• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nasional di Candi Borobudur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Nasional di Candi Borobudur"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

MENOLAK WAISAK NASIONAL WALUBI: Perayaan Waisak di Yogyakarta Sebagai Counter Hegemony Waisak

Nasional di Candi Borobudur

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum)

pada Strata II Ilmu Religi dan Budaya

Oleh: Nama : Totok NIM : 126322008

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2017

i

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Tesis Menolak Waisak Nasional WALUBI: Perayaan Waisak Di Yogyakarta Sebagai Counter Hegemony Waisak Nasional Di Candi Borobudur saya persembahkan

kepada:

1. Ayah dan Ibu yang telah berada di alam kedewaan 2. Isteri Geby Tri Utami dan peri kecil Ayunda

3. Untuk mahaguru-ku Bhante Pannyavaro dan Bhante Joti

4. Untuk guru-guruku Pak Supri (SD), Pak Mardi (SMP), Mas Bram

(7)

KATA PENGANTAR

Terima kasih dan syukur atas segala proses yang telah terlewati, Tesis dengan judul “Menolak Waisak Nasional WALUBI: Perayaan Waisak di Yogyakarta Sebagai Counter Hegemony Waisak Nasional di Candi Borobudur” dapat diselesaikan meskipun menghabiskan waktu yang lama. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) Program Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma yang begitu sulit saya dapatkan.

Tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan sujud bakti dan terima kasih yang mendalam kepada:

1. Universitas Sanata Dharma Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Religi dan Budaya

2. Para dosen, pendidik yang sangat baik di Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Religi dan Budaya Romo Banar, Pak Nardi, Bu Katrin, Romo Beni, Romo Bas, Romo Bagus, Pak Pratik, Pak Tri juga kepada para staff Mbak Desy, Mas Mul

3. Para achariya yang telah memberikan dorongan semangat dan bantuan moral spiritual sehingga selalu dapat membantu mengatasi setiap kesulitan hidup saya

4. Isteriku Tri Utami dan Anakku tercinta Ayunda Visakha Vimalasanti juga kepada mertua dan adik dan kakak tercinta beserta keluarga

(8)

5. Teman-teman seperjuangan IRB angkatan 2012

Secara pribadi saya mohon maaf kepada keluarga dan yang telah mendukung studi saya karena banyak waktu telah saya habiskan untuk ini semua. Banyak waktu yang penulis habiskan karena menunda-nunda penulisan tesis ini dengan berbagai alasan. Perubahan status dari lajang menjadi berkeluarga juga merupakan tantangan tersendiri sehingga membutuhkan kecernatan membagi waktu untuk penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari dalam penulisan tesis masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Semoga Tesis ini bermanfaat bagi pembaca.

Semoga semua mahkluk berbahagia.

Yogyakarta, Juli 2017

Penulis

(9)

ABSTRAK

Waisak adalah salah satu hari raya besar Agama Buddha. Hari raya Waisak ini adalah momentum untuk memperingati tiga peristiwa penting yang dialami oleh Sidharta Gautama yaitu saat kelahirannya, saat pencapaian kesempurnaannya dan saat wafat atau parinirvananya yang semuanya terjadi pada bulan Vesakha di India kuno.

Sebagai hari yang disucikan oleh umat Buddha, hari raya Waisak dirayakan oleh umat Buddha seluruh dunia dengan melakukan puja, perenungan serta upacara ritual untuk memahami makna Waisak itu sendiri. Di Indonesia, umat Buddha merayakan Waisak sejak tahun 1930 di area Candi Borobudur. Sejak saat, itu perayaan Waisak berkembang seiring dengan munculnya berbagai organisasi Buddhis dan perkembangan umat Buddha. Masa Orde Baru, ketika pemerintah menerapkan kebijakan stabililtas nasional dengan mencoba menyatukan organisasi-organisasi dalam wadah yang dapat dikontrol pemerintah, hal ini juga berpengaruh pada organisasi umat Buddha dengan munculnya wadah tunggal WALUBI. Konflik internal dalam kepengurusan WALUBI memunculkan dua organisasi besar dalam umat Buddha di Indonesia yaitu WALUBI (baru) dan KASI. Dua organisasi besar dalam umat Buddha di Indonesia berpengaruh terhadap perayaan Waisak di Candi Borobudur terutama di kalangan umat Buddha di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Penelitian ini hendak menunjukkan bagaimana sejarah awal berkembangnya Waisak Nasional di Borobudur yang terpusat hingga munculnya perayaan-perayaan Waisak di sekitaran Borobudur terutama di Yogyakarta. Dengan menggunakan konsep penelitian resistensi, penelitian ini akan menunjukkan bahwa terdapat penolakan- penolakan dari masyarakat Buddhis khususnya warga Buddhis di bawah KASI baik dalam bentuk ucapan-ucapan peyoratif, maupun aksi-aksi simbolik dalam perayaan waisak.

Berpedoman pada teori Counter Hegemony Gramsci, perayaan Waisak di Yogyakarta terutama yang dilakukan di Candi Sewu oleh Keluarga Buddhayana Indonesia adalah usaha melakukan dominasi balik dengan mempergunakan simbol candi, nasional, dan liturgi yang mirip dengan apa yang dilakukan dalam perayaan Waisak di Candi Borobudur. Dengan menangkap kegelisahan umat Buddha tentang kekhusyukan ritual Waisak di Candi Borobudur, perayaan Waisak di Candi Sewu lebih menekankan pada aspek kualitas kekhusyukan ritual. Banyak peserta merasa menemukan kembali kekhusyukan Waisak yang lama hilang dari Waisak yang diselenggarakan di Candi Borobudur.

Kata kunci :

Waisak Nasional, WALUBI, Buddhis Yogyakarta, Counter Hegemony

(10)

1

ABSTRACT

Vesak is one of the major feast days in Buddhism. Vesak is a momentum to commemorate three important events experienced by Siddhartha Gautama, namely at the time of his birth, the moment of reaching perfection and the time of death or Buddha’s parinirvana that everything happens in Vesakha month in ancient India. As the day that consecrated by the Buddhists, Vesak is celebrated by Buddhists all over the world with perform puja (tribute), meditation and ritual to understand the significance of Vesak itself. In Indonesia, Buddhists celebrate Vesak has been since 1930 in the area of Borobudur. Since then the celebration of Vesak is growing in line with the emergence of the Buddhist organization and development of the Buddhists. In the new order (orde baru) when the government implemented a policy of national stabililty by trying to unite the organizations in containers that can be controlled by the government, it also affects the Buddhist organization with a single organization WALUBI. When arise internal conflicts in WALUBI, there are two major Buddhist organizations rise in Indonesia. That are WALUBI and KASI. The emergence of two major Buddhist organizations in Indonesia has effect on the celebration of Vesak at Borobudur, especially among Buddhists in Central Java and Yogyakarta.

This research seeks how the early history of the Vesak is celebrated at Borobudur and become National Vesak Comemoration. And now vesak celebration not only in Borobudur but also in Yogyakarta. Using a resistance concept, this study will show that there are resistances from Buddhists especially Buddhist under KASI Organization. There are pejorative utterances and symbolic action in vesak celebration that show the resistance.

Guided by the Gramsci’s theory, Counter Hegemony, Vesak celebrations in Yogyakarta mainly conducted by Indonesian Buddhayana Family in Candi Sewu is an effort to make the counter domination using the symbols like temple, national, and a liturgy that are similar to what is done in Vesak celebration at Borobudur. By capturing the Buddhists anxiety abaout solemnity on Vesak ritual at Candi Borobudur temple, the celebration of Vesak at Candi Sewu more emphasis on the quality of solemnity in ritual.

Many of the participants felt rediscover the solemnity of Vesak ritual that lost at Borobudur.

Key Words:

National Vesak, WALUBI, Buddhist Yogyakarta, Counter Hegemony

(11)

1

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Tema Penelitian ... 9

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Pentingnya Penelitian ... 10

F. Tinjauan Pustaka ... 11

G. Kerangka Teoritis ... 14

H. Metode Pengumpulan Data ... 23

I. Sistematika Penulisan ……… 24

BAB II: PUJA WAISAK: MAKNA, RITUAL DAN PERAYAANNYA A. Puja: Antara Ritual dan Pelaksanaan Ajaran Buddha ... 26

B. Tempat Pelaksanaan Ritual Waisak... .. 28

C. Waisak sebagai pemujaan terhadap Buddha Gautama atas tiga peristiwa suci... 29

D. Ritual Perayaan Waisak ... 31

E. Perayaan Waisak di Indonesia Pada Mulanya ... 32

F. Waisak di Candi Borobudur: ‘Ngontrak’ Di Rumah Sendiri... 37

(12)

BAB III: KOMPLEKSITAS MASALAH PENYELENGGARAAN PERAYAAN WAISAK DI CANDI BOROBUDUR

A. Memahami Komunitas Agama Buddha di Dunia dan Indonesia 42

A.1. Theravada ... 44

A.2. Mahayana ... 46

A.3. Tantrayana atau Vajrayana ... 47

B. WALUBI: Wadah Pemersatu Komunitas Umat Buddha Indonesia... 51

C. Kemelut WALUBI: Munculnya KASI dan WALUBI “Baru” 55 D. Siti Hartati Murdaya, actor Intelektual WALUBI Baru … ... 62

E. Perayaan Waisak Era WALUBI dan Pasca Pecahnya WALUBI ... 64

E.1 Perayaan Waisak Era Wadah Tunggal WALUBI ... 65

E.2 Perayaan Waisak Pasca bubarnya WALUBI ... 68

F. Tersingkirnya umat Buddha KASI : Waisak Nasional dikuasai WALUBI (baru) ... 75

BAB IV: PENOLAKAN MASYARAKAT BUDDHIS KASI TERHADAP PERAYAAN WAISAK NASIONAL CANDI BOROBUDUR A. Waisak Nasional WALUBI di Mata Masyarakat KASI ... 79

A.1. WALUBI: Wanita Luar Biasa ... 80

A.2. WaKubi dan Rekor MURI ... 83

A.3. Bhikkhu Tidak Makan Amplop... 84

A.4. Bhikkhu Bayaran ... 84

A.5. Sulit Khusyuk ... 85

B. Waisak di Yogyakarta sebuah War of Position... 88

BAB V: KESIMPULAN... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 110

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu event keagamaan rutin terbesar umat Buddha di Indonesia adalah Waisak Nasional di candi Borobudur. Even ini biasanya diselenggarakan oleh organisasi masyarakat umat Buddha Indonesia yang tergabung dalam WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia). Setiap tahun ribuan orang dari berbagai wilayah dalam dan luar negeri berbondong-bondong datang ke candi Borobudur untuk mengikuti, melihat dan menikmati wisata religi Umat Buddha ini. Ribuan orang tersebut datang dengan berbagai motivasi, mengingat yang hadir dalam event tersebut bukan hanya mereka yang menganut agama Buddha saja. Ada yang datang dengan niat tulus beribadah pada hari Waisak, ada pula yang sekadar melihat dan berwisata sebagian lagi ada yang datang karena bertugas dalam penyelenggaraan Waisak walaupun sedikit terpaksa karena perintah organisasi.

Memasuki bulan Mei atau Juni awal, bertepatan dengan bulan Vesakha di India kuno, kawasan Mendut Magelang Jawa Tengah telah terlihat persiapan- persiapan perayaan Waisak. Hotel-hotel mulai dipenuhi dengan bookingan wisatawan, tak kalah juga penginapan-penginapan kecil di rumah-rumah penduduk seputaran Candi Mendut mulai dipenuhi jadwal menginap para tamu.

Seperti sering telah diketahui setiap tahunnya aktivitas kegiatan Waisak sudah mulai terlihat beberapa hari sebelum hari Waisak tiba. Tujuh hari

(14)

menjelang detik-detik Waisak, panitia telah sibuk melaksanakan berbagai agenda kegiatan. Di antaranya kegiatan pengobatan gratis di sekitar candi Borobudur, tabur bunga di taman makam pahlawan di berbagai daerah, pengambilan api Waisak di Mrapen Jawa Tengah dan pengambilan air suci Waisak di Jumprit Temanggung. Air dan api Waisak sesemuanya kemudian ditempatkan di candi Mendut yang juga merupakan tempat berlangsungnya kegiatan Waisak.

Sebelum acara puncak, umat Buddha dari berbagai daerah berkumpul di Candi Mendut melakukan puja dan berjalan kaku menuju Candi Borobudur.

Perjalanan dari candi Mendut ke Candi Borobudur dikenal dengan istilah prosesi Waisak yaitu perjalanan dengan rasa bakti dan penghormatan (devotional walk).

Ribuan orang berjalan kaki dengan membawa barang persembahan seperti bunga sedap malam dan sebatang hio yang dinyalakan. Di barisan depan petugas- petugas membawa bermacam-macam benda-benda seperti relik, lilin, air dan bendera-bendera baik merah putih maupun bendera Umat Buddha, tidak ketinggalan identitas kenegaraan seperti burung Garuda juga ikut diarak. Arak- arakan mobil, gajah hingga pejalan kaki membelah jalanan menuju Borobudur.

Ribuan pasang mata menanti dipinggir jalan membawa alat dokumentasi baik HP, camera digital hingga ‘DSLR’ mahal jeprat-jepret menyambut arak-arakan.

Sesampai di candi Borobudur para bhikkhu/bhiksu berjalan naik mengitari stupa utama Borobudur searah jarum jam yang dikenal dengan pradaksina.

Kegiatan itu tak luput dari sorotan dan jepretan kamera-kamera wisatawan yang ikut naik ke stupa utama. Dalam sebuah foto di instagram yang termuat dalam

(15)

kompasiana1, seorang bhikkhu bersembahyang di dekat stupa utama sedangkan di depannya para wisatawan sibuk menjepret adegan bhiksu tersebut. Wisatawan dengan bercelana pendek yang ketat seakan-akan sedang dipuja oleh seorang bhiksu. Ribuan orang di pelataran utama Candi Borobudur duduk berpanas- panasan sambil membacakan mantra untuk memuja Sang Buddha.

Puncak hari Waisak ditandai dengan puja bakti2 detik-detik Waisak di Candi Borobudur. Sebelumnya umat Buddha melakukan prosesi berjalan kaki dengan rasa bakti (devotional walk) dari candi Mendut menuju Candi Borobudur dengan membawa bunga atau dupa. Tepat pada saat detik-detik Waisak umat Buddha melakukan meditasi merenungkan tiga peristiwa yang dialami Sidharta Gautama. Yakni saat lahirnya, saat mencapai pencerahan dan saat wafat atau parinirvana yang ke semuanya terjadi pada bulan Waisak atau vesakha.

Sebelumnya umat Buddha membaca mantra, sutra atau paritta sebagai pengantar sebelum meditasi Waisak. Sesaat setelah melewati detik purnama Waisak maka umat Buddha melanjutkan lagi membaca mantra dan paritta hingga upacara puja bakti Waisak berakhir.

Selain ritual keagamaan terdapat pula acara seremonial formal dengan mengundang berbagai tamu baik dari pejabat negara, tokoh masyarakat, tokoh agama Buddha dan agama lain. Acara seremonial ini disebut “Dharmasanti Waisak”. Acara Dharmasanti biasanya diisi dengan berbagai sambutan mulai dari laporan panitia penyelenggara, sambutan pejabat kementerian agama atau bahkan

1http://www.kompasiana.com/kompasiana/melihat-cerita-perayaan-waisak-dari-tahun- ke- tahun_5742b174907e6135078f3f49 diakses pada 21 April 2014

2Sembahyang bagi umat Buddha secara umum disebut puja bakti

(16)

Presiden Republik Indonesia. Acara ini dirangkai dengan hiburan-hiburan serta ceramah (pesan Waisak) oleh Bhiksu Sangha.

Dalam beberapa waktu belakangan acara Waisak ditutup dengan pelepasan ribuan lampion. Pelepasan lampion ini merupakan acara yang baru karena sebelum tahun 2008 belum terdapat acara pelepasan lampion. Acara ini banyak diminati para wisatawan dan pemburu foto. Dalam berbagai media, pemberitaan Waisak sering digiasi dengan lampion yang berterbangan di atas Candi Borobudur. Demikianlah gambaran umum perayaan Waisak nasional di Indonesia yang berpusat di candi Borobudur. Istilah Waisak Nasional sendiri merujuk pada siapa penyelenggara even ini yaitu organisasi umat Buddha yang kedudukannya di pusat.

Sementara itu tak jauh dari candi Borobudur tepatnya di Yogyakarta aktifitas perayaan Waisak juga terlihat meskipun tidak sebesar dan megah seperti di Candi Borobudur. Vihara-vihara di Yogyakarta seperti Vihara Karangdjati Sleman Yogyakarta, Vihara Giriloka, Giridharma, Girisurya Kulon Progo Yogyakarta mengadakan perayaan Waisak secara sederhana di masing-masing vihara. Ada pula perayaan Waisak yang cukup besar di kawasan Yogyakarta yaitu perayaan Waisak di candi Sewu. Mereka mengadakan perayaan Waisak mirip seperti di candi Borobudur namun dengan skala yang lebih kecil dan dengan lebih menonjolkan sisi kesakralan upacara ritual.

Berdasarkan pengamatan penulis pada Waisak 2557 Tahun Umat Buddha atau tahun 2013 terdapat beberapa kegiatan umat Buddha di Yogyakarta. Umat Buddha dari Gunung Kidul dan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta yang

(17)

notabene menganut agama Buddha tradisi Buddhayana melakukan perayaan Waisak di candi Sewu bersama umat Buddha dari Jawa Tengah yaitu Kabupaten Klaten, Boyolali, Semarang dan Temanggung. Umat Buddha Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta yang terdiri dari 5 vihara dan 1 cetiya3 merayakan Waisak di vihara masing-masing, umat Buddha Kabupaten Sleman Yogyakarta yang terdiri dari 2 vihara (Vihara Dharmavijaya Berbah dan Vihara Karangdjati yang semuanya menganut tradisi Theravada) mengadakan perayaan Waisak di vihara masing-masing, sedangkan di kota Yogya yang terdiri dari 5 Vihara dan 1 cetiya terbagi-bagi. Umat vihara Vimalakirti dan Vihara Bodhicitta Yogyakarta seringkali terlibat sebagai panitia Waisak nasional di Candi Borobudur. Umat Buddha dari Vihara Buddhaprabha di Kota Yogyakarta merayakan Waisak di candi Sewu Jawa Tengah dan umat Vihara Vidyaloka pergi ke Vihara Mendut Jawa Tengah melakukan ritual Waisak bersama para bhikkhu-bhikkhu dan umat Buddha dari Muntilan Jawa Tengah. Acara ritual Waisak di vihara Mendut dilangsungkan bersama dengan acara di Candi Mendut dengan penyelenggara yang berbeda. Sekilas bagi yang awam (kurang memahami) dengan situasi internal umat Buddha akan bertanya apa bedanya melakukan ritual Waisak di Candi Mendut dengan yang ada di vihara Mendut? Ritual di Candi Mendut dilakukan dengan tradisi yang sama dengan ritual di Vihara Mendut yaitu ritual Umat Buddha Theravada namun keduanya berjalan sendiri-sendiri, dari sisi

3Cetiya adalah tempat ibadah agama Buddha yang lebih kecil dari vihara, padanan dalam agama lain mushola (Islam), Kapel (Katolik), Sanggar (Hindu)

(18)

pengikut yang melakukan ritual umat di vihara Mendut sangat sedikit jika disbanding dengan yang mengkuti ritual di candi Mendut.

Aktifitas perayaan-perayaan Waisak alternatif semacam ini di Yogyakarta maupun apa yang terjadi di Vihara Mendut belumlah lama. Sebelumnya Waisak di Candi Borobudur menjadi pusat perayaan Waisak. Sejak tahun 2005 umat Buddha di Yogyakarta cenderung melakukan kegiatan ritual Waisak dengan mengadakan puja bakti di Vihara sendiri dan tidak pergi merayakan Waisak ke Candi Borobudur. Hiruk pikuk dan gema Waisak di Candi Borobudur sudah bukan menjadi prioritas umat Buddha di Yogyakarta.

Menilik sejarah awal perayaan Waisak di Indonesia khususnya di Candi Borobudur bahwa pada awalnya Waisak di Candi Borobudur dirayakan sejak sekitar tahun 1937 oleh umat Buddha dari sekitar daerah Mendut dan Yogyakarta4. Pada waktu itu masih menggunakan bahasa Jawa yaitu tirakatan wungon purnomosiden. Waisak pertama kali dirayakan secara nasional di Candi Borobudur pada tahun 1953, diselenggarakan oleh umat Buddha dipelopori oleh Tee Boan An, seorang umat awam yang kemudian menjadi bhikkhu dengan nama Ashin Jinarakhita yang dihadiri dari berbagai wilayah termasuk duta-duta besar Negara Asia Tenggara dan Sri Lanka. Semenjak peristiwa itu, Waisak selalu diperingati tiap tahunnya dengan skala nasional di Candi Borobudur.

Beberapa tahun silam umat Buddha dari berbagai daerah baik dari Jawa Tengah, Yogyakarta maupun dari daerah-daerah lain seperti Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan luar pulau Jawa datang ke Candi Borobudur mengikuti

4www.bhagavant.com diakses pada 19 April 2014

(19)

prosesi Waisak nasional. Umat Buddha dari Jawa Tengah dan Yogyakarta yang berada di pelosok-pelosok difasilitasi transport dengan disewakan bus atau setidaknya diberikan subsidi uang untuk sewa bus. Masih teringat oleh penulis dahulu di tahun-tahun 1990-an (antara tahun 1994-1997) umat Buddha di Yogyakarta (utamanya di Kulon Progo Kecamatan Girimulyo tempat tinggal penulis) sangat antusias merayakan Waisak di Borobudur. Ditambah dengan adanya subsidi-subsidi transport dan kadang disewakan bus gratis semakin membuat umat Buddha semarak mengikuti prosesi Waisak Nasional. Umat Buddha pergi dari pagi hari sampai pulang malam hari demi untuk mengikuti prosesi Waisak. Vihara-vihara di daerah menjadi kosong dan sepi dari orang beribadah Waisak karena hampir semua pergi ke Borobudur. Mereka telah bersembahyang Waisak pada malam sebelum hari Waisak tiba.

Kondisi ini begitu berbeda kini. Gema Waisak nasional di candi Borobudur yang selalu dimunculkan di televisi maupun media lain tidak begitu mencuri perhatian masyarakat Umat Buddha di Yogyakarta. Mereka lebih memilih perayaan Waisak yang sederhana jauh dari kesan glamor dan mewah.

Merayakan Waisak tanpa harus menghadirkan presiden, menteri agama, menteri pariwisata, gubernur dan lain-lain. Sepi dan tenang, bebas dari jepretan kamera dan ribuan pasang mata yang menonton ritual Waisak. Masyarakat umat Buddha Kulon Progo misalnya di Vihara Giriloka begitu sakral mengikuti rangkaian upacara ritual patidana (nyekar di makam leluhur), mengambil air Waisak di sumber-sumber air terdekat, kenduri selamatan Waisak hingga pada puncak acara detik-detik Waisak dan dharmasanti Waisak. Demikian juga dengan umat

(20)

Buddha di Gunung Kidul Yogyakarta begitu larut dalam kesakralan Waisak di candi Sewu yang hampir-hampir mirip dengan rangkaian Waisak di candi Borobudur.

Umat Buddha Yogyakarta yang dahulunya merupakan basis massa utama perayaan Waisak Nasional kini telah mempunyai event sendiri dalam merayakan Waisak. Memang dalam masyarakat umat Buddha di Indonesia pasca reformasi 1998 muncul dua organisasi besar yaitu KASI dan WALUBI sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai kuasa atas masyarakat Umat Buddha di Indonesia.

Sejauh mana relasi kedua organisasi itu dalam perayaan Waisak di Indonesia?

Apakah ada ketimpangan relasi (terjadi dominasi dan subordinasi) diantara keduanya sehingga muncul berbagai perayaan Waisak baru khususnya di Yogyakarta dan sekitarnya. Apakah aktifitas perayaan Waisak masyarakat Umat Buddha Yogyakarta adalah merupakan kritik atas manajemen Waisak di candi Borobudur mengingat Waisak telah ‘dijual’ untuk kepentingan pariwisata oleh PT Taman Wisata Borobudur?

Bertitik tolak dari realitas masyarakat Umat Buddha demikian, penulis ingin mengangkatnya dalam sebuah penelitian tesis. Penelitian ini nantinya hendak menggali pandangan-pandangan masyarakat Umat Buddha Yogyakarta khususnya warga masyarakat Umat Buddha di bawah organisasi KASI tentang perayaan Waisak nasional di candi Borobudur. Pandangan-pandangan tersebut menjadi dasar untuk menghubungkan apakah perayaan-perayaan yang dilakukan pada hari Waisak di Yogyakarta dan sekitarnya adalah bentuk penolakan atau resistensi terhadap Waisak di Candi Borobudur. Apakah perayaan-perayaan di

(21)

luar candi Borobudur tersebut merupakan mekanisme perlawanan sebagai cara melakukan counter hegemony terhadap hegemoni dalam relasi yang terbangun.

Perlawanan ini hanya mungkin terjadi ketika ada afirmasi kekuasaan yang melahirkan dominasi dan subordinasi. Sehingga dalam penelitian ini nantinya juga akan mengungkap bagaimana relasi yang terbangun antara stakeholder yaitu WALUBI, KASI dan Masyarakat Umat Buddha di Yogyakarta dalam kaitannya dengan perayaan Waisak.

B. TEMA

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka tema besar dari penelitian ini adalah perlawanan masyarakat umat Buddha Yogyakarta terhadap perayaan Waisak nasional di Candi Borobudur.

C. RUMUSAN MASALAH

Secara spesifik penelitian ini akan dipandu dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pemahaman Waisak dan ritus perayaannya di kalangan masyarakat Umat Buddha?

b. Bagaimana relasi kuasa bermain dalam perayaan Waisak di Indonesia khususnya di Candi Borobudur?

c. Bagaimana sikap dan cara perlawanan masyarakat Umat Buddha di sekitar Yogyakarta terhadap perayaan Waisak di Candi Borobudur

(22)

D. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk:

a. Memetakan pemahaman terhadap ritus Waisak dan perayaannya di kalangan umat Buddha.

b. Menunjukkan relasi kuasa dalam pelaksanaan Waisak di candi Borobudur c. Menunjukkan sikap dan cara masyarakat Umat Buddha sekitar

Yogyakarta terhadap Waisak Nasional di candi Borobudur sebagai sebuah perlawanan.

E. PENTINGNYA PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mempunyai signifikansi:

a. Di bidang keilmuan kajian budaya dan agama dapat menunjukkan bahwa dalam setiap hubungan selalu ada relasi kekuasaan yang timpang bahkan dalam perayaan agama yang kelihatan suci. Afirmasi dominasi akan selalu menimbulkan resistensi. Resistensi masyarakat justru merupakan sumber kreativitas yang perlu dihargai dan bukan dipandang sebagai sesuatu yang negatif.

b. Bagi pengambil kebijakan (stake holder) perayaan Waisak antara lain WALUBI, KASI, Taman Wisata Candi Borobudur dan Kementerian Agama sebagai pengelola event Waisak dan wadah komunikasi umat Buddha hendaknya saling mendukung tercapainya tujuan perayaan Waisak yang sakral dan memberikan manfaat bagi yang mengikuti perayaan Waisak dan bukan sebagai ajang saling unjuk kekuasaan dan

mencari keuntungan semata.

(23)

c. Bagi masyarakat luas diharapkan memberikan informasi bahwa Waisak di Indonesia tidak hanya berpusat di Candi Borobudur tetapi juga di seputaran Yogyakarta terdapat variasi kegiatan dalam perayaan Waisak.

F. TINJAUAN PUSTAKA

Waisak adalah salah satu hari yang sangat disucikan oleh umat Buddha di seluruh dunia sebagai peringatan terhadap tiga peristiwa penting dalam kehidupan Buddha Gautama yaitu kelahiran Sidharta Gautama, pencapaian pencerahan, dan meninggalnya Sidharta Buddha Gautama. Ketiga peristiwa tersebut terjadi dalam waktu yang sama yaitu pada saat bulan purnama pada bulan Mei. Dalam memperingatinya, para umat Buddha di seluruh dunia melakukan banyak perbuatan baik untuk mengekspresikan rasa bakti pada ajaran Buddha terutama kebijaksanaan, kesucian dan welas asih Buddha Gautama.

Di Indonesia, perayaan Waisak yang paling mencolok adalah perayaan Waisak Nasional di Candi Borobudur. Penelitian tentang Waisak Nasional di candi Borobudur umumnya sebatas membuat deskripsi tentang rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh umat Buddha. Sejarah berlangsungnya Waisak di Borobudur pada awal-awalnya dapat ditulis oleh Herman S. Endro, SH dalam bukunya “Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Umat Buddha 1996-2026”

diterbitkan oleh Yayasan Dhammadipa Arama tahun 1997. Buku ini memberikan gambaran hari-hari besar umat Buddha sekaligus membahas Waisak dan sejarah berlangsungnya Waisak Nasional di Indonesia. Sumbangan buku ini dalam penelitian saya adalah mencakup sejarah apa dan bagaimana Waisak di Indonesia

(24)

dilangsungkan dari awalnya. Namun demikian buku ini belum memuat kompleksitas penyelenggaraan Waisak terutama pasca bubarnya WALUBI tahun 1998. Melalui buku ini kita juga dapat mengetahui tentang bagaimana menetapkan jatuhnya hari Waisak lengkap dengan detik-detik sempurnanya bulan purnama. Perayaan Waisak dihitung dari wafatnya Buddha Gautama pada tahun 543 Sebelum Masehi (SM), inilah yang sering disebut sebagai Tahun Buddhis (TB) atau Buddhis Era (BE). Karena secara internasional sekarang menggunakan kalender Gregorian maka kita akan menemui penulisan tahun Waisak dengan skema perayaan Waisak ke sekian per tahun Gregorian. Contoh pada tahun 1996 umat Buddha memperingati Waisak yang ke 2540 maka ditulis Waisak 2540/1996.

Penelitian yang lebih spesifik tentang Waisak di Candi Borbobudur ditulis oleh Hermin Tri Astuti tahun 1998 dalam Skripsi “Waisak Nasional 2540/1996”. Penelitian ini memuat tentang tata rangkaian upacara Waisak dan maknanya bagi umat Buddha. Hermin mengungkap tentang Waisak secara umum, prosesi upacara Waisak Nasional 2540 tahun 1996 termasuk tata upacara dan simbol-simbol yang digunakan serta makna Waisak di Candi Borobudur bagi masyarakat Umat Buddha baik makna secara spiritual maupun secara sosiologis.

Dari penelitian ini, saya menangkap beberapa informasi terkait tata upacara yang dilakukan oleh umat Buddha pada waktu belum pecahnya WALUBI. Selain itu sumbangan lain dari penelitian ini adalah makna sosiologis yang diungkap oleh Hermin Tri Astuti adalah makna sosiologis Waisak bagi umat Buddha yaitu sebagai ajang membangun persatuan dan rasa kekeluargaan diantara penganut

(25)

sekte-sekte dalam agama Buddha di Indonesia. Namun lagi-lagi penelitian ini adalah penelitian sebelum pecahnya WALUBI tahun 1998.

Penelitian lain terkait Waisak di Borobudur dilakukan oleh Bernadetta Budi Lestari yakni “Persepsi masyarakat sekitar Candi Mendut, Pawon dan Borobudur terhadap upacara ritual Waisak”. Penelitian ini adalah tesis pada Program studi Geografi tahun 1996. Penelitian ini menitikberatkan pada perbedaan persepsi masyarakat berdasarkan lokasi, jenis kelamin, kelompok umur dan tingkat pendidikan; perbedaan persepsi masyarakat berdasarkan Pengetahuan Waisak, Konsepsi Kehidupan umat Buddha, Konsepsi Kehidupan bikkhu, Waisak sebagai obyek wisata, dan Toleransi beragama terhadap lokasi;

besarnya tingkat pendapatan tambahan yang diperoleh bagi masyarakat dan perhotelan; proses kemunculan kembali agama Budha di Indonesia pada umumnya dan di Kaloran khususnya. Penelitian lainnya seputar Waisak adalah laporan kerja mahasiswa Universitas Sanata Dharma (CB. Ismulyadi dkk) tentang ziarah Waisak di Borobudur tahun 2012 berjudul “Fenomena Ziarah Pada Hari Raya Waisak Tahun 2556” laporan ini menggali pengalaman- pengalaman, harapan dan makna Waisak bagi umat Buddha yang hadir di Borobudur pada Waisak 2556 tahun 2012. Laporan ini memuat Waisak yang sudah dikelola oleh WALUBI baru dimana perayaan Waisak sudah tidak lagi dilakukan oleh umat Buddha dalam wadah WALUBI saja namun juga dilakukan oleh umat Buddha yang tergabung dalam KASI. Laporan lain tentang Waisak yang terbaru (2557 tahun umat Buddha atau tahun 2013) dimuat dalam http://www.jurnalterkini.com/2013/05/ribuan-umat-budha-rayakan-Waisak-

(26)

di.html laporan ini mengeksplorasi pengalaman baik bhiksu maupun umat yang datang ke Candi Borobudur. Banyak pengalaman-pengalaman para peserta Waisak yang justru tidak dapat memperoleh makna Waisak karena karut marut penyelenggaraan Waisak di Candi Borobudur oleh WALUBI Baru.

Penelitian-penelitian tentang Waisak yang berpusat di candi Borobudur umumnya adalah penelitian yang dilakukan sebelum terjadinya perpecahan WALUBI tahun 1998. Pada saat itu Waisak biasanya dinarasikan tunggal di Candi Borobudur. Penelitian yang akan saya lakukan pada tesis ini lebih menitikberatkan pada Waisak pasca pecahnya WALUBI yang menjadikan perayaan Waisak tidak lagi hanya terpusat pada Candi Borobudur semata.

Terlebih lagi penelitian politik perayaan Waisak di Candi Borobudur belum tersedia. Oleh karenanya, penelitian dengan perspektif kajian budaya yang akan dilakukan ini tergolong baru karena perspektif penelitiannya yaitu memandang Waisak bukan sebagai ritual keagamaan belaka namun sebagai ruang tarik menarik kekuasaan.

G. KERANGKA TEORITIS

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan resistensi yaitu sebuah pendekatan klasik untuk mempelajari pengalaman langsung dalam kajian budaya. Resistensi dalam kajian budaya adalah dalam rangka untuk memperlihatkan bahwa orang-orang mempunyai kemampuan kritis dan kreatif

(27)

dalam melawan sebuah dominasi5. Studi resistensi merupakan usaha menangkap fenomena pengalaman langsung sebagai perlawanan oleh peneliti, jadi dalam hal ini peneliti mempunyai otoritas tinggi untuk menentukan fenomena sebagai perlawanan. Menurut Paula Saukko6 ada dua macam pendekatan studi resistensi yaitu ‘critical contextualist’ yaitu pendekatan studi resistensi yang berfokus pada tindakan nyata yang tidak berpretensi mengubah struktur sosial. Kedua, yaitu

‘optimistic textualist’ sebagai pendekatan studi resistensi yang berfokus pada

resistensi simbolik yang dengan maksud untuk mengadakan perubahan sosial.

Pendekatan resistensi seringkali dipandang sebagai bagian dari relasi konflik sedangkan resistensi sesungguhnya adalah perlawanan yang lebih menekankan pada ketidaksetujuan terhadap sesuatu. Resistensi muncul karena ada dominasi (menindas) dari satu pihak ke pihak lainnya. Resistensi dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok (kelas). James Scott (2000: 41) menyatakan bahwa resistensi kelas itu memuat tidakan-tindakan apapun yang dilakukan oleh kaum yang kalah, yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim yang dibuat kelas atas berhadap dengan kaum yang kalah. Resistensi berfokus pada basis materi hubungan antara kelas dan pertarungan antar kelas; berlaku baik sebagai tindakan resistensi perorangan maupun resistensi kolektif, juga bentuk- bentuk resistensi ideologi yang menantang definisi situasi yang dominan dan menuntut berbagai standar keadilan dan kewajaran. Jadi resistensi berfokus pada

5Saukko, Paula. 2003. Hlm 39

6Saukko, Paula. 2003. Hlm 39-40

(28)

tujuannya ketimbang pada konsekuensi, sehingga diakui bahwa banyak aksi resistensi mungkin gagal mencapai hasil yang dimaksud.

Menurut James Scott7 ada sepasang bentuk resistensi, yaitu: pertama, resistensi setiap hari, yaitu perjuangan yang biasa-biasa saja, namun terjadi terus menerus antara kaum tani dan orang yang berupaya untuk menarik tenaga kerja, makanan, pajak, dan keuntungan dari mereka. Umumnya bentuk resistensi ini tidak sampai pada tarap pembangkangan terang-terangan secara kolektif. kedua, pembangkangan langsung atau terbuka yaitu dengan perlawanan yang secara fisik (perang) atau penolakan dengan aksi langsung.

Studi resistensi biasanya digunakan untuk mengungkap siapa yang melawan, apa yang dilawan, ancaman seperti apa yang dirasakan oleh pihak yang terdominasi, dan bagaimana cara-cara perlawanannya apakah dengan cara-cara apatis, pasif, atau agresif. Dalam penelitian ini akan ditunjukkan bahwa masyarakat Umat Buddha di bawah KASI sebagai organisasi Umat Buddha di Indonesia selain WALUBI adalah kelompok masyarakat Umat Buddha yang terdominasi oleh WALUBI (baru). Dominasi WALUBI terlihat dalam aktifitas perayaan Waisak Nasional tahunan di Candi Borobudur pasca tahun 1998 dan membuat kelompok masyarakat Umat Buddha di bawah KASI tidak mempunyai akses untuk merayakan Waisak di Candi Borobudur. Melihat kondisi demikian masyarakat Umat Buddha KASI bergerak melakukan perlawanan dengan cara

7Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-Orang yang Kalah Bentu Resistensi Sehari-hari Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta hlm.40-43

(29)

membuat perayaan Waisak tandingan di berbagai daerah dalam skala yang relatif kecil, namun ada juga dengan skala yang cukup besar. Yogyakarta sebagai salah satu kawasan yang dekat dengan Candi Borobudur dirasa sebagai tempat yang pas untuk memotret fenomena perlawanan ini.

Praktik-praktik ritual keagamaan seperti perayaan Waisak baik yang dilakukan di Candi Borobudur maupun yang dilakukan di kawasan Yogyakarta adalah praktik-praktik dari ideologi tertentu yang menciptakan kesenjangan diantara keduanya. Menciptakan jurang antara yang dominan dan subordinan dalam hal ini Waisak nasional di candi Borobudur oleh WALUBI sebagai yang dominan dan Waisak yang diselenggarakan masyarakat Umat Buddha anggota KASI di Yogyakarta adalah sebagai subordinan.

Perlawanan masyarakat Umat Buddha di Yogyakarta bukanlah perlawanan agresif dengan ‘menyerang’ kelompok penguasa, dalam hal ini WALUBI (baru) namun mempergunakan perlawanan secara simbolik.

Perlawanan masyarakat Umat Buddha Yogyakarta juga bukan karena faktor ekonomi seperti studi perlawanan dalam Marxisme yang biasanya determinan ekonomi. Perlawanan muncul karena relasi kekuasaan yang timpang. Oleh karenanya dalam penelitian ini dirasa cocok memakai teori perlawanan post Marxisme yakni Hegemoni Tandingan dari Antonio Gramsci. Namun obyek penelitian ini adalah ritual keagamaan yang tentu saja tidak secara mudah kita dapat menariknya ke wilayah politik agama semata. Untuk itulah kita perlu menempatkan perayaan Waisak ini juga dalam kajian religi khususnya soal ritual, sehingga kita memahami apa makna dan bagaimana Waisak tersebut dirayakan.

(30)

Untuk itulah diperlukan sejumlah alat atau pisau bedah yakni teori ritual dan teori hegemoni tandingan (counter hegemony) Gramsci.

1. Konsep Ritual

Dalam pandangan teori kontemporer (Hinnells, 2010: 388-393) terdapat berbagai macam pandangan tentang ritual. Ritual dapat dipandang sebagai bentuk ekspresi dari sebuah keyakinan. Ritual terkadang juga dipandang sebagai cara untuk menghilangkan ketakutan dan rasa berdosa.

Ritual sebagai rekonsiliasi dari kontradiksi. Bagi beberapa kelompok, ritual juga merupakan cara menanamkan keyakinan-keyakinan tertentu.

Menurut Koentjaraningrat (1985:56) Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama, yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orang orang yang menjalankan upacara. Jadi yang dimaksud ritual disini ada beberapa komponen yaitu upacara (perbuatan keramat), tata acara, kelompok atau komunitas, waktu, tempat, alat-alat upacara.

Waisak bagi umat Buddha adalah waktu yang sakral yang perlu diperingati sebagai bagian dari aktualisasi keberagamaan selain dengan ritual juga dirayakan dengan berbagai dramaturgi sehingga Waisak mempunyai siginifikansi bagi kehidupannya. Waisak dipandang sebagai momentum untuk memuja tiga peristiwa agung yang dialami Sidharta Gautama supaya memperoleh berkah dalam kehidupan dengan melaksanakan ajaran Sidharta

(31)

(Buddha) Gautama. Pemilihan tempat upacara perayaan Waisak di Candi Borobudur pada saat bulan purnama dipandang sebagai tempat suci dan mengandung nilai-nilai kesakralan. Demikian pula tata upacara ritual, perkataan-perkataan (dalam wujud mantra atau paritta) dengan berbagai barang persembahan yang ditata di altar seperti patung Buddha, lilin lima warna, bunga, buah, dupa, air merupakan sarana merayakan Waisak yang dapat menumbuhkan keyakinan dan keberkahan bagi umat Buddha khususnya.

2. Hegemoni Tandingan Gramsci

Antonio Gramsci adalah seorang post Marxis asal Italia yang menaruh perhatian pada soal bagaimana kekuasaan dipertahankan dalam negara modern. Dalam bukunya Prison Notebooks Gramsci merefleksikan mengapa dan bagaimana negara modern bisa mendapatkan konsensus atas kekuasaannya terhadap mayoritas masyarakat, dan mengapa serta bagaimana seorang sosialis bisa memastikan bahwa konsensus ini dapat diubah menjadi konsensus baru yang mendukung nilai-nilai sosialisme (Beilharz.2003:201).

Salah satu sumbangan Gramsci dalam kajian budaya adalah teori tentang Hegemoni dan Counter Hegemony. Hegemoni adalah konsep politik yang dikembangkan oleh Gramsci semasa mendekam di penjara rezim Fascis.

Konsep ini pada dasarnya berusaha untuk menjelaskan mengapa revolusi tidak terjadi di negara Barat yang notebene demokratis dan maju padahal di sana terjadi tekanan dam eksploitasi akibat dari kapitalisme (Storey, 2003: 172- 173). Menurut Gramsci hal itu terjadi karena kelas dominan (para pemilik

(32)

modal) tidak hanya mengatur mayarakat namun juga mengarahkan masyarakat melalui ‘pemaksaan’ kepemimpinan moral dan intelektual.

Pemaksaan dalam hal ini saya beri tanda khusus karena sesungguhnya masyarakat subordinan merasa tidak dipaksa tetapi menyetujui bahkan mendukung dan menerima nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada. Cara mengontrol masyarakat tanpa melalui paksaan tetapi melalui kepemimpinan, intelektual dan moral. Hegemoni diproduksi dan terus dipelihara melalui penciptaan makna-makna yang merepresentasikan praktik yang dominan dijalankan oleh kelas berkuasa.

Gramsci memberi solusi bagi subordinan untuk dapat untuk melawan dominasi dengan cara melakukan hegemoni tandingan (counter hegemony).

Kaum yang berkuasa menciptakan dan memperkenalkan hegemoni melalui pengaruh mereka di lembaga-lembaga baik itu seperti negara, tempat ibadah, dan sistem pembelajaran di sekolah. Mereka yang memiliki strata tertinggi dalam masyarakat menghasilkan sebuah identitas dan suatu bentuk budaya popular dengan cara memvalidasi tatanan sosial yang dominan. Bagi Gramsci, istilah “intelektual” tidak mengacu pada seseorang dari strata tertinggi yang memiliki latar belakang pendidikan dan jabatan yang tinggi, melainkan untuk individu yang menciptakan dimensi dimensi moral-politik yang berkuasa dalam hegemoni kelas (Hoare dan Smith, 1971: 199)

Gramsci menciptakan gagasan perlawanan hegemoni tandingan (counter hegemony) sebagai sebuah tindakan revolusioner, di mana ideologi

(33)

kebudayaan psikologis diciptakan dari kaum intelektual dari kelas yang tereksploitasi untuk membubarkan tatanan kapitalis yang telah berdiri dan menggantikannya dengan sosialisme demokratis. Gramsci berargumen bahwa ideologi ini harus menciptakan visi perlawanan hegemoni (counter hegemony) melalui lembaga-lembaga anti penindasan kelas oleh yang berkuasa dan memimpin massa dalam pementasan sebuah revolusi universal melalui subversi budaya yang bertentangan dengan tindak kekerasan (Boggs 1968:

164).

Untuk bisa melawan kelompok dominan tentu saja diperlukan cara- cara penyadaran oleh kelompok subordinan melalui kepemimpinan, intelektual dan moral yang lebih kuat sehingga lama-kelamaan bisa mendominasi balik atas kelompok lain. Di sinilah pentingnya intelektual organik menurut Gramsci. Melalui kepemimpinan moral dan intelektual kelompok yang tersubordinasi melakukan perang posisi (war of position) dan membentuk blok historis yang baru.

Ketika akan melakukan counter hegemony suatu kelompok masyarakat yang dikuasai (subordinan) haruslah berangkat dari kenyataan yang ada di masyarakat pada umumnya. Mereka haruslah yang berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat, menanamkan kesadaran baru yang menyingkap kebobrokan sistem lama dan dapat mengorganisir masyarakat, dengan begitu ide pemberontakan serta merta dapat diterima oleh masyarakat hingga tercapainya revolusi. Setiap pihak yang berkontribusi dalam perjuangan melawan hegemoni harus saling menghormati otonomi kelompok yang lain

(34)

dan mereka harus bekerja sama agar menjadi kekuatan kolektif yang tidak mudah dipatahkan ketika melakukan counter hegemony.

Konsep counter hegemony Gramsci dalam penelitian ini dirasa dapat digunakan untuk menerangi fenomena relasi kuasa antara WALUBI dan KASI di mana dalam hal ini WALUBI yang juga merupakan representasi dari negara karena WALUBI adalah lembaga masyarakat yang dibentuk pemerintah pada awalnya, selalu berusaha mendominasi perayaan Waisak di Candi Borobudur. Cara mendominasi Waisak di Indonesia khususnya di Candi Borobudur hadir melalui berbagai macam cara, seperti melalui PT Taman Wisata Borobudur sebagai lembaga ekonomi maupun lewat kehadiran pemerintah dalam hal ini adalah melalui pejabat-pejabat negara yang hadir dalam Waisak Nasional di Candi Borobudur. WALUBI yang pada mulanya merupakan kesatuan hegemonik masyarakat Umat Buddha semenjak tahun 1998 telah terpecah dan memunculkan dua organisasi yaitu KASI dan WALUBI. Demi melanjutkan hegemoni WALUBI, organisasi pecahan dari WALUBI membentuk nama baru juga dengan nama WALUBI. Ini adalah strategi dari WALUBI baru untuk mempertahankan hegemoni WALUBI sebelumnya sehingga tetap mempunyai akses terhadap candi Borobudur

khususnya dalam perayaan Waisak.

(35)

H. METODE PENGUMPULAN DATA

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan perlawanan. Untuk memperoleh hasil penelitian yang dimaksud akan dilakukan pengumpulan data dengan memperhatikan panduan berikut ini:

1. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat umat Buddha di sekitar Yogyakarta yang tersebar di wilayah Kabupaten Kulon Progo, Sleman, Kota Yogyakarta, Bantul dan Gunung Kidul. Selain itu juga para tokoh-tokoh vihara, bhikkhu dan majelis-majelis di Yogyakarta yang biasanya mengelola perayaan Waisak. Sumber data sekunder diambil dari dokumen-dokumen kegiatan, website maupun laporan beserta buku-buku yang memuat perayaan-perayaan Waisak di seputaran Jogjakarta dan Jawa Tengah.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Yogyakarta (Kota Yogya, Kulon Progo dan Gunung Kidul), vihara-vihara di Yogyakarta, candi Sewu Jawa Tengah serta vihara di Mendut.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Observasi terlibat (participant observation) ke vihara-vihara atau tempat yang biasanya dijadikan tempat perayaan Waisak oleh umat Buddha baik di candi Borobudur yang diselenggarakan WALUBI maupun di Yogyakarta seperti di Candi Sewu, di vihara-vihara Sleman dan Kulon Progo.

(36)

b) Wawancara kepada umat-umat Buddha di Yogyakarta, para tokoh majelis, bhiksu serta ketua-ketua vihara tentang kegiatan perayaan Waisak dan pandangan mereka terhadap praktik perayaan Waisak di candi Borobudur.

4. Studi dokumen/arsip

Berupa teks-teks tertulis baik buku maupun laporan-laporan kegiatan Waisak yang dapat dijadikan kerangka acuan dalam penulisan tesis ini. Teks-teks tersebut meliputi teks pelaksanaan Waisak di candi Borobudur dari tahun ke tahun, teks-teks perayaan Waisak di Yogyakarta seperti di candi Sewu maupun buku-buku yang membahas tentang keadaan masyarakat umat Buddha Yogyakarta seperti dari Bimas Buddha Kementerian Agama DIY.

5. Teknik Pengolahan Data

Data yang terkumpul akan diolah dengan cara menjabarkan data, mengklasifikasikan, memetakan mengaitkan, kemudian dianalisis menggunakan pendekatan perlawanan (resistensi) dengan teori Counter Hegemony. Selanjutnya data dipergunakan sejelas mungkin untuk menjawab rumusan masalah. Hasil analisa kemudian disimpulkan sebagai hasil penelitian.

I. SISTEMATIKA PENULISAN

Pembahasan dari hasil penelitian ini akan dituangkan secara sistematis dalam bab per bab. Bab pertama sebagai pendahuluan penelitian ini memuat latar belakang masalah, tema, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian, hingga sistematika penulisan. Bab kedua

(37)

akan menjelaskan tentang seputar Waisak, apa makna bagi umat Buddha, bagaimana pelaksanaan ritual dan perayaanya juga sejarah perayaan Waisak di Indonesia pada mulanya di candi Borobudur. Bab tiga menjelaskan kompleksitas masalah penyelenggaraan perayaan Waisak Nasional di candi Borobudur. Penyelenggaraan perayaan Waisak Nasional tidak bisa dipisahkan dari penyelenggara dalam hal ini umat Buddha yang tersegmentasi baik menurut aliran agama, organisasi masyarakat umat Buddha, maupun organisasi besar umat Buddha di Indonesia yaitu KASI dan WALUBI. Bab empat menyajikan analisis data berdasarkan teori hegemoni untuk memetakan peran intelektual dalam melakukan counter hegemony. Bab kelima merupakan penutup dari penulisan ini yang berupa kesimpulan.

(38)

BAB II

WAISAK: MAKNA, RITUAL DAN PERAYAANNYA

Sebagai salah satu agama besar di dunia, agama Buddha mempunyai hari-hari spesial yang kemudian dirayakan sebagai hari raya. Setidaknya ada empat hari raya yang dikenal dalam umat Buddha di seluruh dunia yaitu: Waisak, Asadha, Kathina dan Maghapuja. Waisak menempati posisi yang penting terutama di Indonesia karena disejajarkan dengan hari-hari raya agama lain seperti Idul Fitri, Natal, Nyepi dan Imlek. Apalagi Waisak di Indonesia mengambil tempat perayaannya di Candi Borobudur, sebuah Candi Buddha terbesar yang ditetapkan sebagai world heritage dan menjadi obyek wisata dunia.

Bab ini akan membahas tentang hari raya Waisak secara umum. Apa makna pada awalnya, bagaimana ritualnya dan bagaimana cara merayakannya serta bagaimana hubungan ritual perayaan Waisak dengan pelaksanaan ajaran Buddha.

Hubungan ritual dengan pelaksanaan ajaran Buddha akan dibahas pertama sebagai landasan memahami mengapa dan dalam rangka apa perayaan suatu moment hari raya dilangsungkan. Selain itu juga akan membantu memahami mengapa perayaan Waisak dapat mempunyai berbagai varian dalam pelaksanaannya.

A. Puja: Antara Ritual dan Pelaksanaan Ajaran Buddha

Seperti telah dijelaskan dalam landasan teori bahwa ritual merupakan cara mengekspresikan sebuah keyakinan. Dalam pelaksanaanya ritual akan berkaitan dengan waktu, tempat, alat-alat perlengkapan dan tata acaranya serta orang-orang yang melaksanakannya. Dalam agama Buddha, ritual dikenal dengan istilah Puja

(39)

(bahasa Pali) yang berarti penghormatan. Secara tekstual konsep tersebut terdapat dalam kitab Tipitaka (Sutta Pitaka) bagian Manggala Sutta. Sebuah kalimat dalam Manggala Sutta (Sangha Theravada Indonesia, 2015: 29) tersebut mengatakan “Puja ca Pujaniyanam” yang berarti menghormat yang pantas dihormati adalah berkah utama. Jadi dalam hal ini puja atau penghormatan adalah sarana untuk memperoleh berkah, hampir mirip dengan apa yang dikatakan oleh Turner. Dikatakan hampir mirip karena puja dalam agama Buddha bukan hanya sekadar melakukan ritual untuk

‘menyogok’ kekuatan di luar manusia supaya memberi berkah. Namun lebih kepada

memberi semangat diri untuk melakukan penyesuaian dengan hukum alam semesta dengan tingkah lakunya.

Puja dalam agama Buddha dikenal dua macam yaitu Amisa Puja dan Patipati Puja. Amisa Puja adalah cara memberikan penghormatan kepada suatu tempat, peristiwa ataupun sosok tertentu dengan cara mempersembahkan materi-materi.

Sedangkan Patipati Puja adalah memberikan penghormatan kepada suatu tempat, peristiwa ataupun sosok tertentu dengan cara menunjukkan atau melakukan perbuatan-perbuatan yang pantas dan baik. Dapat dikatakan bahwa ritual dalam agama Buddha mengandung makna pemujaan terhadap sesuatu, sedangkan cara untuk memuja dapat melalui dua cara yaitu memuja melalui persembahan benda-benda dengan suatu upacara tertentu. Cara yang kedua (biasa dikatakan sebagai yang paling tinggi) adalah dengan mengerti makna benda-benda dalam suatu upacara, mengerti makna apa yang dilakukan dalam upacara tersebut dan mengerti apa yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari sebagai praktik dari ajaran Buddha.

(40)

Dalam setiap ritual umat Buddha termasuk perayaan Waisak kita dapat melihat dua macam puja ini. Amisa Puja dapat kita lihat bagaimana umat Buddha mengatur sedemikian rupa suatu upacara ritual dengan menempatkan berbagai macam barang-barang persembahan di altar Waisak seperti patung Buddha, bunga, dupa, air, lilin, buah-buahan dan segala pernak pernik yang ditempatkan pada sebuah meja khusus yang disebut altar. Sementara dalam menunjukkan Patipati Puja umat Buddha melakukan berbagai tindakan yang mencerminkan ajaran Buddha seperti bermeditasi, melatih moralitas dan memberikan dana kepada para Bhikkhu, mengadakan bakti sosial. Pada intinya melakukan kegiatan-kegiatan sebagai aplikasi ajaran Buddha.

B. Tempat Pelaksanaan Ritual Waisak

Kebiasaan umat Buddha melakukan puja untuk menghormati atau memperingati suatu peristiwa dilakukan di tempat-tempat yang dapat menumbuhkan semangat relijius. Dalam keyakinan umat Buddha terdapat tempat-tempat yang disakralkan. Disakralkan dengan alasan tempat-tempat tersebut menjadi bagian penting dalam kehidupan Buddha Gautama yaitu Taman Lumbini tempat lahirnya Sidharta Gautama, Bodhgaya tempat Sidharta Gautama memperoleh pencerahan, Taman Rusa Isipatana Benares tempat Buddha Gautama membabarkan ajaran Dharma pertama kali dan Kusinara tempat wafatnya Buddha Gautama. Menurut kitab Mahaparinibbana Sutta, tempat-tempat yang dapat menimbulkan semangat relijius jika dikunjungi (ziarah) akan dapat membawa orang lahir di Surga.

Selain empat tempat ziarah yang penting bagi umat Buddha dalam melakukan puja, ada empat hal yang juga pantas diberikan puja. Empat hal itu adalah Dhatu

(41)

Cetiya, Paribhoga Cetiya, Dhammacetiya dan Udhesika Cetiya. Dhatu cetiya adalah tempat-tempat menyimpan relik8 Buddha Gautama seperti relik gigi, tulang, rambut, kulit dan lainnya. Relik ini ditempatkan di stupa atau candi atau vihara yang dapat dipuja oleh umat Buddha. Dalam hal ini Candi Borobudur oleh umat Buddha diyakini menyimpan salah satu relik rambut Buddha Gautama. Paribhoga Cetiya adalah benda-benda yang pernah digunakan oleh Buddha Gautama semasa kehidupannya.

Benda-benda ini dapat berupa jubah, mangkok, pohon Bodhi tempat bertapa Buddha Gautama. Dhamma Cetiya adalah koleksi-koleksi ajaran Buddha (Tri Pitaka) yang dapat berupa tulisan daun lontar, buku, maupun prasasti. Udhesika Cetiya yaitu benda-benda yang ditujukan untuk menghormati sifat-sifat Buddha seperti patung Buddha, lukisan Buddha dan gambar-gambar Buddha. Dengan demikian jelaslah mengapa dalam perayaan upacara agama Buddha seringkali dilaksanakan di candi- candi, vihara bersejarah, ataupun tempat-tempat yang menimbulkan suasana relijius dengan berbagai macam benda-benda relijius (Dharmakosajarn, 2011: 3-4).

C. Waisak sebagai pemujaan terhadap Buddha Gautama Sakyamuni atas tiga

peristiwa suci

Waisak sesunggunya diambil dari nama bulan kedua dalam kalender India Kuno. Terdapat banyak penyebutan dalam berbagai bahasa misalnya dalam bahasa Sinhala disebut Vesak, dalam bahasa Pali Vesākha. Dalam tradisi India, Nepal dan Bangladesh terkenal dengan sebutan Buddha Pūrnima atau Buddha Jayanti. Di

8Relik adalah sisa-sisa jasad dari seorang yang suci. Ketika jasad orang yang mencapai kesucian seperti Buddha Gautama dikremasi atau dikubur dalam waktu yang lama akan terdapat sisa-sisa yang berbentuk butiran berwarna-warni yang sulit dihancurkan baik dengan cara dibakar atau ditumbuk.

(42)

Jepang dikenal dengan Hanamatsuri, di Korea dikenal dengan Seokka Tanshin-Il, di China disebut Fòdàn, beberapa komunitas orang China Cantonese menyebut Fātdàahn, di Vietnam disebut Phât Ðan, di Tibet disebut Saga Dewa, di Kamboja

dikenal Visaka Bochea, di Thailand disebut Visākha Puja, di Srilanka dan Malaysia disebut Vesak, di Laos disebut Vixakha Bouxa, di Myanmar dikenal dengan sebutan Ka-sone-la-Pyae dan di Indonesia disebut Waisak. (Dhammahaso and Vuddhikaro, 2011:2).

Menurut penelitian Dhammahaso and Vuddhikaro dalam buku The Vesak Day History, significance and Celebrations (2011:2-3), istilah Waisak sendiri muncul dalam kitab Umat Buddha Mahavamsa, sebuah kitab kuno dari Sri Lanka yang menyebutkan bahwa Raja Sri Lanka Duttagamani telah menggelar perayaan festival Waisak sekitar 2100 tahun yang lalu. Dalam kitab tersebut ditulis

"Mahāvesākhapūjāca catuvīsati kārayī", yang berarti bahwa Raja mengadakan dua puluh empat festival besar Waisak. Sri Lanka adalah negara pertama yang merayakan Hari Waisak.

Hari raya Waisak adalah penghormatan komunitas pemeluk agama Buddha terhadap tiga peristiwa penting dalam masa kehidupan Buddha Gautama. Yaitu kelahiran Sidharta Gautama di Taman Lumbini, pencapaian tingkat spiritualitas

“Buddha” oleh Sidharta Gautama di Bodhgaya, dan Wafatnya “Buddha” Sidharta

Gautama di Benares India. Ketiga peristiwa itu terjadi pada waktu bulan purnama di bulan Waisak pada tahun-tahun yang berbeda. Oleh karenanya, ketiga peristiwa yang spesial ini disucikan dan dirayakan oleh umat Buddha di seluruh dunia setiap tahunnya. Khusus di Indonesia perayaan puncak Waisak sering disebut ‘detik-detik’

(43)

Waisak. Hal ini mengacu pada penentuan bulatnya bulan purnama paling sempurna (full moon) yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika di Indonesia (Wawancara, Bhikkhu Jayamedho, 22 Februari 2017).

D. Ritual Perayaan Waisak

Di negara-negara dengan pemeluk agama Buddha yang besar seperti Srilanka, Thailand, China, Tibet, Laos, Kamboja dan Myanmar Waisak menjadi festival agama dan budaya yang menjadi agenda tahunan. Di Sri Lanka misalnya, hari Waisak dirayakan dalam durasi satu minggu. Selama waktu seminggu ini, penjualan alkohol dan daging biasanya dilarang, serta tempat pemotongan hewan juga ditutup.

Perayaan meliputi berbagai kegiatan agama dan pemberian sedekah makanan untuk para Bhikkhu. Lampu-lampu hiasan seperti lampion yang didirikan di berbagai lokasi di kota Colombo dinyalakan. Setiap lampu hiasan menggambarkan cerita dari kehidupan lampau Sidharta Gautama dalam kitab Jataka. Selain itu, lentera berwarna- warni yang disebut Vesak Koodu digantung di sepanjang jalan-jalan dan di depan rumah. Hal ini menandakan terang Buddha, Dharma dan Sangha. Warung-warung makan milik umat Buddha (dansälas) memberikan makanan dan minuman gratis untuk orang yang lewat. Kelompok orang dari berbagai masyarakat, organisasi, pebisnis, dan departemen pemerintah melantunkan pujian-pujian bakti atau lagu-lagu pujian kepada Buddha.

Thailand sebagai salah satu negara dengan pemeluk agama Buddha membuat perayaan Waisak dengan dimobilisasi oleh pemerintah kerajaan. Waisak di Thailand pertama kali dirayakan pada periode Sukhothai (1249-1438 M) yang awalnya

(44)

diperkenalkan oleh biksu Sri Lanka yang datang untuk menyebarkan agama Buddha dan membawa tradisi perayaan Hari Waisak.

Menurut sebuah buku tentang Loi Krathong Festival, Nangnopphamat, perayaan Hari Waisak di Thailand dilakukan oleh raja, para pegawai kerajaan dan penduduk baik dari dalam istana maupun luar istana membersihkan dan menghiasi kota Sukhothai dengan bunga dan dupa, menerangi kota dengan cahaya obor sehingga seluruh kota itu cerah dan indah. Mereka menyembah Tiga Permata (Tri Ratna: Buddha, Dhamma, Sangha) secara terus menerus untuk dalam waktu tiga hari tiga malam. Raja beserta keluarga kerajaan melatih sila (aturan moral bagi umat Buddha) dan melakukan banyak kebajikan. Di malam hari, Raja dan keluarga kerajaan beserta dengan pejabat kerajaan, pergi ke Vihara kerajaan untuk mengelilingi dan memberikan penghormatan kepada simbol Buddha.

Penduduk Sukhothai saling melatih sila (moralitas), mendengarkan khotbah Dharma, memberikan persembahan kepada individu biarawan dan kepada Sangha.

Para pemeluk Buddha memberikan dana kepada orang miskin, anak yatim, orang tak berdaya, orang tua dan orang cacat. Selain itu mereka juga mengumpulkan uang untuk membeli hewan berkaki empat dan berkaki dua, kura-kura serta ikan untuk dilepas dan dibebaskan supaya lestari dengan keyakinan bahwa tindakan seperti akan memperpanjang usia mereka sendiri.

E. Perayaan Waisak di Indonesia pada mulanya

Perayaan Waisak di awal-awal tumbuh kembangnya kembali agama Buddha di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari peran para teosof. Para penggiat Teosofi yang tergabung dalam Perhimpunan Teosofi dipelopori oleh E.E Power, Josias Van

(45)

Deist, Kwee tek Hoay, dan Mengelaar Meerteens adalah orang-orang yang menggali kembali ajaran Buddha. Mereka mendirikan “Java Umat Buddhat Association”

sebagai cabang dari International Umat Buddhat Mission yang berpusat di Myanmar9. Perkumpulan teosofi inilah yang kemudian menjadi cikal bakal organisasi Umat Buddha di Indonesia.

Penemuan candi Borobudur oleh Stamford Rafles dan candi-candi Umat Buddha yang lain semakin memberi motivasi para teosof untuk lebih menggali ajaran Buddha. Situs-situs candi bukan saja dikagumi oleh para penggiat teosofi namun juga dipergunakan sebagai tempat untuk menyepi dan bermeditasi melaksanakan ajaran Buddha. Pada hari-hari penting dalam agama Buddha seperti Waisak, para teosof dan umat Buddha di sekitar Magelang dan Yogyakarta mengadakan kegiatan ‘tirakatan wungon purnomosiden’ (bhs. Jawa) secara leksikal diartikan sebagai berjaga di malam bulan purnama. Hal ini dikarenakan perkembangan agama Buddha saat itu belum begitu menonjol. Iem Brown (dalam Martin Ramsted, 2005:47) mengatakan:

“...And when Waisak was observed at the great temple of Borobudur for the first time in the modern era on 20 May 1932, the ceremonies were conducted by the Theosophical Society. It was not until 1934 that the ceremony was first performed by Buddhists“.

Jadi pada awalnya bukanlah komunitas Umat Buddha yang menginisiasi Waisak di Borobudur namun para teosof. Event tirakatan wungon purnomosiden

inilah yang kemudian menjadi agenda rutin tahunan, dan ketika telah dikenal di masyarakat kegiatan ini dijadikan sebagai perayaan Waisak (Astuti, 1998:38).

9Jayamedho. 2011. Menapak Pasti Kisah Spiritual Anak Madura. Cenas: Jakarta hlm 81-82

(46)

Perubahan perayaan Waisak dari yang bersifat meditatif menjadi seremonial berlangsung pada tahun 1953. Perayaan Waisak yang besar ini adalah kali pertama, dan sering disebut sebagai penanda eksistensi dan kebangkitan kembali umat Buddha di Nusantara. Perayaan dipelopori oleh Tee Boan An, seorang penggiat Umat Buddhame dari Indonesia yang banyak belajar di Belanda. Ia juga merupakan ketua organisasi Sam Kauw Hwee Indonesia (tiga ajaran: Umat Buddhame, Konfusianisme, Taoisme). Ia kembali ke Indonesia dan memutuskan untuk menjadi samanera (calon bhikkhu) dalam tradisi Mahayana pada tahun 1953. Samanera Tee Boan An setahun kemudian menjadi bhikkhu dengan tradisi Theravada pertama dari Indonesia pasca bangkitnya kembali agama Buddha di Nusantara.

Setelah perayaan Waisak yang besar pada tahun 1953, tahun 1956 kembali digelar Perayaan Waisak. Waisak kali ini cukup monumental karena bertepatan dengan usia agama Buddha ke 2500 (Buddhajayanti10) dan peringatan perayaan Waisak dunia ke 2500. Event Waisak pada tahun 1956 ini diselenggarakan oleh Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI). Organisasi ini mempunyai jaringan yang cukup kuat di Indonesia dan dengan agama Buddha Internasional. Hal ini terbukti dengan diterbitkannya buku “2500 Buddha Jayanti” oleh PUUI dengan kontributor artikel adalah orang-orang ternama seperti PM India Jawaharlal Nehru, Prof Dr. G.P. Malalasekera Presiden World Fellowship of Umat Buddhats, Dr. Luang Suriyabongs dari Bangkok dan Mademoiselle G. Constant Lounsbery, B.Sc. ketua

‘Les Amis Du Bouddhisme’ Paris Perancis.

10Buddhajayanti adalah event untuk mengenang kemunculan Buddha yang dhitung dari tahun 544 S.M., tahun dimana Buddha wafat.

(47)

Setelah Waisak tahun 1953 dan 1956, Waisak yang cukup monumental juga pernah terjadi pada tahun 1959 pada waktu itu pada peringatan Waisak tahun 1959 dilakukan pentahbisan bhikkhu dan samanera11 dari Indonesia untuk pertama kali dalam sejarah sejak kebangkitan kembali agama Buddha di Nusantara. Acara perayaan Waisak dimulai dari persembahyangan yang diadakan di candi Mendut kemudian melakukan prosesi berjalan kaki dengan membawa barang-barang persembahan seperti bunga, lilin, dupa, bunga menuju ke candi Borobudur. Sesampai di candi Borobudur melakukan puja pradaksina (mengelilingi stupa utama Borobudur sebanyak tiga kali searah jarum jam) dan bermeditasi hingga melewati detik-detik Waisak12.

Selain upacara ritual perayaan Waisak, ada berbagai kesenian masyarakat yang digelar di seputaran candi Borobudur. Hal ini dikatakan oleh seorang non Umat Buddha Mualim M Sukethi di laman blognya yang menceritakan Waisak pada tahun 1960-1970an.

“Ketika kecil, tahun 1960-70-an, saya termasuk anak yang selalu menanti- nanti perayaan Waisak. Saat itu pemahaman tentang perbedaan agama belum merasuk benak anak-anak. Sehingga saya bisa menerima perayaan Waisak seperti halnya menghadapi perayaan Lebaran Iedul Fitri. Dalam benak saya saat itu, Waisak identik dengan perayaan alias pesta desa. Ada ribuan manusia berkumpul, ada prosesi ribuan obor, ada upacara meriah, tontonan bermacam- macam kesenian, hingga berbagai jajanan di sekitar candi Mendut dan Borobudur”. (http://borobudurlinks.blogspot.co.id/2012/06/rindu-Waisak- kultural.html diakses pada 13 Juni 2014)

Syamsudin Abdullah (1973: 36-37) mencatat bagaimana perayaan Waisak 2517 tahun 1973 dirayakan oleh umat Buddha di candi Mendut dan Pawon. Pada saat

11Bhikkhu adalah pemuka agama Buddha atau dalam bahasa yang lebih umum disebut biksu dan panggilannya Bhante, sedangkan samanera adalah status sebelum menjadi bhikku atau calon bhikkhu.

12Jayamedho. 2011. Menapak Pasti Kisah Spiritual Anak Madura. Cenas: Jakarta hlm 90-92

(48)

itu Waisak tidak dirayakan di candi Borobudur. Perayaannya terdiri dari pengambilan air Waisak (air kramat) dari sumber “Umbul Tingal” yang tidak jauh dari candi Mendut, kemudian dibacakan do’a Paritta oleh Bhikkhu dan disemayamkan untuk dikeramatkan di candi Mendut. Pada hari Waisak ini para bhikkhu membaca paritta13 di dalam candi Mendut kemudian bersama-sama melakukan meditasi dan dilanjutkan persembahyangan dengan pembacaan Paritta kembali. Selesai upacara di candi Mendut para bhikkhu dan beberapa umat awam menuju candi pawon dan melakukan upacara persembahyangan di candi Pawon. Sekitar 150 orang berbaris dari candi Pawon dengan membawa bendera dan alat-alat musik tetabuhan berjalan melakukan prosesi berjalan dengan kaki telanjang menuju candi Mendut14.

Barisan prosesi kemudian melakukan pradaksina mengelilingi candi Mendut sebanyak tiga kali, lalu salah seorang Bhikkhu menyalakan lilin dan dupa sebagai tanda dimulainya upacara kebaktian, sedangkan beberapa bhikkhu menuju bilik di candi Mendut. Upacara dilanjutkan dengan pembacaan paritta-paritta sampai datangnya detik-detik Waisak. Pada detik-detik Waisak umat dan bhikkhu melakukan meditasi saat bulan purnama sempurna. Selesai bermeditasi, seorang bhikkhu yang telah ditugaskan kemudian memberikan wejangan Dharma. Upacara dilanjutkan dengan pemberkahan air keramat kepada para umat oleh para bhikkhu kemudian upacara ditutup dengan menyembah patung Buddha dan para bhikkhu kembali ke vihara Mendut.

13Paritta adalah kalimat-kalimat perlindungan dalam bahasa Pali yang biasa dibaca pada saat umat Buddha khususnya aliran Theravada.

14Abdullah, Syamsudin. 1973. Perayaan Waisak 2517 di Candi Mendut. Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga: Jogjakarta Hlm. 37

(49)

F. Waisak di Candi Borobudur: ‘ngontrak’ di rumah sendiri

Membicarakan Waisak Nasional di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks ekonomi dan politik. Sebagai warga negara Indonesia, umat Buddha yang jumlahnya tidak banyak juga ingin diakui eksistensinya oleh pemerintah. Demikian juga masyarakat umat Buddha ingin memberikan sumbangsih dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia. Jumlah penganut agama Buddha yang tidak banyak dan tersebar di berbagai wilayah tentu menjadi kesulitan tersendiri dalam upaya menunjukkan eksistensi di ranah nasional bagi umat Buddha.

Hari raya Waisak merupakan momentum penting bagi umat Buddha di Indonesia baik secara spiritual maupun sosial kemasyarakatan Umat Buddha. Secara spiritual Waisak menjadi momen suci untuk mengenang tiga peristiwa penting dalam sejarah Sidharta Gautama untuk membangkitkan kesadaran diri umat Buddha. Secara sosial Waisak merupakan momentum umat Buddha untuk berkumpul dan menunjukkan eksistensi di Indonesia.

Di Indonesia sendiri Waisak diakui sebagai satu-satunya hari suci dalam agama Buddha dan dijadikan sebagai hari libur nasional sejak tahun 1983 berdasarkan Keppres No. 3/1983. Hal ini adalah hasil lobi para pemuka umat Buddha kepada pemerintah hingga sehingga menjadikan hari Waisak sebagai hari libur nasional. Hari raya Waisak menjadi sejajar dengan hari raya agama lain. Edij Juanghari (2016: 278) menyatakan “Keputusan ini tidak hanya meningkatkan kemantapan peribadatan umat Buddha, tetapi juga menghapuskan hambatan psikologis hidup keagamaan”. Hal ini menunjukkan betapa berharganya pengakuan

(50)

pemerintah atas eksistensi umat Buddha dengan dijadikannya hari raya Waisak sebagai hari libur.

Keberadaan Borobudur yang penuh dengan filosofi ajaran Buddha menjadi tempat yang tepat bagi umat Buddha untuk merayakan Waisak. Bagi sebagian umat Buddha merayakan Waisak jika belum dirayakan di candi Borobudur belum terasa merayakan Waisak. Setidaknya itulah yang diungkapkan Jeffry Cin (25 tahun) umat Buddha asal Tegal yang bersedia diwawancarai dia mengatakan:

“tidak peduli soal KASI atau WALUBI15pokoknya kalau belum Waisakan di Borobudur belum afdol”.

Demikian juga dituturkan oleh Pak Kamto umat Buddha dari Kalimanggis Kaloran Temanggung yang setiap tahunnya selalu hadir di candi Borobudur untuk merayakan Waisak:

“pokoknya kalau belum Waisakan di Borobudur rasanya belum manteb, sampai kapanpun harus tetap diadakan Waisakan di Borobudur”

Demikianlah candi Borobudur bagi masyarakat Umat Buddha begitu penting artinya dalam perayaan Waisak. Hal ini tentu saja tidak lepas dari kebiasaan yang telah dibangun dalam kurun waktu yang lama oleh para penganut agama Buddha sejak dahulu. Iem Brown (dalam Ramsted, 2005:53) mengatakan:

“For all Umat Buddhats, Borobudur functions as a central icon, a Kiblat perhaps, to borrow a religious term from the Muslim community: a place towards which one’s spiritual energies are directed”.

Di sisi lain candi Borobudur sebagai candi Buddha terbesar dan merupakan tempat sakral bagi umat Buddha bukanlah milik umat Buddha. Candi Borobudur telah dikelola oleh negara dan korporasi. Komodifikasi candi Borobudur jelas

15Persoalan tentang siapa KASI dan WALUBI akan secara detail di bahas dalam bab selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

agar aman jika menggunakan kabel tipe ini lebih baik kabel di pasang di dalam pipah atau saluran penutup, karena selain tidak bisa di ganggu sama hewan pengerat dan tidak kenah

Dari berbagi bentuk bullying tadi maka bullying verbal adalah salah satu jenis bullying yang mudah dilakukan, bisa menjadi pintu masuk menuju bentuk bullying lainnya serta

It was found that tiller number, number grains for the Cross 1, while for the Cross 2, plant height, tiller number, 100-grain weight could be used as a selection criteria

273 PSP Padang Sidempuan Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara. 274 PSP Padang Sidempuan Kota Padangsidimpuan

kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan sebagai pelatihan untuk menerapkan teori. yang diperoleh dalam semester-semester sebelumnya, sesuai dengan persyaratan

Data lain yang diisi dalam formulir isian kualifikasi mohon asli dokumen yang sah dapat ditunjukkan ke Panitia.. Demikian disampaikan, atas kehadirannya tepat waktu diucapkan terima

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan Laporan Perancangan

Bagaimana rincian biaya dan laba yang diharapkan dari usaha pembuatan kreasi baju unik dan mendidik “KREBUM” tersebut2. Menciptakan produk baju yang