuhan tidak ada’ jika Tuhan ada maka tidak ada nada dan alasan dalam soal kemanusiaan. Kematian merupakan sumber dari pengasingan manusia (Bachtiar Ed. 1980: 179)

Masalah keterasingan manusia diwakilkan Iwan Simatupang melalui tokoh opseter muda. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan Ziarah (1969:46) sebagai berikut;

“Penglihatan saya sehari-hari di lapangan pekerjaan saya yang kini menyatakan kepada saya, bahwa harta dan kekayaan berhenti mempunyai arti persis pada tembok luar dari setiap pekuburan. Selanjutnya, filsafat murni hanya didapat pada suasana di sebelah dalam dari tembok-tembok itu. Janganlah usik-usik saya lagi dimasa yang datang. Sayalah kekayaan, sayalah kebajikan”

(32)

Keterasingan yang dirasakan tokoh opseter muda merupakan suatu kesunyian hidup akibat dirasakannya bahwa segala realitas yang ada di depannya tidak berarti sama sekali, segala kemapanan yang dimilikinya bukanlah hak milik yang pantas dibanggakan. Ia membutuhkan nuans sebagai pelengkap hidup dan kesempurnaan. Tokoh opseter muda memilih keterasingan dalam hidup demi keyakinannya yang kuat akan kebenaran sejati yang disebutnya dengan nuans.

2.1.6 Misteri

Misteri dapat pula berarti sesuatu yang belum masih bersifat rahasia dan belum jelas benar. Menurut Sartre (Peurson, 1983:76) mengatakan; “Misteri itu merupakan suatu realitas ke-ada-an yang bersifat absurd dan tidak memiliki substansi pokok, sehingga ada-nya misteri itu bersifat absurd dan subjektif.”

Manusia bersangkut paut dengan misteri. Misteri itu tidak berada di hadapan manusia, tetapi manusia berada di dalamnya. Dan manusia cenderung mengubah misteri itu menjadi suatu masalah. Apabila misteri itu telah diuabah menjadi masalah, maka secara prinsipil menjadi mudah untuk diselesaikan, karena masalah itu ada di hadapan manusia, pada kosmos.

Suatu permasalahan dapat diselesaikan dengan teknik tertentu, sedangkan misteri tidak. Marcel dalam Beerling (1966:248) menjelaskan;

“Misteri melampaui (mengatasi) segala teknik. Dari hal inilah ditarik kesimpulan, bahwa misteri itu tidak dapat dikenal. Tidak dapat dikenal secara objektif seperti benda-benda dalam dunia luar. Jika misteri………”

(33)

menghiasi kehidupan manusia. Dalam Ziarah (1969:116) Iwan Simatupang mengungkapkan misteri yang melekat pada manusia melalui tokoh bekas pelukis, sebagai berikut;

“Isteri saya telah mati, kata orang. Ini saya terima sejauh mati berarti tak ada, tiada. Yang sendiri berarti ada. Yaitu, adanya tiada itu. Dan buat apa saya harus meributkan persoalan ada dan tiada ini, sejak ada seorang Tionghoa berkata dulu kala, bahwa kita tidak tahu apakah tidur dan mimpi kita, bukan merupakan keadaan bangun kita yang sebenarnya, dan apakah yang hingga kini kita anggap sebagai keadaan bangun itu bukan keadaan kita yang sedang tidur dan bermimpi sesungguhnya”

Dalam Ziarah tokoh bekas pelukis mennghadapi misteri itu sebagai bagian dalam diri manusia, khususnya bagi dirinya. Tokoh bekas pelukis menghadapi misteri itu sebagai kenyataan yang harus diterima tanpa perlu mengadukannya kepada Tuhan. Ia begitu pasrah menghadapi misteri itu, sehingga seolah-olah dalam ketidakberdayaan itu ia menikmatinya.

2.2 Tema filsafat eksistensialisme dalam novel Kepundan karya Syafiril Erman

2.2.1. Kebebasan

Tentang kebebasan, Berdyaev dalam Hassan (1973 : 68) mengutarakan tentang pengingkaran kebebasan pribadi di atas kepentingan yang umum. Menurut Berdyaev (Hassan, 1973 : 68);

“Sudah menjadi kodrat revolusi untuk membawa kita kepada teror dan teror adalah hilangnya kebebasan setiap orang, hilangnya kebebasan semua.”

merupakan keadaan bangun kita yang sesungguhnya, adan apakah hingga kini kita anggap sebagai keadaan bangun itu bukan keadaan kita yang sedang tidur dan bermimpi sesungguhnya”

(34)

terpencil, karena keyakinan yang kuat dalam dirinya akan menemukan jawaban dari pertanda yang muncul dalam mimpinya, sekaligus pula kesadaran bahwa Ia lebih dibutuhkan oleh penduduk desa transmigran dari pada penduduk kota kecamatan.

Melalui surat yang ditulis untuk sang ayah. Ia menetapkan pilihan dan menolak tawaran sang ayah secara halus. Ia dalam Kepundan (2006 : 134) memutuskan ; “Keputusan yang saat ini nanda ambil adalah karena nanda yakin bahwa garis-garis kehidupan nanda menuntut nanda harus pergi dari sini …”

Pilihan yang ditetapkan tokoh perempuan dokter merupakan suatu keputusan dalam memilih dengan segala konsekuensi di baliknya. Keputusan ini dilandasi oleh ada-nya kebebasan berpikir dan bertindak dalam diri tokoh perempuan dokter. Kebebasan dalam arti bebas dari bujuk rayu sang ayah dan gemerlap dunia yang bersifat materi.

Pengingkaran kebebasan yang menimpa para tokoh yang ada dalam novel Kepundan dilakukan oleh pihak atau tokoh lain. Pengingkaran kebebasan dalam novel Kepundan disuguhkan pengarang melalui tokoh kepala sekolah, yang mengingkari adanya kebebasan dari tokoh si lelaki muda. Tokoh Kepala Sekolah pada saat rapat sidang guru-guru mengekang kebebasan tokoh lelaki muda. Ia (Kepundan 2006 : 31) menyatakan ;

“Sebaiknya jangan berharap bahwa Saudara akan dapat berpetualang lagi dengan kemerdekaan berpikir Saudara untuk hal-hal yang dapat mengganggu stabilitas di sini ….”

(35)

Pemikiran mereka yang teramat radikal dapat pula dianggap sebagai suatu virus yang dapat menjangkiti dan merusak konsep tentang sesuatu yang umum dan tatanan sosial yang telah mapan. Oleh karena itu para penguasa yang memimpin suatu polis pada era pra-Sokrates atau sesudah Sokrates lebih memilih menjauhkan para filosof tersebut dengan segala pemikirannya daripada harus mengorbankan kemapanan sosial. Di masa sekarang ini pun pengekangan akan kebebasan berpikir juga masih menimpa beberapa manusia yang dianggap berpikir radikal. Beberapa negara di dunia juga masih menerapkan hukum buang bagi pengarang atau pemikir yang tidak segaris dengan para penguasa dari negara tersebut. Beberapa dari mereka harus meminta perlindungan atau suaka dari negara lain atau bermain kucing-kucingan dengan Interpol atau pemerintah.

2.2.2. Kemualan

Dalam novel Kepundan perasaan mual muncul pada diri tokoh lelaki muda sebagai konsekuensi pengekangan akan kebebasan dirinya yang dilakukan pihak lain. Nilai-nilai individu dalam dirinya telah dipukul ratakan, sehingga serpihan dari nilai tersebut telah membaur ke dalam nilai yang umum. Ketidakberdayaan akan mencegah peristiwa ini telah menggenangi rasa mual dalam diri tokoh lelaki muda. Krisis jati diri telah menghantui hidupnya, sehingga Ia (Kepundan, 2006 : 35) mengungkapkan ;

”Kejadian dalam forum sidang surat teror benar-benar membekas kuat dalam hatinya. Sedemikian kuatnya sampai menimbulkan perasaan jijik, terutama atas tindakan Pak Direktur yang …”

(36)

“…Kurangnya ungkapan kepribadian, tiadanya keaslian kepribadian, suatu disposisi untuk dihanyutkan oleh-oleh tenaga-tenaga kwantitatif pada setiap saat,…”.

Selanjutnya Berdyaev (Hassan,1973:73) menyatakan ; “Kepribadian bukan saja berhubungan dengan kebebasan, akan tetapi tidak mungkin tanpa ada kebebasan. Untuk mewujudkan ………..”

Pengekangan akan kebebasan berpikir demi kepentingan yang umum merupakan suatu peniadaan akan kepribadian. Ketidakberdayaan akan menghadapi hal tersebut melahirkan perasaan mual bagi setiap orang yang mengalaminya.

2.2.3. Takut

Perasaan takut juga terselip dalam Kepundan. Tokoh lelaki muda ketika sedang diinterogasi juga mengalami ketakutan. Rasa takut itu meresap ke dalam raganya, sehingga pandangannya menjadi gelap (Kepundan, 2006:87) yaitu sebagai berikut ;

“Entah berapa lama kegelapan mutlak itu menyergapnya, sampai kemudian ....”

Betapapun kuatnya rasa takut yang menimpa tokoh lelaki muda, tetapi rasa takut itu kembali sirna dalam dirinya, sehingga ketika Ia dipaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya, Ia menolak dengan lantang (Kepundan, 2006:89) sebagai berikut; “Tidak!!!Tidak!!! Saya tidak mungkin mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan”.

(37)

2.2.4 Maut

Dalam novel Kepundan penghayatan akan maut bagi setiap tokohnya adalah kemenangan. Maut bagi mereka adalah akhir dari penderitaan bereksistensi dalam hidupnya. Bagi mereka tidak perlu menghindari datangnya maut itu, para tokoh dalam novel Kepundan menghadapi maut dengan gagah berani. Keberanian mereka menjalani hidup juga mereka artikan sebagai keberanian dalam menghadapi maut yang merupakan kemenangan bagi mereka.

Penghayatan kemenangan dalam maut diungkapkan oleh tokoh perempuan dokter (Kepundan, 2006:99) yang menyatakan; “Lalu ia berpikir, bukankah itu adalah sebuah kematian yang indah? Mati dalam rahim sang ibu, kematian paling damai dalam seluruh jagad raya ini”. Selanjutnya tokoh lelaki muda (Kepundan,2006:264) juga menegaskan arti kemenangan dalam maut sebagai berikut; “Ia kini telah menjadi mayat. Jiwanya telah kembali menuju wujudnya semula : Ruh. Ia telah terbebaskan dari ketentuan langitnya. Ia telah menjalani seluruh ketentuan langitnya.”

2.2.5. Keterasingan

Pada novel Kepundan pengasingan yang dialami tokoh lelaki muda merupakan suatu akibat dari perbuatan orang lain atas dirinya. Tokoh lelaki muda merupakan korban dari situasi yang tidak diinginkannya. Dan ia tidak berdaya untuk mencegahnya, sehingga Ia merasa terasing dari masyarakatnya. Lalu Ia (Kepundan, 2006:223) melampiaskan dengan;

“Pertama : Ia mengecat dinding rumahnya dengan merah menyala, lalu ia memindahkan pintu rumah menghadap kuburan.

Kedua : Menutup rapat hatinya untuk orang lain.

(38)

2.2.6 Misteri

Dalam novel Kepundan penghayatan misteri dititik beratkan pada alam semesta dan para tokoh merasa perlu untuk mencari tahu jawaban dari misteri itu sebagai jalan untuk menemukan Tuhannya. Pencarian akan Tuhan begitu eksis dalam Kepundan, para tokoh dalam novel tersebut mengartikan misteri itu sebagai pertanda akan kebesaran Tuhan dan sebagai ketentuan dari langit (Kepundan, 2006:84)

Dalam Kepundan (2006:153) tokoh lelaki keriting menafsirkan misteri itu sebagai berikut;

“Ia merasa ada sebuah mimpi yang tersembunyi di balik semua kejadian ini. Ketentuan langit!!! Seperti sebuah ketentuan langit, Ia tiba-tiba saja berada digenggamannya dan …”

Dan selanjutnya tokoh perempuan dokter Kepundan (2006:86) juga menafsirkan misteri itu sebagai berikut;

“Ia tak pandai menafsirkan sebuah mimpi, tetapi hatinya yakin bahwa semua itu adalah pertanda. Bukankah itu semua adalah misteri besar dalam jagad raya semesta ini? Dan kini saja ia menyaksikan sendiri peristiwa misterius tersebut walau hanya melalui mimpi.”

(39)

III. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN NILAI FILSAFAT EKSISTENSIALISME

DALAM ZIARAH KARYA IWAN SIMATUPANG DAN KEPUNDAN KARYA

SYAFIRIL ERMAN

Setelah menganalisis novel Ziarah karya Iwan Simatupang dan novel Kepundan karya Syafiril Erman, selanjutnya penulis membandingkan persamaan dan perbedaan nilai filsafat eksistensialisme dari kedua novel tersebut, sebagai berikut;

3.1 Persamaan

Adakalanya seorang pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra yang diciptakannya, tidak hanya ingin menyuguhkan suatu pengalaman yang unik dan menarik yang dapat menjelma menjadi dunia lain sebagai wahana untuk lari dari kenyataan bagi para pembacanya. Tetapi seorang pengarang juga ingin mencetuskan ide dan pemikiran yang merupakan hasil perenungan (kontemplasi) yang intens ke dalam hasil karyanya. Oleh karena luas dan kompleksnya cakupan ide dan pemikiran tersebut, ide-ide tersebut disublimasi ke dalam suatu pemikiran yang terbungkus yaitu karya sastra. Dengan demikian maka terciptalah suatu karya sastra yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga bermanfaat-utile et dulce.

(40)

Ide dan pemikiran yang mengalami pengulangan tersebut merupakan hasil perenungan terhadap ‘tanya jawab’ manusia seputar persolan-persoalan absurd yang membelenggu manusia itu sendiri. Oleh karena, adanya kekuatan dalam diri seorang pengarang, ‘tanya jawab’ tersebut mengalami proses kristalisasi, sehingga terujud suatu ide filosofis yang hadir dalam sebuah karya sastra.

Jadi, dalam hal pengungkapan ide dalam suatu karya sastra tidak pernah usang ditelan waktu. Konsekuensi logis dari pada itu, timbul persamaan ide dan pemikiran dari beberapa pengarang yang berbeda zaman.

Dalam hal ini, persamaan ide dan pemikiran juga terdapat pada Ziarah karya Iwan Simatupang dengan Kepundan karya Syafiril Erman. Kedua novel ini memiliki persamaan dalam penghayatan dan pendirian dari kedua pengarangnya terhadap beberapa nilai filsafat eksistensialisme, seperti kebebasan, kemualan dan takut.

Adanya persamaan dalam hal penghayatan ide filosofis dari kedua pengarang ini, juga telah mengklasifikasikan kedua novel ini ke dalam bentuk kesusasteraan Indonesia modern yang beraliran kesadaran-stream of concioussnes. Pertimbangan atas klasisifikasi tersebut didasari dari segi intrinsik sastra kedua novel tersebut yang memang bercirikan kesusasteraan Indonesia modern, sedangkan dari segi ekstrinsik sastra kedua novel ini bertemakan tentang perjuangan manusia dalam pencarian jati dirinya yang merupakan motif-motif dasar atau ‘arus kesadaran’ manusia secara universal

(41)

Hal ini dapat dilihat pada diri beberapa tokoh yang digambarkan sebagai manusia super seperti tokoh bekas pelukis yang dulunya merupakan pelukis terkenal, tokoh opseter pekuburan yang merupakan mahasiswa brilian tingkat doktoral bidang filsafat, tokoh lelaki muda yang ber-IQ 170, dari tokoh perempuan dokter yang merupakan lulusan fakultas kedokteran dengan IPK 4,0.

Berdasarkan beberapa persamaan yang terdapat pada kedua novel ini, dapat diketahui adanya hubungan intertektualitas pada kedua novel tersebut. Hubungan ini terlihat jelas dalam novel Kepundan karya Syafiril Erman. Bahkan, menurutnya novel Kepundan merupakan kesatuan ide dari bentuk trilogi novel Iwan Simatupang seperti Ziarah, Merahnya-merah dan Koong. Pengakuannya ini diungkapkan secara eksplisit dalam karyanya Kepundan. Dalam hal ini tentunya yang menjadi bentuk hipogram adalah ketiga novel karya Iwan Simatupang tersebut dan bentuk transformasinya adalah novel Kepundan karya Syafiril Erman.

Selain itu, dapat pula dilihat persamaan sikap dan penghayatan kedua pengarang ini terhadap beberapa nilai filsafat eksistensialisme yang identik dengan berbagai persoalan atau masalah hidup yang dialami manusia dewasa ini. Berbagai permasalahan yang bersifat absurd seperti kebebasan, perasaan mual dan sebagainya dihadirkan kedua pengarang ini sebagai bentuk protes akan ketidakberdayaan akan menghindari dan menghadapi permasalahan tersebut. Beentuk kompensasi yang timbul dari hal tersebut ialah timbulnya rasa mual yang dialami para tokoh yang terdapat pada kedua novel tersebut.

3.2 Perbedaan

(42)

misteri. Timbulnya perbedaan ini tentulah didasari oleh subjektifitas dari kedua pengarang ini dalam menanggapi nilai filsafat eksistensialisme tersebut. Sudut pandang subjektif ini tentunya juga relevan atau paling tidak dipengaruhi oleh pengalaman hidup, intelektual, emosi dan intuisi dari masing-masing kedua pengarang. Dalam konteks seni dan sastra ini tentu tidak menjadi momok atau tembok penghalang dalam proses penciptaan dan apresiasi, karena seni dan sastra juga mengacuhkan batasan objektif dari para pencipta dan penikmatnya. Jadi, dalam konteks seni dan sastra tidak dipakai ukuran benar dan salah, tetapi diukur dari kemampuan adaptasi para penciptanya terhadap perkembangan zaman dan perkembangan displin ilmu yang relevan dengan seni dan sastra.

(43)

IV.KESIMPULAN DANSARAN

4.1 Kesimpulan

Setelah dilakukan penelitian terhadap Ziarah karya Iwan Simatupang dan Kepundan karya Syafiril Erman tentang nilai filsafat eksistensialisme, maka dapat disimpulkan;

1. Dalam Ziarah karya Iwan Simatupang terdapat nilai filsafat eksistensialisme seperti; kebebasan, kemualan, keterasingan, maut, misteri dan takut. Nilai filsafat

eksistensialisme yang paling dominan dalam Ziarah adalah maut.

2. Dalam Kepundan karya Syafiril Erman juga terdapat nilai filsafat eksistensialisme seperti; kebebasan, kemualan, keterasingan, maut, misteri, dan takut. Nilai filsafat eksistensialisme yang paling dominan dalam Kepundan adalah kebebasan.

3. Persamaan nilai filsafat eksistensialisme yang terdapat pada Ziarah karya Iwan

Simatupang dan Kepundan karya Syafiril Erman ialah; kebebasan, kemualan dan takut. 4. Perbedaan penghayatan terhadap nilai filasafat eksistensialisme pada Ziarah karya Iwan

Simatupang dengan Kepundan karya Syafiril Erman ialah; maut, misteri dan keterasingan.

4.2 Saran

(44)

dan tak terselesaikan. Tidak adanya penyelesaian akan masalah tersebut telah membebani manusia sehingga timbul perasaan mual bagi yang mengalalaminya.

Tanya jawab seputar pencarian eksistensi manusia tidak akan pernah habis, karena hal tersebut merupakan keharusan bagi manusia dalam menjalani hidupnya. Kedua pengarang ini juga senada dalam hal tersebut, bagi mereka manusia adalah mahluk pencari arti akan

‘kehadiran’ manusia itu sendiri di dunia ini. Setiap jawaban yang di dapat atas pertanyaan tersebut tidak akan pernah membuat manusia puas, karena jawaban atas pertanyaan tersebut tidak ditemui pada dunia realitas sebagaimana akar permasalahan tersebut sendiri bersifat absurd. Keharusan dan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi persoalan tersebut, telah

menimbulkan perasaan mual dan terasing bagi manusia dalam menjalani hidupnya.

Kedua novel ini yaitu Ziarah karya Iwan simatupang dan Kepundan karya Syafiril Erman merupakan jenis novel yang beraliran kesadaran. Penghayatan manusia dan segala persoalan hidup yang membelenggunya sangat eksis dalam kedua novel tersebut. Oleh karena itu,

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Harsja W. (Ed.) 1980. Percakapan Dengan Sidney Hook. Jakarta: Jambatan Beerling, dkk. 1990. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: UGM Press

Budiman, Arief. 1976. Chairil Anwar Sebuah Pertemuan. Jakarta : Pustaka Jaya Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusateraan Indonesia Modern. Jakarta : Gramedia Drijarkara.S.J, N. 1978. Percikan Filsafat. Jakarta : Pembangunan

Erman, Syafiril. 2006. Kepundan. Yogyakarta : Bentang Pustaka

Foster, E.M. 1979. Aspek-Aspek Novel (terjemahan). Kuala Lumpur : Dewan Bahasa Hadiwijono, Harun. 2004. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta : Kanisius

Hassan, Fuad. 1973. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta : Pustaka Jaya Jassin, H.B. 1983. Pengarang Indonesia Dan Dunianya. Jakarta: Gramedia.

Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka

Moleong, Lexy.J. 1993. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Peurson, C.H.Van. 1983. Orientasi Alam Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Poedjawijatna, I.R. 1978. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Pembangunan Simatupang, Iwan. 2006. Ziarah. Jakarta : Djambatan

Sitepu, Tabir. 1986. Tesis: “Sistem Semiotik Dalam Stasiun

Toda, Dami. N. 1980. Novel Baru Iwan Simatupang. Jakarta : Pustaka Jaya

Karya Putu Wijaya.” Yogyakarta.

Verhaak, C. 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Gramedia

(46)

L A M P I R A N

1. Ziarah

Sinopsis

Cerita dimulai dengan perasaan terasing dan sunyi yang dialami tokoh bekas pelukis setelah kematian istrinya. Semenjak istrinya meninggal tokoh bekas pelukis melewatkan waktunya di siang hari dengan menatap lama-lama ke inti matahari sehingga matanya merah dan bengkak, selain itu ia juga sering menunggu dan menatap di tikungan dengan harapan bahwa dia akan bertemu dengan istrinya ditikungan itu. Pada malam hari dia pergi ke kedai arak, lalu meminum arak banyak-banyak, meneriakkan dan memanggil istrinya keras-keras, memanggil Tuhan keras-keras, tertawa keras-keras dan menangis sebagai isyarat bagi orang lain yang ada didekatnya untuk menuntun tokoh bekas pelukis agar lekas-lekas pulang ke gubuknya yang mungil.

Sebelum istrinya meninggal tokoh bekas pelukis adalah seorang pelukis yang terkenal, kepopulerannya melukis tidak hanya terkenal di kotanya saja, tetapi sampai ke seluruh penjuru negeri, bahkan di luar negeri sekalipun. Ini diakui banyak kalangan, baik kalangan wartawan, para pelukis, bahkan para kritukus seni terkenal yang kritik dan ulasannya mengenai seni sudah tidak terhitung jumlahnya.

(47)

Setelah istrinya meninggal, ia membuang semua lukisan dan peralatan lukisnya ke laut. Semua hal yang berhubungan dengan melukis di buangnya jauh-jauh. Selain itu ia juga sudah bersumpah pada dirinya untuk tidak menerima pekerjaan yang menghabiskan waktu lebih dari lima jama sehari. Dan ia akan lebih menolak lagi diberi pekerjaan yang berhubungan dengan kematian, sedangkan pekerjaan yang paling disukai tokoh bekas pelukis adalah mengecat. Ia akan menerima dengan senang hati apabila ada yang menawarkannya untuk mengecat, asal tidak lebih dari, lima jam sehari.

Pada suatu hari tokoh bekas pelukis bertemu dengan tokoh opseter pekuburan di tengah jalan. Tokoh opseter pekuburan ini merupakan opseter pekuburan yang baru pengganti opseter pekuburan yang lama, yang tewas gantung diri di rumah dinasnya. Tokoh opseter pekuburan yang baru ini adalah putra seorang pengusaha kaya raya di kota P dan merupakan mahasiswa brilian tingkat doktoral bidang filsafat. Ia menerima pekerjaannya yang baru sebagai opseter pekuburan setelah membaca iklan lowongan pekerjaan di Balai Kota. Lalu ia melamar dan selanjutnya diterima sebagai opseter pekuburan yang baru.

Dari kejauhan tokoh bekas pelukis sudah melihat kedatangan tokoh opseter pekuburan. Hatinya sedikit gusar berhadapan dengan tokoh maut ini. Ia tidak pernah suka dengan orang-orang yang lapangan pekerjaannya mengurusi dan berhubungan dengan kematian.

(48)

pekuburan tiba-tiba badan tokoh bekas pelukis menggigil, darahnya mengalir kencang dan dirinya merasakan beribu anak panah menghujam tubuhnya, lalu Ia berlari dan berteriak kencang, diikuti oleh tokoh opseter pekuburan yang ikut berlari karena keheranan .

Setelah tokoh bekas pelukis sadar dan berhenti dari larinya. Tokoh bekas pelukis menerima tawaran tokoh opseter pekuburan dengan syarat tokoh bekas pelukis hanya bekerja lima jam sehari, tidak boleh lebih. Tokoh opseter pekuburan menerima syarat yang diajukan tokohbekas pelukis, lalu mereka sepakat.

Kata orang isteri tokoh bekas pelukis sudah mati dan jasadnya dikuburkan di komplek pekuburan kota P. Tokoh bekas pelukis menerima semua itu dengan arti (mati) sebagai suatu ‘ketiadaan’ yang juga merupakan ‘ada’ dari adanya ‘ketiadaan’ Istrinya yang ia peroleh setelah percobaan bunuh diri yang dilakukannya merupakan wanita yang cantik menurut ukuran tokoh bekas pelukis. Letak kecantikan istrinya ialah karena tokoh bekas pelukis tidak tahu dan juga tidak mau tahu tentang istrinya itu. Ia tidak tahu nama istrinya ? keturunan siapa Dia ? Bahkan Ia juga tidak pernah memanggil istrinya dengan panggilan sayang, mama, manis, kata ganti orang I, kata ganti orang II atau kata ganti orang III. Dan istrinya sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Sikap menerima itu pulalah yang membuat tokoh bekas pelukis cinta kepada istrinya.

Tetapi sekarang istrinya telah mati, dan jasadnya ada di bawah tanah komplek pekuburan. Dan Ia pun tidak pernah ziarah ke makam istrinya. Semenjak itu ia menjadi benci dan tidak menyukai semua hal-hal yang berhubungan dengan kematian, termasuk pula komplek pekuburan dan tokoh opseter pekuburan.

(49)

tidak mau menerima tawaran itu. Kalaupun mau, pastilah tokoh opseter pekuburan akan menyaksikan reaksi dan penderitaan yang luar biasa dari tokoh bekas pelukis . Dan ini merupakan kesenangan sendiri bagi tokoh opseter pekuburan.

Tetapi apa yang diharapkan tokoh opseter pekuburan tidak sesuai dengan kenyataannya. Tokoh bekas pelukis menerima tawaran tokoh opseter pekuburan. Dalam proses pengerjaannya pun tokoh opseter pekuburan tidak melihat gejala-gejala atau pun reaksi berlebihan dari tokoh bekas pelukis. Semuanya biasa saja, tidak ada yang aneh. Berjam-jam tokoh opseter pekuburan mengawasi tokoh bekas pelukis mengecat tembok pekuburan dari dalam rumah dinasnya melalui lubang kunci, sampai-sampai mata tokoh opseter pekuburan bengkak dan berair.

Tidak ada hal aneh yang terjadi pada diri tokoh bekas pelukis. Bahkan gejala-gejala akan terjadi hal aneh juga tidak tampak. Oleh karena itu seluruh kota menjadi geger dan kacau. Ini dikarenakan ketidakanehan itu justru menjadi keanehan tersendiri bagi mereka, sehingga banyak dari warga kota P menjadi gila karena peristiwa ini.

Tokoh opseter pekuburan frustasi dan kecewa, karena ia telah gagal. Ia telah gagal dengan rencananya. Ia telah membuang-buang waktunya di komplek pekuburan itu. Dendam pribadinya tidak terlaksana, sehingga ia memutuskan untuk menggantung diri, sama persis seperti opseter pekuburan yang lama. Lalu ia tewas dan jabatan Opseter Pekuburan pun lowong. Dan tokoh bekas pelukis memutuskan untuk melamar pekerjaan itu sebagai Opseter Pekuburan yang baru.

Selesai.

2. Kepundan

(50)

Cerita dimulai dengan suatu peristiwa demonstrasi di sebuah kota lalu plot dalam cerita itu berkembang dan melompat ke dalam situasi yang mencekam. Dalam situasi yang mencekam tersebut, tergeletak seorang pemuda dalam keadaan sekarat menanti ajal, akibat luka tembak di dadanya. Pemuda yang sekarat itu di kenal sebagai pemuda Tarka oleh warga sekitar tempat tinggalnya.

Disamping tubuh tokoh pemuda Tarka, duduk bersimpuh seorang pemuda lain yang dikenal dengan tokoh lelaki muda dan seorang perempuan yang berprofesi sebagai dokter yang dipanggil perempuan dokter Kedua orang ini tampak sedang merawat tokoh pemuda tarka yang dalam kondisi sekarat.

Selanjutnya cerita mengalami kemunduran, mengisahkan kembali tentang riwayat hidup ketiga tokoh tersebut masing – masing. Tokoh lelaki muda dalam novel Kepundan merupakan seorang pemuda yang pintar dan jenius. Masa kecilnya yang suram telah pula mewarnai dan mempengaruhi perilaku dan kehidupan dari tokoh lelaki muda tersebut. Di kalangan masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggalnya, Ia dikenal sebagai pribadi yang tertutup dan sering bertingkah aneh. Di lingkungan sekolah, para guru dari murid lainnya mengenal tokoh lelaki muda sebagai murid yang pintar dan sering membuat heboh di lingkungan sekolah.

(51)

Meskipun begitu, tokoh lelaki muda tidak peduli dan merasa tidak perlu menanggapi anggapan masyarakat tentang Dia. Baginya kegiatan yang dicap aneh oleh masyarakat itu adalah suatu perenungan (kontemplasi) dalam merenungi kehidupan dan akan adanya ke ‘Tuhan’ an.

Sedangkan tokoh perempuan dokter adalah putri dari seorang konselor sekolah tempat tokoh lelaki muda bersekolah. Tokoh konselor sekolah ini adalah seorang yang naïf sekali. Setelah lepas jabatannya sebagai konselor sekolah, Ia selanjutnya menjabat sebagai penasihat militer dalam sebuah operasi militer.

Kepribadian tokoh perempuan dokter dengan sang ayah (konselor sekolah / penasihat militer) tampak berbeda sekali. Tokoh perempuan dokter yang merupakan lulusan terbaik dengan IPK 4,0 Fakultas Kedokteran di sebuah Universitas ternama, lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi dalam bertugas sebagai seorang dokter sangat berbeda dengan karakter ayahnya yang selalu fokus pada kepentingan pribadinya.

Sifat naïf konselor sekolah dan rasa curiga nya kepada tokoh lelaki muda, telah pula menyeret tokoh konselor sekolah terlibat secara langsung dalam setiap peristiwa yang terjadi pada tokoh lelaki muda. Rasa curiga dan penasaran terhadap tokoh lelaki muda mendorong tokoh konselor sekolah untuk menyelidiki tokoh lelaki muda lebih jauh lagi dengan bantuan tokoh pemuda tarka. melalui tipu muslihatnya tokoh konselor sekolah berhasil memperdaya tokoh pemuda tarka.

Tokoh pemuda tarka ini adalah seorang yang oportunis dan sangat terobsebsi akan tujuannya. Hal itulah yang di manfaatkan oleh tokoh konselor sekolah, sehingga tokoh pemuda tarka menerima tugas yang diberikan oleh tokoh konselor sekolah pada dirinya.

(52)

perubahan yang radikal pada diri mereka masing-masing perubahan redikal ini terjadi akibat adanya peristiwa-peristiwa besar pada hidup mereka sehingga mereka sadar akan eksistensi mereka dan eksistensi.Tuhan yang bersifat transeden.

Tokoh lelaki muda yang semasa hidupnya telah mengutuk bahwa ‘Tuhan telah mati’ sebagai bentuk kompensasi atas ketidakadilan yang didalamnya telah menjadi insaf dari sadar akan eksistensi dan kebesaran Tuhan. Semua itu terjadi setelah pertemuan mereka bertiga di hutan. Pada saat itu tokoh lelaki muda menjadi buronan tokoh penasihat militer. Tokoh lelaki muda menjadi buronan karena dirinya dianggap menjadi otak atau dalang kerusuhan besar yang terjadi di kota. Dalam pelariannya tokoh lelaki muda bertemu dengan seorang wartawan yang profesional dan idealis. Wartawan itu dikenal oleh tokoh lelaki muda sebagai lelaki keriting. Kepada tokoh lelaki keriting, tokoh lelaki muda membeberkan seluruh kebenaran seputar terjadinya kerusuhan di kota. Tokoh lelaki muda mengatakan bahwa dirinya telah di kambing hitamkan oleh tokoh penasihat militer. Bahkan Ia juga menegaskan bahwa dalang dari kerusuhan itu adalah tokoh penasihat militer. Tokoh penasihat militer sengaja melakukan semua itu, untuk mengeliminasi atau mengasingkan diri tokoh lelaki muda.

(53)

Tokoh pemuda tarka yang dulunya bersifat oportunis dan temperament (bermental rendah). Setelah pertemuannya dengan tokoh lelaki muda tiba – tiba berubah total menjadi orang yang berkepribadian kuat, bermental baja, cerdas dan sedikit egois, sehingga tidak bisa diperdaya lagi oleh tokoh penasihat militer.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel jumlah penduduk, tingkat pendidikan, pertumbuhan ekonomi dan inflasi terhadap tingkat pengangguran di Kabupaten

Temuan hasil penelitian yakni perangkat pembelajaran yang dikembangkan dapat dideskripsikan bahwa: (1) perangkat pembelajaran yang dikembangkan berupa silabus, RPP,

Nilai kebersamaan budaya pokadulu (kerja sama) berperan memberikan pelayanan dengan membangun suasana memahami dan mengerti akan kebutuhan seluruh warga sekolah, yang

[r]

Game edukasi tebak gambar bendera ini dibuat untuk dapat membantu anak-anak dalam mengenal bendera negara yang ada didunia. Dalam proses penyampaian informasi edukasi

menggalakan yang dibentuk dari kelas kata dan imbuhan yang sama dengan ketiga kata di atas, tidak memiliki makna seperti ketiga kata tersebut; sebab bukan. bermakna’membuat

According to the matters that have been elaborated in the above paragraphs, they show that the regulation regarding a dispute whose object is a positive KTUN provides more

[r]