• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waisak di Yogyakarta sebuah War of Position

Dalam dokumen Nasional di Candi Borobudur (Halaman 100-125)

BAB IV: PENOLAKAN MASYARAKAT BUDDHIS KASI TERHADAP

B. Waisak di Yogyakarta sebuah War of Position

Waisak sebagai komoditas yang dapat menghasilkan pendapatan besar melalui Candi Borobudur dan eventnya. Kebijakan tetap memberlakukan tiket masuk dan membuka akses bagi semua pengunjung terutama pada hari Waisak adalah tanda-tanda telah dikomodifikasikannya puja Waisak. Banyak orang di luar Umat Buddha mungkin tidak menduga bahwa umat Buddha dalam mempergunakan Candi Borobudur tetap diharuskan membayar tiket masuk.

Pada posisi ini umat Buddha tidak mempunyai daya tawar yang kuat dan dengan terpaksa harus ‘berdamai’ menerima hegemoni kebijakan negara dan korporasi soal penyelenggaraan Waisak. Sebagian umat Buddha menerima kebijakan itu karena merasa bahwa sudah sepantasnya umat Buddha yang sering mengklaim Candi Borobudur adalah milik umat Buddha mempunyai kontribusi terhadap pemeliharaan candi. Ditambah lagi persoalan internal umat Buddha yang sulit bersatu tidak mampu menjadi kekuatan untuk mendesak negara dan korporasi membuat kebijakan baru yang lebih menghargai ibadah rakyat kecilnya.

Waisak dengan skala kecil-kecil namun lebih dirasakan sakral dan memberi manfaat dalam kehidupannya.

Di awal-awal pecahnya WALUBI dan KASI, masyarakat Yogyakarta terutama masyarakat Umat Buddha Theravada dan Buddhayana mengadakan perayaan-perayaan Waisak tandingan untuk memperlihatkan eksistensi mereka.

Umat Buddha dari kelompok Buddhayana dan Theravada di Yogyakarta menjadi motor penggerak perayaan Waisak selain di vihara-vihara di Yogyakarta dan Candi Sewu

Adapun aktifitas perayaan Waisak di Yogyakarta sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap perayaan Waisak di Borobudur adalah sebagai berikut:

1. Umat Buddha di bawah organisasi KASI di wilayah Sleman yaitu umat Vihara Dharmavijaya Berbah, umat dari Cetiya Buddhakirti dan Umat Vihara Karangdjati mengadakan persembahyangan detik-detik Waisak di Vihara Karangdjati. Perayaan Waisak dengan acara yang sederhana yaitu puja bhakti, meditasi detik-detik Waisak, pembacaan pesan Waisak dari KASI oleh ketua Vihara, potong tumpeng dan acara keakraban seperti pemberian hadiah-hadiah untuk umat yang telah mengikuti kegiatan-kegaiatan yang diadakan Vihara Karangdjati menjelang perayaan Waisak.

Tri Widiyanto, salah satu pengurus Vihara Karangdjati mengatakan bahwa vihara tidak boleh kosong pada saat hari perayaan Waisak, beliau mengatakan:

“banyak juga orang Jogja seperti para mahasiswa yang tidak pergi ke Borobudur atau ke candi Sewu dan lebih suka puja bakti di Vihara ini jadi ini semakin memantapkan pengurus vihara untuk tetap mengadakan perayaan di vihara sendiri. Para umat juga merasa lebih nyaman merayakan Waisak sederhana di Vihara Karangdjati ini”

(Wawancara, Tri Widiyanto, 2 Juni 2015).

Kehadiran para mahasiswa sebagai simbol hadirnya komunitas intelektual yang mampu berfikir lebih daripada umat Buddha biasa merupakan point penting dalam simbol perlawanan terhadap apa yang WALUBI lakukan dalam perayaan Waisak di Candi Borobudur. Kesederhanaan dan kesakralan puja Waisak adalah bagian penting dalam perayaan Waisak. Namun hal ini jauh dari apa yang dibayangkan umat Buddha di Candi Borobudur. Komunitas intelektual muda melihat hal tersebut dan mendukung apa yang dilakukan masyarakat Umat Buddha di Vihara Karangdjati.

1. Umat Buddha dari Vihara Vidyaloka yang merupakan binaan dari Sangha Theravada Indonesia (STI) melakukan perayaan Waisak dengan menggelar Puja Bakti detik-detik Waisak di Vihara Mendut Magelang. Ketika di Candi Mendut dipakai untuk perayaan Waisak oleh WALUBI dengan hiruk pikuknya, para umat dari Vihara Vidyaloka Yogyakarta bersama umat Buddha di Magelang, Muntilan dan beberapa umat dari Parakan melakukan ritual sederhana di Vihara Mendut yang berada persis di belakang Candi Mendut. Menurut salah satu bhikkhu di Vihara Mendut Bhikkhu Jotidhammo banyak umat Buddha yang ikut Puja Bhakti detik-detik Waisak di Vihara Mendut antara lain umat dari Yogya, Semarang, Kudus, dan Muntilan bahkan banyak pula peserta Waisak Nasional dari WALUBI yang juga ikut

puja bakti. Metta salah satu umat Vihara Vidyaloka mengakui selain karena lebih sakral dan khidmad karena dipimpin bhikkhu senior, umat juga lebih suka ikut puja bhakti di Vihara Mendut karena sekalian menonton perayaan Waisak di Candi Mendut:

“...karena Bhante Joti pembina kita maka kita ikut puja bakti Waisak di Vihara Mendut, biasanya bhante yang mimpin detik-detik Waisak.

Sebelum puja bakti detik-detik kami juga sekalian bisa nonton hiruk pikuknya orang merayakan Waisak di Candi Mendut. Kalau lagi sembahyang bersama ramai sekali dari berbagai sekte ada jadi kami bisa nonton cara sembahyangnya sekte lain” (Metta, wawancara, 7 Juni 2015)

Bhante30Joti (Jotidhammo Mahathera) adalah seorang bhikkhu senior dalam Sangha Theravada Indonesia. Beliau sempat menjadi ketua umum (Sanghanayaka) Sangha Theravada Indonesia pada periode 2009-2016.

Beliau juga sangat mengerti tentang perjalanan WALUBI dan proses-proses penyelenggaraan Waisak di candi Borobudur. Selain sebagai bhikkhu beliau adalah pengajar (dosen) di Lembaga Pabbajja Samanera (LPS)31 Mendut, dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra Semarang, dosen tamu pada Center For Religius and Cross Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM). Bhikkhu Jotidhammo berdomisili di Vihara Mendut Magelang tetapi membina secara khusus organisasi pemuda Vidyasena di Vihara Vidyaloka.

30Panggilan untuk seorang Bhikkhu

31Sekolah untuk para samanera (calon bhikkhu) pada Sangha Theravada Indonesia (STI)

Metta sebagai salah satu informan merupakan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Yogya dan merupakan anggota Vidyasena. Bhikkhu Jotidhammo dan Vihara Mendut memang tidak pernah mengundang umat binaannya untuk hadir pada puja bakti detik-detik Waisak, mereka hadir dengan sendirinya. Ini menunjukkan bahwa Vihara Mendut dan Bhikkhu Jotidhammo serta bhikkhu-bhikkhu yang tinggal di Vihara Mendut mempunyai kepemimpinan moral dan intelektual sehingga dengan kesadarannya masyarakat Umat Buddha di bawahnya hadir bersama-sama melakukan puja di Vihara Mendut yang jelas posisinya dekat dengan perayaan Waisak Nasional. Mereka yang hadir di Vihara Mendut mengambil jarak dengan Waisak Nasional dan memperlakukan Waisak Nasional tak lebih sebagai tontonan belaka.

2. Umat Buddha di wilayah Kabupaten Kulon Progo merupakan binaan STI dan MAGABUDHI di bawah organisasi KASI. Mereka terdiri dari 5 vihara 1 cetiya, kurang lebih 1000 umat Buddha berada di wilayah Kabupaten Kulon Progo ini. Dalam perayaan Waisak mereka mengadakan acara Waisak di vihara masing-masing. Mereka menyambut Waisak dengan berbagai macam kegiatan misalnya nyekar di makam keluarga, bakti sosial bersih lingkungan, pengambilan air di sumber-sumber mata air dekat vihara, puja bakti selamatan dan kenduri Waisak, serta puja bakti detik detik Waisak.

Tahun 2016 misalnya Waisak di Kulon Progo dirayakan secara besar bahkan telah dilakukan sebulan sebelum hari Waisak tiba. Umat Buddha Kulon Progo adalah umat Buddha dari suku Jawa sehingga dalam merayakan

Waisak unsur budaya Jawa sangat kental. Upacara ritual seperti kirab amisa puja, tirta amerta, kenduri Waisak dan puja mangala Waisak dilakukan dengan tradisi Jawa baik pakaian ritual, bahasa maupun sesajiannya.

Vihara Giriloka misalnya, sebagai pusat kegiatan pada Waisak 2560 tahun 2016 mengangkat tema “memayu hayuning bawana lumantar laku welas asih”. Menurut Sumartini sebagai salah satu pencetus tema mengatakan bahwa Waisak mestinya bukan hanya sebagai ajang unjuk eksitensi umat Buddha saja namun harus mampu menjadi momentum umat Buddha untuk sadar diri menjadi bagian alam semesta yang harus senantiasa memberi manfaat bagi alam semesta.

Salah satu acara besar yang diselenggarakan dalam rangka menyambut hari Waisak di Kulon Progo pada tahun 2016 adalah “Tri Buana Manggala Bhakti” yaitu wujud bakti pada alam dengan penanaman pohon di pegunungan Menoreh, pelepasan satwa ikan dan burung di Taman Sungai Mudal Jatimulyo. Menurut Surahman salah satu penggagas acara ini mengatakan:

“Tri Buana Manggala Bakti mengandung makna bahwa sebagai umat Buddha perlu berkontribusi pada pelestarian alam semesta seperti pelestarian mata air dengan penanaman pohon, pelepasan berbagai jenis burung dan ikan. Jika di Borobudur mereka menerbangkan lampion dalam jumlah banyak yang justru mengotori udara, kita disini berusaha untuk menjaga kualitas udara dengan menanam pohon”.(Surahman, wawancara,16 Mei 2016)

Gagasan baru yang diusung oleh masyarakat Umat Buddha di Jatimulyo Kulon Progo dalam perayaan Waisak merupakan bentuk ekspresi perayaan

Waisak yang lebih substansial dibandingkan dengan perayaan-perayaan yang bersifat seremonial. Sepertri telah diuraikan bahwa puja (khususnya patipati puja) yang paling tinggi adalah praktik Dharma yang diajarkan oleh Buddha.

Nilai-nilai harmoni terhadap alam, cinta kasih dan kepedulian terhadap penderitaan telah diusung dalam kegiatan Wiasak oleh masyarakat Umat Buddha di Jatimulyo. Dengan tegas dikatakan oleh Surahman dalam wawancara tersebut bahwa pesta lampion yang begitu indah dan memukau wisatawan di Candi Borobudur justru bukanlah cerminan ajaran Buddha. Penanaman pohon, pelepasan satwa dan pelestarian sumber mata air menjadi sebuah counter apa yang dilakukan oleh WALUBI yaitu event lepas lampion.

Secara umum jika kita tarik benang merah umat Buddha aliran Theravada di bawah binaan MAGABUDHI dan STI lebih menekankan perayaan Waisak pasca pecahnya WALUBI-KASI dengan melakukan ritual Waisak di Vihara masing-masing. Hal ini juga tidak lepas dari himbauan yang pernah dilakukan oleh Pengurus Pusat MAGABUDHI melalui surat edaran kepada umat Buddha di bawah binaan Theravada Indonesia untuk lebih memberdayakan kegiatan di Vihara masing-masing dalam merayakan Waisak.

Perayaan Waisak yang justru dikelola oleh umat Buddha sendiri di Kulon Progo ini justru lebih membuat umat Buddha lebih merasakan makna Waisak.

Hal ini diungkapkan oleh Ibu Satimah salah satu umat Buddha di Vihara Giriloka:

“kalau dulu Waisak kita sering disuruh ke Borobudur, harus berangkat pagi-pagi pulang sore sampai malam ya memang senang karena bisa berkumpul dengan umat Buddha dari berbagai daerah, tapi kalau masalah

makna Waisaknya kita lebih sakral di sini (di vihara) kita bisa benar-benar bermeditasi Waisak dan bisa saling mengucapkan Waisak bersama umat disini rasanya lebih indah”. (Satimah, wawancara, 22 Mei 2016) Pernyataan Satimah seorang warga umat Buddha di Jatimulyo dalam wawancara ini semakin mempertegas pentingnya suasana sakral dalam puja Waisak. Ketika sebuah institusi (panitia) tidak mampu menciptakan kesakralan dalam suatu ritual upacara maka biasanya para umat akan mencari dan memilih perayaan mana yang bisa memberikan makna mendalam dalam suatu uapacara ritual Waisak.

3. Perayaan hari raya Asadha di Candi Borobudur oleh KBTI

Kerinduan masyarakat Umat Buddha di bawah kelompok Theravada Indonesia terhadap ritual Waisak di Candi Borobudur akibat dominasi WALUBI nampaknya ditangkap oleh para petinggi Keluarga Umat Buddha Theravada Indonesia (KBTI). KBTI membuat acara ritual keagamaan hari raya agama Buddha yang lain di Candi Borobudur. Selain Waisak dalam agama Buddha terdapat juga hari raya Asadha, Kathina dan Maghapuja. KBTI memilih hari raya Asadha untuk dirayakan di Candi Borobudur. Asadha merupakan hari raya untuk memperingati pertama kali Buddha Gautama memberikan ajaran Dharma kepada lima orang murid pertama. Asadha dirayakan dua bulan setelah Waisak.

Mulai tahun 2015 Sangha Theravada Indonesia dengan didukung oleh organisasi Theravada lainnya menyelenggarakan perayaan Asadha di Candi Borobudur. Acara juga dirangkai dengan pembacaan Tipitaka kitab agama Buddha selama tiga hari dan pada puncaknya melaksanakan Puja bakti Asadha

dengan diawali prosesi layaknya Waisak dari candi Mendut menuju ke candi Borobudur.

Perayaan Asadha ini selain sebagai bentuk perlawanan terhadap WALUBI juga bisa kita pandang sebagai bentuk negosiasi terhadap komunitas umat Buddha Theravada supaya dapat kembali merasakan kesakralan Candi Borobudur. Dengan basis massa yang cukup besar acara perayaan Asadha. Ini merupakan war of position KBTI terhadap WALUBI. Jika para intelektual KBTI mampu menjaga hegemoni maka bukan tidak mungkin bahwa medan eksistensi akan bergeser ke KBTI.

4. Waisak Nasional Candi Sewu Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI)

Perayaan Waisak yang cukup besar di sekitaran Yogyakarta adalah Waisak yang digelar oleh Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI). Umat Buddha dari Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta yang terdiri dari 9 vihara dengan jumlah umat yang cukup banyak bersama ribuan umat Buddha dari berbagai wilayah di Indonesia khususnya Jawa Tengah dan DIY,turut serta dalam perayaan Waisak di Candi Sewu ini.

Inilah kegiatan perayaan Waisak yang dapat dikatakan sebagai Waisak Nasional tandingan dari Waisak Nasional Candi Borobudur. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI) mengambil tempat pelaksanaan, ritual dan seremonial serta melihat jumlah massa pesertanya. Dari tempat pelaksanaanya, perayaan ini dilaksanakan di kompleks Candi Sewu yang merupakan salah satu Candi Buddha terbesar kedua setelah Borobudur. Dari ritual dan seremonialnya sangat mirip dengan apa yang dilaksanakan di Candi

Borobudur seperti ritual mengambil api, air, prosesi mengarak amisa puja, detik-detik Waisak hingga Dharmasanti. Dari jumlah massa pesertanya, Waisak di Candi Sewu juga melibatkan ribuan peserta yang bukan hanya dari umat Buddha Yogjakarta dan Jawa Tengah saja namun juga dihadiri dari umat Buddhayana dari berbagai daerah. Demikian pula pendukung acara ini tidak hanya dari Yogyakarta saja namun juga didukung oleh Keluarga Buddhayana dari pusat (Jakarta).

Perayaan Waisak di Candi Sewu dimotori oleh Bhikkhu dari Wonosari Yogyakarta Sasana Bodhi Thera. Beliau adalah seorang bhikkhu pembina Sangha Agung Indonesia (SAGIN) wilayah Yogyakarta yang juga merupakan pembina di Vihara Jina Dharma Sradha Wonosari Gunung Kidul. Selain sebagai bhikkhu pembina Buddhayana di Yogyakarta, Bhante Sasana Bodi juga merupakan mantan ketua sekolah tinggi agama Buddha di Boyolali yaitu STIAB Smaratungga Boyolali. Hal ini menjadi modal sosial bagi Bhikkhu Sasana Bodhi untuk dapat menyelenggarakan Waisak Nasional di Candi Sewu. Dalam kacamata Gramsci, Bhikkhu Sasana Bodhi adalah intelektual organik yang mempunyai pengaruh besar berlangsungnya Waisak Nasional di Candi Sewu.

Waisak di Candi Sewu mulai berlangsung sejak tahun 2004 sebagai respon keterbelahan organisasi KASI dan WALUBI yang berimbas pada praktik perayaan Waisak Nasional di Candi Borobudur. Dominasi WALUBI pada perayaan Waisak Nasional Candi Borobudur membuat KBI perlu membuat perayaan Waisak seperti di Candi Borobudur. Meskipun tidak ada larangan terhadap umat Buddha warga KASI untuk menghadiri Waisak Nasional di Candi

Borobudur banyak warga Umat Buddha KASI tabu untuk datang ke Candi Borobudur.

Hal ini pula yang membuat Keluarga Buddhayana Indonesia (SAGIN, MBI, WBI dan SEKBER) wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah untuk membuat alternatif kegiatan Waisak. Atas prakarsa dari Bhikkhu Sasana Bodhi, dibuatlah acara Waisak di Candi Sewu. Kekuatan jaringan umat Buddha di Yogyakarta, Boyolali, dan Semarang serta STIAB Smaratungga Boyolali menjadi motor acara Waisak di Candi Sewu secara besar.

“Latar belakang diselenggarakannya acara Waisak di Candi Sewu adalah tidak terakomodirnya umat Buddha dari Keluarga Buddhayana Indonesia dalam perayaan Waisak nasional di Candi Borobudur yang dimonopoli oleh WALUBI, sehingga candi Sewu menjadi alternatif untuk kegiatan Waisak” (Sasana Bodhi, wawancara, 15 Desember 2015)

.

Dari pernyataan Bhante Bodhi di atas jelas bahwa perayaan Waisak di Candi Sewu merupakan bentuk perlawanan subordinan atas dominasi WALUBI.

Perlawanaanya tidak lagi tersebunyi dan tersirat dalam ucapan-ucapan peyoratif.

Strategi perlawanan yang diambil menggunakan strategi perlawanan langsung melalui ritual-ritual Waisak.

Dari tahun ke tahun acara Waisak di Candi Sewu ini terus dikenal oleh masyarakat Umat Buddha di berbagai daerah. Tahun 2014 Waisak di candi Sewu ini dihadiri kurang lebih 7.000 umat Buddha. Umat Buddha dari Yogyakarta, Kaloran Temanggung, Jepara, Pati, Kabupaten Semarang hadir melaksanakan

puja bakti Waisak.

Tahun 2014 Waisak Candi Sewu menjadi semakin dikenal masyarakat luas, ketika calon presiden Jokowi turut menghadiri acara Waisak tersebut (http://buddhazine.com/boediono-hadiri-Waisak-di-candi-borobudur-jokowi-di-candi-sewu/ diakses tgl 14 okt 2016). Pesona Gubernur Jakarta yang dicalonkan menjadi Presiden dari PDIP yang hadir dalam Waisak di Candi Sewu seakan memberi harapan baru bahwa pemerintah (nantinya) akan memperhatikan orang-orang terpinggirkan seperti umat Buddha warga KASI. Salah seorang-orang umat Buddha yang hadir pada waktu itu cukup terkejut dan senang atas kehadiran Jokowi:

“saat itu kami tidak menyangka pak Jokowi tiba-tiba hadir di Waisak, senang sekali karena bisa bersalaman dengan pak Jokowi orangnya merakyat, saya juga berdo’a semoga beliau menang Pilpres dan ternyata memang menang”(wawancara, Marsinem, 14 Oktober 2016)

Ungkapan Marsinem dan saya menduga juga merupakan sebagian besar ungkapan umat Buddha di bawah KASI adalah bentuk kerinduan ‘disentuh’ oleh penguasa. Jokowi meskipun saat itu belum menjabat sebagai presiden RI sudah dibayangkan sebagai penguasa negeri yang akan memberi harapan baru

‘menyentuh’ masyarakat terpinggirkan. Sapaan Jokowi dalam Waisak di Candi

Sewu menjadi setitik embun harapan bagi umat Buddha.

Rangkaian acara Waisak di Candi Sewu tidak jauh berbeda dengan Waisak nasional di Candi Borobudur, pada puncak ritual adalah puja bakti detik-detik Waisak. Hanya saja rangkaian acara Waisak di Candi Sewu berubah setiap tahunnya, terkadang dirayakan secara besar-besaran namun ada kalanya

dirayakan secara sederhana. Hal ini juga dirasakan oleh Risky salah satu umat dari Gunung Kidul yang sering juga terlibat dalam acara Waisak di Candi Sewu:

“kalau Waisak tahun ini (2016) di Candi Sewu hanya sederhana sekali tidak ramai-ramai, umat Gunung Kidul datang jam 10 malam lalu mengikuti Dharmasanti sambil menunggu acara sembahyang jam 1 pagi dan puja bakti detik-detik jam 4. Beda dengan 2 tahun kemarin banyak pentas-pentas seni, prosesinya juga panjang dan bagus ada marching band-nya. Yang paling berkesan saat pak Jokowi datang acaranya ramai sekali, ada pertujukan wayang juga” (Risky, wawancara, 14 Oktober 2016)

Adapun rangkaian acara Waisak yang saya dapatkan adalah perayaan Waisak Nasional 2559 BE tahun 2015, acaranya sebagai berikut:

1. Pengambilan air Waisak serta pengambilan api alam di Mrapen

Seperti prosesi Waisak nasional WALUBI, dalam prosesi Waisak di candi Sewu juga terdapat pengambilan air Waisak. Bahkan tidak hanya dari satu sumber mata air namun dari 7 sumber mata air. Sebagai contoh pada Waisak 2556 tahun 2015 hari Selasa tanggal 2 Juni 2015 dimulai pukul 06.00 pagi dilakukan dua acara yaitu pengambilan air dan api alam Mrapen.

Air suci diambil dari Umbul Jumprit, Pikatan, Senjoyo, Candi Umbul, Jolotundo, Umbul Pengging, dan Sendang Pitutur. Tujuh sumber mengandung makna tujuh faktor pencerahan. Pengambilan air dipimpin oleh para bhikkhu yang dibagi dalam beberapa kelompok sesuai sumber air yang diambil. Air ini kemudian di bawa ke candi Lumbung dekat Candi Sewu untuk nantinya di arak ke altar Candi Sewu.

Selain pengambilan air, panitia dan Sangha juga melakukan pengambilan api alam dari Mrapen. Api adalah lambang dari penerangan

sehingga hal ini menjadi bagian penting dalam upacara Waisak. Pengambilan dilakukan dengan memakai obor seperti api PON. Api alam ini nantinya akan digunakan sebagai sarana untuk menyalakan pelita-pelita di altar. Air dari tujuh sumber dan api dari Mrapen tiba di lokasi pada pukul 15.00 dan disemayamkan di Candi Lumbung.

2. Prosesi membawa amisa puja ke altar candi Sewu

Upacara Waisak diawali dengan prosesi mengarak persembahan seperti relik, air dari tujuh sumber, bunga, api, gunungan sayur dan buah dengan dipayungi berwarna keemasan dari Candi Lumbung menuju altar Candi Sewu pada jam 15.00 - 17.30. Adapun urutan barisan prosesi pada Waisak 2556 tahun 2015 sebagai berikut:

1). Liong Samsi dari Vihara Metta Buddha dari Sumbing Wonosobo 2). Marching Band oleh mahasiswa STIAB Smaratungga Boyolali

3). Bendera merah putih dan panji-panji Umat Buddha sebanyak 16 petugas dari SMK Pembangunan Ampel Boyolali

4). Barisan Bhinekha Tunggal Ika

5). Sarana puja api obor diikuti lilin pancawarna, air suci, bunga dua pasang dan buah dua pasang, manisan sepasang, dan dupa oleh muda-mudi dari Gunung Kidul Yogyakarta

6). Gunungan Tumpeng dan Gunungan Palawija sebanyak 8 orang dari Gunung Kidul

7). Drum band dari SMP Smaratungga Boyolali Jawa Tengah 8). Barisan kesenian tradisional seperti Topeng Ireng dan Jathilan.

9). Bhikkhu pembawa relik yang dibawa bhikkhu dengan dipayungi warna keemasan dan barisan Para Bhikkhu, bhikkhuni, samanera, samaneri yang berbaris rapi dan khidmad berjalan diikuti umat dengan membawa bunga sedap malam menuju altar utama.

Selanjutnya, Air Suci, Api Dharma, bunga dan relik dipersembahkan di Altar Utama Candi Sewu oleh bhikkhu yang sudah ditunjuk, kemudian dilanjutkan dengan prosesi penyalaan pelita oleh sangha pada waktu menjelang senja dan barisan bhikkhu maupun umat menempati karpet yang telah dipersiapkan oleh panitia.

3. Persembahyangan di Candi Sewu

Ketika Altar Waisak sudah lengkap acara dilanjutkan dengan sembahyang baik dengan tradisi Tantrayana, Mahayana maupun Theravada yakni membaca Sutra, Paritta dan Mantra yang diikuti oleh para peserta yang telah hadir. Sembahyang ini dilakukan satu jam mulai dari jam 18.00 sampai 19.00 diawali dengan penyalaan lilin altar oleh Bhikkhu Sangha.

4. Dharmasanti Waisak

Momen puncak Waisak adalah pada saat detik-detik Waisak yang bisa jatuh kapan saja baik pagi dini hari, siang maupun malam tergantung dari titik sempurna bulan purnama menurut perhitungan astronomi. Biasanya detik-detik telah dapat diketahui dalam kalender-kalender vihara. Jeda waktu antara prosesi Waisak dan detik-detik Waisak selain digunakan untuk sembahyang dengan tiga tradisi, biasanya juga digunakan untuk acara seremonial Dharmasanti yang berisi sambutan dan hiburan pentas seni.

Sambutan oleh panitia, DPP Majelis Buddhayana Indonesia dan dari Bimas Buddha Kementerian Agama RI. Adapun Dharmasanti pada Waisak 2559 tahun 2016 sebagai berikut:

a. Penyalaan lilin perdamaian oleh tokoh lintas agama dan penghayat kepercayaan dalam hal ini dilakukan oleh anggota Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogya

b. Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya

c. Pembacaan ayat kitab suci Dhammapada oleh mahasiswa STIAB Smaratungga

d. Prakata ketua umum oleh ketua Waisak Candi Sewu

e. Penampilan paduan suara dari STIAB Smaratungga yakni Mars Buddhayana, Mars Wanita Umat Buddha Jaya, Mars Sekber PMVBI.

f. Pesan Waisak oleh SAGIN biasanya hal ini mengacu pada tema yang telah ditetapkan

g. Sambutan-sambutan: DPP MBI disambut dengan lagu Dharmagita Semangat Buddhayana versi gamelan; sambutan Dirjend Bimas Buddha disambut dengan lagu Dharmagita Berkah Waisaka Puja;

penyerahan piagam penghargaan kepada tokoh umat Buddha.

5. Puja Bhakti detik-detik Waisak

Setelah acara-acara seremonial dilanjutkan dengan acara ritual Waisak sebagai puncak acara yaitu puja bakti detik-detik Waisak. Acaraa diawali dengan pradaksina mengelilingi candi sewu sebanyak tiga kali searah jarum jam dengan membawa bunga sedap malam dan dupa. Setelah semua

Dalam dokumen Nasional di Candi Borobudur (Halaman 100-125)

Dokumen terkait