• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perayaan Waisak di Indonesia Pada Mulanya

Dalam dokumen Nasional di Candi Borobudur (Halaman 44-49)

BAB II: PUJA WAISAK: MAKNA, RITUAL DAN PERAYAANNYA

E. Perayaan Waisak di Indonesia Pada Mulanya

Perayaan Waisak di awal-awal tumbuh kembangnya kembali agama Buddha di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari peran para teosof. Para penggiat Teosofi yang tergabung dalam Perhimpunan Teosofi dipelopori oleh E.E Power, Josias Van

Deist, Kwee tek Hoay, dan Mengelaar Meerteens adalah orang-orang yang menggali kembali ajaran Buddha. Mereka mendirikan “Java Umat Buddhat Association”

sebagai cabang dari International Umat Buddhat Mission yang berpusat di Myanmar9. Perkumpulan teosofi inilah yang kemudian menjadi cikal bakal organisasi Umat Buddha di Indonesia.

Penemuan candi Borobudur oleh Stamford Rafles dan candi-candi Umat Buddha yang lain semakin memberi motivasi para teosof untuk lebih menggali ajaran Buddha. Situs-situs candi bukan saja dikagumi oleh para penggiat teosofi namun juga dipergunakan sebagai tempat untuk menyepi dan bermeditasi melaksanakan ajaran Buddha. Pada hari-hari penting dalam agama Buddha seperti Waisak, para teosof dan umat Buddha di sekitar Magelang dan Yogyakarta mengadakan kegiatan ‘tirakatan wungon purnomosiden’ (bhs. Jawa) secara leksikal diartikan sebagai berjaga di malam bulan purnama. Hal ini dikarenakan perkembangan agama Buddha saat itu belum begitu menonjol. Iem Brown (dalam Martin Ramsted, 2005:47) mengatakan:

“...And when Waisak was observed at the great temple of Borobudur for the first time in the modern era on 20 May 1932, the ceremonies were conducted by the Theosophical Society. It was not until 1934 that the ceremony was first performed by Buddhists“.

Jadi pada awalnya bukanlah komunitas Umat Buddha yang menginisiasi Waisak di Borobudur namun para teosof. Event tirakatan wungon purnomosiden

inilah yang kemudian menjadi agenda rutin tahunan, dan ketika telah dikenal di masyarakat kegiatan ini dijadikan sebagai perayaan Waisak (Astuti, 1998:38).

9Jayamedho. 2011. Menapak Pasti Kisah Spiritual Anak Madura. Cenas: Jakarta hlm 81-82

Perubahan perayaan Waisak dari yang bersifat meditatif menjadi seremonial berlangsung pada tahun 1953. Perayaan Waisak yang besar ini adalah kali pertama, dan sering disebut sebagai penanda eksistensi dan kebangkitan kembali umat Buddha di Nusantara. Perayaan dipelopori oleh Tee Boan An, seorang penggiat Umat Buddhame dari Indonesia yang banyak belajar di Belanda. Ia juga merupakan ketua organisasi Sam Kauw Hwee Indonesia (tiga ajaran: Umat Buddhame, Konfusianisme, Taoisme). Ia kembali ke Indonesia dan memutuskan untuk menjadi samanera (calon bhikkhu) dalam tradisi Mahayana pada tahun 1953. Samanera Tee Boan An setahun kemudian menjadi bhikkhu dengan tradisi Theravada pertama dari Indonesia pasca bangkitnya kembali agama Buddha di Nusantara.

Setelah perayaan Waisak yang besar pada tahun 1953, tahun 1956 kembali digelar Perayaan Waisak. Waisak kali ini cukup monumental karena bertepatan dengan usia agama Buddha ke 2500 (Buddhajayanti10) dan peringatan perayaan Waisak dunia ke 2500. Event Waisak pada tahun 1956 ini diselenggarakan oleh Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI). Organisasi ini mempunyai jaringan yang cukup kuat di Indonesia dan dengan agama Buddha Internasional. Hal ini terbukti dengan diterbitkannya buku “2500 Buddha Jayanti” oleh PUUI dengan kontributor artikel adalah orang-orang ternama seperti PM India Jawaharlal Nehru, Prof Dr. G.P. Malalasekera Presiden World Fellowship of Umat Buddhats, Dr. Luang Suriyabongs dari Bangkok dan Mademoiselle G. Constant Lounsbery, B.Sc. ketua

‘Les Amis Du Bouddhisme’ Paris Perancis.

10Buddhajayanti adalah event untuk mengenang kemunculan Buddha yang dhitung dari tahun 544 S.M., tahun dimana Buddha wafat.

Setelah Waisak tahun 1953 dan 1956, Waisak yang cukup monumental juga pernah terjadi pada tahun 1959 pada waktu itu pada peringatan Waisak tahun 1959 dilakukan pentahbisan bhikkhu dan samanera11 dari Indonesia untuk pertama kali dalam sejarah sejak kebangkitan kembali agama Buddha di Nusantara. Acara perayaan Waisak dimulai dari persembahyangan yang diadakan di candi Mendut kemudian melakukan prosesi berjalan kaki dengan membawa barang-barang persembahan seperti bunga, lilin, dupa, bunga menuju ke candi Borobudur. Sesampai di candi Borobudur melakukan puja pradaksina (mengelilingi stupa utama Borobudur sebanyak tiga kali searah jarum jam) dan bermeditasi hingga melewati detik-detik Waisak12.

Selain upacara ritual perayaan Waisak, ada berbagai kesenian masyarakat yang digelar di seputaran candi Borobudur. Hal ini dikatakan oleh seorang non Umat Buddha Mualim M Sukethi di laman blognya yang menceritakan Waisak pada tahun 1960-1970an.

“Ketika kecil, tahun 1960-70-an, saya termasuk anak yang selalu menanti-nanti perayaan Waisak. Saat itu pemahaman tentang perbedaan agama belum merasuk benak anak-anak. Sehingga saya bisa menerima perayaan Waisak seperti halnya menghadapi perayaan Lebaran Iedul Fitri. Dalam benak saya saat itu, Waisak identik dengan perayaan alias pesta desa. Ada ribuan manusia berkumpul, ada prosesi ribuan obor, ada upacara meriah, tontonan bermacam-macam kesenian, hingga berbagai jajanan di sekitar candi Mendut dan Borobudur”. ( http://borobudurlinks.blogspot.co.id/2012/06/rindu-Waisak-kultural.html diakses pada 13 Juni 2014)

Syamsudin Abdullah (1973: 36-37) mencatat bagaimana perayaan Waisak 2517 tahun 1973 dirayakan oleh umat Buddha di candi Mendut dan Pawon. Pada saat

11Bhikkhu adalah pemuka agama Buddha atau dalam bahasa yang lebih umum disebut biksu dan panggilannya Bhante, sedangkan samanera adalah status sebelum menjadi bhikku atau calon bhikkhu.

12Jayamedho. 2011. Menapak Pasti Kisah Spiritual Anak Madura. Cenas: Jakarta hlm 90-92

itu Waisak tidak dirayakan di candi Borobudur. Perayaannya terdiri dari pengambilan air Waisak (air kramat) dari sumber “Umbul Tingal” yang tidak jauh dari candi Mendut, kemudian dibacakan do’a Paritta oleh Bhikkhu dan disemayamkan untuk dikeramatkan di candi Mendut. Pada hari Waisak ini para bhikkhu membaca paritta13 di dalam candi Mendut kemudian bersama-sama melakukan meditasi dan dilanjutkan persembahyangan dengan pembacaan Paritta kembali. Selesai upacara di candi Mendut para bhikkhu dan beberapa umat awam menuju candi pawon dan melakukan upacara persembahyangan di candi Pawon. Sekitar 150 orang berbaris dari candi Pawon dengan membawa bendera dan alat-alat musik tetabuhan berjalan melakukan prosesi berjalan dengan kaki telanjang menuju candi Mendut14.

Barisan prosesi kemudian melakukan pradaksina mengelilingi candi Mendut sebanyak tiga kali, lalu salah seorang Bhikkhu menyalakan lilin dan dupa sebagai tanda dimulainya upacara kebaktian, sedangkan beberapa bhikkhu menuju bilik di candi Mendut. Upacara dilanjutkan dengan pembacaan paritta-paritta sampai datangnya detik-detik Waisak. Pada detik-detik Waisak umat dan bhikkhu melakukan meditasi saat bulan purnama sempurna. Selesai bermeditasi, seorang bhikkhu yang telah ditugaskan kemudian memberikan wejangan Dharma. Upacara dilanjutkan dengan pemberkahan air keramat kepada para umat oleh para bhikkhu kemudian upacara ditutup dengan menyembah patung Buddha dan para bhikkhu kembali ke vihara Mendut.

13Paritta adalah kalimat-kalimat perlindungan dalam bahasa Pali yang biasa dibaca pada saat umat Buddha khususnya aliran Theravada.

14Abdullah, Syamsudin. 1973. Perayaan Waisak 2517 di Candi Mendut. Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga: Jogjakarta Hlm. 37

Dalam dokumen Nasional di Candi Borobudur (Halaman 44-49)

Dokumen terkait